19. TRANSMISI FILSAFAT HELLENISME (3): Dinasti Umayyah dan Arab Bahasa Resmi Negara

19. TRANSMISI FILSAFAT HELLENISME (3): Dinasti Umayyah dan Arab Bahasa Resmi Negara

Oleh Alimuddin Hassan

 

Pada mulanya arus utama pemikiran Yunani-Hellenisme masuk  ke dunia Islam bukannya melalui manuskrip dan sumber-sumber asli dari Yunani-Hellenisme itu sendiri. Akan tetapi, masuknya pemikiran tersebut melalui hasil terjemahan dilakukan oleh ilmuan dan serjana Kristen, Yahudi, Persia kedalam bahasa Syiria. (Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam,63). Meskipun belakangan,tentu saja ada banyak juga manuskrip-manuskrip berbahasa Yunani langsung  diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Untuk keperluan penerjemahan warisan Yunani_Hellenismekedunia Islam pada periode-periode berikutnya tidak terlalu berarti kalau pemerintahan Islam pada masa Dinasti Umayyah tidak menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara. Upaya mengganti bahasa dari bahasa Persia, Yunani dan Syiria kepada bahasa Arab ini terjadi menjelang akhir abad ketujuh (MajidFakhri, A History of Islamic Philosophy: 17). Dengan kebijakan ini, penerjemaham dan pengembangan ilmu dan filsafat di dunia Islam menjadi lebih semarak, dan kelak mencapai puncak keemasannya pada masa Dinasti Abbasyiah.

Begitu pula urutannyabila kita surut ke belakang, upaya Dinasti Umayyah untuk menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara, dan pada gilirannya menjadi bahasa ilmu pengetahuan dalam penerjemahan, sepertinya sulit tercapai sekiranya ‘Ali bin Abi Thalib –kira-kira 20 tahun sepeninggalan Rasul Allah– tidak menganjurkan agar umat Islam mempelajari sastra arab pada umumnya. Dan lebih spesifik Ali bin Abi Thalib memerintahkan para ahli bahasa untuk meletakkan kaidah-kaidah bahasa Arab. Ali bin Abi Thalib berpandangan bahwa masyarakat memerlukan ilmu tersebut karena bermamfaat dalam mengelaborasi pengetahuan dan pemahaman agama umat Islama.

Walaupun pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib disebukkan dengan sejumlah peperangan, tetapi ia dan generasinya tidak menjadikan aral untuk tidak membentuk kaidah-kaidah dalam  membina bahasa Arab. Artinya, tanpa upaya “mengapak”, dan bahkan sekaligus “mengetam” yang dilakukan oleh ahli-ahli bahasa Arab  atas anjuran Ali bin Abi Thalib, maka upaya untuk menjadi bahasa Arab sebagai bahasa resmi, pada gilirannya menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa ilmu dan agama, khususnya dalam kepentingan penerjemahan, kemungkinan besar  akan mengalami kendala dan keterlambatan.

Selain itu, pada masa pemeritahan Dinasti Umayyah sejumlah khalifahnya memuliakan kedudukan ilmu-ilmu sastra, meninggikan kedudukan para penyair dan ahli-ahli agama. Dengan demikian, pada akhir kekuasaan Dinasti Umayyah bermuculanlah sejumlah ulama dari berbagai bidang keilmuan. Dalam bidang fiqh yang melahirkan berbagai macam mazhab, misalnya empat empat mazhab yang paling masyhur, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.

Begitu pula, pada masa Dinasti Umayyah muncul perdebatan-perdebatan teologis, sehingga melahirkan ilmu kalam dengan derivasi alirannya masing-masing. Dalam perdebatan teologis ini berkembanglah paham Qadariyah,  Jabariah dan Murji’ah. Dan dalam  ilmu kalam  itu tersebutlah aliran-aliran pemikiran, seperti Asy’ariyah, Maturidiyah dan Mu’tazilah.

Dalam perdebatan-perdebatan teologis tersebut, terutama  aliran kalam Mu’tazilah mengambil metode filsafat Yunani-Hellenisme yang rasional. Dengan begitu mendorong orang-orang Mu’tazilah untuk mempelajari filsafat warisan dari Yunani-Hellenisme. Pada gilirannya kencenderungan pada ilmu dan metode rasional tersebut turut pula  mendorong dimulainya upaya penerjemahan pada akhir abad pertama Hijriyah. (Lihat, Syaikh Muhammad Abduh, Islam Ilmu Pengetahauan,  dan Masyarakat Madani, 2005: 143-144.

Meskipun pergantian bahasa itu awalnya lebih dimaksudkan untuk kepentingan politik dan administratif. Namun, tidak ayal lagi, belakangan sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan dan kesemarakan upaya-upaya penerjemahan warisan Yunani-Hellenisme baik langsung (dari bahasa Yunani) ataupun tidak langsung (lewat bahasa Syiria) ke dalam bahasa Arab. Pergantian berbagai bahasa tersebut dengan bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara menandai usaha pertama pemerintahan Islam untuk menunjukkan keunggulan literer mereka, sebagaimana halnya keunggulan militer dan politik mereka  atas bangsa-bangsa yang ditaklukannya selama ini.

Sulit untuk dipastikan apa motivasi dan latar belakang pergantian bahasa tersebut. Akan tetapi, ada keterangan (dan inipun hanya disinyalir) bahwa pergantian bahasa asing ke dalam bahasa Arab, apakah disebabkan oleh rasa iri atau bukan umat Islam terhadap monopoli yang dipertahankan orang-orang non-Islam (terutama umat Kristen dan Yahudi) sebagai pegawai-pegawai khalifah. Namun, yang pasti dari segi pertimbangan praktis pun pergantian itu merupakan suatu keniscayaan. (Majid Fakhri, A History of Islamic Philosophy, 17).

Tanpa kebijaksanaan menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi, sepertinya sulit untuk mengharapkan penerjemahan dalam bahasa Arab yang “melimpah” sebagaimana terjadi pada masa Dinasti Abbasyiah, dan persisinya pada era pemerintahan khalifah al-Ma’mun. Begitupun, sekiranya bahasa Arab tidak dijadikan sebagai bahasa “tunggal”, dan penerjemahan itu tidak “terkonsentrasi” kedalam bahasa Arab, maka besar kemungkinan sarjana-sarjana dan ahli penerjemah dengan latar belakang beragam (bahasa dan agama) besar kemungkinan akan menerjemahkan warisan Yunani-Hellenisme tersebut tidak dalam bahasa Arab, tetapi dalam bahasa lain sesuai dengan kecenderungan mereka masing-masing.

Belakangan, dengan kebijakan menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara, menurut George Sarton, bahasa Arab benar-banar memainkan peran yang sangat penting dan utama. Dengan begitu, bahasa Arab menjadi bahasa ilmu pengetahuan internasional, dan sulit untuk mencari tandingannya. Kenyataan ini diungkapkan oleh Mehdi Nekosteen:

 “Bahasa Arab merupakan bahasa sains internasional, sedemikian hebatnya sehingga tidak akan dapati ditandingi oleh bahasa lain kecuali bahasa Yunani, dan itu pun tidak akan pernah dapat terulang sampai kapan pun. Bahasa Arab bukan merupakan bahasa satu kaum, satu bangsa, tetapi merupakan bahasa dari beberapa kaum, bangsa dan agama.”(Mehdi Nakosteen, Konstribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, viii).

Pada periode awal, masa dinasti Umayyah, kegiatan penerjemahan dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan praktis dan kecenderungan-kecenderungan pragmatis. Misalnya, pada masa ini penerjemahan hanya dilakukan pada bidang tertentu, yaitu bidang kedokteran dan astrologi (astronomi). Kedua bidang ini memang mempunyai nilai praktis (untuk keperluan sehari-hari) dan nilai prgamatis (untuk tujuan-tujuan tertentu) dalam hidup ini, khususnya bagi khalifah dalam mempertahankan kekuasannya.

Sementara warisan pemikiran Yunani bersifat abstrak dan filosofis baru dilakukan pada berkembangan dekade berikutnya. Kecenderungan praktis dan pragmatis itu pada tahap dini  dapat dilihat pada pribadi Khalid bin Yasid  –putra (kedua) mahkota Umayyah urung menjadi khalifah. Menurut Ibn al-Nadim, sebagaimana dikutip Majid Fakhry, atas kegagalan Khalid bin Yasin jadi khalifah, ia beralih mempelajari kimia, astrologi dan kedokteran.

Pada masa khalifah Marwan (683-685) penerjemahan karya ahli kedokteran Monofosit Iskandariah dan ahli kedokteran Yahudi diterjemahkan. Karya-karya bidang kedokteran ini memperoleh reputasi yang sangat tinggi di kalangan orang-orang Syiriah. Dan tidak pelaak lagi, kedua karya ini merupakan terjemahan dalam bidang kedokteran yang paling dini ke dalam bahasa Arab. (MajidFakhri, A History of IslamicPhilosophy, 17).

Kendatipun bersentuhan dengan tradisi filsafat dan teologi Hellenisme, Bani Umayyah tetap tidak begitu berminat untuk mamajukan kajian filsafat dan teologi. Demi mempertahan kekuasaan, Bani Umayyah menyebarkan suatu doktrin simplistis yang memberi jastifikasi  dan  legalisasi bagi stabilatas dan kelanggengan kekuasaannya. Bani  Umayyah membuat tafsir teologis tunggal bahwa hak atas pemerintahan dan kekuasaan adalah berasal dari Tuhan.

Bani Umayyah sepertinya enggan untuk memperkenalkan sistem hukum agama yang akan mengurangi dan merongrong kekuasaan mereka. Bani Umayyah juga tidak begitu tertarik untuk menafsirkan al-Qur’an dan al-Sunnah yang merumitkan bagi dirinya. Khalifah Dinasti Muawiyyah memandang kalau hal itu dilakukan kemungkinan menjadi ancaman bagi kekuasannya. (Chales M. Stanton, Higher Learning in Islam, 64).

Setelah penaklukan Demaskus dan pembangunannya sebagai ibukota propinsi Syiria (dan kemudian menjadi ibukota pemeritahan Bani Umayyah) telah terjadi interaksi antara budaya Arab denganYunani-Hellenisme yang ada di kota ini. Karenanya, selama abad ketujuh, pemerintahan Bani Umayyah mengandalkan komunitas ilmuan dan sarjana dari kota-kota tetangga, Nisbis, khususnya untuk mendapatkan dokter.

Dokter-dokter beragama Kristen secara bergantian menjadi langganan istana selama pemerintahan Bani Umayyah. Di samping sebagai dokter biasanya mereka juga berperan sebagai penasehat bagi penguasa. Sadarakanpentingilmuitu secara praktis dan pragmatisbeberapa di antara   kepada sarjana Kristen tersebut untuk menerjemahkan karya-karya kedokteran dari bahasa Syiria kedalam bahasa Arab. Kegiatan ini terjadi sejak tahun 638; dan sekaligus menandai awal penerjemahan warisan Yunani tentang karya-karya kedokteran di masa Dinasti Umayyah.

Seperti disebutkan di atas kecenderungan awal begitu kuat untuk menerjemahan karya-karya kedokteran demi pertimbangan praktis dan pragmatis. Ini dapat dipahami bahwa kedokteran berkaitan dengan sehat-kehidupan dan sakit-kematian seseorang. Seorang penguasa, apalagi untuk terus dapat bertahan di kursi/tampuk kekuasaannya, maka yang paling ditakuti adalah “sakit”. Untuk tetap sehat diperlukan dokter yang terus dapat mengontrol bagaimana kesehatan sang penguasa (tanpa bermaksud menafikan kekuasaan/kehendak Tuhan tentang ajal seseorang).

Begitu juga dalam bidang astrologi (astronomi) penerjemahan dilakukan lantaran adanya doktrin dari agama-agama Timur yang menganggap bintang-bintang ebagai alat untuk mengurai alam suprnatural. Gerakan bintang-bintang tersebut dapat digunakan untuk menafsirkan bagaimana kehendak Tuhan. Karenanya, timbul hasrat kuat untuk mengetahui astrologi (“posisi dan gerak bintang”). Sikap pandang ini sekaligus mendorong usaha penerjemahan bidang ilmu tersebut pada pemerintahan Bani Umayyah. (Charles M. Santon,  HigherLearning in Islam: 64).

Ada yang menyebutkan –sebagai sebuah cacatan—bahwa terdapat perbedaan signifikan antara astrologi dan astronomi sebagai sebuah disiplin keilmuan. Kalau yang disebut pertama cenderung mengandung unsur-unsur ramalan, sepintas tidak mencerminkan unsur ilmiah padanya, dan sulit dipertanggungjawabkan sebagai sebuah disiplin keilmu-pengetaahuan. Sehingga astrologi lebih banyak dipergunakan pada awal-awal perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam.

Sebaliknya, term keilmuan astronomi yang dipergunakan belakangan, merupakan disiplin ilmu yang relatif  “bersih”  dari unsur ramalan dan mitos-mitos. Begitu pula, ilmu astronomi dengan sendirinya lebih dapat dipertanggungjawabkan dari segi keilmiahnnya. Sehingga dewasa ini kita lebih sering menggunakan term astronomi ketimbang kata astrologi.

Transmisi warisan ilmu dan filsafat dari Yunani-Hellenismelewat aktifitas penerjemahan ke dunia Islam pada masa Dinasti Umayyah memang masih pada tarap awal. Dan dapat dikatakan bahw aktifitas penerjemahan pada masa ini masih bersifat perorangan, dan belum bersifat massif; atau belum menjadi proyek besar. Akan tetapi, Dinasti Umayyah telah memberikan dua konstribusi yang sangat berarti bagi pengembangan aktitifitas penerjemahan pada masa Dinasti Abbasyah, kelak.

Pertama, bahwa Dinasti Umayyah telah menunjukkan minat kuat pada warisan intelektual Hellenisme, khususnya ilmu astrologi dan kedokteran. Kedua, bahwa Dinasti Umayyah telah menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara, sekaligus menjadikan bahasa Arab sebagai satu-satunya bahasa dalam pengembagan ilmu dan agama, termasuk dalam aktifitas dalam penerjemahan.

Kedua, sumbangsih Dinasti Umayyah tersebut sangat berarti dalam “melicinkan” jalan penerjemahan yang akan ditempuh oleh Dinasti Abbasyiah. Tanpa peran Dinasti Umayyah itu, khususnya telah menjadikan bahasa Arab sebagai satu-satunya bahasa yang dipergunakan oleh negara, maka niscaya penerjemahan pada masa Abbasyiah akan mengalami keterlabatan. Bahkan boleh jadi kita sama sekali tidak pernah menyaksikan maraknya penerjemahan, dan sekaligus urung menjadikan kota Baghdad sebagai pusat marcusuar ilmu dan peradaban manusia.

Wa Allāh a‘lam bi al-awāb

Mā tawfīq wa al-Hidāyah illā bi Allāh

 

Alimuddin Hassan Palawa,
(Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau)
18. TRANSMISI FILSAFAT HELLENISME (2): Dari Yunani – Iskandaria-Syiria-Jundisapur ke Islam

18. TRANSMISI FILSAFAT HELLENISME (2): Dari Yunani – Iskandaria-Syiria-Jundisapur ke Islam

Oleh: Alimuddin Hassan Palawa,

Jauh sebelum datangnya agama Islam,  daerah-daerah (kota-kota), seperti Iskandaria (Mesir), Demaskus, Antioka dan Ephesus (Syiria), Harran (Mesopotamia dan Jundisapur) sudah sangat dikenal. Kota-kota tersebut secara berganti-gantian telah menjadi pusat pengembangan filsafat dan ilmu pengetahuan Hellenisme warisan dari Yunani kuno selama berabad-abad. Kota Iskandaria pada abad ketiga SM. merupakan kota pertama penyemaian serta sekaligus menjadi pusat dan marcusuar filsafat dan ilmu pengetahuan warisan Yunani kuno.

Kota Iskandaria atau sering pula disebut dengan ejaan “Aleksandaria” didirikan oleh Iskandar Agung –murid filosuf  “guru pertama”, Aristoteles– dari Macedonia. Nama kota ini diambil dari nama pendirinya, Iskandar Agung (Alexander the Great).  Iskandar Agung tidak saja mengharagai ilmu pengetahuan dan filsafat serta agama-agama berbagai bangsa, malah ia juga menganjurkan para tentaranya untuk kawin dengan wanita-wanita Persia dan India. Berkat jiwa ketebukaannya itu kota yang didirikannya segera menjadi pusat ilmu pengetahuan bagi peradaban umat manusia. (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: xxvi).

Dalam kondisi seperti inilah kota Iskandaria menjadi titik pertemuan Hellenisme dengan pengaruh dari Timur dan Mesir kuno. Kota Iskandaria memiliki kekayaan terpenting dan paling berharga, yaitu perpustakaan. Perpusataan ini dipenuhi jenis buku-buku ilmiah dari berbagai disiplin dan cabang ilmu pengetahuan yang ada pada saat itu. Dalam perpustakaan ini untuk pertama kalinya umat manusia mengumpulkan dengan penuh kesungguhan dan sistematis pengetahuan apapun tentang dunia ini (Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: xxvi).

Sementara itu kegiatan keilmuan di kota Iskandaria pada umumnya, dan perpustakaan Iskandaria pada khususnya sangat semarak. Dari kegiatan itu, misalnya, muncul konsep tantang “cosmos”   dalam bahasa Yunani berarti “harmonis”, kebalikan dari “chaos” artinya “kekacauan”. Dan mereka menyebut alam raya ini “cosmos” karena, menurut mereka, alam raya dalam keserasian. Dari kajian tersebut melahirkan sejumlah ilmuan dan ahli  dengan hasil penemuannya masing-masing, seperti diungkapkan oleh Carl Sagan, sebagaimana dikutip oleh Nurcholish Madjid:

“Kemudian Iskandaria tampil banyak ahli ilmu pengetahuan yang lain, seperti Hipparchus yang mencoba membuat peta konstelasi bintang-bintang dan mengukur tingkat cahaya bintang-bintang itu; lalu Euclidus, penemu sebenarnya ilmu ukur atau geometri; kemudian Dionysius, yang meneliti organ-organ suara manusia dan meletakkan teori tentang bahasa; Herophlius, ahli ilmu faal atau fisologi yang menegaskan bahwa organ berpikir manusia bukanlah jantung seperti saat itu diyakini, melainkan otak; Heron, penemu rangkaian roda gigi dan mesin uap kuna, pengarang buku Automata, sebuah buku pertama tentang robot; Apollonius, yang meletakkan teori tentang bentuk-bentuk melengkung seperti elips, parabola dan hiperbola; Archimedes, genius mekanik yang terbesar sebelum Leonardo de Vinci; Ptolemy, seorang yang meskipun teorinya tentang alam raya ternyata salah (geosentris) namun semangat keilmuannya banyak memberi ilham.” (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, xxvi-xxvi).

Kesemarakan pengkajian ilmu pengetahuan di kota Iskandaria pada abad keempat berada dibawah “bayang-bayang kegelapan” karena di kalangan Gereja Kristen sedang melakukan konsolidasi diri dan berusaha untuk mengikis budaya dan pengaruh paganisme. Beberapa ilmuan dicurigai dan diawasai, dan bahkan pada akhirnya, di antara mereka ada yang dibunuh. Salah satu korbannya, misalanya ialah seorang wanita bernama Hypetia yang, tidak saja pintar (ahli matematika dan astronomi) tetapi juga teramat cantiknya, dibunuh dengan sangat sadis dan menyedihkan; lalu dibakar bersama perpustakaan yang dimilikinya pada tahun 415.

Hypetia dilahirkan pada 370 Masehi. Carl Sagan menuturkan, sebagaimana dikutip oleh Nurcholish Madjid, bahwa wanita ini menolak semua lamaran dari lak-laki kerena ia ingin mengabdikan dirinya dan mencurahkan perhatinnya sepenuhnya kepada ilmu pengetahuan. Tetapi cita-cita dan hasrat muliannya itu tidak dapat berlanjut karena pada usia 45 tahun ia dicegat oleh segerombolan kaum fanatik Kristen dalam perjalanan ke perpustakaan. Dia diturunkan dari kereta kudanya, lalu dibunuh dengan cara mengelupasi dagingnya dari tulangnya kemudian dibakar bersama apa yang dia miliki. (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, xxviii).

Tidak lama sesudah itu, perpustakaan Iskandaria yang hebat itu pun juga tidak luput dari sikap picik dan fanatisme agama. Dan atas perintah Uskup Agung Iskandaria, perpustakaan Iskandaria yang hebat itu dibakar habis berserta isinya. Dengan peristiwa itu, menarik sekali menyimak pengandaian Carl  Sagan, berikut ini:

“… kalau saja perpustakaan Iskandaria tidak menjadi korban fanatisme agama, tradisi keilmuannya terus berlanjut, maka barangkali Eistein sudah tampil lima abad yang lalu. Atau mungkin  malah seorang Einstein  tidak (perlu)  pernah ada, sebab perkembangan ilmu pengetahuan  integral dan menyeluruh sudah terjadi. Dan mungkin pada abad dua puluh Masehi ini, sedikit saja orang yang tinggal di bumi  karena sebagian besar  telah menjelajah dan mengoloni bintang-bintang dan telah beranak pinak sampai milyaran jiwa!” (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, xxx).

Awalnya warisan Yunani kuno datang dari Iskandaria –belakangan tidak kondusif lagi– lalu pindah ke Antioka dan dari sana ke Nisbis, Endessa (Ruha) dan Harran yang dibawa oleh orang-orang Nasrani aliran Monophysit dan Nestorian. Aliran Monophysit  ini berpendirian dengan mempercayai  konsep ketuhanan “trinitas”,  Tuhan (Bapak), Yesus (Anak) dan Ruh al-Qudus; dengan kata lain Lahut, Nasut dan Kalimah. Baginya ketiga unsur ketuhanan tersebut  tetap eksis (dan tetap berbeda satu dengan yang lainnya),  meskipun ketiga unsur tersebut menyatu dalam satu wujud, yaitu wujud Yesus. Kepercayan Monophysit ini  merupakan kepercayaan resmi bagi gereja, bahkan hingga dewasa ini. (Lihat, T.J. De Boer, The History of Philosophy in Islam, 11-12; Ahmad Amin, Fajr al-Islam, 125; bandingkan dengan Mohd. Sulaiman Yasin,  Pengantar Filsafat Islam (Kuala Lumpur: Dewan bahasa dan Pustaka, 1984), 229-230).

Adapaun aliran Nestorian tidak mengakui konsep ‘trinitas”. Baginya, Yesus adalah manusia yang juga sama dengan rasul-rasul terdahulu. Aliran ini  menekankan kemanusiaan Yesus dan menyatakan bahwa Yesus hanya saluran untuk menyampaikan kekuatan Ilahi, Ruh Kudus kepada umat manusia. Mislanya, aliran ini juga menolak gelar-gelar Maria sebagai “Ibu dari Tuhan”. Karena pendirian semacam itu aliran Nestorian menjadi bulan-bulanan bagi penguasa gerejani. Untuk menjaga keselamatanya mereka terpaksa hijrah kemana-mana. (Lihat, T.J. Fe Boer, The History of Philosophy in Islam, 11-12; lihat juga, Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam the Classical Periode, A.D. 700-1300 (Rawman & Littlefield Publishers, Inc., 1990), 54).

Aliran Nasrani yang disebut terakhir ini sangat berjasa dalam menyebarkan filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani. Mereka sanga berperan dan bearjasa, khusus sebagai penerjemah dari bahasa Yunani ke bahasa Syiria. Mereka tersebar diberbagai negeri (kota) ke arah Timur hingga Persia. (Lihat, Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam: 30-31). Akan tetapi, hingga abad keenam Masehi kota Iskandaria tetap menjadi marcusuar filsafat dan ilmu pengetahuan (Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam: 36).

Penyebaran warisan dari Yunani kuna hingga keberbagai negeri (kota) disebabkan beberapa faktor. Pertama, selama abad pertama kelahirannya, agama  Kristen mendapat perlakuan yang tidak baik dan adil serta tidak diterima oleh penguasa kekaisaran Romawi. Bahkan hingga tiga abad kelahirannya, agama Kristen terlibat dalam perseteruan dengan filsafat Yunani (dengan filosuf pagan) dan kota Iskandaria menjadi pentas pertarungan itu (Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, 38).

Atas peristiwa itu, karenanya, secara umum banyak umat Kristen   yang meninggalkan kota Iskandaria. Bahkan umat Kristen aliran Nestorian khususnya juga dikejar-kejar karena pendirian keimanan mereka berbeda dengan paham resmi dianut oleh gereja dan negara. Di samping itu, juga disebab oleh penganiayaan tentara Kristen Byzantium yang menaklukan Iskandaria, sehingga mereka memindahkan sekolah-sekolahnya dari Iskandaria ke Antioka dan kemudian ke Harran, yaitu wilayah sebelah selatan Endessa dan dekat Nisbis. (Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam: 54-55).

Kedua, faktor lain yang menyebabkan penyebaran filsafat dan ilmu pengetahuan keberbagai negeri (kota), yaitu karena sikap benci kaisar Romawi terhadap warisan dari Yunani kuno tersebut. Puncak dari sikap semacam itu, misalnya ketika kaisar Justianus (tahun 529),  atas nama (pemahaman sempit) agama dan demi pertimbangan ekonomis, menutup musium Athena (pelanjut dari filsafat Athena) yang telah beroperasi selama satu mellenium. Kaisar yang tidak tahu menghargai arti penting filsafat dan ilmu itu, tidak saja  menutup musium itu tetapi juga menghancurkan apa yang terdapat dalamnya.

Sementara itu, ia juga menyatakan bahwa filosof dan ilmuan-ilmuan pagan tidak dibenarkan mengajar di perguruan-perguruan di Athena.  Sebelumnya pun gaji mereka sebagai tenaga pengajar tidak dibayarnya (Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam, 54-55). Pada urutannya, para filosuf dan ilmuan pagan tersebut diusir dari perguruan-perguruan di Athena. (Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam: 39).

Setelah agama Kristen mengalami kemenagan melawan  paganisme,  kemudian Kaisar Yustianus melarang pengajaran-pengajaran filsafat di Athena. Kaisar juga melakukan tekan-tekanan terhadap filosuf dan ilmuan, sehingga banyak di antara mereka yang lari (diusirari sejumlah filosuf dan ilmuan). Dari sejumlah filosud dan ilmuan yang melarikan diri itu tujuh orang (beraliran Neo-Platonisme) di antaranya lari ke Jundisapur (Persia). Di sana mereka diterima dengan baik oleh Kaisar Anusyirwan, dimuliakan serta ditempatkan  pada kedudukan terhormat.

Belakangan di antara filosuf dan ilmuantersebut ada yang masuk agama Kristen itu,  kemudian menulis buku tentang Neo-Platonisme dengan diberi corak kekristenan, seperti karya Deynesus, mengaku murid Paulus. Dalam bukunya ia menerangkan rahasia-rahasia ketuhanan dan tingkatan alam malaikat. Pada akhirnya, karyanya ini menjadi bagian dari ajaran dasar agama Kristen. Lihat,  T.J. De Boer, The History of Philosophy in Islam: 14; Ahmad Amin, Fajr al-Islam: 129).

Akhirnya para filosuf berpindah ke Byzantium, kemudian ke Mesopotamia utara dan belakangan di Jundisapur. Di kota yang disebut belakangan ini para filosuf dan ilmua pagan bergabung dengan ilmuan-ilmuan Kristen Nestorian. Mereka bersatu dalam alam intelektual bebas yang menghargai kajian-kajian terhadap filsafat dan sains, tanpa mendapatkan halangan–halangan doktrinal. (Charles Michael Stanton,  Higher Learning in Islam, 54-55).

Sementara itu, sebelum kedatangan para filosuf dan ilmuan dari Athena, kota Jundisapur sejak tahun 260 (abad ketiga) mulai menjadi pusat kajian fislafat dan ilmu (khususnya ilmu kedokteran) Yunani.  Kota Yundisapur berasal dari nama pedirinya, yaitu panglima Persia bernana Sabur. Panglima perang Persia ini memimpin perang melawan serbuan tentara dari Romawi pada abad ketiga. Dalam pertempuran dahsyat tersebut tentara Persia di bawah pimpinan panglima Sabur mampu mengalahkan tentara Romawi, dan mereka dijadikan tawanan perang.

Untuk menampung tawanan perang yang jumlahnya jukup banyak tersebut, Panglima Sabur kemudian memindahkan mereka ke sebuah tempat dekat Tustur, sebuah kota  di Arabistan (Iran). Tempat itu kemudian dinamainya Jundisapur, artinya “pemusatan pasukan Sabur”. Dan dalam tawanan tersebut banyak terdapat ilmuan dari berbagai disiplin keilmuan yang belakangan mengembangkan kota Jundiasapur sebagai pusat ilmu. (Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam:  39).

Kondisi ke arah pengembangan Jundisapur kota peradaban ditopang oleh banyaknya serjana-serjana (arsitektur dan kedokteran) yang turut menjadi  tawanan perang. Kemudian lambat laun Jundisapur menjadi kota metropolis, pusat sains  yang dipelajari dalam bahasa Yunani dan Sangsekerta, dan kemudian dalam bahasa Syiria. Dalam kota Jundisapur didirikan perguruan-perguruan menurut model perguruan di Iskandaria dan Antioka. Dan di perguruan ini diajarkan ilmu kedoteran, metematika, astronomi dan logika.

Kebanyakan teks pelajaran  dari bahasa Yunani itu diterjemahkan dalam bahasa Syiria. Di samping itu, dimasukkan juga unsur-unsur sains dari India dan Persia sendiri. Perguruan-perguruan ini berlanjut sampai jauh setelah dinasti Abbasyiah berdiri. Pada saatnya, perguruan-perguruan itu merupakan lembaga dan sumber penting filsafat dan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam, khususnya kota Baghdad. (Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam: 31).

Prihal hubungan antara kota Baghdad dan kota Jundisapur, Majid Fakhri menyatakan: “Kala itu, perguruan Jundisapur dengan fakultas kedokteran, akademi dan observatoriumnya mencapai puncak ketenarannya dan tetap berkembang dengan subur di saat kota Baghdad didirikan oleh khalifah Abbasyiah pada tahun 727. Mengingat Jundispur berdekatan dengan kota Baghdad maka hubungan secara politis dengan khalifah Abbasyiah sangat dekat. Akibatnya, dari perguruan inilah perkembangan ilmiah dan intelektual merambah ke seluruh kekuasaan Muslim. Sejak dini dalam pemerintahan Islam, Jundisapur telah menyumbang kepada khalifah di Baghdad sejumlah dokter-dokter istana, misalnya sejumlah Nestorian, seperti keluarga Bakhtisyu’ yang masyhur, mengabdi kepada khalifah dengan setia selama lebih dua abad. (Lihat, Majid Fakhri,  A History of Islamic Philosophy: 15).

Perlu dipertegas bahwa dalam “pengembaraan” filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani kuna dari Iskandaria hingga ke Jundisapur, peranan serjana-sejarna Kristen (khususnya orang-orang Nestorian) tidak bisa dipandang remeh. Begitu pula, peran dan kedudukan orang-orang Syiria beserta bahasanya sangat signifikan. Orang-orang Kristen Nestorian dan orang-orang Syiriah telah berperan sebagai “hamzah washal” (penghubung) bagi transmisi dan peralihan filsafat Hellenisme  ke dunia Islam.

Meskipun demikan, figur-figur  era ini “hanya” berperan sebagai “hamza washal”, lantaran mereka semata-mata berperan sebagai penerjemah. Sebab sedikit sekali di antara mereka yang itu terlibat dalam melakukan pembaharuan terhadap pemikiran Hellenisme-Yunani kuno tersebut. Kalaupun mereka melakukan pembaharuan pemikiran, hanya pada masalah-masalah yang tidak sesuai dengan sistem keimanan mereka (khususnya ajaran Kristen), sehingga ia berusaha untuk mengalihkan Plato, misalnya, menjadi seorang pendeta Timur.

Penekanan arti  peran dan kedudukan penting orang-orang Syiria-Nostorian  “sebagai “hamza washal”, karena agaknya, tanpa peran mereka tersebut hampir dapat dipastikan bahwa sarjana Islam akan banyak kehilangan warisan dari Filsafat Hellenisme-Yunani. Upaya penerjemahan dilakukan sarjana Kristen dan orang-orang Syiria dari bahasa Yunani ke bahasa Syiria itu sangat penting dan berarti pada masa itu. Upaya penerjemahan dari bahasa Yunani ke bahasa Syiriah sangat mempermudah penerjemahan baik dari bahasa Yunani langsung, terutama dari bahasa Syiria ke bahasa Arab yang akan dilakukan pada masa pemerintahan Bani Abbsyiah Islam, khususnya pada masa pemerintahan al-Ma’mun dengan lembaga Bayt al-Hikmah. (Lihat, Ahmad Amin: Fajr al-Islam, 173).

Wa Allāh a‘lam bi al-awāb,

Mā tawfīq wa al-Hidāyah illā bi Allāh.

(Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies]UIN Suska Riau)