“Kekerasan agama”, bukankah kata – kata tersebut sudah tak asing lagi terdengar? Yang beberapa waktu lalu sempat mencuat menjadi perbincangan hangat. Kemudian muncul pertanyaan, apakah agama megajarkan tindak kekerasan terhadap para penganutnya? Tentu saja umumnya kita sontak mengatakan tidak, akan tetapi kenapa masih saja terjadi tindak kekerasan yang mengatas namakan agama?
Sejatinya seluruh agama yang ada, tak pernah mengajarkan para penganutnya melakukan tindak kekerasan. Tindakan kekerasan ini sangat dicela di agama manapun. Pada dasarnya dalam doktrin ke agamaan mengajarkan kebaikan dan kedamaian kepada penganutnya. Akan tetapi pada kenyataanya berbeda dengan yang telah di ajarkan oleh agama, munculnya tindak kekerasan yang mengatas namakan agama.
Tindak kekerasan yang mengatas namakan agama tersebut jelas –jelas sudah mencabut hak untuk memeluk agama secara bebas. Hal ini dapat dilakukan oleh orang atau kelompok tertentu dengan melakukan tindak kekerasan terhadap minoritas atau berujung pada terorisme. Masih segar dalam ingatan kita tentang ISIS sebagai organisasi yang berkedok agama (Islam), muslim minoritas Rohingya di Myanmar dan Uighur di Cina serta beberapa kasus pembongkaran rumah ibadah di tanah air yang berujung kekerasan.
Cerita sedih lainnya adalah konflik di Ambon dan Poso yang menewaskan ratusan nyawa, aksi bom Bali, kisah tragis pengeboman gereja, drama peperangan antara kelompok agama tertentu, aksi kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah, dan berbagai aliran kepercayaan yang dianggap sesat dalam kacamata Islam. Ironi tersebut hadir secara berturut-turut di Indonesia. Keberagaman budaya dan agama hingga pertalian keduanya seakan menginginkan tumbal untuk bisa duduk bersama dalam satu meja. Dan yang menjadi tumbal adalah pemeluk agama sendiri.
Kenapa hal tersebut tetap terjadi di Indonesia? Padahal sudah sangat jelas dalam pembukaan UUD 1945 bahwa negara telah menjamin kebebasan beragama. Meskipun di Indonesia telah di jamin negara mengenai kebebasan beragama, terkadang masih dijumpai beberapa kasus – kasus kekerasan. Ini jelas menimbulkan tanda tanya besar mengapa bisa terjadi padahal semua agama itu damai dan secara hukum sudah di atur oleh negara. Tampaknya sikap intoleransi sangat memiliki andil besar dalam kasus ini, dengan tidak memberikan kebebasan beragama terhadap orang lain.
Sikap toleransi sudah seharusnya menjadi gaya masyarakat Indonesia. Indonesia seperti yang telah kita tahu memiliki masyarakat yang beraneka ragam, sesuai dengan semboyan Negara yaitu bhineka tunggal ika. Dengan menjadi intoleransi yang garis keras apalagi memancing dan melakukan kekerasan mengatas namakan agama seolah – olah agama menghalalkan hal tersebut. Sebenarnya bukan agama yang salah, melainkan pemahaman seseorang tersebut terhadap agamanya. Gagapnya masyarakat dalam menghadapi keanekaragaman mengarahkan mereka melakukan sikap toleransi.
Jika sikap intoleransi dibiarkan terus menerus yang sejatinya adalah merusak dasar yang telah di ajarkan agama yang sangat merugikan bahkan tak jarang berujung pada kekerasan. Hal yang perlu dilakukan adalah mengubah sikap masyarakat agar dapat menerima kemajemukan yang ada. Jika masyarakat tersebut mengaku beragama maka ia tidak akan menjadi pemicu terjadinya kekerasan dalam beragama apalagi mengatasnamakan membela keyakinan yang dianutnya.
Bagaimanapun juga, agama memiliki idealisme terhadap suatu tatanan kehidupan manusia yang penuh keteraturan dan perdamaian dengan berbagai ajarannya mengenai cinta kasih, persaudaraan, anti kekerasan, dan sebagainya. Peranan agama sangat menentukan dalam setiap kehidupan dan tanpa agama manusia tidak akan dapat hidup sempurna. Agama sebagai sistem keyakinan dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan manusia dan menjadi pendorong atau penggerak serta pengontrol tindakan-tindakan para penganutnya agar tidak menyimpang dari norma-norma kehidupan. Tidak satupun agama dapat menerima konsep kekerasan sebagai suatu prinsip tindakan. Kekerasan mengandaikan pemaksaan kehendak terhadap orang lain dan berarti melanggar kebebasan manusia. Secara normatif agama menentang kekerasan, namun demikian meminjam istilah Wilson yang melihat agama dalam berbagai dimensi yaitu religious thinking, religious practices dan religious institutions, agama bukan hanya menyangkut pemikiran keagamaan atau perilaku keagamaan, tetapi terkait pula dengan lembaga keagamaan yang sangat rentan dengan transformasi sosio budaya.
Dengan demikian, maka Agama pada hakikatnya refleksi manusia menyikapi dunia sekitarnya. Ia menyadari alam tidak muncul dengan sendirinya dan kehidupannya tidak sematamata mengikuti naluri. Tetapi mesti ada “sesuatu” yang melebihi segala sesuatu yang dapat diandalkan dan ditaati agar kehidupan terjaga dan mengarah pada kebaikan. Agama menjadi kata benda untuk menunjukkan suatu system kepercayaan yang dianut sekelompok orang, seperti agama Yahudi, Kristen, Islam, agama Hindu dan sebagainya.
by: Reza Wijayani Ervian adalah Mahasiswi Bahasa Inggris Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Suska Riau