Sejak ditemukan pertama kali di Wuhan, China pada 2019 lalu, penyakit Koronavirus 2019 (Coronavirus disaese 2019, atau disingkat COVID-19) sampai saat ini belum ada vaksinnya. Keadaan ini membuat keresahan karena menyebar hampir ke seluruh dunia, tak hanya di China, tetapi sudah masuk ke negara-negara Islam, termasuk Indonesia, bahkan per 19 April sudah ada lebih dari 6575 kasus.
Berbagai spekulasi pun muncul di kalangan umat muslim di Indonesia. Ada yang mengatakan ini adalah musibah bukan wabah—kita harus berserah diri kepada Allah, ada juga yang mengatakan kiamat sudah dekat karena semua masjid ditutup termasuk ka’bah yang berada di Makkah, dan ada lagi yang paling nyeleneh yakni virus COVID-19 ini sebagai peringatan agar kembali ke sistem khilafah.
Kita ke pandangan yang pertama, oke, kita harus berserah diri kepada Allah, karena segala sesuatu itu datangnya dari Allah. Ane setuju, tapi kalau kita hanya berserah diri kepada Allah, tanpa adanya usaha juga tidak pas karena Allah memerintahkan kita untuk berdoa-berikhtiar-bertawakal. Lalu, di mana letak ikhtiar antum? Pandangan seperti ini sering sekali kita dengar akhir-akhir ini kala wabah COVID 19 merebah.
Mereka beralasan bahwa hidup dan mati ada di tangan Allah, betul ada di tangan Allah, tapi kita diciptakan dengan akal gunanya adalah untuk berfikir dan berusaha (al-kasb) tidak hanya berdoa. Pandangan seperti ini tak ubahnya pandangan teologis Islam klasik yaitu Jabariah yang menyerahkan segala sesuatu kepada Allah dan menafikan usaha. Jika kita hanya menyerahkan diri kepada Allah tanpa menjaga jarak dengan pasien positif COVID-19 sama saja dengan mati bunuh diri.
Ada juga yang mengatakan bahwa virus yang berasal dari Negeri Tirai Bambu ini adalah tanda bahwa kiamat sudah dekat. Ya, kiamat memang sudah dekat, pendapat ini juga hampir sama dengan pandangan di atas yang membuat seseorang akan pasrah dan menunggu kiamat, padahal jika kita telaah lagi sebetulnya kelahiran Nabi Muhammad SAW adalah tanda terbesar dari kiamat yang artinya kiamat sejak dulu dekat.
Alasan lain kenapa wabah ini mereka yakini dunia akan berakhir adalah karena penutupan Kabah atau Masjidil Haram. Mungkin mereka lupa atau tidak membaca sejarah bahwa Ka’bah beberapa kali ditutup: pada tahun 693 M ketika Hajaj bin Yusuf al-Staqafi menyerang Ka’bah, kemudian 930 M Ka’bah sempat ditutup bahkan selama 22 tahun karena suku Qaramithah menyerang Bani Abbasiyah, pada 1814 juga ditutup karena ada epidemi yang menewaskan 8000 orang di Hijaz.
Tidak relevan jika menyebut tidak adanya haji tahun ini dunia akan berakhir, bahkan disampaikan dengan penuh keyakinan. Padahal kiamat atau belum yang tahu hanya Yang Maha Tahu, jika meyakini COVID-19 adalah tanda hari akhir tak ubahnya seorang peramal yang akan meramalkan kiamat tahun 2012. Berhentilah meyakini apa yang sekiranya dugaan apalagi dikaitkan dengan kepercayaan.
Jika dua spekulasi di atas sudah nyeleneh, maka spekulasi yang ini lebih nyeleneh lagi yaitu adanya wabah ini karena peringatan agar kita kembali lagi ke sistem khilafah. Ada gempa bumi kembali ke sistem khilafah, ada banjir ke sistem khilafah, ada kebakaran hutan kembali ke sistem khilafah. Semua kembali ke sistem khilafah. Ah, antum maunya khilafah mulu.
Sepertinya antum gak pernah baca dah, pada masa Khalifah Umar bin Khatab ada wabah yang menelan korban sampai 30.000 jiwa. Jangankan masa khilafah, pada masa Nabi pun ada wabah—namanya tho’un, juga menelan banyak korban, bahkan sampai beberapa kali. Jadi, wabah atau penyakit tidak ada hubungannya dengan khilafah. Lha wong di masa khilafah aja ada wabah kok, gimana?
Apa yang sebaiknya kita lakukan di masa pandemi? Sebagai umat muslim wajib hukumnya kita berdoa agar selalu dalam lindunganNya. Ikhtiar dengan cara menjaga kesehatan, berolahraga, makan yang bergizi, istirahat yang cukup, cuci tangan, gunakan masker, tetap di rumah aja, tetap jaga jarak aman dan patuhi himbauan pemerintah. Terakhir bertawakal kepada Alllah.
by: Agus Nurwansyah (mahasiswa fakultas dakwah dan ilmu komunikasi UIN SUSKA RIAU)