By: Danang Esha M.
Indonesia merupakan negara yang beragama, ini biasa dilihat dari dasar Negara dan juga undang-undangnya. Sila pertama Pancasila, yaitu “Ketuhanan yang Maha Esa”, serta pasal 28E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakanan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama danber ibadat menurut agamanya..”Landasan tersebut sudah jelas, Indonesia adalah negara yang beragama dan berketuhanan. Ada 6 agama yang diakui di Indonesia mencerminkan keberagaman,keberagaman inilah yang terkadang menimbulkan pergesekan antar umat beragama.
Di Indonesia, Islam adalah agama mayoritas, umat Muslim di Indonesia adalah yang terbanyak di dunia, namun tak heran banyak juga yang Islam “KTP”. Maksudnya, ketika seseorang hanya di identitasnya saja Islam, namun prilakunya jauh dari itu. Sebagai mayoritas, beberapa oknum yang beragama Islam bertindak otoriter, contohnya salah satunya yaitu pemotongan nisan salib di pemakaman tepatnya di Yogyakarta pada akhir 2018. Berita tersebut dengan cepat viral melalui media sosial, misalnya Twitter. Contoh lainnya, pada bulan Februari tahun ini, beredar sebuah video berasaldari pemilikakun Twitter @beamerboyy_. Di dalam video tersebut, Nampak seorangpemuka agama non-Islam, membacakan surat pernyataan bahwa, agama tersebut tidak akan melakukan kegiatan keagamaan dalam waktu yang ditentukan, yang mana tempat ibadah mereka di lingkungan kaum Muslim. Di dalam video itu, pemuka agama mengatakan bahwa tidak ada paksaan dari pihak manapun, namun berdasarkan pengamatan penulis ketika melihat video tersebut, jelas beliau terpaksa melakukan itu dan mendapatkan intervensi dari masyaakat yang berbondong-bondong mengelilinginya. Meskipun begitu, sebagai umat Muslim, penulis mencoba berprasangka baik, semoga yang dikatakan beliau benar adanya.
Dari dua contoh di atas, sebagai negara yang beragama dan berketuhanan yang memiliki semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, seharusnya peristiwa tersebut tidak perlu terjadi.Ini sudah jelas di dalam Al-Quran, terjemahan Qs Al – An’am: 108, Allah berfirman:“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”.
Dari ayat di atas, kita sebagai kaum Muslim seharusnya bertoleransi dengan non-muslim, dengan cara tidak mencela mereka terhadap yang mereka lakukan saat berbadah.
Pada era digital ini dan juga kebebasan berpendapat, tak heran terkadang timbul perpecahan antar umat beragama.Ini bisa dilihat melalui Youtube, Twitter, dan media sosial lainnya. Ada juga beberapa oknum non-muslim yang sengaja memancing amarah umat Muslim, bahkanada pula perselisihan sesama Muslim, yang disebabkan oleh perbedaan pendapat, yang mana itu seharusnya pendapat saling menghormati, bukannya saling memaki. Dengan kecanggihan media sosial, bermunculanlah “hoax”yang mana menimbulkan perpecahan umat beragama. Hoax atau sebuah pernyataan yang bohong, yang digunakan segelintir masa untuk memecah suatu kelompok, dan hoax kini pun banyak dijumpai diberbagai berita, terutama di Facebook. Di sinilah banyak dijumpai berita-berita bohong yang bertujuan memecah kerukunan umat.
Sebagai pengguna media sosial yang bisa dibilang aktif, penulis telah memperhatikan pengguna-pengguna media sosial, terutama yang berada di Indonesia.Yang pertama, penggunaakun Twitter. Di jejaring media seperti ini, biasanya penggunanya berumur 15 tahunkeatas.Setiapujarankebencianataucandaanyang menyangkut agama , pasti akan mendapatkan banyak respons. Dari sekian banyak candaan yang menyangkut agama, ketika Islam yang menjadi sumber candaan, maka banyak warganet yang turut berkomentar dengan nada pedas dan menyayangkan sikapsi pembuat candaan. Warganet yang tidak terima mengatakan bahwa agama bukan bahan untuk dibuat bercanda. Tetapi, di lain sisi banyakjuga yang memuji. Mereka yang mendukung terhadap candaan ini, biasanya menganggapi tubukanlah sesuatu yang berlebihan dan masih dalam batas kewajaran. Dalam kasus ini, penulis mengambil tempat sebagai warganet yang menentang candaan yang melibatkan agama. Ini sesuai dengan firman Allah Qs: At Taubah: 65-66 sebagai berikut terjemahannya.“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersendagurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakahdengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.Jika kami memaafkan sebagian dari kamu (karena telah tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang (selalu) berbuat dosa”.
Berbeda dengan Twitter, usia pengguna Instagram mulai dari 10 tahun, yang mana pada usia tersebut jiwa anak-anaknya masih mendominasi, jadi ketika mereka mengirim konten atau berbalas komentar di Instagram, mereka belum memikirkan dampak yang akan ditimbulkan. Bisa saja perpecahan persatuan umat beragama rusak disebabkan oleh kiri mandarin anak-anak yang belum mengerti dampak yang akanciptakan. Seringkali, pengguna Instagram mengambil kiriman yang viral di Twittertanpa meyantumkan sumber. Ini membuat pengguna Twitter yang kirimannya diambil oleh pengguna Instagram merasa geram. Mereka menanggap pengguna Instagram tidak kreatif, karena hanya mampu mencuri atau mengambil konten dari Instagram.
Di sosial media YouTube juga banyak konten video yang mengujar kebencian, salahsatunya yaitu kanal Louis Budi Prasetyo. Di kanal tersebut, ada seorang pria non muslim, yang mencoba mempengaruhi umat muslim dengan cara mencari kesalahan-kesalahan yang dilakukan ulama. Salah satu videonya berjudul “Mengungkap kekeliruan Ustad Abdul Somad”. Memang di era sekarang ini kita bebas berpendapat namun tidak etis jika seseorang mencari-cari kesalahan orang lain, apalagi orang tersebut bukanlah termasuk golongan, jadi dia tidak tahu menahu tentang topic tersebut. Tujuannya hanya untuk mempengaruhi kaum muslim dan memecah umat beragama.
Akhir-akhir ini heboh tentang NU yang meminta agar non-muslim disebutkafir. Penulis mememukan berita ini di halaman Line Today , di dalam berita tersebut NU meminta agar sebutan kafir bagi non-muslim di Indonesia diganti menjadi muwathinun yang artinya warganegara. Jelas, ini ada yang mendukung dan menolak. Di kolom komentar nampak beberapa komentar, salah satunya dari Angel, “mau dibilang kafir atau apapun juga, iman kami kuat kok bedaamay glaen, jadi terserah situ simau manggil apa dosa juga masing-masing”. Dari sini jelas, bahwa penyebutan kafir di Indonesia masih kurang dipahami dengan baik. Kafir sendiri memiliki artiya itu menutup diri dari kebenaran, asal katanya dari bahasa Arab. Pada zaman nabi juga banyak yang kafir, seperti Abu Lahab, Abu Jahal, mereka orang Arab, tidak marah dipanggil kafir, karena mereka paham apa arti kafir tersebut. Berbeda dengan di Indonesia, arti kafir sendiri masih dianggap tabu dan memiliki nilai negatif. Jadi, penulis berharap agar ulama-ulama Indonesia makin gencar untuk memberi pemahaman bagi mereka yang salah paham akan arti tersebut. Karena di Al-Quran juga sudah jelas penyebutannya yaitu kafir, seperti salah satu surah di Al-Quran yaitu surah Al-Kafirun.
Diakhir penulis ingin menyampaikan bahwa setiap agama pasti mengajarkan tentang nilai-nilai kebaikan, tetapi mengapa kita sebagai umat beragama tidak bisa mengimplementasikannya dikehidupan sehari-hari atau bersosial media, malah saling menebar kebencian. Penulis ingin mengutip kata-kata dari Kim Phuc, beliau adalah korban selamat dari perang Vietnam, yang penulis lihat videonya di Twitter, beliau berkata bahwa “Jika setiap orang bisa belajar untuk hidup dengan cinta, harapan dan memaafkan, jika semua orang bisa melakukan itu, sudah jelas bahwa kita tidak memerlukan perang”.
Dari uraian di atas, penulis berharap agar masyarakat Indonesia makin rukun kedepannya, makin toleransi antar umat beragama di kehidupan sehari-hari maupun didunia maya menggunakan sosial media, jangan mau dipecah belah sebagai bangsa. Bhinneka Tunggal Ika! Kita satu, kita Indonesia!