Oleh Alimuddin Hassan Palawa
Pada awal perkembangan Islam, lewat bimbingan langsung dari Rasul Allah Muhammad saw di Madinah, umat Islam (generasi sahabat) terpesona oleh kesucian al-Qur’an dan sabda Rasul Allah. Sahabat terpokus mengabdian diri mereka dalam mengambil pelajaran semata-semata pada kandungan al-Qur’an dan prilaku-perkataan Rasul Allah. Pendek kata, para sahabat benar-benar menjadikan Rasul Allah sebagai sumber dan teladan kebenaran (nilai logis), kebaikan (nilai etis), dan sumber kehidahan (nilai estetis) dalam kehidupan di dunia dan orientasi kehidupan akhirat.
Belakangan, konsekuensi dari kecenderungan seperti itu melahirkan ilmu-ilmu bidang sirah (Nabawi), Hadis, Tafsir dan fiqh serta cabang-cabang ilmu bahasa, misalnya tata-bahasa dan retorika. Ilmu-ilmu ini yang, sama sekali berbeda dengan ilmu filsafat-rasionl, dimaksudkan sebagai alat untuk memahami al-Qur’an dan Hadis. Sikap ganerasi Islam semacam itu dapat dimengerti karena orang-orang Arab (di Jazirah Arabiah) tidak memiliki tradisi keilmuan dan filsafat Hellenisme.
Sebelum era kelahiran Islam, orang-orang Arab tidak mengenal pemikiran Hellenisme karena mereka tidak menaruh perhatian pada ilmu dan filsafat serta peradaban yang datang dari negeri-negeri tetangga, seperti dibawa oleh orang Mesir kuna, Persia, India dan Yunani kuna. Menurut Fuad al-Ahwani, bagaimana mungkin orang-orang Arab mengenal pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan, jika kenyataannya mereka tidak menaruh perhatian sama sekali pada syarat utama diperlukan untuk mengenal ilmu dan peradaban walau hanya secara teoritis, yaitu mencatat dan menulis buku untuk mengabadikan kemajuan pemikiran yang mereka terima dari satu generasi ke genarasi berikutnya sebagai pusaka pemikiran. (Lihat, Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, 1995: 1-2).
Selain itu, orang-orang Arab sangat terkenal akan kecerdasan dan kekuatan daya hafal, sehingga mereka tidak memiliki tradisi tulis-menulis. Bagi mereka adalah kenaifan dan kehinaan kalau mereka menyatakan pemikirannya lewat tulisan; dan merupakan suatu kebanggaan dan kehormatan kalau mereka menyatakan lewat lisannya. Ilmu dan pengatauan, menurut mereka, letaknya ada dalam dada, dan bukan pada tulisan (al-‘ilm fi al-sudûr wa la fi al-sutûr). Untuk itu, kalau ada orang Arab yang kedapatan sedang menulis, maka ia akan mewanti-wanti orang yang melihatnnya untuk tidak memberitahukan halanya itu kepada orang lain.
Walau demikian, ini tidak berarti bahwa di kalangan orang-orang Arab kegiatan mencari ilmu-ilmu “duniawi” [dengan terpaksa menggunakan term ini] tidak berjalan sama sekali. Karenanya, teori lama yang menyatakan bahwa “orang-orang Muslim awal adalah musuh bagi ilmu pengetahuan dan sains, dan bahwa mereka hanya mau menerima ilmu pengatahuan yang berasal dari Qur’an dan Hadis” adalah salah, dan pendapat yang tidak memiliki landasan sejarah. (Lihat, Mehdi Nakosteen, Konstribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam: 2003, 17).
Kenyataan sejarah menunjukah sebaliknya bahwa pada masa-masa awal Islam, kendatipun hanya di kalangan sangat terbatas, ada juga di antara mereka pergi ke luar daerah untuk menuntut ilmu. Harits bin Kaladah (w. 634) dari Thaif, menurut Philip K. Hitti, adalah orang pertama yang didik secara ilmiah dan menempati urutan teratas dari daftar dokter-dokter Arab pada abad pertama Islam. Ia belajar ilmu kedokteran pada salah satu perguruan di Jundisapur, Persia. Dan belakangania memperoleh gelar kehormatan sebagai “dokter orang Arab.” (Lihat, Philip K. Hitti, History of the Arab, London: Macmillan Press, 1970).
Contoh lain dari hubungan orang-orang Arab dengan dunia luar dalam bidang ilmu pengetahuan, misalnya, dilakukan oleh Nazdr Ibn Harist Ibn Kaladah. Ia, anak saudara ibu Rasul Allah saw., pernah merantau seperti ayahnya, ia bergaul dengan golongan cerdik-pandai dan pendeta-pendeta agama Kristen serta ia berhasil mendapatkan ilmu-ilmu kuna sangat berharga. Ia mempelajari filsafat, kata-kata hikmah, dan ia juga mengambil ilmu kedokteran dari ayahnya. Dikatakan bahwa al-Nazdr adalah penyokong perlawanan yang dilakukan oleh Abu Sufyan terhadap Rasul Allah saw. Ia beranggapan, dengan arogansinya, bahwa ilmu serta keahlian dapat mengalahkan keRasul Allahan. (Lihat, Ahmad Amin, Fajr al-Islam: 1975: 133).
Perihal profesi Harith bin Kaladah sebagai dokter direkam dalam hadis Rasul Allah saw. bahwa ada suatu riwayat berasal dari Said bin Abi Waqqas menyatakan ketika ia menderita sakit, Rasul Allah menjeguknya. Saat itu Rasul Allah bersabda, “Datanglah kepada Harist bin Kaladah karena ia tahu soal kedokteran.”Meskipun begitu, ilmu pengetahuan dalam bidang kedokteran, menurut Fuad al-Ahwani, belum dapat dianggap memadai karena ia belum menguasi ilmu kedokteran secara ilmiah. (Lihat, Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam: 35).
Akan tetapi, orang Arab sezaman dengan Rasul Allah saw. sebagaian besar masih skeptis terhadap ilmu kedokteran asing itu. Orang-orang Arab, khususnya sahabat Rasul Allah saw., masih lebih yakin terhadap ucapan Rasul Allah saw. mengenai kedokteran, misalnya soal hegiene, diet dan sebagaimnya. Mereka menuruti dan menaati ucapan Rasul Allah saw. dengan sepenuh hati; dan ini sekaligus merupakan ciri utama generasi Muslim awal. (Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, 192).
Selaras dengan itu, meskipun generasi Islam awal begitu terpesona kepada kitab suci dan figur Rasul Allah saw., tetapi ini tidak menutup kemungkinan bahwa pada masa itu terdapat juga pencarian ilmu pengetahuan “duniawi”. Ada penuturan, misalanya, bahwa pada masa Rasul Allah saw. diutus beberapa sahabat untuk belajar ilmu kedokteran di perguruan Jundisapur, Persia. Kebenaran ini sangatlah logis, mengingat anjuran Rasul Allah saw., “uthlub al-‘ilma wa law bi al-sîn”(tuntutlah ilmu walaupun [sampai] ke negeri Cina).
Hadis Rasul Allah tentang menuntut ilmu menandaskan bahwa jangankan ke Persia relatif lebih dekat jarakanya dari jazirah Arab, bahkan “wa law” (walaupun) sampai ke negeri Cina yang begitu jauh di belahan timur. Bukan itu saja, Rasul Allah juga memerintahkan beberapa sahabat untuk mempelajari bahasa Ibrani (Hebraw). (Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusian (Jakarta: Paramadina, 1995), 51-52).
Akan tetapi, perintah Rasul Allah saw. ini hanya berlaku secara “eksklusif” di kalangan sahabat, sehingga tidak memperlihatkan resonansi yang signifikan. Di samping itu, kegiatan semacam ini, sebagaimana disebutkan sebelumnya, “tenggelam” di dalam keseriusan sahabat Rasul Allah saw. untuk menekuni ilmu bersumber pada wahyu-wahyu Ilahi dan sunnah-sunnah langsung di sisi Rasul Allah saw. tercinta. Atau jangan-jangan hadis-hadis Rasul Allah untuk menekuni ilmu rasional-spekulatif (“duniawi”) sengaja dihilangkan sewaktu dilakukan kodifikasi Hadis.
Kemudian, setelah generasi Islam pertama (sahabat), umat Islam sudah tidak lagi terkonsentrasi di kota Madinah, tetapi sudah tersebar diberbagai daerah, seperti di Mesir, Syiria, Irak dan Persia. Di daerah-daerah ini, khususnya di Syiria, jauh sebelum datangnya Islam terdapat tradisi intelektual yang canggih dan merupakan kantong-kantong pemikiran Hellenisme. Di sana umat Islam dengan sendirinya terpaksa melakukan interaksi intelektual dengan penduduk tempatan, termasuk dengan orang-orang Nasrani Nestoria yang dikenal terpelajar. Dari interaksi tersebut tidak jarang doktrin dan pemikiran, seperti ide-ide qadariyah, masuk ke Islam dari latar belakang Hellenisme Kristen. (Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam Study Tentang Fundamentalisme Islam, 2000: 61)
Lebih dari itu, dalam melakukan interaksi sosial-intelektual umat Islam acapkali berbenturan dengan persoalan-persoalan yang, secara harfiah, tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan tidak didapatkan dalam Hadis Rasul Allah saw. Kondisi seperti ini memaksa sebagai umat Islam terpelajar (ulama) untuk meresponinya dengan menggunakan analogi (qiyas) dan pemikiran secara independen (ra‘yu) bahkan kalau diperlukan dengan interpretasi allegoris (ta’wil). (Lihat, Majid Fakhri, A History of Islamic Philosophy: 3).
Artinya pendekatan tekstual terhadap kitab suci (begitu juga dengan Hadis Rasul Allah saw.) sudah mulai tidak relevan. Karenanya, harus diganti dengan pendekatan kontekstual, dan bahkan dengan penafsiran secara tamsil al-‘ibarah (perempuan dengan menyeberangi makna harfiahnya). Majid Fakhri memaparkan bahwa pendekatan yang sempit atas persoalan-persoalan yang muncul dari kajian-kajian ayat-ayat al-Qur’an, ternyata tidak dapat bertahan lama terhadap tekanan-tekanan waktu. Pertama, pertentangan dini yang tak terelekkan antara Islam dengan paganisme dan Kristen baik yang ada di Demaskus ataupun di Baghdad serta ketegangan-ketegangan yang ditimbulkannya.
Kedua, terdapatnya persoalan-persoalan moral dan hukum yang disebabkan oleh gambaran-gambaran yang tidak jelas menyangkut kekuasaan Tuhan yang tidak terbatas di dunia ini, sebagaimana dipaparkan dalam al-Qur’an dan hubungannya dengan pertanggungjawaban manusia.
Dan akhirnya, terdapat kebutuhan sangat mendesak guna melindungi apa yang disebut kesatuan pandangan hidup umat Islam. Guna memenuhi kebutuhn ini tidak dapat dibangun tanpa upaya-upaya sistematis dan penyelesaian keterangan wahyu (al-Qur’an dan hadis) yang saling bertentangan dalam keharmonisan maknawi. (Majid Fakhri, A History of Islamic Philosophy: 4-5).
Pergumulan terhadap persoalan-persoalan krusial tersebut, lagi-lagi menurut Majid Fakhri, menjadi dasar pertumbuhan dan perkembangan teologi dalam Islam.Boleh jadi Majid Fakhri betul bahwa persoalan-persoalan krusial disebut di atas telah menjadi dasar pertumbuhan dan perkembangan teologi Islam pada era selanjutnya. Perbincangan diseputar masalah-masalah krusial itu, setidak-tidaknya, menurut Ameer Ali, telah muncul pada era seorang sarjana Islam liberal dan rasional, yaitu Ja’far al-Shâdik [seorang yang sangat terpelajar dan keturunan langsung dari Rasul Allah Muhammad saw].
Ja’far al-Shâdik disebut-sebut merupakan kepala keturunan Rasul Allah, Muhammad saw. Ia adalah seorang yang sangat terpelajar dengan kecenderungan rasionalis dan liberal. Ia juga seorang penyair, filosuf, dan rupa-rupanya ia menguasa beberapa bahasa asing. Karenanya, ia acap kali berhubungan dengan sarjana dan budayawan dari kalangan agama Kristen, Yahudi dan Zoroaster; dan dengan mereka ia sering melakukan dialog-dialog dan bertukar pikiran. Ja’far al-Shadik merupaan bapak rasionalisme dalam Islam di mana Abu Hanifah dan Imam Malik pernah berguru. Sehingga dari kedua muridnya ini sangat terlihat sekali pengaruh dan unsur rasionalitasnya dalam membangun sistem hukum yang mereka kembangkan, terutama sekali tampak pada diri Abu Hanifah. (Lihat, Ameer Ali, The Spirit of Islam: 411).
Berikutnya sikap keterpelajaran ini dilanjutkan Hasan Basrimerupakansalah seorang guru besar yang paling terkenal di masanya, dan termasuk golongan yang anti paham predistinasi. Ia adalah seorang kelahiran Madinah, dan ketika ia remaja, menurut Ameer Ali, ia benar-benar pernah duduk bersama dengan keluarga dan keturunan Rasul Allah dan menghirup pemikiran rasional dn bebas dari mereka. Belakangan ketika tinggal di Basrah, ia membuka halaqah-halaqah yang segera dikerumuni oleh peserta didik, termasuk dari Irak. Dan di antara muridnya yang terkenal adalah Abu Huzaifah Washil bin Atha’.Belakangan,Washil bin Atha’ itu sendiri adalah pencetus dan pendiri aliran rasionalisme secara formal, Mu’tazilah. ((Ameer Ali, The Spirit of Islam, 414). Dan menurut Nasr, aliran ini merupakan teologi sistematis pertama dalam sejarah pemikiran teologi Islam. (Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Muslim: Teologi, Filsafat dan Gnosis: 1996),42)
Dorongan kuat untuk berpikir sistematis tentang dogma-dogma agama, menurut Rahman, menuntut aliran teologi Mu’tazilah melakukan rasionalisasi semakin lama semakin intens. (Lihat, Fazlur Rahman, Islam (Chicago and London University of Chicago Press, 2002: 88).Guna mengembangkan rasionalisasi dalam Islam, aliran ini banyak dipengaruhi dan dengan mengambil metode filsafat Yunani yang rasional dan liberal. Ada dua alasan yang, menurut Abu Zahra, mendorong orang Mu’tazilah untuk mempelajari filsafat.
Pertama, mereka menemukan dalam filsafat Yunani keserasian dan kecenderungan pikiran mereka. Dengan mengambil metode berpikir seperti itu membuat mereka menjadi lancar dan kuat dalam berargumentasi.
Kedua, mereka mempelajari metode berpikir filsafat untuk menyanggah dan menolak pihak-pihak lain berusaha meruntuhkan dasar-dasar ajaran Islam dengan argumentasi logis dan rasional. (Lihat, Muhammad Abu Zahra, Aliran Poitik dan Aqidah dalam Islam, 1996: 156).
Namun, masuknya filsafat Yunani dalam sistem pemikiran kalam, menurut Nurcholish Madjid, sangat disayangkan. Ilmu Kalam dibandingkan dengan filsafat, lagi-lagi menurut Nurcholish madjid, jauh lebih orisinil, dan dianggap bentuk paling referesentatif pemikiran spekulatif Islam. Akan tetapi, kecenderungan meminjam dan menggunakan metode-metode filasfat Yunani untuk mengembangkan argumen-argumennya itu telah menjadi sumber pencemarannya, sehingga sejak tahap awal penggunaan Ilmu Kalam oleh kaum Mu’tazilah ini ditentang oleh para ulama. Bahkan meskipun Ilmu kalam Asy’ariyah kini diterima secara taken for granted akan keabsahannya, tetapi ia harus menunggu dua abad lamanya hingga datangnya al-Ghazali. Dan selama itu, Asy’ariyah juga menjadi sasaran polemik dan kontroversi. (Lihat, Nurcholish Madjid, Tradisi Islam, 1997: 113).
Pada gilirannya, dalam merespon persoalan-pesoalan di atas meniscayakan argumen-argumen lebih bernas, yang sepertinya, musykil untuk dirahi tanpa menggunakan argumen-argumen filosofis dan dukungan logika Yunani. Karenanya, perbincangan teologis itu memaksa dan mendorong mutakallimin Mu’tazilah dan sebagian orang Islam terpelajar untuk melakukan interaksi intelektual dengan dunia pemikiran Hellenisme, terutama dengan orang-orang Kristen Nestorian yang berdiam di Iskandaria (Mesir), Demaskus, Antioka dan Ephesus (Syiria), Harran (Mesopotamia dan Jundisapur). Pada saatnya nanti, ditempat itulah lahir dorongan pertama kegiatan penelitian dan penerjemahan karya filsafat dan ilmu Yunani kuna.
Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb,
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.
Alimuddin Hassan Palawa,
Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies)
UIN Suska Riau.