“MEMBUMIKAN JIHAD ILMU”

“MEMBUMIKAN JIHAD ILMU”

“Pada hari Minggu ku ikut ayah ke kota”. Itu adalah sepenggal lirik lagu yang menggambarkan keceriaan di hari Minggu. Lirik lagu tersebut berbeda 180 derajat dengan apa yang terjadi pada hari Minggu (13/5/2018) di Surabaya, Jawa Timur. Pada hari itu terjadi peristiwa berdarah, yakni pemboman 3 gereja di lokasi yang berbeda. Polisi mengatakan pelaku yang melakukan aksi ini berasal dari kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT). Dua kelompok itu adalah pendukung utama ISIS di Indonesia. Mereka mengatasnamakan agama dengan menggunakan kata jihad untuk melakukan pemboman di Surabaya. Namun apakah benar makna jihad yang mereka lakukan itu?

Kata Jihad seringkali disalahpahami, baik di kalangan umat muslim maupun non-muslim. Jihad dianggap sebagai “perang suci” (holy war) atau “perang senjata” (jihad fisik-militer). Makna jihad semakin menyempit ketika direduksi sebagai suatu sikap mengangkat senjata lalu diarahkan kepada setiap orang yang dianggap “kafir”. Bahkan tidak sedikit masyarakat Barat yang kerap mengasosiasikan jihad dengan ekstremisme, radikalisme dan terorisme belaka.

Jihad adalah kata yang sudah tidak asing bagi kebanyakan orang. Jihad berasal dari kata jahada-yujahidu-jihadan-mujahadah. Kata ini berasal dari bahasa Arab, yang memiliki arti usaha atau mengeluarkan segala kekuatan dengan sungguh-sungguh. Menurut KBBI, arti Jihad salah satunya adalah usaha dengan segala daya upaca untuk mencapai kebaikan. Secara etimologi, jihad adalah mencurahkan usaha, kemampuan dan tenaga. Secara literal, jihad adalah menanggung kesulitan. Jadi, Jihad adalah kegiatan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk mencapai hal-hal yang diinginkan dengan cara kebaikan.

Di dalam Al-Quran, kata jihad dengan berbagai bentuk disebutkan sebanyak 34 kali. Jihad memiliki banyak makna, yang kemudian kata ini digunakan dalam arti peperangan untuk menolong agama dan membela kehormatan umat. Namun kata jihad tidak sesempit itu maknanya. Jihad memiliki makna yang lebih luas dari peperangan. Banyak cara melakukan jihad salah satunya dengan pendidikan. Di dalam artikel ini, saya akan menjabarkan tentang jihad ilmu dan pendidikan.

Pada surah At-Taubah ayat 122, Allah berfirman “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya

Dengan ayat tersebut, jelas bahwa jihad tidak hanya soal perang, namun memperdalam ilmu juga termasuk jihad di jalan Allah. Penjelasan ini diperkuat dengan sabda Rasullullah yaitu “Barang siapa yang keluar untuk mencari ilmu, maka ia sedang ada di jalan Allah hingga ia kembali”.

Jihad ilmu dan pendidikan salah satu yang efektif untuk penyebaran informasi. Secara tidak sadar kita sudah melakukan jihad ilmu dan pendidikan setiap hari. Contohnya, khutbah di masjid-masjid, diskusi keagamaan yang sering dilakukan lembaga ISAIS UIN Suska Riau, program-program yang ada di media televisi, radio atau di youtube. Di ISAIS ada diskusi mingguan yang dilaksanakan setiap hari Rabu dan Jumat, membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan agama Islam. Contoh hal yang dibahas antara lain sejarah Islam, jihad, khilafah, moderasi beragama dan kekerasan agama.

Di bidang ilmu dan pengetahuan juga kita bisa memperbaiki pandangan dunia terhadap Islam, dengan cara menulis artikel-artikel Islami yang menyebarkan kebaikan dan kedamaian. Dengan tulisan-tulisan itu bisa menjelaskan seperti apa Islam itu sebenarnya, Islam rahmatan lil alamin yang sangat berbeda dengan pandangan dunia yang selalu mengkaitkan terorisme dengan Islam. Doktrin tersebut dibuktikan ketika terjadi serangan di Selandia Baru pada hari Jumat tanggal 15 Maret 2019. Serangan tersebut ditujukan kepada umat Muslim yang sedang melakukan ibadah solat Jumat. Tak lama kemudian muncullah berita tentang hal tersebut. Namun tidak ada yang menyatakan tersebut dengan “terorisme”. Mengapa? Apakah karena yang melakukan serangan bukan umat Muslim?

Oleh karena itu, jihad ilmu dan pengetahuan sangat penting dilakukan. Dengan mengedukasi masyarakat dunia seperti apa itu Islam yang rahmatan lil alamin.
by: Danang Esha, Mahasiswa Bahasa Inggris Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Suska Riau

“KAMUFLASE ATAS NAMA TUHAN”

“KAMUFLASE ATAS NAMA TUHAN”

Pada tanggal 4 November 1995, Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin dibunuh oleh seorang pemuda Yahudi, Yigal Amir. Ketika ditanya oleh polisi atas tindakanya itu, ia menjawab “Saya bertindak sendirian dan atas perintah Tuhan,” dan “saya tidak menyesal”. Begitu juga yang terjadi pada Letnan Khalid al-Islambuli, seorang tentara di Mesir yang telah membunuh Presiden Anwar Sadat. Ketika ia ditangkap, ia berteriak “Nama saya adalah Khalid al-Islambuli, saya telah membunuh Fir‘aun (Sadat), dan saya tidak takut mati”.

Dua orang dengan latarbelakang agama yang berbeda, menshahihkan pembunuhan atas dasar kebencian dan perintah Tuhannya. Keduanya memiliki keyakinan yang sama bahwa tindakan pembunuhan dan kekerasan semacam itu, merupakan perintah Tuhan mereka. Dan yang menarik bahwa perilaku tersebut, justru dilakukan oleh agama yang berbeda. Artinya, disetiap agama sesungguhnya memiliki potensi yang kuat untuk melakukan tindakan pembunuhan dan kekerasan lainnya, atas nama Tuhan. Kelompok kaum beragama ini, disatukan oleh keyakinan bahwa tindakan kekerasan yang mereka lakukan (seakan-akan) telah disetujui oleh Tuhan, bahkan diperintahkan oleh Dia.

Sebagai sebuah agama yang rahmatan lil alamin, ia mengajarkan kepada para penganutnya untuk menyelamatkan bahkan melindungi setiap makhluk yang bernyawa di atas permukaan Bumi. Ajaran ini, menjadikan setiap penganutnya menjadi terkekang oleh setiap tindakan kekerasan dan kedzoliman. Hal ini, menjadi sebuah keniscayaan jika kita temui dalam ajaran Islam bahwa seekor semut pun perlu mendapatkan haknya sebagai makhluk Tuhan. Islam mengajarkan penganutnya untuk tidak menyakiti, menganiaya atau bahkan membunuh binatang tanpa alasan yang jelas.

Namun demikian, seiring dengan semakin berkembangnya zaman, yang ditandai dengan ‘hiruk-pikuk’ teknologi dan ilmu pengetahuan, ajaran Islam mulai menghadapi berbagai gelombang tantangan yang cukup serius. Pada era teknologi harini, kita dihimpit oleh jarak yang tidak ada batas antara satu orang dengan orang lain. Semua orang bisa berinteraksi dan berjumpa dengan siapa saja, tanpa ada batas teritori maupun jarak waktu. Dan semua orang bisa bicara apa saja, tak perduli tua dan muda, kaum cendikia atau buta warna, orang tua atau muda, dan seterusnya.

Persoalan lain yang hingga hari ini masih menggelayut pada agama Islam adalah bentuk keresahan penganutnya akibat adanya tindakan terorisme, pembunuhan, aksi bom bunuh diri yang dilakukan sekelumit oknum yang mengatas namakan Islam.  Aksi bela agama atau dalam bahasa ajarannya adalah jihad, menjadi dalih bagi mereka melakukan tindakan kebiadaban  yang menurut mereka adalah aksi suci.

Jika ditarik garis lurus kebelakang, fenomena ini memang sudah ada sejak peristiwa Tahkim di zaman khalifah Ali bin Abi Thalib. Peristiwa Tahkim tersebut memecah belah ummat muslim menjadi berkeping-keping.  Salah satu kelompok yang lahir saat kejadian politik tersebut adalah kelompok Khawarij. Yaitu, kelompok yang terkenal ekstrim dan beringas memandang orang-orang yang tidak sepaham dengannya, dan tidak segan-segan membunuhnya sebab dianggap kafir dan halal darahnya. Kekejaman dan ekstrimnya kelompok ini disebabkan oleh rendahnya tingkat pengetahuan mereka. Karena menurut sejarah, kaum Khawarij adalah sekelompok Bangsa Arab Badui yang tinggal di pelosok dengan segala keterbatasan.

Kelompok khawarij saat ini memang sudah musnah seiring bergantinya zaman. Namun, praktek-praktek ajarannya kembali muncul dengan kemesan yang berbeda. Mereka tampil eksis di depan media dengan senjata canggih dan mematikan. Ajarannya setiap saat memasuki pikiran generasi saat ini, massif hapir tidak terdeteksi. Setiap saat ada saja anggota yang berhasil direkrut oleh mereka. Hal ini karena tidak sedikitnya para pencari Tuhan yang lugu dan mau disulap menjadi monster pembunuh dengan alasan jihad fi sabilillah.

Padahal Allah tidak pernah memaknai Jihad semata-mata untuk membunuh, melainkan mempertahankan diri dari musuh yang ingin mencelakai Islam. Bahkan Allah tegaskan bahwa berjihad adalah semata-mata untuk mencari ridha Allah. Hal ini tertuang dalam Al-Quran Surah Al-Ankabut 69: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari ridha Allah) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”.

Kemudian  Rasulullah pun mengajarkan bahwa perang bukanlah jihad yang paling besar, melainkan jihad yang paling utama yaitu memerangi hawa nafsu. Rasul bersabda: “ Berjihadlah kalian melawan nafsu kalian sebagaimana kalian berjihad melawan musush-musuh kalian” (HR. Abu Daud) lain kesempatan saat rasul pulang dari perang badar mengatakan bahwa “ Kita kembali dari jihad kecil menuju jihad yang besar. Sahabat bertanya, apakah jihad yang paling besar itu? Beliau bersabda: Jihadunnafs (jihad melawan diri sendiri).

Maka daripada itu, tidak benar dan salah besar menganggap bahwa jihad semata-mata bermakna peperangan, pembunuhan dan aksi teror lainnya, sebagai jihad suci. Malainkan Allah dan Rasulullah menjelaskan bahwa betapa hanya Allah-lah yang paling berhak menghukumi seseorang bersalah. Dan bahwa melakukan jihad pun bukan karena nafsu. Melain, karena mengharap keridhoan Allah semata. Sebab, fenomena jihad saat ini bukanlah murni ajaran Islam,. Melainkan adanya oknum jahat karena kurangnya pengetahuan atau adanya kepentingan memanfaatkan jihad sebagai kedok merekrut pencari kebenaran yang lugu lalu di sulap menjadi badut pembunuh.

by: Mhd Novedy Husaini, Mahasiswa Manajemen Dakwah Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Suska Riau

“MENGGUGAT ANTI KEMAJEMUKAN”

“MENGGUGAT ANTI KEMAJEMUKAN”

Ahir-ahir ini, di Indonesia telah sering terjadi konflik antar agama yang berujung pada kekerasan beragama. Sebut saja misalnya konflik beragama di Ambon. Konflik antar saudara yang saling menolak berada dalam satu tempat dengan kaum yang berbeda keyakinan, berujung pada pertumpahan darah. Kaum muslim dan kristen saling melempar  batu, merusak kendaraan di sejumlah titik kota di Ambon, memblokir jalan bahkan rumah warga dibakar. Akibat peristiwa ini, banyak korban berjatuhan, anak anak memiliki trauma dan memiliki anggapan bahwa kaum yang berbeda keyakinan memiliki niat yang buruk terhadap mereka.

Persekusi terhadap seorang biksu dan pengikutnya di tangerang adalah contoh lain dari kekerasan beragama yang terjadi. Sekelompok orang yang tiba tiba mendatangi kediaman biksu tersebut dan menuding adanya praktek yang mengajar warga sekitar untuk brpindah agama. Sekelompok orang ini bahkan meminta biksu tersebut meninggalkan rumahnya dan menyetujui surat pernyataan akan di proses secara hukum jika tidak pergi dari tempat itu dalam tenggat waktu yang telah ditentukan.

Kasus lain yang baru-baru ini terjadi adalah seorang warga yang ditolak dari desa karena memiliki agama yang berbeda. Sebuah desa di Bantul memiliki aturan yang melarang umat non muslim untuk tinggal di dusun tersebut. Ini adalah contoh masyarakat yang mempunyai pola pikir anti kemajemukan. Mereka tidak bisa menerima perbedaan yang ada dalam suatu masyarakat.

Kasus kasus kekerasan beragama dan intoleransi yang terjadi di Indonesia adalah bentuk dari sikap masyarakat yang anti akan adanya keberagaman beragama. Tingkah laku masyarakat yang seperti ini didasari oleh pola pikir yang tidak dapat mentoleransi ajaran lain dan kekekliruan dalam menafsirkan ajaran yang mereka anut. Jika hal ini terus berlangsung, perdamaian antar umat beragama sangat sulit untuk dicapai.

Diantara sebab lahirnya kondisi ini adalah pola pikir masyarakat yang anti kemajemukan, sebuah model cara berfikir yang menolak keragaman. Padahal keragaman ini merupakan keniscayaan. Ia mutlak ada. Ia merupakan pemberian mutlak dari Tuhan, yang tidak bisa tidak harus kita terima.

Sejak kecil kita dihadapkan oleh model berfikir yang tidak beragam. Kita selalu dihadapkan pada pilihan yang tunggal atau monokultural. Orang yang berbeda dengan kita dianggap sebagai bukan dari bagian dari kita. Sehingga di kepala kita, yang ada adalah diri kita sendiri. Sesuatu yang benar adalah kita sendiri atau yang sama dengan kita, sementara yang berbeda dianggap bukan kita, yang harus dihindari atau dilawan.

Mengubah pola pikir masyarakat yang sudah terbentuk sejak dulu merupakan suatu hal yang sulit. Namun, setiap warga negara yang beragama hendaknya menyadari bahwa sikap menerima satu sama lain adalah jalan terbaik demi mewujudkan perdamaian. Menjadi kaum yang tidak menyalahkan ajaran agama manapun dan tetap yakin pada keyakinan yang dianutnya dapat menghindari ekstrimisme ini.

Diantara upaya menghilangkan cara piker di atas adalah dengan terus melakukan perjumpaan dengan yang lain, yang berbeda dengan kita. Perjumpaan dengan yang berbeda ini, menjadi penting agar terjadinya pengenalan. Dalam bahasa agamanya, proses ini disebut dengan silaturrahmi. Proses saling menjaga silaturahmi antar umat beragama ini, merupakanupaya agar tidak muncul sikap saling curiga. Sehingga akan melahirkan sikap saling berkomunikasi antar satu umat Bergama satu dengan umat beragama lainnya.

Dengan melakukan perjumpaan, juga akan menggiring seseorang untuk saling berdiskusi. Aktivitas ini, menjadi penting agar kita tahu seperti apa ajaran dari agama-agama lainnya. Dari situ wawasan dan pikiran kita terbuka luas. Dengan begitu, rasa saling curiga, perilaku menghakimi orang atau kelompok lain, serta sikap intoleransi tak terjadi.

Sejatinya, setiap agama memiliki ajaran yang mulia, yaitu tidak ada satu agamapun yang menyebutkan bahwa agama lain adalah ajaran yang salah dan pantas untuk di tolak dengan kekerasan. Jika seorang umat mengaku beragama, pastinya akan bertindak sesuai dengan ajaran agamanya dan menghindari penolakan keyakinan lain dengan cara kekerasan. Orang yang melakukan kekerasan beragama, merupakan umat yang tidak memahami ajaran keyakinannya dengan baik.

by: Rahmi Putri Nanda, Mahasiswi Bahasa Inggris Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Suska Riau