ḤASD (DENGKI):  Susah Melihat Orang Senang; Senang Melihat Orang Susah

ḤASD (DENGKI): Susah Melihat Orang Senang; Senang Melihat Orang Susah

Oleh Alimuddin Hassan

Raja Ali Haji sendiri memberikan arti asd menjadi dengki dengan pengertian, yaitu: “suka seorang akan hilang nikmat yang lainya, sama ada pada nikmat dunia atau nikmat agama.” (Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah, 54). Di dalam al-Qur’an ditemukan pengertian asd (dengki) dengan sangat jelas: “Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya.” (Q.S. Āli Imrān [3]: 120).

Kalau sekiranya sifat dengki yang bersemayam dalam hati itu mampu diredam dengan segala daya upaya, sehingga tidak sempat diaktulisasikan, tentu tidak akan menimbulkan mudarat kepada orang lain. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa telah berkata seorang pria kepada Hasan Basri, “apakah seeorang mukmin itu bisa mendengki?” Ia berkata, “Apakah kamu ingat pada anak-anak Ya‘qub (kisah Nabi Yusuf as)?” Ia menjawab, “Ya”. Hasan Basri berkata, “Ada kesusahan (kedengkian) di dadamu. Namun itu tidak akan membahayakanmu, selama kamu tidak mengeluarkannya melalui tangan dan lidah.” Lihat, Muslih Muhammad, Kecerdasan Emosi Menurut al-Qur’an [terj. Emiel Threeska] (Jakarta: Zaituna, 2010), 130.

Meskipun demikian, dengki semacam ini belum/tidak bisa  dikategorika sebagai dengki yang “postif”. Yang dimaksud “dengki positif” adalah “dengki” pada  seseorang yang senantiasa berbuat baik dan berupaya untuk menandingi kebaikan orang bersangutan.  Dalam konteks ini, sebagaimana sabda Nabi saw., hanya dua dengki yang dapat dibenarkan, sebagaimana sabda Nabi saw.: “Jika dengki (iri hati) bisa dibenarkan, maka hanya ada dua orang yang boleh  menjadi obyek paling tepat bagi kedengkian. Pertama, kepada orang seseorang yang diberi rezki oleh Allah dan dianugrahi kekuatan untuk senantiasa mengeluarkannya buat keadilan. Kedua, kepada orang yang diberi ilmu pengetahuan oleh Allah dan beramal sesuai dengan ilmunya, dan terus memberikan (mengajarkan) ilmunya kepada orang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim, berdasarkan keterangan Ibn Mas‘ud).

Akan tetapi, kalau sifat dengki tersebut dinyatakan lewat perkataan dan perbuatan, maka intelektual Melayu-Riau ini menyebutkannya, “bernama dengki yang jahat lagi dosa besar.” (Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah, 54). Dengki yang disebut belakangan tidak bisa ditolerir, sehingga Raja Ali Haji menambahkan dengan kalimat yang tegas, “Inilah orang yang celaka bedebah, yang didapatkan juga balas kejahatan itu di dunia, di dalam akhirat.” (Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah, 54).

Dengki termasuk dosa besar ketiga yang mula-mula dilakukan oleh makhluk Allah. Pertama, kesombongan yang dilakukan oleh Iblis yang tidak mau sujud kepada Adam, sehingga menyebabkannya menjadi makhluk Allah yang (paling) terkutuk. Kedua, kerakusan Adam (dan hawa) yang, meskipun telah dilarang Allah, memakan buah pohon “terlarang”, sehingga menyebabkannya terusir dari surga dan/ terbuang di bumi. Ketiga, kedengkian Qabil kepada Habil, sehingga Qabil membunuh saudaranya itu. Dengki yang disebut belakangan tidak bisa ditolerir, sehingga Raja Ali Haji menambahkan dengan kalimat yang tegas, “Inilah orang yang celaka bedebah, yang didapatkan juga balas kejahatan itu di dunia, di dalam akhirat.” (Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah, 54.

Sifat dan perbuatan dengki mempunyai akibat tidak saja pada diri orang yang bersangkutan, tetapi lebih-lebih pada orang lain, seperti ungkapan Raja Ali Haji sendiri, “dengki itu membawa kebinasaan dirinya, hingga sampai membinasakan orang yang lainnya. Na‘uzu bi Allah.” (Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah, 55). Untuk diri orang bersangkutan, apabila sifat dengki sudah mengkristal maka akan mengakibatkan sejumlah keburukan dan kehinaan pada dirinya. Dalam Gurindam Duabelas Raja Ali Haji bertutur:

Apabila dengki sudah tertanah

Datanglah daripadanya beberapa anak panah.

Ada beberapa “anak panah” sebagai akibat dan bahaya yang akan ditimpakan kepada orang-orang dengki. Pertama, orang dengki akan dimusnahkan amal ibadahnya di akhirat kelak. Artinya, pahala amal ibadah si-pendengki di dunia ini habis “dimakan” oleh kedengkiannya dengan sangat mudah, laksana api memakin kayu bakar yang kering. Rasulullah saw. bersabda: “iyyākum wa al-asad inna al-asad yakul al-asanah kamā takul al-nār al-khaab.”(Jauhilah olehmu semua kedengkian, karena kedengkian itu memakan segala kebaikan sebagaimana api makan kayu bakar yang kering). [HR. Abu Daud]).

Kedua, orang dengki akan senantiasa melakukan perbuatan-perbuatan tercela, kemungkaran dan kemaksiatan, seperti berbohong, mengumpat, mencaci-maki, berseteru dengan orang lain, dan bahkan sampai saling membunuh.

Ketiga, orang dengki, menurut Raja Ali Haji, tidak akan mendapat shafa’at dari Nabi Muhammadsaw. di akhirat. Karena orang pendenki bukan bagian dari ummat Nabi Muhammad saw., sebagaimna sabdanya:  “man asada laysa minnā ” (orang yang dengki itu bukan daripada aku).

Keempat, orang dengki itu, langsung atau tidak langsung, telah berburuk sangka, menyalahkan dan marah kepada Allah atas anugerahkan nikmat yang diberikan kepada orang lain. Dengan sendirinya dapat dipastikan bahwa orang dengki semacam tidak akan pernah persyukur pada Allah dan sekaligus ingkar (kufur) atas nikmat yang diberikan Allah. Oleh karena itu, menurut Raja Ali Haji, orang dengki tersebut akan dimasukkan ke dalam neraka di akhirat kelak.

Kelima, orang dengki akan membawa mudarat kepada orang yang didengkinya, seperti melancarkan fitnah. Untuk itu, Rasulullah berlindung kepada orang pendeki, sebagaimana berlindung kepada syaithan. Dalam al-Qur’an ada perintah kepada Muhammad saw. agar memohon perlindungan kepada Allah yang menguasai cuaca pagi/subuh (rabb al-falāk) dari kejahatan seorang pendengki apabila mendengki (wa min sharri ḥāsd ithā asd . Q.s. al-Falak [113]: 5).

Keenam, orang dengki senantiasa hatinya merasa menderita dan berduka cita melihat orang didengkinya semakin sukses, dan senantiasa berharap dan berusaha sekuat mungkin agar orang yang didengkinya itu gagal  dan menderita. Dengki semacam ini adalah pangkal kesengsaraan orang bersangkutan. Semakin yang didengkinya itu tampak “bahagia” [kata bahagia ini beri tanda petik karena sejatinya yang orang didengkinya itu benar-benar bahagia] maka ia semakin menderita. Orang pendengki dengan sendirinya akan selalu gelisah dan tidak bahagia, karena ia selalu dihantui perasaan takut dikalahkan oleh orang lain.

Ketujuh,  orang dengki itu akan dibutakan mata hatinya oleh Allah, sehingga dia tidak kebenaran dan kebaikan serta tidak mampu lagi melihat kebmengerti akan hukum-hukum Allah. Menyebab itu semua, menueur Raja Ali Haji, lantaran hatinya selalu digerogoti sikap dengki kepada orang lain.

Delapan, orang dengki itu dibenci Allah, sehingga Allah tidak akan ditolong mereka dalam menjatuhkan/membinasakan musuh-musuhnya. Apa lagi, orang yang didengkinya itu terkadang dizaliminya, sehingga Allah berpihak dan mengasihi hamba-hamba-Nya yang dizalami itu. Akhirnya, Raja Ali Haji menyatakan bahwa penguasa dan pembesaran kerajaan harus mencermati akibat dan bahaya yang akan ditimbulkan oleh sifat dengki dengan mengacu pada al-Qur’an dan Hadith serta karya-karya ulama belakangan (mutakhkhirīn) dan ulama terdahulu (mutaqaddimīn). (Lihat, Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah, 54-56).

asd (dengki) merupakan salah satu sifat negatif yang bersemayam dalam hati. Karena hati secara individual adalah “raja” yang ada dalam anggota tubuh manusia, maka hati harus disucikan dari sifat hasad. Begitu pula, karena “raja” secara sosiologis adalah “hati” yang ada dalam anggota masyarakat, maka sifat hasad tersebut harus dihilangkan dari seorang raja. Untuk itu, dengki adalah termasuk sifat paling tercela dan “najis”. Raja Ali Haji menyatakan bahwa sifat dengki harus ditinggalkan penguasa dan pembesar karena kalau tidak bisa menyebabkan kebinasaan bagi kerajaan dan masyarakat.

“Seyogyanya hendaklah raja-raja dan segala orang besar-besar menjahukan penyakit najis berdengki-dengkian itu karena apabila banyaklah dan zahirlah di dalam suatu negeri akan ahlinya banyak berdengki-dengkian alamat negeri itu akan binasa jua akhirnya. Apalagi orang besarnya berdengki-dengkian mangkin segeralah binasanya. Maka hendaklah raja itu baik-baik benar siasat kepada kaum kerabatanya dan kepada menterinya hulubalangnya yang berdengki-dengkian itu.” (Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah, 58-59).

Seorang penguasa (raja) seyogyanya cepat tanggap dalam menyelesaikan pertikaian akibat dari sikap dan prilaku dengki di kalangan pembesar kerajaan. Akan tetapi, setelah diambil langkah-langkah “bijak”  [baca: dipujuk dan disuluhkan] ternyata pembesar kerajaan tetap tidak juga berubah, maka penguasa (raja) harus mengambil langkah dan sikap tegas, yaitu “maka dilepaskanlah ia daripada jabatannya atau dienyahkan daripada negeri…”

Sekiranya penguasa (raja) tidak mengambil langkah-langkah pencegahan tertentu, maka sikap dengki di kalangan pembesar kerajaan dapat saja memicu dan menular kepada masyarakat. Akibatnya, penguasa sendiri yang menjadi susah dalam menyelesaikan pengaduan di kalangan masyarakat yang bertikai. Konsekwensi selanjutnya, kalau pertikaian itu tersebut tidak ditangani dengan baik, menurut Raja Ali Haji, akan dapat memicu terjadinya kegaduhan, yaitu “berpukul-pukulan dan berbunuh-bunuhan” yang dapat mengancam keselamatan negeri, “… inilah kebinasaan dan  kerusakan apabila banyak isi negeri itu berdengki-dengkian.” (Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah, 58-59).

Ungkapan-ungkapan Raja Ali Haji di atas dapat diduga kuat terilhami dari sabda-sabda Nabi saw, seperti sabda Rasul Allah: Dari Abu Hurairah ra., ia berkata, Rasul Allah saw. bersabda: “Akan menimpa umatku racun umat-umat lain.” Para sahabat bertanya, “Apa itu racun umat-umat lain?”. Rasul Allah saw. bersabda: “Bersenang-senang tanpa batas, sombong, memperbanyak harta, berlomba hidup duniawi, saling menjauh, saling dengki, hingga terjadi pembangkangan, kemudian kekacauan.” (HR. Tabrani). Dalam Riwayat lain, Rasul Allah bersabda: “Yang paling kutakutkan pada umatku adalah memperbanyak harta. Lalu mereka saling mendengki dan saling membunuh.” (HR. Al-Hakim).

Untuk mengobati penyakit dengki, menurut Raja Ali Haji, secara umum  ada dua: ilmu dan amal. Dengan ilmu kita akan mengetahui bahaya dan akibat yang ditimbulkan oleh sifat dengki, sebagiamana disebutkan di atas. Dengan amal kita hendaknya jangan sampai mengejawantahkan sifat dengki itu dalam bentuk perkataan dan perbuatan. Selanjutnya, Raja Ali Haji mengutarakan agak terperinci bagaimana cara mengobati sifat dengki yang telah bersemayan dalam hati:

“Syahdan jika datang dengki itu hendak mencacatkan atau mencederakan dia, tukarkan dan keluarkan dengan lidah membaiki dan memuji orang yang didengkinya itu. Dan jika datang dengki kita hendak takabur atasnya, tukarkan dengan kita rendahkan diri kepadanya. Dan jika datang dengki kita itu hendak menjatuhkan orang yang didengkikan itu, cari akal dan helah supaya bertambah-tambah baiknya, yakni baik kepada pangkat dan derajat. Dan jika datang dengki kita hendak menaham nikmat kepada orang yang didengkikan itu, gagahkan nafsu kita  dengan menyampaikan nikmatnya. Dan jika datang dengki kita itu hendak mendengkikan dia dengan kejahatan, maka tukarkan dengan mendoakan dia dengan kebaikan.” (Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah, 58).

Kutipan di atas jelas memperlihatkan kepiawaian Raja Ali Haji dalam merumuskan tindakan-tindakan yang harus dilakukan agar kendengkian kita itu tidak menimpa orang lain. Berdasarkan kutipan itu, kedengkian beserta implikasinya dapat dihindarkan dengan beberapa cara. Pertama, kalau ingin menghina atau mencederai seseorang, maka bicaralah yang baik-baik dan memberikan pujian kepadanya. Kedua, kalau ingin bersifat sombong kepada orang lain, maka bersikap rendah hati (tawaḍḍu’) kepadanya. Ketiga, kalau ingin menjatuhkan seseorang, maka pikirkan kebaikan dan kedudukannya. Keempat, kalau ingin menahan nikmat seseorang, maka kalahkan hawa nafsu serakah. Kelima, kalau ingin melakukan kejahatan terhadap seseorang,  maka ganti dengan mendoakan kebaikan baginya.

Raja Ali Haji menambahkan bahwa usaha mengobati sifat dengki itu sangatlah sulit, dan bahkan mustahil tanpa memohon pertolongan Allah. Raja Ali Haji menyatakan karena “penyakit dengki itu penyakit pusaka daripada iblis laknatullah tatakala Allah Ta’ala mula-mula hendak menjadikan datuk kita nabi Allah Adam ‘alahi al-salam, seperti yang tersebut di dalam Qur’an al-‘Aẓim.” (Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah, 58).

Prihal ini, al-Ghazali, guru intelektual dan mursyid spritual “tidak langsung” Raja Ali Haji, menyatakan bahwa “Tidak ada penyakit manusia yang tidak dapat disembuhkan, kecuali penyakit ḥasūd (iri hati) ini.” Guna mempertegas pernyataannya ini, al-Ghazali mengutip sebuah syair dari Imam al-Shafi‘i: “Kullu al-‘adāwatuh qad tarjī salāmatahā illa ‘adāwata min ‘ādāka ‘an asad”. (Semua permusuhan bisa diselesaikan. Kecuali permusuhan orang yang menyimpan rasa rasa dengki). (Husein Muhammad, Mengaji Pluralisme kepada Mahaguru Pencerahan, Bandung: Mizan, 2011: 99). Bagaimana mungkin penyakit hasad (dengaki) akan disembuhkan kalau seseorang sudah terjangkit perasaan senang melihat orang lain susah, dan sebaliknya susah melihat orang lain senang. Dalam dua arah hatinya selalu tercengkrama kedengkian yang mengatarkan mereka dalam ketidakbahagiaan.

Wa Allāh alam bi al-Ṣawāb,
tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.
Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies)
UIN Suska Riau.

ISLAH DAN TAJDID:  Umat Islam Dihadapkan pada Modernitas Barat

ISLAH DAN TAJDID: Umat Islam Dihadapkan pada Modernitas Barat

Oleh: Alimuddin Hassan Palawa,

Pada galibnya, lahirnya kesadaran ilāḥ (reformasi [perubahan kearah perbaikan])  dan munculnya semangat tajdīd  (pembaharuan)  dalam Islam dipicu setelah lahirnya modernism di Dunia Barat. Menurut Nurcholish Madjid, ada dua peristiwa yang sangat menentukan menandai dimulaianya Abad Modern yang terjadi pada sekitar pertengahan abad ke-18.

Pertama, Revolusi Industri yang ditandai dengan kecanggihan “teknikalisme” dengan tuntutan efesiensi kerja yang tinggi diterapkan dalam semua bidang kehidupan. Kedua, Revolusi Perancis yang ditandai dengan pembebasan “kemanusiaan” atas tatanan sosial budaya dan politik yang sudah dipandang “usang” dan “membusuk”. Nurcholish Madjid menambahkan bahwa modernisme lahir tidak pada wilayah Eropa yang mempunyai masa lampau yang panjang dan gemilang, yaitu Yunani dan Romawi, melainkan di Inggris dan Perancis  di Eropa Barat Laut yang merupakan pendatang baru dalam pentas sejarah umat manusia.

Kelak, ternyata aspek kemanusiaan yang tercermin dalam cita-cita  Revolusi Perancis lebih bermakna daripada Revolusi Industri yang terwujud dalam teknikaliasi yang canggih sekalipun. Maka sering pula disebutkan tentang peranan utama “generasi revolusi Prancis 1789” dalam meletakkan dasar-dasar Abad Modern itu (Nurcholish Madjid, Kahazanah Intelektual Muslim, 50).

Berat dugaan, lantaran arti penting yang dikandung dalam tahun “1789” itu, sehingga Albert Hourani “berhijtihad” menetapkan tahun 1789 sebagai awal mula munculnya Era Liberal. “Ijtihad” Hourani ini, menurut Luthfi Assyaukanie, merupakan salah satu sumbangannya dalam memberikan patokan, belakangan diikuti oleh hampir semua sejarahwan, dalam memulai penulisan kesejarahan pemikiran Arab-Islam.

Tahun 1789 adalah tahun dimana Napoleon Bonaperta beserta pasukannya menginjakkan kakinya di Mesir. Hourani meyakini bahwa sejarah pemikiran Arab Modern atau sejarah Era Liberal bagi masyarakat Arab, bukan dimulai dari Muhammad ibn Abd Wahhab (1701-1893) di Arab Saudi. Lihat,  Luthfi Assyaukanie  “Pengantar”, dalam Albert Hourani, Pemikiran Liberal Dunia Arab, Bandung: Mizan, 2004), hal. xvii.

Abad Modern yang lahir di Barat itu merupakan kelanjutan logis dari peradaban yang telah dibina oleh umat Islam selama berabad-abad. Akan tetapi, justru umat Islam pulalah yang paling menderita menghadapinya. Menurut Nurcholish Madjid, ini dapat diterangkan paling tidak tiga argumentasi.

Pertama, dari segi psikologis, karena perasaan sebagai kelompok manusia paling unggul selama ini, umat Islam tidak mempunyai kesiapan mental sama sekali untuk menerima kenyataan bahwa bangsa non-Islam bisa lebih maju dari mereka.

Kedua, sejarah interaksi permusuhan yang lama antara Dunia Islam dengan Dunia Kristen (Barat). Orang-orang Eropa tetap menyimpan dendam untuk menaklukan Spanyol di Barat dan negeri-negeri Balkan di Timur. Selain itu, permusuhan antara keduanya yang berkempanjangan dalam Perang  Salib dengan kekalahan tentara Kristen.

Ketiga,  letak geografis Dunia Islam yang berdampingan serta bersambungan dengan Eropa, yang memperbesar kedua argumen sebelumnya. (Lihat, Nurcholish Madjid, Kahazanah Intelektual Muslim, 54-55).

Misi dagang Eropa abad keenam belas dan tujuh belas secara progresif meluas hingga sejak abad ke-18 banyak dari wilayah dunia Muslim merasakan dampak ancaman ekonomi dan militer dari teknologi dan modernisasi Eropa. Memasuki abad ke-19 dan awal abad ke-20 Bangsa Eropa, khususnya Inggris, Prancis dan Belanda semakin masuk dan mendominasi sejumlah wilayah Dunia Muslim, mulai dari Afrika Utara hingga Asia Tenggara. (John L. Esposito, Islam the Staight Path, (New York: Oxford University Press, 1991: 124)

Dominasi Dunia Eropa atas Dunia Islam, diakui atau tidak, sejatinya, meskipun dalam “wujud rupa” yang berbeda masih berlangsung hingga dewasa ini, misalnya hegemoni dan “pendiktean” budaya yang dilakukan oleh Barat-Eropa atas Timur-Islam. Misalnya, cara pandang orang-orang Barat-Eropa sangat menghegemoni dalam mempengaruhi dan menentukan cara pandang orang-orang  Timur (Islam) bukan saja dalam melihat sejarah dunia, tetapi juga dalam melihat “dirinya sendiri” dalam perjalanan sejarahnya.

Hasan Hanafi, misalnya, menyatakan bahwa term “Timur Tengah” adalah berasal dari bahasa Inggris, ciptaan dan cara pandang Barat terhadap Timur (Dunia Islam khususnya.) Negara-negara Arab yang saat ini dikenal dengan “Timur Tengah” karena dibandingkan dengan negara-negara Arab kawasan Barat, seperti Maroko (dan sekitarnya) yang disebut dengan “Timur Dekat; atau dibandingkan dengan Cina yang berada di “Timur Jauh” bagi (cara pandang) orang Inggris. Lihat, Hasan Hanafi, “Pengantar” dalam Aunul Abied Shah, Muhammad, et al., Islam Garda Depan: Mozaik Pemikiran Islam Timur Tengah (Bandung: Mizan, 2001), 21.

Belakangan, pendapat sama dinyatakan oleh Tamin Ansary, katanya: “…. frase Timut Tengah  mengasumsikan sesorang sedang berdiri di Eropa Barat –jika anda berdiri di dataran tinggi Persia, misalnya, yang disebut Timur Tengah itu sebenarnya adalah Barat Tengah. Oleh karena itu, saya lebih suka menyebut seluruh wilayah dari Indus hingga Istambul ini Dunia Tengah, karena ia terletak di antara dunia Mediterania dan dunia Cina.” Tamim Ansary, Dari Puncak Baghdad Sejarah Dunia Versi Islam (Jakarta: Zaman, 2009), 30.

Untuk itu, menurut Hasan Hanafi, sudah saatnya Dunia Timur (orient), khususnya Dunia Islam, “membalikkan keadaan” untuk  tidak lagi melulu “dipandang” (menjadi objek kajian) oleh Dunia Barat (oksident) sebagai subjek, tetapi justru Dunia Timur (Islam) harus menjadi “subjek” oksidentalisme dalam “memandang” Dunia Barat. Dengan bahasa singkat, masa lalu dunia Islam  di baca dunia Barat, masa datang  dunia Islam membaca dunia Barat. Lihat Hasan Hanafi, Oksidentalisme: Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, (Jakarta: Paramadina, 1999), 25-33.

Dengan pendekatan oksidentalisme ini, menurut Komaruddin Hidayat, Hasan Hanafi bermaksud “mendobrak dan mengakhiri mitos Barat sebagai representasi dan pemegang supermasi dunia”, khususnya dalam kajian keilmuan. Dan sekaligus bertujuan “pembebesan diri dari pengaruh pihak lain agar terdapat kesetaraan antaran al-āna yakni dunia Islam dan Timur pada umumnya, dan al-ākhar  yakni dunia Eropa dan Barat pada umumnya. (Lihat, Hidayat, “Oksidentalisme: Dekonstruksi Terhadap Barat”, dalam Hasan Hanafi, Oksidentalisme: Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, (Jakarta: Paramadina, 1999), xix.

Munculnya perenungan, respon dan otokritik  dikalangan para pembaharu pemikiran Islam dengan melakukan upaya ilāḥ dan tajdīd, tidak dapat dipungkiri, berjalin kelindangan dengan dominasi Dunia Eropa atas Dunia Islam, sebagaimana telah dipaparkan di atas. Meskipun demikian, tanpa bermaksud melakukan “apologia atas ketidakberdayaan”, konsep reformasi (ilāḥ) dan pembaharuan (tajdīd), sejatinya adalah komponen yang fundamental  dalam ajaran Islam yang berakar dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.

Mengenai konsep reformasi (ilāḥ) dan pembaharuan (tajdīd), Lihat,  Fazlur Rahman, “Revival and Reform in Islam”, dalam P. M. Holt, Ann K. S. Lambton and Bernard Lewis, The Cambridge History of Islam, New York: Cambridge University Press, 1970, hal. 632-642). Kedua konsep itu, menurut Jhon L. Esposito, mengadung seruan untuk kembali kepada sumber utama Islam: Al-Qur’an dan al-Sunnah. (John L. Esposito, Islam the Staight Path: 115).

Konsep ilāḥ dalam pengertian kebenaran moral yang kuat maupun membentuk kembali, semata-mata demi memperbaiki perbuatan, bertalian langsung dengan tugas panjang risalah al-nubuwwah. Nabi Sya‘ib umpanya, bercerita kepada umatnya: “Saya hanyalah menginginkan islah pada batas-batas kekuasaan saya.” Mereka yang melakukan ilāḥ, sering dipuji dalam al-Qur’an, dan mereka dilukiskan sebagai pelaksana perintah Allah.

Dengan cara pandang semacam itu, walaupun nabi-nabi telah berakhir dan upaya ilāḥ mereka sudah berakhir, namun pekerjaan ilāḥ sebagai sebuah risalah kenabian, yaitu perubahan kearah perbaikan, berlangsung terus sebagai bagian dari tanggungjawab seorang beriman. (John O. Voll, “Pembaharuan dan Perubahan Dalam Sejarah Islam: Tajdid dan Islah” dalam John L. Esposito, Dinamika Kebangunan Islam: Watak, Proses, dan Tantangan, (Jakarta: Rajawali Press, 1987: 22-23).

Konsep tajdīd dalam Islam didasarkan pada hadis Nabi: “Tuhan akan mengirim untuk umat ini, pada awal setiap abad, mereka yang akan memperbaharui agama ini.” Sang pembaru (mujaddid) Islam diyakini akan dikirim Tuhan diawal setiap abadnya untuk mengembalikan pelaksanaan ajaran yang sejati. Mengingat regenarasi umat dalam sepanjang sejarah cenderung menyimpang dari jalan yang lurus. Ada dua aspek utama dalam proses ini, yaitu (i) kembali pada pola ideal  sebagaimana termaktup dalam al-Qur’an dan al-Sunnah; dan (ii) hak untuk berijtihad, dan untuk menafsirkan sumber-sumber Islam. (Lihat, John L. Esposito, Islam the Staight Path: 116; John O. Voll “Pembaharuan dan Perubahan Dalam Sejarah Islam: 23).

Dalam melakukan reformasi (ilāḥ) dan pembaharuan (tajdīd) dengan mencermati problem-problem dihadapi dunia Islam, di kalangan intelektual dan pemikir pembaharu Muslim terdapat beberapa variasi pandangan dan pemikiran sebab-sebab keterbelakangan kaum Muslim dan sekaligus upaya solusi pemecahannya.

 Pertama, pemikir kelompok Muslim yang  melihat bahwa biang keladi seluruh keterbelakangan dunia Islam adalah kerena berkembangnya paham khurafat dan telah menjauhnya kaum Muslim dari ajaran aslinya, al-Qur’an dan Hadis.  Menurut kelompok ini, jika umat Islam ingin meraih kembali kejayaan masa silam yang pernah dimiliki, mereka harus kembali ke pangkal; mengikis segala khurafat dan bid’ah serta kembali kepada al-qur’an dan al-Sunnah. Dalam kelompok ini dimotori oleh Muhammad ibn Abd Wahab dan belakangan menjadi gerakan Wahabisme yang dikenal  sebagai gerakan furifikasi dalam Islam. (Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarata: Bulan Bintang, 1975: 23-26).

Kedua, kelompok pemikir Muslim yang melihat bahwa sebab-sebab ketidakberdayan dunia Islam tersebut dikarenakan perpecahan dan tidak adanya persatuan di kalangan umat Islam yang mengakibatkan mereka menjadi terjajah. Untuk itu, menurut kelompok ini, umat Islam harus menggalang persatuan dan membebaskan diri belenggu penjajahan. Dalam kelompok ini termasuk Jamaluddin al-Afghani sebagai pelopor utamanya; yang terkenal dengan pemikirannya tentang Pan-Isalamisme. (H.A.R. Gibb,  Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, [terj. Machnun Husein] (Jakarta: Rajawali Press, 1991), hal. 49; Albert Hourani, Pemikiran Liberal Dunia Arab, (Bandung: Mizan, 2004: 186-187).

Ketiga, kelompok pemikir Muslim yang melihat bahwa biang kerok dari segala keterbelakangan dunia Islam adalah karena kejumudan pemikiran lantaran tertutupnya pintu ijtihad. Sebagai jalan keluarnya agar ummat Islam dapat kembali membangun peradabanaya, mereka harus membuka lebar-lebar pintu ijtihad dengan mempergunakan rasionalitas-liberalitas secara kental, sembari mengambil nilai-nilai dari barat yang relevan dan tidak bertentangan dengan ajaran dasar Islam.

Di antara tokoh dari kelompok terakhir ini  sangat artikulatif  adalah Muhammad Abduh yang sengat masyhur dengan rasionalismenya. (Pembahasan panjang lebar prihal Muhammad Abduh dan pemikirannya, lihat  Charles C. Adam, Islam and Modernism in Egypt: A Study of the Moderen Reform Movement Inaugurated by Muhammad Abduh, London, New York: Russell & Russell, 1968). Untuk melihat rasionalitas Muhammad Abduh, lihat Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI Press, 1987: 43-57) .

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb

Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh

(Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau)

AGAMA DAN BUDAYA: Persebatian dalam Tradisi Intelektual Melayu

AGAMA DAN BUDAYA: Persebatian dalam Tradisi Intelektual Melayu

Oleh: Alimuddin Hassan Palawa,

Agama dan budaya merupakan dua entitas yang absurd untuk dipisahkan satu dengan lainnya. Dalam pentas sejarah perkembangan peradaban anak manusia di bebarapa belahan jagat ini. Karenanya, agama dan budaya selalu mengalami pergumulan secara sangat intens signifikan, dan tak terkecuali pada belahan Dunia Melayu-Nusantara. Maka agama dan budaya dalam di kawasan ini mempunyai pertalian yang jalin-berkelindan. Dengan kata lain, persebatian agama Islam dan budaya Melayu di kalangan masyarakat Melayu, khususnya Riau sudah menyatu dan senyawa dalam kehidupan mereka.

Sekedar catatan bahwa kata “persebatian” berasal dari kata dasar “bati” yang arti etimolginya: sesuai, selaras, senyawa, bersatu-padu dan sangat mesra. Dengan demikian, kata “sebatian” berarti perpaduan dua atau lebih menjadi satu. Jadi, kata “persebatian” bermakna “Proses persatu-paduan antara dua orang/sesuatu atau lebih untuk menjalin keselarasan hubungan yang sangat akrab dan mesra.” (Lihat, Teuku Iskandar, Kamus Dewan, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1970: 79; Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988: 84).

Selanjutnya, dengan memeluk agama Islam, selain berberadat-istiadat dan berbahasa Melayu menjadi penentu bagi “kemalayuan” seseorang. Bahkan ketika sifat kemelayuan ini menjadi syarat dasar yang harus dipenuhi oleh orang Melayu jika ingin dianggap “manusia”. (Lihat, Jan van der Putten, “Pemekaran Negeri Kata-Kata: Konfigurasi Kebudayaan Melayu di Riau”, dalam Amin Sweeney et.al., Keindonesian dan Kemelayuan dalam Sastra, Depok: Desantara: 26).

Dengan kata lain, seseorang dapat dianggap “Melayu”, misalnya apabila telah memenuhi persyaratan utamanya, yaitu beragama Islam. Dalam hal ini, menurut Chou, “kajian atas masyarakat Melayu cenderung menekankan homogenitas bentuk-bentuknya yang difokuskan kepada Islam disamping adat dan bahasa Melayu sebagai fitur essensial “menjadi Melayu.” (Lihat, Cynthia Chou, “Orang Laut Women of Riau: An Exploration of Difference and the Emplems of Status and Prestige”, dalam Indonesia Circle, no. 67 (1995), 175). Maka dikebanyakan daerah Sumatera, Semenanjung dan Kalimantan, menurut Reid, masuk agama Islam berarti juga ”menjadi Melayu” (masuk Melayu). (Lihat, Anthony Reid, “Introduction”, dalam The Making of an Islamic Discourse in Southeast Asia, Monash Paper on Southeast Asia – No. 27, Clayton, Victoria: Monash University, 1993: 3).

Di kalangan orang Melayu terkadang muncul kebingungan, siapa sesungguhnya orang Melayu itu. Ketika orang menyebut term “Melayu” ada beberapa asosiasi pengertian.

Pertama, Melayu dalam arti satu ras di antara berbagai ras lainnya di dunia. Ras Melayu adalah ras manusia yang berwarna kulit coklat. Dalam pengertian, semua orang yang berwarna kulitnya coklat di Nusantara (Asia tenggara umumnya) adalah Melayu.

Kedua, Melayu dalam pengertian suku (etnis) Melayu itu sendiri yang mendiami, khususnya di kawasan pesisir timur Sumatera.

Ketiga, Melayu dalam pengertian suku bangsa dalam konteks yang memiliki adat-istiatad dan budaya Melayu (Melayu perspektif kultural). Maka suku bangsa yang tidak memiliki adat (budaya) Melayu disebut sebagai non-Melayu.

Keempat, Melayu dalam pengertian agama Islam, khusus misalnya kawasan pesisir timur Sumatera dan Semenanjung Malaysia, sesorang dapat dikatakan Melayu kalau beragama Islam. Maka kalau ada orang masuk Islam, ia dikatakan masuk Melayu. (Lihat, Muchtar Lutfi, “Interaksi Antara Melayu dan Non-Melayu Serta Pengaruhnya Terhadap Pembauran Kebudayaan dan Pendidikan”, dalam Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya (Pekanbaru: PEMDA Riau, 1986), 488; Timothy Bernard, “Texts, Raja Ismail and Violence: Siak and the Transformation of Malay Identity in the Eighteenth Century”, dalam Contesting Malayness: Malay Identity Across Boundaries, ed. Timothy Barnard, Singapore: Singapore University Press, t.t, 107).

Dari pengertian “Melayu”, sebagaimana telah disebutkan di awal tulisan ini, karenanya, agama dan budaya dalam tradisi intelektual Melayu absurd dipisahkan. Meskipun demikian, agama dan budaya dua entitias yang distingtif, tentu dapat dibedakan. Perbedaan prinsip antara agama dan budaya setidaknya dengan dua alasan.

Pertama, “argumen ideal-epistimologis”. Bahwa agama adalah kebenaran bersumber dari wahyu (revilation) sebagai ciptaan Tuhan (God made-riligion). Untuk itu, kebenaran yang dikandungnya bersifat absolut dan universal, berlaku untuk semua waktu dan ruang. Sementara budaya adalah kebenaran berasal dari akal (ratio) sebagai ciptaan manusia ( man made-culture). Karenanya, kebenaran yang dikandungnya bersifat relatif dan lokal, terbatasi oleh waktu dan ruang. Maka ketika kedua kebenaran ini dikonfrontir, tentu saja, kebenaran absolut-universal (agama) dimenangkan ketimbang kebenaran relatif-lokal (budaya). (Lihat, Nurchalish Madjid, Islam Agama Kemausiaan, 1995: 36).

Kedua, “argumen empiris-historis”, merupakan kelanjutan dari yang pertama. Bahwa agama dipahami, meminjam istilah Azra, sebagai tradisi besar (great tradition), sedangkan budaya dipahami sebagai tradisi kecil (little tradition). Lebih lanjut, agama adalah primer atau centeral tradition;  dan budaya adalah sekunder atau periferal tradition. Konsekwensi logisnya, kebanyakan budaya-politik berdasarkan agama, tidak pernah terjadi sebaliknya, agama berdasarkan budaya. Maka agama menjadi faktor determinan bagi budaya; dan budaya menjadi subordinasi terhadap agama. (Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, Pengalaman Islam, 1999: 13; Nurchalish Madjid, Islam Agama Kemausiaan, 1995: 36).

Agama, utamanya Islam mengandung nilai-nilai yang sangat kondusif bagi pengembangan budaya. Al-Attas, mislanya menyebutkan “karena agama Islam adalah agama yang mengandung semangat keagamaan yang rasional dan sekaligus melahirkan daya intelektualisme kepada penganutnya.” Al-Attas menambahkan, “semangat rasionalisme dan intelektualisme tidak termanifestasi pada masa sebelum Islam.” (Syed M. N. al-Attas, Prelimenary Statement on a General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesia Archipelago, 1969: 11).

Dalam perkembangan emperis-historisnya, agama Islam telah menjadi landasan dan model bagi dunia Melayu dengan membentuk “budaya tinggi”, dan ini semakin meluas awal abad ke-17. Sebelum kedatangan Islam, nilai-nilai budaya [politik] Melayu, umpamanya, ada ungkapan: “pantang Melayu mendurhaka!” –ketaatan tanda reserve rakyat vis a vis penguasa. Belakangan, setelah Islam masuk, adigium tersebut diubah: “Raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah!” (Hussin Mutalib, Islam dan Etnisitas, Perspektif Politik Melayu, 1995: 18).

Argumen empiris-historis ini diperkuat sendiri oleh al-Attas, misalnya, ketika ia menyoroti bahasa Melayu sebagai lingua franca: “Sesungguhnya tanggapan umum bahwa bahasa Melayu itu telah lama tersebar luas sebagai lingua franca sebelum datangnya Islam masih boleh diperdebatkan, sebab di zaman pra-Islam perdagangan di kepulauan ini tidak meluas pasarannya …. Kemudian, jika sungguh benar bahwa bahasa Melayu itu sudah merupakan lingua franca di zaman pra-Islam, mengapa ia tidak menjadi bahasa sastra selama berkurun-kurun itu –sedangkan yang demikian itu tercapai hanya sesudah datangnya Islam.” (Syed M. N. Al-Atas, Islam Dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, 1990: 65).

Pernyataan Naquib al-Atas di atas secara umum ada benarnya. Meskipun pada bagian awal pernyataan tersebut perlu dipertanyakan. Apakah bahasa Melayu pra-Islam belum menjadi lingua frangca kalau dihubungkan dengan bidang perdagangan pada masa pemerintahan maritim kerajaan Sriwijaya, misalnya? Akan tetapi, pernyataan Naquib al-Atas menjadi benar ketika bahasa Melayu –tidak menjadi lingua frangca— dikaitkan dengan perkembangannya sebagai bahasa sastra di Nusantra, karena bahasa Melayu baru menjadi bahasa sastra setelah datangnya Islam lewat rintisan kesulatanan Aceh.

Kemudian, bahasa Melayu berkembang menjadi bahasa tulis dan karya-karya literer lainnya yang lebih serius dan canggih di bawah asuhan intelektual Muslim Sermabi Mekkah, seperti Hamzah Fanzuri, Syams al-Din dan Nur al-Din al-Raniri pada abad ke-17. Dan pada abad berikutnya geneologi bahasa Melayu sebagai bahasa ilmiah diteruskan oleh intelektual Muslim di Sumatra Selatan, misalnya ‘Abd Samad al-Palembang; intelektual Muslim Kalimatan Selatan, seperti Muhammad Arsyad al-Banjari, dan kawasan lainnya. (Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 1995: 166-266:

Upaya mengembangan bahasa Melayu menjadi bahasa tulis, menurut Nurcholish Madjid, “terjadi dengan menggunakan fasilitas huruf Arab yang dengan sendirinya sudah merupakan bagian dari kekeayaan atau rujukan kultural sebuah kekuasaan Islam. Bahasa Melayu dengan huruf Jawi itu kemudian menyebar ke seluruh Nusantara, dan dengan terlebih dahulu menjadi pola utama kebudayaan di deerah-daerah pesisir Selat Malaka, baik sisi Sumatera maupun sisi Semenanjung.”

Belakangan, selama rentang abad ke-19 bahasa Melayu sebagai bahasa sastra dan bahasa tulis dengan fasilitas huruf Arab-Jawi semakin berkembang yang,  menurut Nurcholis Madjid, puncaknya terwujud di Riau, dan Pulau Penyengat sebagai Pusat denyut nadinya di bawah binaan intelektual Muslim Melayu-Riau, Raja Ali Haji dan generasinya. Sehingga, ketika bahasa Indonesia belum dikenal di awal abad ke-20, menurut Muhammad Hatta, “…. Yang dikenal sebagai lingua franca ialah bahasa Melayu Riau. Orang Belanda menyebutknya Riouw Meleisch. Ada yang menyebutkan berasal dari logat sebuah pulau kecil yang bernama Pulau Penyengat dalam lingkungan pulau Riau.” (Hasan Junus dan Tim Penulis, Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji, 71).

Di Melayu-Riau sendiri agama telah menjadi faktor utama dalam mendorong aktifitas dan kreatifitas intelektual, dan sekaligus mengangkat kebudayaan Melayu. Sebelum Islam kebudayaan Melayu-Riau, kata Hasan Junus, “tidak lebih dari sebuah kebudayaan periferi yang tidak memperlihatkan mutu intelektual mengesankan.” (Lihat, Nurcholish Madjid, “Khazanah Kesufiaan, Kekayaan Terpendam dalam Perpendaharaan Budaya Kemanusiaan dan Peran Rintisan Aceh dalam Pertumbuhan Keindoneseian”, Makalah, KKA 170 Paramadina, Regent Hotel, 24 Agustus 2001; Hasan Junus Lihat “Pengantar” dalam U.U. Hamidi, Riau Sebagai Pusat Bahasa dan Budaya, 1988: 10).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb,
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies) UIN Suska Riau.

KAJIAN ISLAM ASIA TENGGARA: Pertautan Antara Tradisi dan Modernitas

KAJIAN ISLAM ASIA TENGGARA: Pertautan Antara Tradisi dan Modernitas

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*)

Mari kembalikan ingatan kita pada lebih dua dasawarsa silam, tepat 23 tahun silam, sewaktu akan dibukannya Program Pascasarjana IAIN Susqa Pekanbaru [kini UIN Suska Riau], persisinya pada 1997. Konon, untuk pembukaan program pascasarjana itu, Pak Harun (demikian murid-muridnya menyapa-akrab Prof. Dr. Harun Nasution) mensyaratkan dua hal. Pertama, harus mendapat legitimasi legalitas dan sokongan dana dari Pemerintah Provinsi Riau. Al-Hamd Allah, Bapak Saleh Djasit, Gubernur Riau pada saat itu menyetujui dan mendukung secara moral dan financial pembukaan program pascasarjana tersebut. Sayang, kita seperti mau melupakan (menghapus) jasa dan kebaikan sesorang (baca: Bapak Saleh Djasit) dari benak-memori.

Kedua, harusmembukajurusan yang berbedadenganpascasarjana di lingkungan Kemenag RI yang telah ada sebelumnya, dan sekaligus menjadi “ciri kekuatan” Program Pascasarjana UIN Riau. Maka waktu itu pengelola pendirian menetapkan dengan membuka dua jurusan: (1) Jurusan Perkembangan Islam Regional Asia Tenggara (PIRAT) [dalam keterbatan ingatan saya, kalau tidak salah, nama singkatan awalnya adalah PRIAT: Perkembagan Regional Islam Asia Tenggra]; (2) JurusanPerkembangan Modern Dalam Islam (PMDI). Akan tetapi, disayangkan kedua jurusan ini sudah lama “terkubur” dalam kenanganan alumninya.

Kebijakan penetapan kedua jurusan di atas, menurut hemat penulis, bukan saja tepat, tetapi sekaligus cerdas. Disebut tepat dan cerdas karena kedua jurusan itu mencerminkan/menggambarkan suatu bangunan intelaktual dan keilmuan yang utuh dan relevan. Artinya, semangat yang dikandung dari eksistensi kedua jurusan itu adalah ingin membangun budaya intelektual yang, meminjam ungkapan Cak Nur (NurcholishMadjid), memiliki pertautan dengan warisan khazanah Islam masa silam, khususnya Islam di Asia Tenggara, dan secara kreatif dan cerdas diterjemahkan kepada hal-hal yang relevan sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman modern.

Ada firman Allah (Q.s. Ibrahim [14]: 24-26) yang memberikan gambaran metapor bagi bangunan intelektual utuh dan relevan itu: “Tidakkah engkau lihat, bagaimana Allah membuat perumpamaan: kalimat yang baik adalah bagaikan pohon yang baik; pangkalnya kukuh (menghujam dalam bumi) dan cabangnyaada di langit. Pohon itu mendatangkan makanan (buah) setiap saat dengan izin Allah. Allah membuat berbagai perumpamaan untuk manusia supaya mereka merenungkan. Dan perumpamaan kalimat yang jelek adalah bagaikan  pohon yang jelek: tercerabut akarnya dari atas bumi dan tidak ada kekukuhan sedikit pun padanya.”

Belajar dari metapora Allah di atas, “kalimat” yang baik bagaikan pohon mempunyai pangkal kukuh: tidak akan tercerabut akarnya dari muka bumi, dan terus produktif menghasilkan mamfaat untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia. Bila perumpamaan ini ditarik kepada sebuah bangunan intelektual, maka kita memerlukan bangunan intelektual yang memiliki pangkal dan akar dalam tradisi keilmuan masa silam dalam peradaban kita. Justru adanya pangkal yang kukuh itu akan membuat kita, menurut Nurcholish Madjid [semoga Allah swt. senantiasa merahmatinya], mampu “membuahkan” inisiatif dan kerativitasi ntelektual sebagai usaha kita untuk merespon tuntutan perkembangan zaman modern.

Dengan kata lain, respon atas tuntutan perkembangan zaman modern menjadi absurd, setidaknya rapuh dan tidak bisa berdiri lama kalau tidak berasas pada bangunan tradisi intelektul masa lalu dan/atau tercerabut dari akar historistasnya. Prihal ini Cak Nur menyontohkan pada kasus negara Turki dan Jepang.

Pertama, kasus Turki dengan pemimpinanya Mustafa Kemal tidak berhasil (gagal) melakukan upaya modernisasi karena tidak berasas pada budaya  dan tradisi dan tercerabut dari akar-akar sejarahnya (baca: Islam) dan menggatinya dengan Nasionalisme, Sekularisme dan Westernisme.

Kedua, kasus Jepang yang mampu bangkit dari kehancurannya  pada Perang Dunia II. Belakangan Jepang berhasil dalam melakukan upaya  restorasi dan modernisasil lantaran pemimpin dan rakyatnya menghargai warisan khazanah intelektual masa lalunya.

Miskinnya ilmu pengetahuan dan  keterbatasan inforamasi kita tentang kawasan Islam Asia Tenggara dalam mengambil inisiatif yang sejati sekaligus kreatif, antara lain disebabkan, karena kita  kurang mengenal  dan menghargai warisan khazanah intelektual yang kita miliki. Untuk sekedar contoh, bila kita dihadapkan pada  persoalan-persoalan kekinian  dan kedisinian kemungkinan besar kita buta. Lantaran penguasaan sumber rujukan tidak kita punyai, sehingga kita tidak  mengetahui bagaimana hal yang sebanding pernah terjadi dalam tradisi khazanah intelektual kita untuk dapat dijadikan rujukan dan sumber ilham.

Sekedar umpama, persolan-persoalan politik,  yang dihadapi pada masa kontemporer ini, terutama menyangkut masalah etika politik, akan dengan mudah dipecahkan (dicari jalan solusinya) kalau kita mengambil rujukan dari al-Ahkam al-Sulthaniyah-nya al-Mawardi perspektif fiqh al-siayah; mengambil hikmah dari Madhinah al-Fadhilah-nya al-Farabi dalam perpektif “falsafah al-siyasah”; dan/atau mengambil ilham dari Nasihat al-Mulk-nya al-Ghazali dalam perspektif “sufi al-Suyasah”. Sama halnya untuk rujukan di Asia tenggara, kita dapat mengambil pelajaran dari Taj al-Salatin-nya  Bukhari al-Jawhari; Sejarah Melayu-nya Tun Sri Lanang; atau Bustān al-Salāṭin-nya Nurdin al-Raniri; atau mengambil tuah dari Tuhfat al-Nafis dan Tsamarat al-Muhaimmah dan Muqaddimah fi al-Intizam-nya Raja Ali Haji.

Tanpa mengetahui warisan khazanah intelektual Islam masa lalu, maka dengan semena-mena kita mengklaim diri kita sebagai “penemu” ilmu dan kebenaran itu. Padahal, jangan-jangan ilmu tersebut sudah “ditemukan” oleh orang-orang (sarjana-sarjana Muslim) sebelum kita. Masalahnya, bukannya ilmu-ilmu itu yang tidak ada, tetapi persoalannya adalah kita saja yang tidak tahu. Artinya, “ketiadaan ilmu bukanlah berarti ilmu tentang itu tidak ada” (‘adam al-‘ilmalaysailman bi ‘adamih). Pendeknya,  ketidaktahuan  khazanah bukan berarti khazanah itu tidak ada. Dengan sendirinya, jadilah kita a histories (tidak menyejarah) dan tercerabut dari akar sejarah.

Kembali merujuk kepada metapora di atas, paling tidak, kita dapat mengelaminir tuduhan sementara pihak (terutama orang-orang di luar IAIN dulu) yang mengatakan bahwa  studi keislaman (Islamic Studies) yang dilaksanakan di lembaga itu bersifat abstrak dan tidak menyentuh realita sempiris (mengawang-ngawang). Bahkan secara tandas mereka menyatakan kajian-kajian tersebut tidak layak untuk disebut ilmu.

Memang kritik itu tidak seluruhnya salah, kajian yang dilakukan di lembaga ini (baca: IAIN dulu) ada kelemahannya, contoh, misalnya dalam bidang Teologi. Kajian Teologi pada awalnya lebih banyak menggunakan análisis sejarah dan perbandingan pemikiran yang digambarkan secara deskriftif, seperti sejarah pemikiran aliran teologi Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah dan lain-lainnya.

Tema-tema yang diperbincangkan lebih banyak merespon persoalan-persoalan masa lalu dan tidak menyentuh relitas sosial masyarakat modern dewasa ini. Perbincangannya selalu diseputaran, misalnya, apakah Tuhan menciptakan alam ini dari ada atau tiada (creation ex nihilo); apakah al-Qur’an qadim (tidak diciptakan) atau baharu (diciptakan); apakah  Tuhan mempunyai sifat atau tidak; apakah kebangkitan di akhirat nanti bersifat jasmani atau ruhani; apakah surga dan neraka itu sudah ada sekarang atau belum; dan apakah iblis nanti (juga) masuk surga atau kekal di neraka; dan masih banyak lagi yang lainnya.

Akan tetapi, belajar dari metapora Allah di atas, di Program Pascasarjana yang dulu kami ikuti, perbincangan yang saya sebutkan di atas memang masih tetap digeluti ulang pada semester pertama sebagai wacana intelektual awal agar kami tidak tercerabut dari akar, sehingga bisa menjad ia histories. Meskipun begitu, pada semester ketiga dan keempat kami juga mendapatkan mata kuliah, misalnya Perkembangan Teologi Modern yang mendiskusikan masalah-masalah teologis yang bersifat emperis sesuai dengan tuntunan zaman modern.

Dalam   mengkaji teologi ini, misalnya juga dikaji pemikiran tokoh-tokoh modern dan kontemporer. Lagi pula, sewaktu studi di Program Magister (S2) di UIN Suska dulu (1997-1999) ada mata kuliah Perkembaagan Modern Dalam Islam (PMDI) yang memiliki dua orientasi, sebagaimana tersimpul dalam kaidah: “Al-Mahafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhudz bi al-jadid al-ashlah” (memelihara sesuatu tradisi lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik).

Pertama, menatap ke “belakang lewat intelektual-pemikir Muslim,  seperti Muhamamad Abduh dan Rasyid Ridha (Mesir), Sayyid Ahmad Khan dan Syed Ameer Ali (India) dan lainnya dalam “membedah” penyakit umat Islam: kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan umat Islam. Kemudian, “mendiagnosa” penyakit-penyakit tersebut diberikan “obat” penyembuhannya.

Kedua, menatap ke “depan” lewat intelektual pemikir Muslim, seperti Fazlur Rahman, Muhammad Arkound, Muhammad Abid al-Jabiri, Hasan Hanafi, Nazr Hamid Abu Zayd, Muhammad Shahrur, dan lainnya yang berupaya untuk memberikan solusi dengan membangun “metodologi baru” dalam memahami al-Qur’an demi menghadapi tantangan moderitas.

Dan hebatnya lagi, kehadiran jurusan Perkembangan Islam Regional Asia Tenggara (PIRAT) dengan mata kuliah-mata kuliah yang ada memiliki dua orientasi. Pertama, pada kajian sejarah Islam Asia Tenggara di masa silam sebagai wujud peletakan fondasi bangunan inteleketual yang kokoh. Kedua, pada kajian Islam Asia Tenggra di masa kini dengan “proyeksi” pada masa depan.

Meminjam motafora “kalimat yang baik”, Program Pascasarjana UIN Riau telah berupaya sebagai langka awal mewujudkan, “…. bagaimana Allah membuat perumpamaan: kalimat yang baik adalah bagai kanpohon yang baik; pangkalnya kukuh (menghujam dalam bumi) dan cabangnya ada di langit. Pohon itu mendatangkan makanan (buah) setiap saat dengan izin Allah.”. Dengan begitu, kajian Islam di Asia Tenggara berjalin kelindan antara tradisi dan modernitas.

Sadar akan sabagai alumni Program Pascsarjana yang bangga sebagai “anak angkatan pertama, merespon kawan Jarir Amrun, mari kita “hidup” kembali jurusan Perkembangan Islam Regional Asia Tenggara (PIRAT) yang memang “dibunuh” secara tidak sengaja oleh tuntutan zaman. Dalam konteks ini, kita sebaiknya tidak melulu berorientasi memenuhi tuntutan“pasar”, tetapi harus ada upaya yang “tidak populer” dalam mewujudkan bangunan tradisi intelektual yang utuh dan relevan. Bukankan sebuah perubahan besar awalnya diupayakan secara sungguh-sungguh dalam “kesunyian”?

Kalaupun jurusan PIRAT itu tidak bisa “dihidupkan” (lagi) dalam waktu dekat ini, minimal kajian kajian Islam Asia Tenggara dalam berbagai aspeknya “digalakkan” kembali disemua jurusan di progran pascasarjana yang ada sekarang secara khusus, bahkan pada UIN Suska secara umum. Bukankan dalam Renstra UIN Suska Riau tersebutkan bawah “karakterisitik”nya adalah kajian Islam Asia Tenggara. Jujur, karakterisktik ini sejak kelahirannya sudah menjadi “yatim piatu”. Para alumni Program Pascasarjana UIN Suska Riau, khususunya “anak anggatan”: 1, 2, dan 3 (1997-2000) harus rela menjadi bapak/ibu anggat atas anak yatim tersebut.

Mā Tawfiq illā bi Allāh,
Wa Allāh  a‘lam bi al-Ṣawāb

*)Direktur dan Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau).

Ringkasan Singkat Buku The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid Karya Greg Barton

Ringkasan Singkat Buku The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid Karya Greg Barton

Buku berjudul “Biografi Gus Dur; The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid” adalah buku yang ditulis oleh Greg Barton seorang berkebangsaan Australia. Dr. Greg Barton seorang senior lecturer di Deakin University Australia yang sangat aktif melakukan studi tentang Islam di Indonesia.

Pada tahun 1989 dia tinggal di Jakarta dan berkenalan dengan Gus Dur untuk pertama kalinya. Dari pertemuan yang hangat dan menyenangkan itu Greg akhirnya menjadi sahabat Gus Dur hingga sisa hidupnya. Tak jarang Gus Dur mengajak mahasiswa ini menemaninya dalam berbagai tugas kenegaraan ketika menjadi presiden. Hubungan antar personal inilah yang menjadi sumber informasi dari buku biografi Gus Dur.

The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid ini dibagi menjadi lima bagian. Bagian satu ke bagian berikutnya merupakan fase perjalanan hidup seorang Gus Dur dari kecil hingga saat ia menjabat sebagai pimpinan tertinggi Indonesia (Presiden).Gus Dur merupakan tokoh panutan yang sangat dihormati oleh banyak kalangan karena pengabdiannya kepada masyarakat, demokrasi, dan Islam toleran.

A. Riwayat Sang Intelektual
Sebagai seorang anak dari seorang kiai besar yang sekaligus pendiri organisasi Nahdlatul Ulama, Gus Dur tidak dapat dipisahkan dari lingkungan ayah dan kakeknya yakni pesantren. Pesantren dalam lingkup Nahdlatul Ulama merupakan unsur penting dalam sendi kehidupan organisasi ini.

Ada beberapa orang yang berpengaruh dalam membentuk sosok Gus Dur di lingkungan pesantren. Mereka adalah kakek-kakek Gus Dur, Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Bisri Syansuri, dan Kiai Wahab Chasbullah yang merupakan keponakan dari kakeknya Kiai Hasyim Asy’ari. Selain itu tentu dari kedua orang tuanya yakni Kiai Wahid Hasyim dan Nyai Solichah. Kakek-kakek Gus Dur adalah keturunan kiai-kiai besar NU, baik dari pihak ayah maupun Ibu.
Pendidikan Gus Dur sepenuhnya bersifat sekular. Namun, tentu saja ia telah mempelajari bahasa Arab ketika kecil dan mempunyai cukup pengetahuan untuk membaca Al-Qur’an. Setelah beranjak dewasa, ia mulai belajar Bahasa Arab secara sistematis.

Gus Dur juga dikenal menguasai beberapa bahasa asing. Bahasa Inggris, Prancis, Arab, Jerman, dan lainnya dikuasai secara baik.Secara garis besar buku ini juga menjelaskan kehidupan Gus Dur saat studi di Timur Tengah. Ada tiga kota besar yang mempengaruhi arus intelektualisme Gus Dur, tiga kota itu adalah Kairo, Baghdad, dan Eropa.
Di Kairo Gus Dur justru ‘gagal’ dalam studinya, ini dikarenakan lebih pada kekecewaan Gus Dur pada Al-Azhar yang menurutnya tidak memberikan pendidikan yang baik macam Barat. Di Al-Azhar ini kemudian ia merasakan kekecewaan yang begitu besar, karena baginya Al-Azhar tidak ada bedanya dengan pesantren di Indonesia, karena itulah ia tidak ingin menghabiskan waktunya dengan mempelajari apa yang telah dipelajarinya bertahun-tahun di pesantren.

Tak lama kemudian Gus Dur dikeluarkan dari universitas ini karena sering membolos. Membolosnya Gus Dur lebih sering ia gunakan membaca di perpustakan dan menonton pertandingan bola dan film India. Ketika ia mendapatkan kesempatan untuk belajar di Baghdad, ia merasakan menemukan lingkungan yang dimaksud. Di Baghdad baginya lebih kosmopolitan dengan menghadirkan sistem pembelajaran yang lebih terbuka, pun dengan koleksi perpustakaan yang lebih beragam koleksi bukunya. Di sinilah ia banyak berkenalan dengan pemikiran dan filsafat Barat.

Meski di Baghdad ia harus taat dan harus kooperatif dengan kampus. Sebab aturan di sini lebih disiplin dan ketat bagi mahasiswanya. Baghdad menjadi tempat yang paling nyaman baginya terbukti hampir empat tahun ia habiskan waktunya di sana.

Sementara itu, dalam sela-sela kuliahnya iapun meminang Nuriyah. Pernikahan ini pun berlangsung tetapi Gus Dur tidak hadir secara langsung dan diwakilkan kakeknya Kiai Bisri Syamsuri. Setelah menikah dan lulus di Baghdad Gus Dur memiliki cita-cita melanjutkan pendidikannya ke Eropa dengan harapan dapat membawa Nuriyah tinggal bersamanya di sana. Akan tetapi, harapan itu pupus setelah ijazah keluaran Baghdad tidak diakui di Eropa.

B. Islam dan Liberalisme
Ketika Gus Dur meninggalkan Jombang untuk belajar ke luar negeri, ia adalah seorang pemuda yang tengah bergulat dengan masalah bagaimana Islam bisa mengadakan perubahan. Menjelang masa dewasanya, ia pernah terpukau oleh kelompok Islamis radikal. Tujuh tahun
kemudian ia kembali ke tanah air sebagai seorang yang penuh komitmen terhadap pemahaman liberal mengenai Islam.

Pengaruh yang membentuk pemikiran liberalisme ini, pertama adalah karena keluarganya sendiri. Di dalam lingkungan keluarga ia dididik untuk bersikap terbuka dan selalu mempertanyakan sesuatu secara intelektual. Kedua, ia dibesarkan di dalam dunia sufistik Islam tradisional Indonesia. Ketiga, ia dipengaruhi oleh orientasi budaya masyarakat Indonesia modern yang mengarah pada pluralisme dan egalitarianisme.

Gus Dur yang di kalangan pesantren dikenal sebagai seorang kiai justru dalam hal pemikiran dan gagasan bisa terbilang liberal dalam pandangan sebagian Muslim Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari pemaparan Greg dalam bagian ketiga buku ini. Bagaimana sosok Gus Dur mati-matian membela demokrasi dengan membentuk forum-forum yang pro demokrasi dan terus terjun ke akar rumput sembari membela dan menolak penindasan-penindasan yang dilakukan negara kepada masyarakat.

Gus Dur pun sangat terbuka dengan aliran pemikiran dan menjunjung kebebasan beragama. Karena itulah ia sering melakukan dialog antar iman dan membela hak-hak kaum minoritas yang dikebiri. Ia sendiri tetap memakai landasan demokrasi dan konstitusi dalam menyuarakan kebebasan berpendapat dan berkeyakinan.

C. Menerjang Batas
Gus Dur adalah sosok yang mendobrak batas untuk keterbukaan dan kebebasan. Ia kemudian menjadi simbol kebangkitan bagi anak-anak muda NU dan Muslim umumnya dalam berpikir terbuka dan bebas. Karena itulah kehadiran Gus Dur dalam kancah pergerakan masa Orba menjadi sangat penting dan simbolik. Gus Dur menjadi simbol perlawanan bagi Soeharto, yang selama ini orang takut menghadapinya. Namun di sisi lain juga ada orang yang mengkritiknya.

Salah satu alasan utama mengapa orang mengkritik kepemimpinan Gus Dur dalam organisasi adalah bahwa ia sering kali meletakkan organisasi dalam hubungan yang bertubrukan dengan rezim Soeharto (hlm : 248). Pada bagian terakhir atau kelima, adalah lanjutan dari bagian keempat. Pada bagian ini masih menceritakan soal politik dan pergerakan menentang Soeharto dan saat ia menjabat menjadi presiden.

Pada bagian akhir ini Greg menjelaskan situasi sulit Gus Dur saat berhadap-hadapan dengan Soeharto. Pasalnya berhadapan dengan rezim adalah satu “kekonyolan” yang mengantar pada kesakitan. Dan itu disadari betul oleh Gus Dur, intimidasi, ancaman, boikot serta kampanye anti-Gus Dur dibuat untuk menjatuhkan dan melemahkan Gus Dur.
Namun sayang, semua itu gagal dan tidak berhasil melenyapkan Gus Dur. Justru hal itu membuat Gus Dur semakin dewasa dalam berhadapan dengan rezim. Tak hanya itu, orang yang dekat dengan Gus Dur seperti Megawati juga memberikan perlakuan yang sama.

Saat situasi politik memanas, kekacauan hampir terjadi dimana-mana. Pasca Timor-timor, Poso meledak. Sementara kerusuhan atas nama agamapun juga terjadi di Situbondo. Partai PDI-pun tepecah dan terjadi tragedi yang menewaskan banyak orang.

Saat situasi itu terjadi, posisi Gus Dur menjadi sangat berat. Sebagai seorang yang konsisten membela kebebasan dan perdamaian Gus Dur tetap turun ke akar rumput untuk menyerukan perdamaian dan toleransi. Saat ia menjabat, yang tak lebih dari dua tahun itu, Gus Dur mengalami pasang surut kehidupan yang luar biasa. Sikapnya yang bebas, santai, dan cuek menjadi keuntungan dan kerugian sekaligus. Karena hal itulah banyak lawan politiknya kemudian menyerangnya. Manuver politik lawan begitu kuat, dan Gus Dur hanya seorang diri, dan pada akhirnya ia harus dilengserkan dari kursi kepresidenan.
Terhadap tuduhan bahwa Gus Dur telah mulai bersikap otoriter, suatu alasan kuat dapat digunakan untuk menentang gugatan tersebut, yakni bahwa kelemahan politik Gus Dur disebabkan oleh keidakmampuannya untuk bernegosiasi dengan keras dan mencapai kesepakatan dengan musuh-musuh politiknya (hlm : 491).
Dalam menyusun buku biografi ini Barton membaginya dalam beberapa bagian yang disusun secara kronologis historis dari sebagian perjalanan hidup Gus Dur. Dan ia batasi hingga akhir tahun 2001, yakni saat masa lengser dari kursi kepresidenan RI.
Sedikit kekurangan buku ini, karena merupakan buku terjemahan maka banyak ditemukan kosakata salah ketik. Dengan demikian pembaca harus teliti untuk menentukan maksud kata tersebut. Dari sisi penulisan seringkali setiap sub pembahasan yang membahas pokok yang sama terpisah di bagian-bagian yang berbeda.

Buku ini sangat tepat untuk menggambarkan Gus Dur yang memiliki pandangan besar sebagai seorang negarawan, ulama, dan cendekiawan. Beliau seorang manusia yang memandang sesamanya sebagai seorang manusia juga. Sebagaimana kebaikan-kebaikan yang sudah dilakukan, beliau memberikan keteladanan sikap kemanusiaan atas banyaknya tragedi di Indonesia. Ada banyak yang bisa kita pelajari mengenai sosok Gus Dur melalui buku ini.

By: Miftahul Huda

Duabelas Noktah-Noktah: Persamaan Antara Raja Ali Haji dan Buya Hamka

Duabelas Noktah-Noktah: Persamaan Antara Raja Ali Haji dan Buya Hamka

Dalam buku Perceptions of the Past ini Southeast Asia dieditori oleh Anthony Reid dan David Marr yang belakangan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Th. Sumarthanan dengan judul “menyimpang”, yaitu Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka: Indonesia dan Masa Lalunya. Dalam buku ini, tulisan tentang Raja Ali Haji oleh Barbara Watson Andaya dan Virginia Matheson judul persisinya “Pemikiran Islam dan Tradisi Melayu: Tulisan Raja Ali Haji dari Riau”. Sementara itu, tema terkait Hamka dengan judul persisinya “Yamin dan Hamka: Dua Jalan Menuju Identitas Indonesia” yang ditulis oleh Deliar Noer.

Terjemahan buku rampai yang terdiri dari delapan bab disebut, saya sebut “menyimpang” sebab tema-temanya bukan semata-mata kajian tokoh. Artinya dari delapan tulisan dalam buku tersebut hanya ada tiga tulisan tema tentang tokoh. Lagi pula, kalau kajian tokoh yang ada –hanya empat orang, yaitu Arung Palakka, Raja Ali Haji, Muhmmaf Yamin dan Hamka– dari segi waktu kehadiran tokohnya, judul seharusnya Dari Arung Palakka Hingga Hamka. Lalu, kenapa judul terjemahan buku tersebut demikian? Saya berupaya untuk “memaksakan logika” bahwa antara Raja Ali Haji dan Buya Hamka memiliki banyak sekali persamaan. Logika pemaksaan ini pun diambil demi mencocoki judul tulisan ringan ini, yaitu “Duabelas Noktah-Nokta: Persamaan Antara Raja Ali Haji dan Buya Hamka.

Dalam melihat figur Raja Ali Haji, sama seperti ketika Steenbrink dan Azra melihat sosok Hamka bahwa kedua intelektual dan sastrawan lebih merupakan seorang, meminjam ungkapan Azra, “penulis prolifik keagamaan yang baik, ketimbang ’ulama’ yang mumpuni.” (Karel Steenbrink, “Hamka (1908-1981) and The Integration of The Islamic Ummah of Indonesia”, Studia Islamika,  Vol. 1, No. 3, 1994: 210; Azyumardi Azra, “Melacak Pengaruh dan Pergesaran Orientasi Tamatan Kairo”, Studia Islamika,  II, (3), 1995: 199-219). Penilaian yang sama dengan aspek yang berbeda dan lebih spesifik bahwa  baik Raja Ali Haji maupun Buya Hamka sama-sama awalnya lebih dikenal sebagai seorang sastrawan ketimbang seorang ulama.

Istilah “sastra” (kesusastraan) dalam bahasa Melayu berbeda ruang lingkup dan cakupannya dengan istilah “literature” dalam bahasa Inggris. Dan berbeda pula dengan istilah “belles lettres” dalam bahasa Prancis yang berarti “karya tulis yang artistik dan indah.” Istilah “sastra” dalam bahasa Melayu mempunyai cakupan yang lebih luas, yaitu mencakup semua karya tulis baik karya yang bersifat fiksi maupun karya bersifat non-fiksi. Artinya, “sastra” dalam bahasa Melayu dapat mengantarkan pada pemuasan “pengalaman intelektual” dan “pengalaman emosional” secara simultan. Dari pemahaman seperti ini, agaknya istilah “persuratan” lebih mewakil makna sastra atau istilah “ecriture” dalam bahasa Prancis. Lihat, Panuti Sudjiman, Filologi Melayu  (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), 16. Dengan latar belakang pengertian semacam ini, menggunakan istilah “persuratan” dengan menambahkan kata “intelektual” dibelakangnya, sehingga menjadi “persuratan intelektual” sebagai penegasan terhadap pemahaman atas makna “sejati “ sastra yang belum populer.

Penyebutakan Raja Ali Haji dan Buya Hamka di awal kiprahnya pada negeri dan bangsanya, oleh karenanya, lebih tepat dinisbatkan pada diri kedunya sebagai “intelektual-penyair” atau “sasterawan intelektual”. Penisbatan sebagai “sasterawan intelektual” atau “intelektual-penyair” tersebut menjadi beralasan karena dari hampir seluruh karya-karyanya mencerminkan jenis-jenis karya sastra Melayu-Indonesia, sebagaimana pembatasan  sastera Malayu oleh R. Roolvink. Misalnya R. Roolvink menyebutkan bahwa sastera dalam bahasa Melayu meliputi segala yang dikarang dalam bahasa Melayu, baik hikayat-hikayat dan kisah-kisah, kitab-kitab keagamaan, hukum  kanun dan sebagainya.” (Lihat, Lian Yock Fang, “Beberapa Masalah dalam Penulisan Sejarah Sastera Tradisional Melayu: Kajian Permulaan,” dalam Cendikia Kesustaraan Melayu Tradisional, ed.  Siti Hawa Haji Salleh (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1987: 13).

Namun demikian, Raja Ali Haji dan Buya Hamka, terutama di akhir-akhir kiprahnya, dapat dikategorikan seorang ulama, bahkan sebagai ulama besar, khususnya figur disebut belakangan. Sebab bagi kebanyakan Muslimin Indonesia dan/atau dalam realitas sosial, menurut Azra, pengertian ulama secara umum ada tiga. Pertama, ulama adalah mereka yang memiliki ilmu pengetahuan (agama) Islam yang diperoleh dari lembaga-lembaga  pendidikan Islam tradisional. Kedua, ulama adalah mereka yang mendapat legitimasi dan pengakuan dari masyarakat luas akibat langsung dari interaksi dengan masyarakat melalui sejumlah lembaga keagamaan, sosial dan pendidikan. Ketiga, ulama adalah lebih berkonotasi pada penguasaan ayat-ayat kawliyah (al-Qur’an) lebih “membumi” daripada pengertian ulama diisyaratkan al-Qur’an itu sendiri berkonotasi pada penguasaan ayat-ayat qawniyah (alam semesta) lebih “melangit”. (Lihat, Azyumardi Azra, “Melacak Pengaruh dan Pergeseran Orientasi Tamatan Kairo”, Studia Islamika,  II, 3, 1995: 210). Artinya, dengan ketiga pengertian ini maka Raja Ali Haji dan Hamka adalah sungguh-sungguh seorang ulama.

Dengan ungkapan yang berbeda bahwa Raja Ali Haji dan Buya Hamka dapat dikatakan –dengan meminjam istilah al-Qur’an– sebagai seorang “uwlū al-bāb”. Seorang “uwlū al-bāb” harus piawai dalam menyampaikan pengetahuan, pemikirannya dan melahirkan karya-karya tulis bercorak kosmopolitan berdasarkan panggilan hati nuraninya dengan berasaskan  pada al-Qur’an dan hadis.  Adapan tujuan seorang “uwlū al-bāb”, ungkap Abdul Hadi W.M.,  dalam mengutarakan pengetahuan dan pemikiran serta tulisan-tulisannya, di antaranya, yaitu: (i) untuk membantu masyarakat dalam mencari pemecahan atas krisis yang dihadapi; (ii) untuk memberikan pencerahan, sehingga masyarakat dapat keluar dari keputusasaan dan nihilisme kehidupan. Pendek kata, khusus untuk Raja Ali Haji, tulis Abdul Hadi W. M., “… pemikiran dan karya-karyanya memperlihatkan keterkaitannya dengan persoalan-persoalan nyata yang dihadapi masyarakat, serta mencerminkan kesinambungan dengan istiadat (tradisi) kecendikiawanan bangsanya.” (Lihat, Abdul Hadi W.M, “Aceh dan Kesusastraan Melayu”, dalam Aceh Kembali ke Masa Depan, (ed.) Sardono W. Kusumo (Jakarta: IKJ Press, 2005: 218).

Selanjutnya, kalau diperbandingkan antara Raja Ali Haji (1809-1873) dan Hamka (1908-1981) –kalau diperhatikan tahun kelahirannya, keduanya hidup persis berbeda satu abad masing-masing pada abad ke-19 dan ke-20– dalam banyak hal memang memiliki banyak kesamaan. Kesamaan antara kedua tokoh besar ini terlihat sebagai figur multidimensi: penulis prolifik, sastrawan, politisi, dan ulama. Persamaan antara kedua figur ini, Raja Ali Haji dan Buya Hamka, dapat dirinci minimal sampai “duabelas noktah-noktah”, sebagai berikut.

Pertama, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama memiliki semangat dan tekad yang kuat untuk menuntut  ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu agama. Kedunya  lebih banyak menempuh pendidikan secara otodidak (membaca buku-buku/kitab-kitab [khususnya berbahasa Arab] yang berlangsung dalam waktu relatif lama. Keduanya tidak diketahui pernah menempuh mendidikan secara formal melebihi daripada tingkat pendidikan menegah ke atas. Dengan kata lain, baik Raja Ali Haji maupun Buya Hamka tidak pernah berguru lama  secara langsung pada seorang dan beberapa guru, dan (apalagi) secara formal di sebuah lembaga pendidikan. Artinya, Raja Ali Haji dan Buya Hamka adalah pembelajar otodidak yang baik, tekun dan terus-menerus serta berkekakalan hingga dipenghujung hanyatnya..

Kedua,  Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama pernah pergi ke Tanah Suci dalam usia remaja untuk menunikan ibadah haji, dan sekaligus belajar agama di Mekkah. Begitu pula, keduanya belajar di Mekkah dalam rentang waktu yang singkat, yaitu hanya berkisar lebih enam bulanan di kala masing-masing berusia sekitar 18 tahun. Kemungkinan waktu Raja Ali Haji dan Buya Hamka yang singkat itu sama-sama dipergunakan untuk menyempurnakan kemampuan Bahasa Arabnya selama menempuh pendidikan di kota kelahiran Rasul Allah tersebut.

Ketiga, Raja Ali Haji dan Buya Hamka tampaknya sangat berbakat dalam bahasa Arab dan  menguasainya. Keduanya menjadikan bahasa Arab sebagai satu-satunya bahasa asing yang dikuasai. Dengan kemampuan bahasa Arabnya sangat mumpuni, sehingga bahasa tersebut benar-benar dijadikan “alat” guna membaca dan memahami teks-teks Arab, khususnya teks-teks keagamaan dari karya-karya sejumlah ulama, baik ulama mutaqaddimin maupun mutaakhkhirin, dan sekaligus menjadi sumber utamanya dalam melahirkan karya-karnya.

Keempat, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama menikah sepulang dari Mekkah pada usia yang reatif sama, kurang lebih 19 tahun. Namun, dalam perjalan lebih lanjut, keduanya memiliki sikap yang berbeda dalam pernikahan: Raja Ali Haji poligami, Buya Hamka monogami. Perbedaan sikap keduanya ini kemungkinan disebabkan oleh tuntutan (keharusan) zamannya masing-masing. Raja Ali Haji lebih “memaksimalkan” seruan ayat al-Qur’an secara tekstual untuk mengawini wanita sampai empat karena ia hidup sebagai keluarga istana kerajaan Melayu Riau. Sementara Buya Hamka lebih “meminimalkan” seruan ayat al-Qur’an secara kontekstual dengan hidup bermonogami, dan baru menikah kedua kalinya setelah istri pertamanya wafat. Sikap Buya Hamka dalam perkawinan ini boleh jadi disebabkan oleh tuntutan zamanya, dan/atau karena mungkin saja tidak berkenan mencontoh pola perkawinan poligami dari ayahnya. Dan mungkin pula Buya Hamka tidak berpoligami khawatir tidak kuasa berlaku adil.

Kelima,  Raja Ali Haji dan Buya Hamka pada awalnya sama-sama meminati dan sekaligus melahirkan karya-karya sastera, sehingga keduanya masyhur dikenal sebagai seorang sastrawan atau pujangga. Begitu pula, bakat tulis-menulis keduanya diwarisikan dan ditularkan dari kedua orang tuanya masing-masing, yaitu Haji Abdul Malik Karim dan Raja Ahmad secara berturut. Selain itu, belakangan keduanya juga –seiring dengan perjalan waktu dan usia– mengokohkan masing-masing dirinya sebagai penulis dalam bidang keagamaan.

Keenam, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama terlibat dalam politik dan pemerintahan (eksekutif), dan pada “badan permusyawaratan” (legisliatif) di usia relatif muda. Raja Ali Haji menjadi tangan kanan YDM Raja Ali bin Ja’far dalam menjalankan pemerintahan di kerajan Melayu-Riau. Raja Ali Haji memangku jawatan keagamaan sekaligus menjadi Ahl Halli wa al-Aqdhi pada masa pemerintahan YDM Raja Abdullah. Sementara itu, Buya Hamka pernah menjadi pegawai teras atas Departeman Agama.  Buya Hamka pernah pula menjadi anggota Konstituante pada masa pemerintahan Orde Lama.

Ketujuh, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama memiliki minat pada kajian sejarah. Oleh karenanya, keduanya menulis sejarah: Raja Ali Haji menulis sejarah “bangsa”nya; dan Buya Hamka menulis sejarah “ummat”nya. Tokoh pertama menulis sejarah kerajaan Johor-Riau-Lingga dengan melahirkan dua karya, yaitu Silsilah Melayu dan Bugis, dan Tuḥfat al-Nafīs. Buya Hamka sendiri menulis buku Sejarah Islam yang komprehensif (berjilid-jilid) dipaparakannya dari era “Pra-Kenabian hingga Islam di Nusantara”.

Kedelapan, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama menjadi “watchdog” (“moral guadian” dan “spiritual patronage”) bagi masyarakat dan pemerintah pada masanya masing-masing. Raja Ali Haji diangkat menjadi penasehat “resmi” kerajaan dengan jabatan  sebagai penasehat kerajaan dalam bidang pemerintahan dan keagamaan pada masa YDM Raja Muhammad Yusuf Ahmadi. Sementara Buya Hamka diangkat sebagai penasehat “tidak resmi” pemerintah dalam bidang keagamaan dengan jabatan sebagai Ketua MUI pada masa pemerintahan Orde Baru.

Kesembilan, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama penulis, peminat dan penganut tasawuf “mu‘tabarah” yang menyelaraskan antara ajaran esoterisme dan eksoterisme dalam Islam. Dengan bahasa lain, boleh dikatakan bahwa keduanya sama-sama  berpaham  neo-sufisme. Raja Ali Haji dan Buya Hamka memaknai asawuf, misalnya tidak melulu bahwa zuhud itu menyepi dan menghidari kehidupan duniawi, tetapi harus memaknai hidup di dunia ini secara aktif beramal shaleh, apakah amal yang akan bermuara pada keshalehan pribadi maupun keshalehan sosial.

Kesepuluh, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama terlahir untuk menjadi seorang guru (born a teacher) dalam memberikan pendidikan bagi  generasi muda (pendidikan formal) dan menjadi guru ngaji bagi anak dan cucu-cucunya (generasinya). Begitu juga, keduanya selalu hadir memberikan pencerahan pemahaman keagamaan lewat pengajian bagi masyarakat secara umum (pendidikan/pengajaran non-formal).

Kesebelas, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama penulis  keagamaan yang produktif dan otoritatif dan komprehensi. Disebut produktif karena keduanya telah melahirkan sejumlah karya-karya, khususnya dalam bidang keagamaan. Disebut otoritatif karena keduanya sangat bernas dalam menjabarkan masalah agama dalam berbagai karya-karyanya. Disebut komprehensif karena keduanya mengulas ajaran agama dalam berbagai aspeknya dengan diilhami oleh semangat Islam yang kokoh dan utuh.

Keduabelas, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama, kadang-kadang, diragukan keulamaannya, sehingga Raja Ali Haji dan Buya Hamka oleh sebagai orang lebih layak/tepat disebut seorang “intelektual” tinimbang sebagai seorang ulama, sebagaimana dijelasakn di atas. Di antara keduanya, Buya Hamka lebih menonjol keulamaanya lantaran karya fenomenal dan monumentalnya dalam menafsirkan al-Qur’an serta sekaligus menjadi masterpiece (karya agungnya): Tafsir Al-Azhar.

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb,
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

Alimuddin Hassan Palawa, Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies)