Ringkasan Singkat Buku The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid Karya Greg Barton

Ringkasan Singkat Buku The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid Karya Greg Barton

Buku berjudul “Biografi Gus Dur; The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid” adalah buku yang ditulis oleh Greg Barton seorang berkebangsaan Australia. Dr. Greg Barton seorang senior lecturer di Deakin University Australia yang sangat aktif melakukan studi tentang Islam di Indonesia.

Pada tahun 1989 dia tinggal di Jakarta dan berkenalan dengan Gus Dur untuk pertama kalinya. Dari pertemuan yang hangat dan menyenangkan itu Greg akhirnya menjadi sahabat Gus Dur hingga sisa hidupnya. Tak jarang Gus Dur mengajak mahasiswa ini menemaninya dalam berbagai tugas kenegaraan ketika menjadi presiden. Hubungan antar personal inilah yang menjadi sumber informasi dari buku biografi Gus Dur.

The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid ini dibagi menjadi lima bagian. Bagian satu ke bagian berikutnya merupakan fase perjalanan hidup seorang Gus Dur dari kecil hingga saat ia menjabat sebagai pimpinan tertinggi Indonesia (Presiden).Gus Dur merupakan tokoh panutan yang sangat dihormati oleh banyak kalangan karena pengabdiannya kepada masyarakat, demokrasi, dan Islam toleran.

A. Riwayat Sang Intelektual
Sebagai seorang anak dari seorang kiai besar yang sekaligus pendiri organisasi Nahdlatul Ulama, Gus Dur tidak dapat dipisahkan dari lingkungan ayah dan kakeknya yakni pesantren. Pesantren dalam lingkup Nahdlatul Ulama merupakan unsur penting dalam sendi kehidupan organisasi ini.

Ada beberapa orang yang berpengaruh dalam membentuk sosok Gus Dur di lingkungan pesantren. Mereka adalah kakek-kakek Gus Dur, Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Bisri Syansuri, dan Kiai Wahab Chasbullah yang merupakan keponakan dari kakeknya Kiai Hasyim Asy’ari. Selain itu tentu dari kedua orang tuanya yakni Kiai Wahid Hasyim dan Nyai Solichah. Kakek-kakek Gus Dur adalah keturunan kiai-kiai besar NU, baik dari pihak ayah maupun Ibu.
Pendidikan Gus Dur sepenuhnya bersifat sekular. Namun, tentu saja ia telah mempelajari bahasa Arab ketika kecil dan mempunyai cukup pengetahuan untuk membaca Al-Qur’an. Setelah beranjak dewasa, ia mulai belajar Bahasa Arab secara sistematis.

Gus Dur juga dikenal menguasai beberapa bahasa asing. Bahasa Inggris, Prancis, Arab, Jerman, dan lainnya dikuasai secara baik.Secara garis besar buku ini juga menjelaskan kehidupan Gus Dur saat studi di Timur Tengah. Ada tiga kota besar yang mempengaruhi arus intelektualisme Gus Dur, tiga kota itu adalah Kairo, Baghdad, dan Eropa.
Di Kairo Gus Dur justru ‘gagal’ dalam studinya, ini dikarenakan lebih pada kekecewaan Gus Dur pada Al-Azhar yang menurutnya tidak memberikan pendidikan yang baik macam Barat. Di Al-Azhar ini kemudian ia merasakan kekecewaan yang begitu besar, karena baginya Al-Azhar tidak ada bedanya dengan pesantren di Indonesia, karena itulah ia tidak ingin menghabiskan waktunya dengan mempelajari apa yang telah dipelajarinya bertahun-tahun di pesantren.

Tak lama kemudian Gus Dur dikeluarkan dari universitas ini karena sering membolos. Membolosnya Gus Dur lebih sering ia gunakan membaca di perpustakan dan menonton pertandingan bola dan film India. Ketika ia mendapatkan kesempatan untuk belajar di Baghdad, ia merasakan menemukan lingkungan yang dimaksud. Di Baghdad baginya lebih kosmopolitan dengan menghadirkan sistem pembelajaran yang lebih terbuka, pun dengan koleksi perpustakaan yang lebih beragam koleksi bukunya. Di sinilah ia banyak berkenalan dengan pemikiran dan filsafat Barat.

Meski di Baghdad ia harus taat dan harus kooperatif dengan kampus. Sebab aturan di sini lebih disiplin dan ketat bagi mahasiswanya. Baghdad menjadi tempat yang paling nyaman baginya terbukti hampir empat tahun ia habiskan waktunya di sana.

Sementara itu, dalam sela-sela kuliahnya iapun meminang Nuriyah. Pernikahan ini pun berlangsung tetapi Gus Dur tidak hadir secara langsung dan diwakilkan kakeknya Kiai Bisri Syamsuri. Setelah menikah dan lulus di Baghdad Gus Dur memiliki cita-cita melanjutkan pendidikannya ke Eropa dengan harapan dapat membawa Nuriyah tinggal bersamanya di sana. Akan tetapi, harapan itu pupus setelah ijazah keluaran Baghdad tidak diakui di Eropa.

B. Islam dan Liberalisme
Ketika Gus Dur meninggalkan Jombang untuk belajar ke luar negeri, ia adalah seorang pemuda yang tengah bergulat dengan masalah bagaimana Islam bisa mengadakan perubahan. Menjelang masa dewasanya, ia pernah terpukau oleh kelompok Islamis radikal. Tujuh tahun
kemudian ia kembali ke tanah air sebagai seorang yang penuh komitmen terhadap pemahaman liberal mengenai Islam.

Pengaruh yang membentuk pemikiran liberalisme ini, pertama adalah karena keluarganya sendiri. Di dalam lingkungan keluarga ia dididik untuk bersikap terbuka dan selalu mempertanyakan sesuatu secara intelektual. Kedua, ia dibesarkan di dalam dunia sufistik Islam tradisional Indonesia. Ketiga, ia dipengaruhi oleh orientasi budaya masyarakat Indonesia modern yang mengarah pada pluralisme dan egalitarianisme.

Gus Dur yang di kalangan pesantren dikenal sebagai seorang kiai justru dalam hal pemikiran dan gagasan bisa terbilang liberal dalam pandangan sebagian Muslim Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari pemaparan Greg dalam bagian ketiga buku ini. Bagaimana sosok Gus Dur mati-matian membela demokrasi dengan membentuk forum-forum yang pro demokrasi dan terus terjun ke akar rumput sembari membela dan menolak penindasan-penindasan yang dilakukan negara kepada masyarakat.

Gus Dur pun sangat terbuka dengan aliran pemikiran dan menjunjung kebebasan beragama. Karena itulah ia sering melakukan dialog antar iman dan membela hak-hak kaum minoritas yang dikebiri. Ia sendiri tetap memakai landasan demokrasi dan konstitusi dalam menyuarakan kebebasan berpendapat dan berkeyakinan.

C. Menerjang Batas
Gus Dur adalah sosok yang mendobrak batas untuk keterbukaan dan kebebasan. Ia kemudian menjadi simbol kebangkitan bagi anak-anak muda NU dan Muslim umumnya dalam berpikir terbuka dan bebas. Karena itulah kehadiran Gus Dur dalam kancah pergerakan masa Orba menjadi sangat penting dan simbolik. Gus Dur menjadi simbol perlawanan bagi Soeharto, yang selama ini orang takut menghadapinya. Namun di sisi lain juga ada orang yang mengkritiknya.

Salah satu alasan utama mengapa orang mengkritik kepemimpinan Gus Dur dalam organisasi adalah bahwa ia sering kali meletakkan organisasi dalam hubungan yang bertubrukan dengan rezim Soeharto (hlm : 248). Pada bagian terakhir atau kelima, adalah lanjutan dari bagian keempat. Pada bagian ini masih menceritakan soal politik dan pergerakan menentang Soeharto dan saat ia menjabat menjadi presiden.

Pada bagian akhir ini Greg menjelaskan situasi sulit Gus Dur saat berhadap-hadapan dengan Soeharto. Pasalnya berhadapan dengan rezim adalah satu “kekonyolan” yang mengantar pada kesakitan. Dan itu disadari betul oleh Gus Dur, intimidasi, ancaman, boikot serta kampanye anti-Gus Dur dibuat untuk menjatuhkan dan melemahkan Gus Dur.
Namun sayang, semua itu gagal dan tidak berhasil melenyapkan Gus Dur. Justru hal itu membuat Gus Dur semakin dewasa dalam berhadapan dengan rezim. Tak hanya itu, orang yang dekat dengan Gus Dur seperti Megawati juga memberikan perlakuan yang sama.

Saat situasi politik memanas, kekacauan hampir terjadi dimana-mana. Pasca Timor-timor, Poso meledak. Sementara kerusuhan atas nama agamapun juga terjadi di Situbondo. Partai PDI-pun tepecah dan terjadi tragedi yang menewaskan banyak orang.

Saat situasi itu terjadi, posisi Gus Dur menjadi sangat berat. Sebagai seorang yang konsisten membela kebebasan dan perdamaian Gus Dur tetap turun ke akar rumput untuk menyerukan perdamaian dan toleransi. Saat ia menjabat, yang tak lebih dari dua tahun itu, Gus Dur mengalami pasang surut kehidupan yang luar biasa. Sikapnya yang bebas, santai, dan cuek menjadi keuntungan dan kerugian sekaligus. Karena hal itulah banyak lawan politiknya kemudian menyerangnya. Manuver politik lawan begitu kuat, dan Gus Dur hanya seorang diri, dan pada akhirnya ia harus dilengserkan dari kursi kepresidenan.
Terhadap tuduhan bahwa Gus Dur telah mulai bersikap otoriter, suatu alasan kuat dapat digunakan untuk menentang gugatan tersebut, yakni bahwa kelemahan politik Gus Dur disebabkan oleh keidakmampuannya untuk bernegosiasi dengan keras dan mencapai kesepakatan dengan musuh-musuh politiknya (hlm : 491).
Dalam menyusun buku biografi ini Barton membaginya dalam beberapa bagian yang disusun secara kronologis historis dari sebagian perjalanan hidup Gus Dur. Dan ia batasi hingga akhir tahun 2001, yakni saat masa lengser dari kursi kepresidenan RI.
Sedikit kekurangan buku ini, karena merupakan buku terjemahan maka banyak ditemukan kosakata salah ketik. Dengan demikian pembaca harus teliti untuk menentukan maksud kata tersebut. Dari sisi penulisan seringkali setiap sub pembahasan yang membahas pokok yang sama terpisah di bagian-bagian yang berbeda.

Buku ini sangat tepat untuk menggambarkan Gus Dur yang memiliki pandangan besar sebagai seorang negarawan, ulama, dan cendekiawan. Beliau seorang manusia yang memandang sesamanya sebagai seorang manusia juga. Sebagaimana kebaikan-kebaikan yang sudah dilakukan, beliau memberikan keteladanan sikap kemanusiaan atas banyaknya tragedi di Indonesia. Ada banyak yang bisa kita pelajari mengenai sosok Gus Dur melalui buku ini.

By: Miftahul Huda

Duabelas Noktah-Noktah: Persamaan Antara Raja Ali Haji dan Buya Hamka

Duabelas Noktah-Noktah: Persamaan Antara Raja Ali Haji dan Buya Hamka

Dalam buku Perceptions of the Past ini Southeast Asia dieditori oleh Anthony Reid dan David Marr yang belakangan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Th. Sumarthanan dengan judul “menyimpang”, yaitu Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka: Indonesia dan Masa Lalunya. Dalam buku ini, tulisan tentang Raja Ali Haji oleh Barbara Watson Andaya dan Virginia Matheson judul persisinya “Pemikiran Islam dan Tradisi Melayu: Tulisan Raja Ali Haji dari Riau”. Sementara itu, tema terkait Hamka dengan judul persisinya “Yamin dan Hamka: Dua Jalan Menuju Identitas Indonesia” yang ditulis oleh Deliar Noer.

Terjemahan buku rampai yang terdiri dari delapan bab disebut, saya sebut “menyimpang” sebab tema-temanya bukan semata-mata kajian tokoh. Artinya dari delapan tulisan dalam buku tersebut hanya ada tiga tulisan tema tentang tokoh. Lagi pula, kalau kajian tokoh yang ada –hanya empat orang, yaitu Arung Palakka, Raja Ali Haji, Muhmmaf Yamin dan Hamka– dari segi waktu kehadiran tokohnya, judul seharusnya Dari Arung Palakka Hingga Hamka. Lalu, kenapa judul terjemahan buku tersebut demikian? Saya berupaya untuk “memaksakan logika” bahwa antara Raja Ali Haji dan Buya Hamka memiliki banyak sekali persamaan. Logika pemaksaan ini pun diambil demi mencocoki judul tulisan ringan ini, yaitu “Duabelas Noktah-Nokta: Persamaan Antara Raja Ali Haji dan Buya Hamka.

Dalam melihat figur Raja Ali Haji, sama seperti ketika Steenbrink dan Azra melihat sosok Hamka bahwa kedua intelektual dan sastrawan lebih merupakan seorang, meminjam ungkapan Azra, “penulis prolifik keagamaan yang baik, ketimbang ’ulama’ yang mumpuni.” (Karel Steenbrink, “Hamka (1908-1981) and The Integration of The Islamic Ummah of Indonesia”, Studia Islamika,  Vol. 1, No. 3, 1994: 210; Azyumardi Azra, “Melacak Pengaruh dan Pergesaran Orientasi Tamatan Kairo”, Studia Islamika,  II, (3), 1995: 199-219). Penilaian yang sama dengan aspek yang berbeda dan lebih spesifik bahwa  baik Raja Ali Haji maupun Buya Hamka sama-sama awalnya lebih dikenal sebagai seorang sastrawan ketimbang seorang ulama.

Istilah “sastra” (kesusastraan) dalam bahasa Melayu berbeda ruang lingkup dan cakupannya dengan istilah “literature” dalam bahasa Inggris. Dan berbeda pula dengan istilah “belles lettres” dalam bahasa Prancis yang berarti “karya tulis yang artistik dan indah.” Istilah “sastra” dalam bahasa Melayu mempunyai cakupan yang lebih luas, yaitu mencakup semua karya tulis baik karya yang bersifat fiksi maupun karya bersifat non-fiksi. Artinya, “sastra” dalam bahasa Melayu dapat mengantarkan pada pemuasan “pengalaman intelektual” dan “pengalaman emosional” secara simultan. Dari pemahaman seperti ini, agaknya istilah “persuratan” lebih mewakil makna sastra atau istilah “ecriture” dalam bahasa Prancis. Lihat, Panuti Sudjiman, Filologi Melayu  (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), 16. Dengan latar belakang pengertian semacam ini, menggunakan istilah “persuratan” dengan menambahkan kata “intelektual” dibelakangnya, sehingga menjadi “persuratan intelektual” sebagai penegasan terhadap pemahaman atas makna “sejati “ sastra yang belum populer.

Penyebutakan Raja Ali Haji dan Buya Hamka di awal kiprahnya pada negeri dan bangsanya, oleh karenanya, lebih tepat dinisbatkan pada diri kedunya sebagai “intelektual-penyair” atau “sasterawan intelektual”. Penisbatan sebagai “sasterawan intelektual” atau “intelektual-penyair” tersebut menjadi beralasan karena dari hampir seluruh karya-karyanya mencerminkan jenis-jenis karya sastra Melayu-Indonesia, sebagaimana pembatasan  sastera Malayu oleh R. Roolvink. Misalnya R. Roolvink menyebutkan bahwa sastera dalam bahasa Melayu meliputi segala yang dikarang dalam bahasa Melayu, baik hikayat-hikayat dan kisah-kisah, kitab-kitab keagamaan, hukum  kanun dan sebagainya.” (Lihat, Lian Yock Fang, “Beberapa Masalah dalam Penulisan Sejarah Sastera Tradisional Melayu: Kajian Permulaan,” dalam Cendikia Kesustaraan Melayu Tradisional, ed.  Siti Hawa Haji Salleh (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1987: 13).

Namun demikian, Raja Ali Haji dan Buya Hamka, terutama di akhir-akhir kiprahnya, dapat dikategorikan seorang ulama, bahkan sebagai ulama besar, khususnya figur disebut belakangan. Sebab bagi kebanyakan Muslimin Indonesia dan/atau dalam realitas sosial, menurut Azra, pengertian ulama secara umum ada tiga. Pertama, ulama adalah mereka yang memiliki ilmu pengetahuan (agama) Islam yang diperoleh dari lembaga-lembaga  pendidikan Islam tradisional. Kedua, ulama adalah mereka yang mendapat legitimasi dan pengakuan dari masyarakat luas akibat langsung dari interaksi dengan masyarakat melalui sejumlah lembaga keagamaan, sosial dan pendidikan. Ketiga, ulama adalah lebih berkonotasi pada penguasaan ayat-ayat kawliyah (al-Qur’an) lebih “membumi” daripada pengertian ulama diisyaratkan al-Qur’an itu sendiri berkonotasi pada penguasaan ayat-ayat qawniyah (alam semesta) lebih “melangit”. (Lihat, Azyumardi Azra, “Melacak Pengaruh dan Pergeseran Orientasi Tamatan Kairo”, Studia Islamika,  II, 3, 1995: 210). Artinya, dengan ketiga pengertian ini maka Raja Ali Haji dan Hamka adalah sungguh-sungguh seorang ulama.

Dengan ungkapan yang berbeda bahwa Raja Ali Haji dan Buya Hamka dapat dikatakan –dengan meminjam istilah al-Qur’an– sebagai seorang “uwlū al-bāb”. Seorang “uwlū al-bāb” harus piawai dalam menyampaikan pengetahuan, pemikirannya dan melahirkan karya-karya tulis bercorak kosmopolitan berdasarkan panggilan hati nuraninya dengan berasaskan  pada al-Qur’an dan hadis.  Adapan tujuan seorang “uwlū al-bāb”, ungkap Abdul Hadi W.M.,  dalam mengutarakan pengetahuan dan pemikiran serta tulisan-tulisannya, di antaranya, yaitu: (i) untuk membantu masyarakat dalam mencari pemecahan atas krisis yang dihadapi; (ii) untuk memberikan pencerahan, sehingga masyarakat dapat keluar dari keputusasaan dan nihilisme kehidupan. Pendek kata, khusus untuk Raja Ali Haji, tulis Abdul Hadi W. M., “… pemikiran dan karya-karyanya memperlihatkan keterkaitannya dengan persoalan-persoalan nyata yang dihadapi masyarakat, serta mencerminkan kesinambungan dengan istiadat (tradisi) kecendikiawanan bangsanya.” (Lihat, Abdul Hadi W.M, “Aceh dan Kesusastraan Melayu”, dalam Aceh Kembali ke Masa Depan, (ed.) Sardono W. Kusumo (Jakarta: IKJ Press, 2005: 218).

Selanjutnya, kalau diperbandingkan antara Raja Ali Haji (1809-1873) dan Hamka (1908-1981) –kalau diperhatikan tahun kelahirannya, keduanya hidup persis berbeda satu abad masing-masing pada abad ke-19 dan ke-20– dalam banyak hal memang memiliki banyak kesamaan. Kesamaan antara kedua tokoh besar ini terlihat sebagai figur multidimensi: penulis prolifik, sastrawan, politisi, dan ulama. Persamaan antara kedua figur ini, Raja Ali Haji dan Buya Hamka, dapat dirinci minimal sampai “duabelas noktah-noktah”, sebagai berikut.

Pertama, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama memiliki semangat dan tekad yang kuat untuk menuntut  ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu agama. Kedunya  lebih banyak menempuh pendidikan secara otodidak (membaca buku-buku/kitab-kitab [khususnya berbahasa Arab] yang berlangsung dalam waktu relatif lama. Keduanya tidak diketahui pernah menempuh mendidikan secara formal melebihi daripada tingkat pendidikan menegah ke atas. Dengan kata lain, baik Raja Ali Haji maupun Buya Hamka tidak pernah berguru lama  secara langsung pada seorang dan beberapa guru, dan (apalagi) secara formal di sebuah lembaga pendidikan. Artinya, Raja Ali Haji dan Buya Hamka adalah pembelajar otodidak yang baik, tekun dan terus-menerus serta berkekakalan hingga dipenghujung hanyatnya..

Kedua,  Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama pernah pergi ke Tanah Suci dalam usia remaja untuk menunikan ibadah haji, dan sekaligus belajar agama di Mekkah. Begitu pula, keduanya belajar di Mekkah dalam rentang waktu yang singkat, yaitu hanya berkisar lebih enam bulanan di kala masing-masing berusia sekitar 18 tahun. Kemungkinan waktu Raja Ali Haji dan Buya Hamka yang singkat itu sama-sama dipergunakan untuk menyempurnakan kemampuan Bahasa Arabnya selama menempuh pendidikan di kota kelahiran Rasul Allah tersebut.

Ketiga, Raja Ali Haji dan Buya Hamka tampaknya sangat berbakat dalam bahasa Arab dan  menguasainya. Keduanya menjadikan bahasa Arab sebagai satu-satunya bahasa asing yang dikuasai. Dengan kemampuan bahasa Arabnya sangat mumpuni, sehingga bahasa tersebut benar-benar dijadikan “alat” guna membaca dan memahami teks-teks Arab, khususnya teks-teks keagamaan dari karya-karya sejumlah ulama, baik ulama mutaqaddimin maupun mutaakhkhirin, dan sekaligus menjadi sumber utamanya dalam melahirkan karya-karnya.

Keempat, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama menikah sepulang dari Mekkah pada usia yang reatif sama, kurang lebih 19 tahun. Namun, dalam perjalan lebih lanjut, keduanya memiliki sikap yang berbeda dalam pernikahan: Raja Ali Haji poligami, Buya Hamka monogami. Perbedaan sikap keduanya ini kemungkinan disebabkan oleh tuntutan (keharusan) zamannya masing-masing. Raja Ali Haji lebih “memaksimalkan” seruan ayat al-Qur’an secara tekstual untuk mengawini wanita sampai empat karena ia hidup sebagai keluarga istana kerajaan Melayu Riau. Sementara Buya Hamka lebih “meminimalkan” seruan ayat al-Qur’an secara kontekstual dengan hidup bermonogami, dan baru menikah kedua kalinya setelah istri pertamanya wafat. Sikap Buya Hamka dalam perkawinan ini boleh jadi disebabkan oleh tuntutan zamanya, dan/atau karena mungkin saja tidak berkenan mencontoh pola perkawinan poligami dari ayahnya. Dan mungkin pula Buya Hamka tidak berpoligami khawatir tidak kuasa berlaku adil.

Kelima,  Raja Ali Haji dan Buya Hamka pada awalnya sama-sama meminati dan sekaligus melahirkan karya-karya sastera, sehingga keduanya masyhur dikenal sebagai seorang sastrawan atau pujangga. Begitu pula, bakat tulis-menulis keduanya diwarisikan dan ditularkan dari kedua orang tuanya masing-masing, yaitu Haji Abdul Malik Karim dan Raja Ahmad secara berturut. Selain itu, belakangan keduanya juga –seiring dengan perjalan waktu dan usia– mengokohkan masing-masing dirinya sebagai penulis dalam bidang keagamaan.

Keenam, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama terlibat dalam politik dan pemerintahan (eksekutif), dan pada “badan permusyawaratan” (legisliatif) di usia relatif muda. Raja Ali Haji menjadi tangan kanan YDM Raja Ali bin Ja’far dalam menjalankan pemerintahan di kerajan Melayu-Riau. Raja Ali Haji memangku jawatan keagamaan sekaligus menjadi Ahl Halli wa al-Aqdhi pada masa pemerintahan YDM Raja Abdullah. Sementara itu, Buya Hamka pernah menjadi pegawai teras atas Departeman Agama.  Buya Hamka pernah pula menjadi anggota Konstituante pada masa pemerintahan Orde Lama.

Ketujuh, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama memiliki minat pada kajian sejarah. Oleh karenanya, keduanya menulis sejarah: Raja Ali Haji menulis sejarah “bangsa”nya; dan Buya Hamka menulis sejarah “ummat”nya. Tokoh pertama menulis sejarah kerajaan Johor-Riau-Lingga dengan melahirkan dua karya, yaitu Silsilah Melayu dan Bugis, dan Tuḥfat al-Nafīs. Buya Hamka sendiri menulis buku Sejarah Islam yang komprehensif (berjilid-jilid) dipaparakannya dari era “Pra-Kenabian hingga Islam di Nusantara”.

Kedelapan, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama menjadi “watchdog” (“moral guadian” dan “spiritual patronage”) bagi masyarakat dan pemerintah pada masanya masing-masing. Raja Ali Haji diangkat menjadi penasehat “resmi” kerajaan dengan jabatan  sebagai penasehat kerajaan dalam bidang pemerintahan dan keagamaan pada masa YDM Raja Muhammad Yusuf Ahmadi. Sementara Buya Hamka diangkat sebagai penasehat “tidak resmi” pemerintah dalam bidang keagamaan dengan jabatan sebagai Ketua MUI pada masa pemerintahan Orde Baru.

Kesembilan, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama penulis, peminat dan penganut tasawuf “mu‘tabarah” yang menyelaraskan antara ajaran esoterisme dan eksoterisme dalam Islam. Dengan bahasa lain, boleh dikatakan bahwa keduanya sama-sama  berpaham  neo-sufisme. Raja Ali Haji dan Buya Hamka memaknai asawuf, misalnya tidak melulu bahwa zuhud itu menyepi dan menghidari kehidupan duniawi, tetapi harus memaknai hidup di dunia ini secara aktif beramal shaleh, apakah amal yang akan bermuara pada keshalehan pribadi maupun keshalehan sosial.

Kesepuluh, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama terlahir untuk menjadi seorang guru (born a teacher) dalam memberikan pendidikan bagi  generasi muda (pendidikan formal) dan menjadi guru ngaji bagi anak dan cucu-cucunya (generasinya). Begitu juga, keduanya selalu hadir memberikan pencerahan pemahaman keagamaan lewat pengajian bagi masyarakat secara umum (pendidikan/pengajaran non-formal).

Kesebelas, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama penulis  keagamaan yang produktif dan otoritatif dan komprehensi. Disebut produktif karena keduanya telah melahirkan sejumlah karya-karya, khususnya dalam bidang keagamaan. Disebut otoritatif karena keduanya sangat bernas dalam menjabarkan masalah agama dalam berbagai karya-karyanya. Disebut komprehensif karena keduanya mengulas ajaran agama dalam berbagai aspeknya dengan diilhami oleh semangat Islam yang kokoh dan utuh.

Keduabelas, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama, kadang-kadang, diragukan keulamaannya, sehingga Raja Ali Haji dan Buya Hamka oleh sebagai orang lebih layak/tepat disebut seorang “intelektual” tinimbang sebagai seorang ulama, sebagaimana dijelasakn di atas. Di antara keduanya, Buya Hamka lebih menonjol keulamaanya lantaran karya fenomenal dan monumentalnya dalam menafsirkan al-Qur’an serta sekaligus menjadi masterpiece (karya agungnya): Tafsir Al-Azhar.

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb,
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

Alimuddin Hassan Palawa, Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies)