Penamaan Glora Bung Karno dan Keberadaan Masjid

Penamaan Glora Bung Karno dan Keberadaan Masjid

K.H. Zaifuddin Zuhri (Menteri Agama yang cukup terbilang lama (6 Maret 1962-17 Oktober 1967 untuk era Presiden Soekarno); dan beliau adalah ayahanda Menteri Agama era sebelum ini, Lukman Hakim Zaifuddin), dalam bukunya, “Kaleidoskop Politik di Indonesia (Jilid 2)”, Menteri Agama berkarakter dan berintegritas ini menulis (saya kutip secara in extensio), begini:

“Ketika pada suatu hari Bung Karno dan beberapa menteri hendak memberi nama kompleks olah raga di Senayan. Sudah berdebat mencari nama yang dianggap tepat, lalu diputuskan nama: “Pusat Olah Raga Bung Karno”. Menurut mereka itulah nama yang paling sesuai….”

“Nama Pusat Olah Raga Bung Karno itu kedengarnya statis, tidak dinamis, tidak sesuai dengan tujuan olah raga yang kita maksud!” Saya memberanikan diri dengan kritik.

Beberapa menteri memandang saya, dan Bung Karno menatap muka saya dengan sorot matanya laksana sinar api.

“Coba kemukakan nama yang lain!” Bung Karno menuding saya.

“Namakan saja: “Gelanggang Olah Raga Bung Karno” atau disingkat

“Gelora Bung Karno!”, jawab saya pasti.

“Waah, itu nama hebat. Aku setuju!” Jawab Bung Karno yang lain-lainnya juga setuju. Bung Karno segera memerintahkan menteri Dalam Negeri Dr. Sumarno mengganti nama “Pusat Olah Raga Bung Karno” dangan “Gelanggang Olah Raga Bung Karno.”

Nama GELANGGANG memang lebih hidup, dinamis, dan mengandung “api”nya sportivitas!

“Well, ada usul lagi?” Bung Karno bertanya.

“Dalam kompleks Gelanggang Olah Raga Bung Karno itu sebaiknya ada sebuah masjid!” saya mengusulkan.

Bung Karno berpikir sejenak, lalu memalingkan pendangannya kepada dua orang menteri seraya berkat: “Hai Maladi dan Somarno! Coba rencanakan di mana sebaiknya masjid itu di dirikan.”

Demikian saya kutip tulisan “kenangan” KH. Zaifuddin Zuhri, seorang figur Menteri Agama yang berani dan cerdas, sebagaimana tercermin dari dialog Presiden yang teramat sangat kharismatiknya dengan beliau. Sayang, tidak ada khabar apa, dan bagaimana tentang penamaan masjid dalam kompleks “Gelora Bung Karno” tersebut. Andai penamaan masjid itu ada, pasti akan mencerminkan gelora keagamaan Bung Karno yang selalu mamahami Islam: Ambil “apinya”, dan buang “abunya”.

Penamaan masjid itu, mungkin gelora “Api Islam Bung Karno”, sangkaanku, agaknya. Dan saya yang tidak terlalu paham bahasa Arab, tidak akan menduga pemberian nama masjid itu dari bahasa Arab. Khawatir saya salah dalam dugaan pemberiaan nama, yaitu Masjid “Nar al-Islam” sebagai terjemahan teramat “lugu” dari “Api Islam”. Nama “arab” ini tidak saja bermakna negatif, tetapi sekaligus akan menimbulkan polemik, bukan? Lebih baik masjid itu tanpa nama.

Wa Allah a‘lam bi al-shawab

By: Alimuddin Hassan Palawa

ISAIS UIN SUSKA RIAU Menggelar Diskusi Kedua Belas “Membaca Ulang Sejarah Islam Klasik” (Satu Semester Bersama Prof. Dr. H. Munzir Hitami, M.A.)

ISAIS UIN SUSKA RIAU Menggelar Diskusi Kedua Belas “Membaca Ulang Sejarah Islam Klasik” (Satu Semester Bersama Prof. Dr. H. Munzir Hitami, M.A.)

Diskusi virtual pada pertemuan akhir (kedua belas) dalam agenda “Membaca Ulang Sejarah Islam Klasik” (Satu Semester Bersama Prof. Dr. H. Munzir Hitami, M.A.). Topik penutup yang disuguhkan oleh ISAIS UIN SUSKA Riau yaitu: “Budak, Selir dan Seks dalam Sejarah Islam”. Dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 08 September 2020 pukul 10.00 – 11.30 WIB

Memang sangat buruk dan kelam akan sejarah Islam mengenai hal ini, akan tetapi diskusi ini bertujuan agar generasi muda mengetahui dan mengambil pelajaran atas peristiwa tersebut. Tentunya diskusi virtual ini menghadirkan narasumber yang berwawasan luas dmengenai sejarah Islam itu sendiri. Beliau adalah Dr. K. H. Hossein Muhammad, MA.

Seorang Komisionir komisi nasional anti kekerasan terhadap perempuan. Beliau telah banyak mengaji secaa langsung kepada ulama-ulama di Al-Azhar Khairo. Beliau adalah seorang pengasuh di pondok pesantren  Dar al-Tauhid yang didirikan oleh kakeknya sendiri pada tahun 1933 sampai sekarang. Beliau banyak aktif dalam berbagai diskusi, halaqoh dan seminar-seminar keislaman khususnya yang berkenaan dengan perempuan dan pluralisme

Secara singkat materi beliau yaitu:

  1. Menafsirakan tafsir sekarang harus beralih dari cara pandang tafsir kepada cara pandang Takwil.
  2. Berfikirlah dengan cara konservatif yang baru untuk perkembangan di masa sekarang.
  3. Jangan menganalogikan prihal masa lalu dengan masa depan. Namun, sebagai orang di masa depan kita terus pahami, maknai sesuai dengan perkembangan zaman. Analoginya dengan adanya perubahan perempuan di masa lalu, dengan perempuan di masa sekarang.
  4. Memberikan HAM, kepada Warga Negara yang berbeda agama, aturan yang ditetapkan harus merata bagi semua, dengan tidak memberikan pemaksaan, sehingga tidak adanya diskriminasi. Jangan memaksakan pandangan golongan  tertentu pada golongan lainnya. Hanya karena sebuah Mayoritas. Namun, berat untuk merealisasikannya.
  5. Pernikahan Siri, dalam Kitab Kuning dengan Nikah SIRI di Indonesia itu berbeda. Nikah Siri dahulu itu adala untuk menyelamatkan perempuan,
  6. Budak, Selir dan Seks (Ujung-ujungnya Korban itu adalah Wanita), jika tidak mempelajari ulang sejarah Imammatul mar’ah, tentang perempuan menjadi imam sholat, bahwa Perempuan seperti Amina Wadud ketika ia menjadi imam dan khotib sekaligus,

Kontekstual sangat dikedepankan. Gagasan dengan realita yang dicapai. Tugas kita sebagai intelektual harus melanjutkan sesuai dengan konteks masing-masing. Berdasarkan hak pada mereka yang mempunyai kualitas, kemampuan tanpa mendiskriminasi.

Materi secara detail, silahkan disaksikan di chanel youtube ISAIS UIN SUSKA Riau. Semoga wabah covid-19 cepat berlalu agar diskusi dapat dilaksanakan secara offline yang tentunya lebih leluasa dalam menyampaikan pendapat ataupun bertukar pikiran bersama ahlinya.

Diskusi Kursus Kebangsaan: “Mengenal Sang Guru Bangsa”

Diskusi Kursus Kebangsaan: “Mengenal Sang Guru Bangsa”

Sungguh sebuah anugerah bagi Bangsa Indonesia, yang telah kita melahirkan tiga sosok penting, yang mengusung persoalan kemanusian dan terus menyiarkan Islam yang ramah dan cinta kasih, baik lewat tulisan maupun lewat mimbar-mimbar diskusi. Mereka itu adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Nurcholish Madjid (Cak Nur), dan Ahmad Syafii Maarif (Buya Syafii).

Dalam kancah intelektual muslim Indonesia, mereka selalu menekankan akan pentinya sebuah tafsir Islam Islam yang ramah dan Islam sebagai agama kasih sayang, yang menyebarkan nilai-nilai kemanusian. Konsepsi ini, menurut mereka merupakan ajaran pokok yang ada dalam Islam, yakni agama cinta-kasih, toleran, dan saling menyayangi. Sekaligus, mereka adalah para pemikir kontemporer yang sangat serius dalam membela kaum minoritas (agama, suku, ras, dan lainnya) yang memperoleh diskriminasi.

Dalam beberapa diskusi, kebanyakan para mahasiswa kurang mengenal, bahkan ada yang tidak kenal sama sekali siapa itu Cak Nur atau Gus Dur, atau Buya Syafi’i. Yang justru menghawatirkan adalah mereka mengenal para tokoh itu pada sisi kontraversinya. Misalnya Cak Nur dianggap Liberal karena mengusung ide Sekularisasi. Kebanyakan mahasiswa memperoleh propaganda dari sebagian umat Islam yang kurang setuju atau bahkan belum pernah ketemu dan membaca karya Cak Nur, kemudian menyerang secara membuta.

Oleh karena itu, ISAIS berusaha mengahadirkan kembali para Guru Bangsa tersebut, agar mereka mempunyai pemahaman yang komprehenship tentang ara tokoh tersebut. Untuk kursus ini, kami sengaja mengundang para aktivis organisasi ekstra kampus. Agar mereka meneladani bagaimana sepak-terjang para tokoh ini, ketika menjadi aktivis.

Kegiatan ini akan dilaksanakan pada rentang waktu antara tanggal 5 sampai dengan tanggal 8 September 2020 dengan pola Seminar. Kegiatan dilakukan secara online, selama 4 hari. Narasumber yang akan hadir pada setiap sessinya adalah Novriantoni Kahar, membincangkan Pemikiran Cak Nur. Sessi ini akan diselenggarakan pada hari Minggu, 5 September 2020 pukul 13.30 – 16.30, Kemudian Abd. Rahim Ghazali akan mengulas pemikiran Buya Syafi’i Ma’arif, dan akan diselenggarakan pada tanggal 07 September 2020, pukul 19.20 – 23.00, Sedangkan terahir, tentang pemikiran Gus Dur akan diulas oleh Alamsyah M. Djafar pada tanggal 08 September 2020, pukul 19.20-23.00

Sessi pertama dalam kursus kali ini, adalah pengantar dan perkenalan para peserta. Diawali sambutan Direktur yang mewakili Rektor UIN Suska Riau, yang memberikan apresiasi atas kegiatan ini. Kemudian dilanjutkan dengan pengantar singkat dari Pak Dardiri, MA dan Bambang Hermanto, MA, tentang ketiga tokoh tersebut dalam kancah akademik maupun gerakan Islam di Indonesia. “Sungguh merupakan kekonyolan, jika para aktivis hari ini tidak mengenal para tokoh besar Indonesia ini”, demikian ungkap Dardiri,

Semoga pada sessi selanjutnya, para mahasiswa ini, mampu menyerap dan memahami dengan baik pemikiran para tokoh besar Bangsa ini. Sehingga mampu membuka wawasan dan gagasan mahasiswa tentang pentingnya keterbukaan dan menerima perbedaan; juga mampu memperkuat pemahaman keagamaan mahasiswa yang lebih mendahulukan kepentingan kemanusiaan dan ke-Indonesiaan dalam beragama.

Diskusi Ma’had se-Indonesia: “Moderasi Beragama Antitesa Terhadap Paham Radikal Dikalangan Mahasantri”

Diskusi Ma’had se-Indonesia: “Moderasi Beragama Antitesa Terhadap Paham Radikal Dikalangan Mahasantri”

Gelar webinar nasional untuk seluruh mahasantri yang ada di Indonesia. ISAIS UIN SUSKA Riau selalu mendukung mahasiswa dalam mengembangkan atau menyalurkan bakatnya. Tidak hanya itu, lembaga ini juga menjadi wadah baik untuk mahasiswa maupun dosen dalam memperluas wawasan intelektualnya. Pada webinar kali ini tentunya berbeda dengan biasanya karena peserta khusus mahasantri yang ada di Indonesia.

Ma’had Al-Jami’ah UIN SUSKA Riau yang menjadi tuan rumah kali ini bekerjasama dengan ISAIS yang mendatangkan pemateri luar biasa. Narasumber 1 yaitu Prof. Noorhadi, M.A, M.Phil, Ph.D. (Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta), narasumber 2 yaitu Dr. KH. Akhmad Muzaki, MA. (Mudir Ma’had Aljamiah UIN Malang) dan narasumber 3 yaitu Dr. Arwan Mas’ud, M.Pd. (Mudir Ma’had Aljamiah UIN SUSKA Riau).

Webinar nasional yang bertemakan: “Moderasi Beragama Antitesa Terhadap Paham Radikal Dikalangan Mahasantri Ma’had Al-Jamiah PTKIN” dimoderatori oleh Dadang Firdaus, MA. (Sekretaris Ma’had Aljamiah UIN SUSKA Riau).

Diselenggarakan pada hari kamis, tanggal 03 September 2020 mulai pukul 20.00 WIB sampai selesai. Karena kondisi tidak memungkinkan dengan adanya wabah covid-19, maka dilaksanakan secara online via zoom.

Radikalisme Islam tidak bisa dipisahkan dari Islamisme, pemikiran, paham, wacana, aksi dan gerakan yang memandang Islam bukan sekadar agama, tapi juga ideologi politik yang mendasari bekerjanya sistem kehidupan secara menyeluruh

Islamisme, atau sering juga disebut Islam politik, terutama bukan merupakan gejala agama, tetapi fenomena sosial-politik melibatkan sekelompok individu Muslim yang aktif melakukan gerakan didasari ideologi tertentu yang mereka yakini.

Radikalisme adalah faham, wacana dan aktivisme yang berupaya melakukan perubahan yang radikal terhadap sistem—politik, ekonomi, sosial dan budaya—yang ada. Radikalisme memiliki 3 dimensi terpenting: (1) Intoleransi, (2) anti-sistem dan (3) gagasan revolusioner (keinginan untuk mengubah sistem secara radikal, menyeluruh dan serta-merta). Radikalisme tidak secara otomatis melibatkan kekerasan.

Ekstremisme melangkah lebih jauh dibandingkan radikalisme. Di samping ingin melakukan perubahan terhadap sistem yang berlaku secara radikal, menyeluruh dan serta-merta, ekstremisme juga membenarkan kekerasan sebagai taktik untuk mencapai tujuan. Berbeda dari radikalisme, ekstremisme memperlihatkan ketidaksabaran menunggu perubahan dengan memilih taktik kekerasan.

Didasari keinginan untuk mengubah sistem yang berlaku secara menyeluruh dan revolusioner yang dibangun di atas keyakinan ideologis mengenai supremasi dan totalitas Islam, terorisme menerapkan taktik kekerasan secara sistematis. Tujuan utama terorisme adalah menimbulkan ketakutan dan perasaan traumatik mendalam di kalangan masyarakat untuk memaksa mereka tunduk pada agenda yang diinginkan kaum teroris.

Islam wasatiyya memastikan adanya hubungan yang harmonis antara agama dan negara. Terlepas dari fakta bahwa Indonesia bukan negara Islam Pancasila, yang merupakan lima prinsip yang berfungsi sebagai sebagai ideologi negara, jaminan harus ditegakkan bagi kebebasan beragama dan hak-hak Muslim-serta non-Muslim- untuk melakukan kewajiban agama mereka. Nilai-nilainya yang demikian tidak bertentangan dengan Islam. Pancasila harus diterima sebagai dasar bersama bagi hidup rukun sebagai bangsa. Melekat di Pancasila adalah gagasan tentang pluralisme dan multikulturalisme

secara detail dapat disaksikan materi diskusi webinar nasional ini di youtube ISAIS UIN SUSKA Riau.