39. PEMIKIRAN POLITIK ISLAM (3): Sepenggal  Sejarah  Islam Klasik Era Khulafa’  al-Rasyidin

39. PEMIKIRAN POLITIK ISLAM (3): Sepenggal Sejarah Islam Klasik Era Khulafa’ al-Rasyidin

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

Segera setelah Rasul Allah saw. wafat, menurut Harun Nasution, persoalan yang mula-mula mencuat kepermukaan dalam sejarah awal Islam klasik bukannya persoalan teologis, tetapi justru persoalan politik. Persoalannya adalah perbedaan pendangan politik tentang siapa yang akan menjadi khalifah (pengganti) Rasul Allah dalam memimpin orang-orang Mukmin. Karena Nabi Muhammad tidak menunjuk penggantinya, belakangan di kalangan para pemerhati dan mengkaji sejarah Islam klasik, khususnya pengkaji pemikiran politik Islam membangun argumentasi dan rasionalisasi, kenapa Rasul Allah tidak menunjuk penggantinya. (Lihat, Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, 1978: 92; Philip K. Hitti, History of the Arabs, 1970: 139).

Jaluluddin Suyuti, kata Hudzaifah, menyatakan bahwa beberapa sahabat meminta Rasul Allah untuk menunjuk dan mengangkat penggatinya. Namun, Rasul Allah menolak untuk berbuat demikian, seraya bersabda bahwa apabila meraka (umat Islam) memberontak terhadap pengganti yang diangkat oleh Rasul Allah, maka konsekwensi mereka akan dihukum. Seandainya Rasul Allah mengangkat seorang pengganti dan merinci suatu cara tertentu dalam pemilihan, maka cara itulah yang menjadi satu-satunya cara pengangkatan seorang kepala negara.

Ketentuan yang bersifat membatasi itu akan menyebabkan kesulitan besar dalam perkembangan pemerintahan dalam Islam. Jadi dengan tidak menunjuk pengganti dan menentapkan suatu cara tertentu, maka Rasul Allah telah bertindak sesuai dengan jiwa al-Qur’an menganai masalah tersebut. Dengan begitu, baik Rasul Allah maupun al-Qur’an memberikan kebebasan pada umat Muslim untuk mengatur cara bentuk pemerintahan dalam Islam. (Ahmad, Mumtaz (ed.), Masalah-masalah Teori Politik Islam, 1996: 63).

Al-Qur’an itu sendiri, menurut Ayubi dalam karyanya “Political Islam: Religion and Politics in The Arab World”, sedikit sekali mengungkap persoalan (pemerintahan) politik. Mengapa al-Qur’an tidak menjelaskan dasar-dasar kekhalifahan serta syarat-syarat dan sifat-sifat orang yang akan menjadi khalifah? Jawabannya, bahwa al-Qur’an telah menetapkan minimal tiga dasar pemerintahan dalam Islam, yaitu: keadilan, musyawarah dan kepatuhan ulil amri.

Dalam soal kepatuhan terhadap ulil amri ada penegasan bahwa suka atau tidak suka; setuju atau tidak setuju, umat Islam harus menaatinya. Namun, pengecuali ketataatan kepada ulil amri itu tidak berlaku pada penguasa yang melakukan pendurhakaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Artinya, terhadap penguasa semacam ini tidak boleh dipatuhi dan ketaan tidak berlaku padanya. Bahkan ada disebutkan bahwa penguasa semacam ini hari diganti. (Lihat, Nasih N. Ayubi, Political Islam: Religion and Politics in The Arab World, 1991: 1-2).

Lebih jauh, bahkan menurut Abu Zahrah, tidak ada satupun nash yang qath’i atau isyarat yang jelas dari Rasul Allah tentang siapa yang akan menggantikannya. Yang ada hanyalah perintah Rasul Allah kepada Abu Bakar untuk menggantikannya menjadi imam shalat sewaktu Rasul Allah menderita sakit menjelang wafatnya. Para pengkaji pemikiran politik Islam melihat bahwa tidak ada relevansi (sebab akibat), dan analogi yang kurang tepat bila mempersamakan antara menggatikan Rasul Allah menjadi imam shalat dan menjadi khalifah.

Tambah lagi, dalam perdebatan yang terjadi di antara kelompok Muhajirin dan Anshar di Balairuang Saqifah Bani Sa’adah mengenai khalifah (pengganti Rasulullah) tidak satupun dari kedua kelompok itu yang menjadikan perintah Rasul Allah kepada Abu Bakar untuk menggantikan Rasul Allah menjadi imam shalat sebagai dasar argumen pemikiran mereka, khususnya dari kelompok Muhajirin. (Lihat, Muhammad Abu Zahra, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, 1996: 23)

Perintah atau permintaan Rasul Allah untuk menggatikan jadi imam shalat itu tidak mengisyaratkan sebagai hak Abu Bakar al-Siddiq secara “ekslusif” atas kekhalifahan kaum Muslim. Sebaliknya, penafsiran jadi imam shalat sebagai hak “ekslusif” adalah kurang proporsional, dan tidak pada tempatnya. Memimpin kehidupan ibadah muamalah umat manusia yang “kompleks” berbeda dengan memimpin ibadah mahdah shalat berjamahan umat Muslim yang “sederhana”. Karenanya, isyarat menjadi imam shalat yang dikaitkan dengan pengangkatan jadi khalifah tersebut menjadi kabur.

Begitupun, ada hadis Rasul Allah (baca: Hadist Khadir Khum) yang menyatakan pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti Rasul Allah, kelak. Di kalangan Syi‘ah meyakin ini bahwa lewat hadis ini, Rasul Allah telah menunjuk sepupunya sekaligus menantunya, Ali bin Abu Thalib sebagai pengatinya. Argumen yang meskipun, konon berdasarkan hadis, itu pun tetap dipertanyakan keabsahanya.

Menurut M.A. Shaban, salah satu keberatan dan penolakan terhadap hadis pengangkatan Ali sebagai pengganti Rasulullah adalah menyalahit tradisi Arab. Di kalangan orang Arab tidak ada tradisi mengangkat pemimpin yang masih berusia muda, sekitar berusia 30-an tahun. Dalam hal ini, Rasul Allah sangat memahami, sebagai anak zamannya, tradisi orang Arab yang ada pada waktu itu. (Lihat, M.A. Shaban, Sejarah Islam: Penafsiran Baru 600 – 750, 1993: 21)

Sebelum jasad Rasul Allah dikebumikan, sejumlah tokoh masyarakat sebagai refresentasi dari kaum Muhajirin dan Anshor melakukan musyawarah di Saqifah Bani Sa‘adah. Tradisi musyawarah di kalangan orang-orang Arab, sebelum datangnya Islam, telah sering dilakukan lewat lembaga yang disebut “Dewan” (Nadi). Di lembaga ini para tokoh (orang-orang tua) dari suatu suku atau wilayah tertentu bermusyawarah untuk memilih pemimpin di kalangan mereka, disamping bermusyawarah mengenai urasan-urasan pentinh mereka lainnya.

Lembaga itulah yang, menurut Fazlur Rahman, kemudian didoktrinisasikan oleh al-Qur’an dengan menggunakan istilah “syura”. (Fazlur Rahman, “The Islamic Concept of State”, dalam John J. Donahue & L. Esposito (ed.), Islamic in Transition Muslim Perspective, 1982: 263). Dalam musyawarah yang alot Sa’aqifah Bani Saadah tersebut, tanpa dihadiri oleh kaum Bani Hasyim karena dalam kedukaan mengurus jenazah Rasul Allah, akhirnya terpilih Abu Bakar atas usulan Umar Ibn Khattab yang mendapat persetujuan dari peserta musyawarah.

Segera setelah Abu Bakar al-Shiddiq terpilih sebagai khalifah, Umar Ibn Khattab memintanya untuk mengulurkan tangannya sebagai wujud menerima jabatan khalifah tersebut. Kemudian Umar Ibn Khattab memberikan bay’ah (sumpah setia) kepada Abu Bakar al-Shiddik, dan diikuti oleh kaum Muhajirin dan kaum Anshor. Bay’ah ini dipahami sebagai kepastian hak dan kewajiban timbal balik antara rakyat dan pengusa (dewasa ini sering disebut sebagai “kontrak sosial”).

Dalam sambutan terpilihnya, Abu Bakar menyatakan, “bahwa saya telah mendapat kekuasaan dari orang-orang mukmin yang meminta untuk menjalankan ajaran agama dan Sunnah, sehingga sekirannya saya tetap teguh berpegang kepad keduanya maka dukunglah saya. Akan tetapi, jika saya kedapatan berbuat salah menjalan kedua aturan pokok itu, maka pecatlah saya”. (Fazlur Rahman, “The Islamic Concept of State”: 263).

Proses pemilihan Khulafah al-Rasyidin berikutnya, masing-masing Umar Ibn Khattab (634-644), Utsaman bin Affan (644-656) dan Ali bin Abi Thalib (656-661) tetap lewat proses musyawarah. Meskipun dengan pola yang berbeda-beda yang juga dilanjutkan dengan bay’ah. Para Khulafa al-Raysidin, karena bukan seorang Rasul Allah yang menerima wahyu, dalam menjalankan pemerintahan mereka tunduk pada pada prinsip-prinsip dasar yang digariskan oleh al-Qur’an dan Sunnah. Di samping itu, mereka juga melakukan musyawarah dengan para sahabat Rasul Allah. Pada umumnya para pemikir politik dalam Islam berpendapat bahwa masa pemerintahan khulafah al-rasyidun inilah yang paling ideal dalam Islam.

Pemerintahan ideal ini pada masa khulafa al-rasyidun disebut, menurut Madjid Khaduri, berbentuk nomokrasi karena peranan penting dalam pemerintahan adalah syariah. Berbeda dengan ini, al-Maududi menyebutnya dengan teo-demokrasi karena di samping syariah yang diwahyukan Tuhan sebagai pemegang kedaulatan tunggal dalam Islam, musyawarah antar-ummat juga mempunyai kedudukan penting. (Lihat, Mulya, Musda, Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal, 2001: 5).

Setelah wafatnya Rasulullah, kaum Muslim di Madinah terbentuk kelompok-kelompok politik yang berbeda-beda, seperti kelompok kaum Anshar, Muhajirin dan kelompok Bani Hasyim. Masing-masing kelompok mempunyai pimpinan tersendiri. Kelompok kaum Anshar dipimpin oleh Sa’ad bin Ubaidah, kelompok Muhajirin mendudukung Abu Bakar al-Sidik dan Umur ibn Khattab, sedangkan kelompok Bani Hasyim mendukung sepupu dan menantu Rasul Allah, Ali bin Abi Tahlib.

Adanya fraksi-fraksi politik tersebut dengan sendiri menimbulkan pemikiran di bidang politik. Misalnya, kelompok kaum Anshor mengklaim kekuasaan adalah milik mereka. Dengan pertimbangan bahwa mereka merupakan bagian terbesar dari angkatan bersenjata ummat Islam. Bahkan ketika perdebatan di antara kelompok-kelompok tersebut memuncak dan sulit untuk menemukan kata sepakat, maka kelompok kuam Anshar mengusulkan, sebagai pemikiran alternatif, agar kekuasaan dan kedaulatan ummat Islam dibagi dua.

Sebaliknya, kelompok dari kaum Muhajirin berpendapat bahwa kesatuan dan keutuhan kekuasan dan kedaulatan umat Islam harus dipertahankan. Dan dalam kekuasaan dan kedaulatan ummat Islam yang utuh tersebut, menurut mereka, kelompok kaum Muhajirin adalah pemilik kekuasaan yang abash. Dengan alasan bahwa bagi semua orang Arab hanya mau menerima kepemimpinan dari suku Quraisy saja. Barang kali legitimasi alasan ini berdasarkan pada hadis Rasul Allah, yaitu “al-a’immah min Quraisy” (kepemimpinan dari Bani Quraisy). Sementara itu, belakangan Bani Hasim mengklaim bahwa kekuasaan dan kepemipinan atas ummat Islam adalah milik mereka. Dengan pertimbangan atas pertalaian keluarga dengan Rasulullah.

Setelah periode Khulafau al-Rasyidin berakhir, pemerintahan dalam Islam beralih kepada dinasti Umayyah. Mu’awiyah (661-680) adalah khalaifah yang pertama merubah sistem pemerintahan dalam Islam dari sistem domokrasi menjadi monarki, yaitu dengan mengangkat putranya, Yazid sebagai pengatinya. Ketika dinasti Ummayah digulingkan oleh dinasti Abbasyiah, bukannya pemerintahan bentuk monarki dirubah, tetapi tetap dipertahankan, bahkan pemerintahnya lebih absolut dari dinasti sebelumnya. Sabda Rasul Allah, “Sepeninggalanku kekhalifahan berumur tiga puluh tahun. Sesudah itu, ia akan berubah menjadi kerajaan yang digigit (dipertahankan secara turun-temurun).” (Lihat, Abu Zahra, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam: 13).

Kendatipun hadis ini diragukan oleh peneliti hadis, lantaran “a historis”, karena “kekhalifahan” pada masa hidup Rasul Allah belum tercipta, tetapi baru setelah Rasul Allah wafat. Namun, keberatan tersebut mengandaikan keraguan mereka terhadap kekuatan estimasi dari Rasul Allah. Dan kalau ditinjau bahwa Muahmmad merupakan Rasul Allah, maka keberatan tersebut menjadi tidak terlalu berarti. Banyak orang menyangkan perubahan sistem pemerintahan tersebut. Bahkan pemikir-pemikir pembaharu dalam Islam abad ke-19 dan 20 menyatakan bahwa salah satu penyebab kemunduran ummat Islam adalah lenyapnya pemeritahan khulafa al-rasyidun yang bercorak demokratis dan republik itu menjadi monarki. (Musda Mulya, Negara Islam: 5).

Dalam penilaiannya terhadap sistem politik yang dibangun oleh Rasul Allah, kemudian diteruskan oleh para khulafa al-rasyidin, menurut Robert N. Bellah, sangat modern untuk ukuran zaman dan tempatnya. Bahkan era khulafa al-rasyidin sebagai kelanjutan era Rasul Allah di Madinah terlalu “modern” untuk berhasil, seperti dikutip Nurcholish Madjid:

“Tidak dapat lagi dipersoalkan bahwa di bawah Rasul Allah Muhammad masyarakat Arab telah membuat lompatan jauh ke depan dalam kecanggihan sosial dan kapasitas politik. Tatkala struktur yang telah terbentuk di bawah Rasul Allah dikembangkan oleh para khlifah pertama untuk menyediakan perinsip penyusunan suatu emperium dunia, hasilnya suatu yang untuk masa dan tempat sangat modern.”

Sistem politik awal Islam klasik sedemikian modernannya, sehingga hanya mampu bertahan dengan berakhirnya kepemimpinan khulafa’ al-rasyidun. Pemerintahan pasca khalifah al-rasyidun ini gagal menerapkan sistem politik modern. Dengan begitu, mereka kembali pada prinsip organisasi sosial pra-Islam, merupakan bukti tambahan untuk kemodernan eksperimen dini tersebut. Eksperimen itu terlalu modern untuk bisa berhasil karena belum ada prasarana sosial yang diperlukan untuk mendukungnnya.” (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusia: 15-16; Robert N. Bellah, Beyon Belief Esei-esei tentang Agama di Dunia Modern, 2000: 213).

Sistem politik awal Islam klasik disebut modern dalam hal tingginya tingkat komitmen, keterlibatan dan partispasi yang diharapkan dari kalangan rakyat sebagai anggota masyarakat. Pratek sistem politik semacam ini terjawantahkan dengan sempurna sebagaimana tercermin dalam Piagam Madinah. Begitu pula, sistem politik Islam dikatakan modern dalam hal pemilihan pemimpin (khalifah) secara demokratis lewat musyawarah. Lebih dari itu, disebut modern karena keterbukaan kedudukan kepemimpinannya untuk dinilai kemampuan mereka menurut landasan-landasan universalistas. Kepemimpin modern itu tidak dilambangkan menjadi lembaga yang anti kritik dalam kepemimpinan monarki (diangkat turun-menurun).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh

*Alimuddin Hassan Palawa,
(Direktur & Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau)

 

38. PEMIKIRAN POLITIK ISLAM (2): Sekelumit Sejarah Islam Klasik Era Rasul Allah

38. PEMIKIRAN POLITIK ISLAM (2): Sekelumit Sejarah Islam Klasik Era Rasul Allah

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

 

Kelahiran agama Islam di tengah-tangah masyarakat Arab jahiliyah di Mekkah melulu dipandang dari perspektif teologis dan moral dengan pertimbangan masyarakatnya adalah pengunut paganisme dan bobrok akhlaknya, an sich. Sementara itu, kelahiran Islam dan tampilnya Nabi Muhammad di Mekkah, hampir-hampir tidak pernah dihubungan dengan motif lain, misalnya ekonomi dan politik. Padahal di Mekkah pada masa itu telah terjadi ketimpangan ekonomi-perdagangan dan ketidakadilan politik-kekuasaan. Yang kuat menindas; dan yang lemah ditindas.

Perolehan harta secara berlebih-lebihan, merampas hak-hak orang lemah dan mengabaikan orang-orang miskin di Mekkah tidak dapat dibenarkan. Karenanya, menurut Watt, ajaran yang mula-mula disampaikan oleh Nabi Muhammad sangat sarat dengan tema-tema tersebut, seperti tulisnya, “surah-surah yang paling awal dalam al-Qur’an menegaskan bahwa akar dari kegelisahan sosial di Mekkah adalah materialisme individualistik kebanyakan penduduknya.

Kesombongan saudagar-saudagar besar melalui kekayaannya terhadap orang-orang miskin dan tertindas mendapat kecaman. Bahkan ajaran-ajaran teologis dalam surah-surah awal ini mempunyai relevansi dengan situasi tersebut. (Lihat, W. Montgemory Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis Tokoh Orientalis, Jokyakarta: Tiara Wacana, 3-4). Dalam bahasa yang hampir sama, Fazlur Rahman, setelah membandingkan agama Islam dengan agama monotaimse lainnya, menyatakan:

“Bagi monitasme Muhammad, sudah dari sejak awanya berkelindan dengan humanisme dan raasa keadalian sosial-ekonmomi yang tidak kalah dengan intensitas konsep monotaistik lainnya. Karennya, kalau secara seksama kita membaca wahyu-wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad tentu saja kita akan mengambil kesimpulan bahwa keduanya seyogyanya dipandang sebagai ungkapan pengalaman yang sama.” (Fazlur Rahman, Islam, 2002: 12).

Mekkah sebagai kota perdagangan menjadikan penduduknya “…. kalau bukan seorang pedangan maka ia seorang makelar”, kata Straff, seorang perwira tentara Romawi yang ikut berperang di jazirah dalam menuliskan pengalamamnya.” “Jika mereka diseru menunaikan sholat Jum’at,” demikian firman Allah, “ Bergegaslah kamu mengingat Allah dan tinggalkan jaua-beli.” (Q.S. 62:9).

Dikalangan orang Mekkah, hari Jum’at adalah hari suka-cita dan orang-orang pada sibuk di pasar. Ada hadis Nabi yang mengisahkan, betapa Nabi Muhammad sedang berkhutbah, ditinggalkan jama’ah dan yang tersisa hanya dua belas orang, gara-gara mereka menyambut kafilah yang tiba membawa dagangan. (Lihat, H. Fuad Hashem, Sirah Muhammad Rasulullah: Suatu Penafsiran Baru, Bandung: Mizan, 1990: 55).

Dengan kondisi di atas kota Mekkah telah melahirkan konglomarasi yang memenopoli perdanganan, sehingga kekayaan (modal) terkonsentarisi pada segelintari orang, sekaligus memiskinkan sejumlah banyak orang. Konsekwensinya, menyerat timbulnya ketegangan-ketegangan di antara mereka, dan boleh jadi berakhir dengan peperangan di antara suku-suku yang ada.

Dalam kondisi seperti ini, Nabi Muhammad tampil untuk memberikan peringatan tentang bahaya yang akan melanda Mekkah beserta perdagangannya. (Lihat, M.A. Shaban, Sejarah Islam: Penafsiran Baru 600-750, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993: 1-9). Maka munculnya Nabi Muhmmad dalam panggung sejarah guna melakukan revolusi dalam rangka merubah tatanan kepercayaan, ekonomi dan politik masyarakat Mekkah. (Bernard Luwis, The Political Language of Islam, Chicaco: University Chicaco Press, 1989: 92).

Namun, selama periode Mekkah (611-622) Nabi Muhammad tidak berhasil mengemban misinya. Ia hanya mendapat pendukung sekelompok kecil dari kalangan yang tidak mempunyai pengaruh serta tidak mempunyai wilayah dan kedaulatan di Mekkah. Posisi mereka pada waktu itu sangat lemah sebagai golongan minoritas tertindas dan tidak mampu menentang kekuasaan kaum Quraisy Mekkah. (J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah, 1996: 1).

Faktor utama kegagalan itu disebabkan Nabi Muhammad dan pengikutnya mendapat tantangan dari kaum Quraisy, kelompok penguasa Mekkah yang ingin mempertahankan status qua. Bahkan musuh-musuhnya yang kaya itu melakukan pemboikotan ekonomi. Karena di Mekkah tidak kondusif untuk melakan perbaikan, dan malah kesalamatan jiwanya dan pengikutnya terancam, maka mereka tidak mempunyai alternatif, kecuali meninggalkan tanah kelahirannya (M.A. Saban, Sejarah Islam: 12) untuk hijrah ke Yastrib (belakangan berganti nama kota Madinah).

Semua yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. di kota hijrah itu adalah refleksi dari ide yang terkandung dalam perkataan Arab “madinah”. Dari segi etimologis kata ini berarti “tempat peradaban”, yaitu padanan perkataan Yunani “polis” , seperti dalam nama kota “Constantinopel”. Dan “madinah” dalam arti itu adalah sama dengan “hadlarah” dan “tsaqafah”, masing-masing sering diterjemahkan, berturut-turut “peradaban” dan “kebudayaan”.

Akan tetapi, secara etimologis mempunyai arti “pola hidup menetap” sebagai lawan “badawih” yang berarti “pola hidup mengembara, nomad. Karena itu perkataan “madinah” dalam peristilahan modern, menunjuk kepada semangat dan pengertian “civil society ”, suatu istilah bahasa Inggris yang berarti “masnyarakat sopan, beradab dan teratur dalam bentuk negara yang baik. Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusian, (Jakarta: Paramadina, 1995), hal. 187

Ketika berada di kota Madinah, Nabi Muhammad membangun sebuah komunitas baru dengan mempersatukan kaum Muhajirin dan kaum Anshar dalam ikatan persaudaraan berdasarkan iman. (Lihat, Abdullah al-Ahsan, Ummah or nation? Identitas Critis in Contemporary Muslim Society, The Islamic Foundation, 1992: 9; Hakim Javid Iqbal, “Konsep Negara Dalam Islam”, dalam Mumtaz Ahmad (ed.), Masalah-masalah Teori Politik Islam, Bandung: Mizan, 1996: 60). Di kota ini, menurut Harun Nasution, umat Islam mempunyai kedudukan yang baik dan segera berkembang menjadi suatu komunitas kuat dan mampu berdiri sendiri.

Nabi sendiri menjadi pemimpin masayakat yang baru dibentuknya itu, dan akhirnya menjadi sebuah negara yang wilayahnya kekuasaannya, ketika Nabi wafat, meliputi seluruh kawasan semenanjung Arabiah. Untuk itu, dengan sendirinya, ungkap T. Strothmsann, seperti dikutip Harun Nasution, kapasitas dan peranan disandang Nabi Muhammad menjadi ganda: sebagai Nabi dan kepala negara. (Lihat, Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI-Press, 1986: 3 dan 92). Bahkan pada periode Madinah ini, menurut penilaian Philip K. Hitti, unsur kenabian dalam dirinya surut kebalakang, dan sikap politis-praktisnya yang mencuat kepermukaan. (Lihat, Philip K. Hitti, History of the Arab, 1970: 116).

Senada dengan itu, menurut A.H. Johns, Muhammad di Madinah memerintah komunitasanya dengan menggunakan otoritas keagamaan dan politik. Pada periode di Mekkah, ia tidak suskes sebagai seorang pemimpin agama hingga mendapat kesempatan untuk mengembangkan keterampilan bawaannya sebagai seorang pemimpin politik. Namun, itu sangat meragukan bahwa ia sukses sebagai seorang pemipin politik kalau ia tidak terlebih dahulu merefresentasikan dirinya sebagai seorang pemimpin agama. (A. H. Johns, “Political Authority in Islam: Same Reflections Relevant to Indonesia”, Anthony Reid, (ed.), The Making of an Islamic Discourse in Souteast Asia, 1993: 17).

Perjuangan Nabi Muhammad dalam membangun komunitas baru di Madinah acapkali ditunjuk sebagai awal berdirinya organisasi politik dalam Islam. Fazlur Rahaman, tokoh Neo-modernisme Islam, misialnya menyebutkan bahwa masyarakat Madinah yang dipimpin oleh Nabi Muhammad tersebut merupakan sebuah negara. (Lihat, Fazlur Rahman, “The Islamic Concept of State”, dalam John J. Donahue & L. Esposito (ed.), Islamic in Transition Muslim Perspective, 1982: 261). Pandangan serupa dari D.B. Macdonald yang menyatakan bahwa di kota Madinah telah terbentuk negara Islam pertama yang meletakkan dasar-dasar politik bagi penerapan perundangan-undangan Islam. (Lihat, D.B. Macdonald, Development of Muslim Theologi, Jurisprudence and Constitutional Theory, 1903: 67).

Adapun sumber perundangan-undangan di masa Nabi Muhammad saw. adalah wahyu ilahi (al-Qur’an) dan ketetapan-ketetapannya sendiri (al-Sunnah). Kalau terjadi sesuatu yang menghendaki adanya ketetapan hukum terhadap peristiwa atau masalah yang terjadi di tengah masyarakat, maka Allah menurun wahyu kepada Nabi untuk menjelaskan hukum yang belum diketahuinya. Akan tetapi, bila tidak ada wahyu yang turun, Nabi Muhammad saw. melakukan tinjauan hukum untuk menentukan ketetapan hukumnya. Hasil ketetapan Nabi Muhammad saw ini bersifat mengikat untuk diikuti oleh ummat Islam (J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan: 6).

Mengingat tindakan Nabi Muhammad saw dalam penjalankan pemerintahannya senantiasa berdasarkan pada tuntutnan dan bimbingan wahyu, maka sebagian pengakaji pemikiran politik Islam menyatakan bahwa negara yang dibentuk oleh Nabi adalah negara teokrasi dalam arti kedaulatan ada pada Tuhan. Meskipun demikian, ada juga di antar penulis keberatan dengan pandangan ini, karena banyak ayat al-Qur’an memerintahkan Nabi agar melakukan musyawarah dengan ummat. Salah satu diantaranya, “Bermusyawarah kamu dengan mereka dalam berbagai urusan, kemudian apabila kamu telah membulatakan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah” [Q.S. Al-Imran:159].

Dalam menjalankan pemerintahannya, khususnya dalam bidang muamalah, Nabi membuat perjanjian tertulis: “Piagam Madinah”. Piagam ini oleh kebanyakan penulis dan peneliti sejarah Islam serta pakar pemikiran politik Islam menyebutkan sebagai konstitusi negara Islam pertama. (Zainal Abadin Ahmad, Piagam Nabi Muhammad saw. Konstitusi Negara Yang Pertama di Dunia, 1973).

Piagam Madinah ini merupakan landasan bagi masyarakat yang terdiri dari kaum Muhajirin, kaum Anshar serta orang-orang Jahudi dalam penyelengaraan administrasi dan keamanan di kota Madinah sebagai ummah wahidah (komunitas tunggal). Watt setuju kalau orang-orang Yahudi yang tinggal di Madinah dimasukkan dalam ummah wahidah. Akan tetapi, tidak sedikit ahli sejarah yang, misalnya R.B. Serjeant, Frederick M. Denny, keberatan tidak setuju) untuk memasukkah orang-orang Yahudi dalam komunitas tersebut.

Perinsip-perinsip penting yang dapat disimpulkan dalam dalam piagam itu adalah: Kedaulatan di tangan Allah dan otoritas keunggulan hukum-Nya; negara Islam Madinah berdasaarkan hukum Islam dan Nabi adalah kepala pemerintahannya. Perinsip-perisnip lainya yang dikandung dalam piagam Madinah itu, seperti persamaan hak dan kewajiban, musyawarah, keadilan, persaudaraan, kebebasan, hidup bertetangga, toleransi beragama, perdamaian dan pertaahanan, amar makruf dan nahi mungkar, tolong menolong dan membela yang teraniaya, serta ketakwaan.

Begitu pula, Nabi sangat menekankan tentang nilai-nilai kemanusiaan (humanisme), misalanya sangat nyata dalam pidato Hajj al-Wadha’ (haji perpisahan), Nabi menyerukan: “Sesungguhnya darahmu (dima’), harta bendamu (amwal), dan kehormatanmu (a’rad) adalah suci atas kamu, seperti sucinya harimu (hari suci haji) ini, dalam bulanmu (bulan suci Dzulhijjah) ini dan dinegerimu (tanah suci) ini”.

Nilai-nilai kemanusiaan itu harus tetap dijaga karena setiap manusia mempunyai nilai kemanusiaan sejagad. Firman Allah “Sesiapa membunuh suatu jiwa tanpa (kesalahan) membunuh jiwa yang lain atau membuat kerusakan di bumi, maka ia bagaikan membunuh umat manusia seluruhnya, dan barangsiapa menolong hidup suatu jiwa, maka ia bagaikan menolong hidup umat manusia seluruhnya.” (Q.S. 5: 27-32).

Dalam pidatonya itu, Nabi juga sangat menegaskan pentingnya hak-hak asasi manusia, misalny hak-hak wanita, budak dan buruh. Nilai-nilai kemanusia dan hak asasi manusia itu berulang-ulang Nabi tegaskan menjalang wafatnya. (Ajaran Islam yang ditegaskan oleh Nabi ini, belakangan mempengaruhi gerakan humanisme di Barat. Pengaruh ajaran Nabi ini dapat dilihat pada pemikiran-pemikiran kefilsafatan tentang manusia dari Giovani Pico della Mirandola, salah seorang pemikir humanis terkemuka zaman Rainassance Eropa, ketika ia menyapaikan orasi ilmiah: “Oratio de homanis dignitate (Oration on the Dignity of man)”, orasi tentang harkat dan martabat manusia di depan para pimpinan gereja.

Pembukaan orasi itu berbunyi: “Saya telah membaca, para bapak yang suci, bahwa Abdullah seorang Arab Muslim, ketika ditanya tentang apa kiranya di atas panggung dunia ini, seperti telah terjadi, yang dapat dipandang paling manakjubkan?” Ia menjawab: “Tidak ada yang dapat dipandang lebih menakjubkan daripada manusia”. Dengan panggal tolak ini Gieovani membeberakan paham kemanusiaannya. Meskipun Geiovani kemudian dimusuhi Gereja dan karena tidak tahan kemudian “bertobat”.

Akan tetapi, pandangannya itu merupakan salah satu fondasi faham kemanusiaan dan keadilan di Barat, yaitu Humanisme Modern. Belakangan, seperti John Lock merumuskan tentang hak-ha asasi manusia, yaitu Liberte (kebebesan), egalite dan propiete (pemilikikan harta). Begitu pula, pendiri Negara Amerika, Thomas Jefferson, seorang humanis besar merumuskan dokumen modern tantang American Declartion of Independence (Deklerasi Kemerdekaan Amerika), pada 6 Juni 1776, berisi penegasan Life, Liberty, and the Pursuit of Happenes (hak hidup, hak kebebaan, dan hak mengejar kebahagian). (Lihat, Nucholish Madjid, Islam Agama Kemanusia: 182 dan 221; lihat juga Nurcholish Madjid, “The Potential Islamic Doctrinal Resources for the Establishment and Appreciation of the Modern Consept of Civil Society”, Makalah, Konferensi Internasioanl tentang “Islam and Civil Society, Massages from Aoutheast Asia”, diselenggarakan oleh The Sasakawa Peace Foundation, Jepang, 5-6 November 1999).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh

*Alimuddin Hassan Palawa,
(Direktur & Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau)
37. PEMIKIRAN POLITIK ISLAM (1): Futuhat Awal Sejarah Islam Klasik dan  Pertautan Politik dalam Islam

37. PEMIKIRAN POLITIK ISLAM (1): Futuhat Awal Sejarah Islam Klasik dan Pertautan Politik dalam Islam

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

 

Kelahiran Islam lewat pewahyuan (selama rentang tahun 610-632) pada figur Nabi Muhammad saw. dinilai sangat tepat-ruang dan pas-waktu. Pertama, disebut “tepat-ruang” karena Mekkah dan Madinah (jazirah Arab umumnya) relatif “jauh” dari jangkauan kekuasaan dan pertikaian dari dua negara adi-kuasa: Kekaisaran Romawi dan Khousru Persia. Boleh jadi, Jazirah Arabiah merupakan kawasan yang kurang “menarik” di tengah-tengah persaingan dan peperangan di antara mereka.

Kedua, dikatakan “pas-waktu” karena saat itu kedua negeri super power tersebut semakin melemah akibat peperangan yang berkesenantiasa (terus-menerus) antara keduanya. Sehingga, menurut J.J. Saunders, “andaikata Islam lahir seabad sebelumnya, maka kaisar Yustianus (Romawi) yang kuat pada era itu akan menghalangi penyebaran Islam. Begitu pula, apabila seabad setelahnya, barangkali Arabia telah memeluk agama Kristen karena kekuatan Byzantium dan Persia telah pulih kembali.”

Pada bagian lain, Saunders melanjutkan imajenasi-inteletualnya yang mengada-ngada, “andaikan saja Abraham berhasil benguasi Mekkah, maka seluruh jazirah Arab akan terbuka untuk penerobosan Kristen dari Byzantium. Akibatnya, tanda Salib akan menjulang tinggi di atas Ka’bah; dan Muhammad mungkin akan mati sebagai pastur atau pendeta. ”(Lihat, J.J. Saunders, A History of Medieval Islam, 1965: 14-15).dan 36-37). Al-hamd li Allah, ini hanya sekedar pengandaian J.J. Saudders di siang bolong. Lagi pula, sejarah tidak dapat diajak berandai-andai.  Karenanya, disebut sejarah karena ia adalah peristiwa masa lalu yang real terjadi dan memiliki fakta yang kuat dan data yang akurat.

Dengan kondisi faktual sejarah di atas, sehingga dalam waktu relatif singkat (hanya 23 tahun lamanya) Nabi Muhammadsaw. berhasil dengan sangat mencengangkan dalam mengemban tugas dan misi dari Allah. Sepeninggalan Nabi Muhammad saw (w. 632) keberhasilan dalam Islam dilanjutkan pula dengan sangat gemilang oleh Khulafa al-Rasyidin, khususnya pada masa Khalifah ‘Umar ibn Khattab. Agama Islam yang masih “remaja” di masa Umar ibn Khataab ini merembah ke mana-mana untuk melakukan “pembebasan” (futuhat).

Segera penobatannya sebagai khalifah kedua dari Khulafa al-Rasyidun, ‘Umar ibn Khattab membebaskan Suriah dan Palestina yang saat itu merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Byzantium. Dalam pertempuran Yarmuk pada 636 Masehi pasukan Islam secara gemilang mengalakan pasukan Byzantium. Pada tahun yang sama Damaskus jatuh, dan dua thun kemudian Yerusalam tunduk dalam kekuasaan Islam. Pada 639 Masehi pasukan Islam menyerang Mesir, dan dalam waktu hanya tiga tahun penaklukan atas wilayah Mesir selesai.

Pada masa pemerintahan Umar ibn Khattab itu pasukan Islam merambah ke dunia wilayah timur. Pada 641 Mesehi seluruh wilayah Irak berada di bawah kekuasaan Islam. Dan pada 642 pasukan tentara Islam mampu mengalahkan pasukan kerajaan Sassanid. Menjalang wafatny Umar ibn Khattab pada tahun 644, sebagian besar bagian barat Iran telah disapu oleh pasukan Islam. (Michael H. Hart, 100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia Sepanjang Sejarah, 2009: 286).

Dengan kata lain, propinsi-propinsi jajahan dua adi-kuasa: Kekaisaran Romawidan Khousru Persia yang sangat berkuasa sebelumnya, seperti Syiria, Palestina, Yerusalem, Damaskus, Mesir, Irak dan Iran (Persia) sudah berada dalam genggaman kekuasaan. Bahkan tak terkecuali kedua ibukota negeri super power tersebut juga mampu ditaklukkan oleh tentara Islam.(Lihat, Marshall G.S. Godgson, The Venture of Islam Conscience and History in a World Civilization, 1961:197-206).

Dengan jatuhnya kota Iskandaria pada 651 di tangan jenderal Amru bin ‘Ash menandai rampungnya penaklukan Islam terhadap Timur Dekat, sekaligus berakhirnya kekuasaan Persia dan Byizantium di wilayah tersebut. Kurang dari lima puluh tahun berikutnya tentara Islam menaklukan Spanyol di belahan Barat. Pada waktu yang hampir bersamaan di masa Dinasti Ummayah tentara Islam mampu menerobos wilayah India di belahan Timur.(Lihat, Howard T. Turner, Science in Medieval Islam, 1961: 5).

Penaklukan yang dilakukan Umar ibn Khattab, menurut Michael Hart, lebih spektakuler –sebagai sebuah catatan tambahan– daripada penaklukan yang pernah dilakukan oleh Julius Caesar. Berat dugaan, mungkin atas pertimbangan inilah, sehingga Michael Hart menempatkan Umar ibn Khattab (pada urutan 52) mengatasi Julius Caesar (pada urutan 67) dalam rentetan 100 tokoh paling berpengaruh dalam sejarah peradaban manusia. (Michael H. Hart, 100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia Sepanjang Sejarah, 2009: 283-287).

Menurut Majid Fakhri, setidaknya ada dua alasan kenapa penaklukan Islam begitu mudah dilancarakan. Pertama, upaya perluasan dilakukan oleh kekaiasaran Romawi, Heraklius pada 610 mengakibatkan timbulnya pertarungan dahsyat antara orang-orang Persia dan Byzantium yang sebelumnya telah berjibaku dalam peperangan panjang guna menancapkan pengaruh militer mereka di wilayah Timur Dekat.

Peristiwa perang berkepanjangan di antara mereka mengakibatkan melemahnya kekuatan masing-masing. Dengan demikian, tentara Islam dengan mudah mencatat serangkai kemenangan demi kemenangan dari kedua bala tentara yang jumlahnya lebih banyak dan sangat terlatih; dibandingkan dengan tentara Islam yang jumlahnya sedikit, ditambah belum berpengalaman dalam medan peperangan besar.

Kedua, faktor perbedaan dan pertentangan keagamaan yang melibatkan kaum Nestorian, Monofosit dan Melchite (aliran ortodoks) mengakibatkan rasa tidak senang dan aman bagi penduduk Mesir, Syiria dan Irak. Dalam kondisi demikian, tidaklah aneh kalau kedatangan orang-orang (tentara-tentara) Islam disambut dengan suka cita sebagai “pembebas” (futuhat). Dan sebagian besar berharap bahwa orang-orang Islam dapat menghilangkan penindasan dari Konstantinopel dengan alasan demi menjaga ajaran-ajaran ortodoksi, khususnya masa pemerintahan Justinian (527-565). (Lihat, Majid Fakhri, A History of Islamic Philosophy, 1970: 12-13).

Bahkan tentara Islam mampu menyeberangi pegunungan Pyrene di Eropa Barat yang letaknya antara Spanyol dan Prancis.Namun belakangan, pemerintahan Islam di Andalusia tidak pernah sungguh-sungguh lagi untuk menyeberangi pegunungan itu guna menaklukan Prancis. Karena dalam persepsi (tentara) ummat Islam pada saat itu bahwa daerah-daerah di sebelah utara itu terlalu dingin dan tidak cocok untuk mengembangan peradaban; dan dalam penilaiannya mereka manusianya terlalu kasar dan bodoh. (Lihat, Nurcholish Madjid, Kaki langit Peradaban, 1997: 10; bandingkan Bernard Lewis, Muslim Discovery of Europe, 1982: 8).Patut disayangkan sikap dan pandangan ini, sekiranya pasukan Islam mau dan mampu menerobos pengunungan Pyrenelewat pintu Prancis, sejarah Eropa Barat dan Islam di belahan timur, mungkin menjadi lain.

Kejayaan politik dan kesukesesan sprektakuler ekspansi militer Islam di atas menjadi salah satu karektristik agama Isam pada awal-awal penampilannya. (Musda Mulya, Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal, 2001: 1). Untuk itu, wajar sekali kalau W. Motgemory Watt, misalnya melihat secara umum, “sepanjang sejarah manusia, agama selalu terlibat secara intens pada keseluruhan hidup manusia dalam masyarakat, termasuk dalam bidang politik. Bahkan Yesus pun bukannya tanpa relevansi politik”. Khususn agama yang dibawa Nabi Muhammad, tulis Watt, “Islam telah memiliki reputasi sebagai agama politik.”(W. Motgemory Watt, Pergolakan Pemikiran Politik Islam, 1987:32-36).

Berbeda dengan agama Yahudi dan Kristen, Islam sejak kelahirannya, terutampada fase Madinah, menurut Phillip K. Hitti, telah menjadi sebuah agama dalam negara. Bahkan setelahterjadinya perang Badr, Islam berubah menjadi lebih dari sekedar agama negara, tetapi Islam merupakan negara itu sendiri. (Phillip K. Hitti, History of Arab, 1970: 146-147). Dengan demikian, menurut Thomas W. Arnold, kedudukan Nabi Muhammad di Madinah adalah sebagai pemimpn agama, dan sekaligus pemimpin negara. (Thomas W. Arnold, The Caliphate, 1965: 30).

Sementara itu, menurut Muhammad Assad, adalah mustahil untuk dapat memperoleh penilaian yang tepat tentang Islam tanpa mencurahkan perhatian sepenuhnya kepada masalah politik. (Lihat, Salam Azzam (ed.), Beberapa Pandangan tentang Pemerintahan dalam Islam, 1990: 70). Karena Islam adalah din wa siyasah (agama dan politik), maka dalam realitas historisnya adalah absurd untuk memisahkan antara Islam dan politik. (Lihat, Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, 1996: 229). Bahkan Al-Ghazali menandaskan bahwadalam Islam “al-din wa al-mulk tau’aman fala yastaghni ahadu-huma min al-akhar (agama dan pemerintahan adalah saudara kembar, yang satu tidak bisa jalan tanpa yang lain). (Lihat, Gustave E. von Grunebaum, Islam Kesatuan Dalam Keragaman, 1983: 217).

Sikap Islam memang berbeda dengan agama-agama Yahudi dan Kristen terhadap hubungan politik dan negara. Agama Yahudi mula-mula berasosiasi dengan negara, tetapi kemudian berpisah dari negara dan kekuasaan politik. Sementara itu, agama Kristen sudah terpisah dari negara dan kekuasaan politik pada masa-masa formatifnya (pertumbuhan awalnya). Sehingga, belakangan doktrin agama Kristen menyatakan: “render unto Caesar the thing which are Caesar’s; and unto God the thing which are God’s” (berikan kepada sang kaisar apa yang menjadi hak kaisar; dan berikan kepada Tuhan apa yang menjadi hak Tuhan). Doktrin semacam ini sama sekali tidak diketemukan dalam doktin sekaligus dalam sejarah peradaban Islam.

Dalam Islam integrasi politik ke dalam agama Islam terlihat jelas dalam ekspresi keagamaan dan politik pada masa Nabi Muhammad saw. Selanjutnya, menurut Amin Rais, dalam banyak hal dilanjutkan dan diiukuti oleh al-Khulafa al-Rasyidin, empat khalifah sesudah Rasul Allah. Hal yang sama juga terjadi pada kekhalifahan Bani Ummayah dan Bani Abbasiyah serta beberapa kerajana-kerajaan Islam sesudahnya. Meskipun, ketika praktek politik dan pemerintahan setelah masa Khulafa’ al-Rasyidun ini berakhir, sulit lagi untuk diklaim secara absah seiring dengan konspesi politik dan kekuasaan yang diperaktek oleh Nabi Muhammad saw. di Madinah.

Kemudian, dalam perkembangannya berikutnya, persoalan politik dengan segala dinamikanya, tentunya senantiasa berlanjut seiring dan inhairen dalam perjalanan sejarah politik ummat Islam. Sehingga, menurut Nurchalish Madjid, memperbincangkan masalah ummat Islam acap kali merambah, secara tak terhindarkan, ke masalah politik dalam Islam. Lebih lanjut Nurchalish Madjid memaparkan:

“Jika masalah politik selalu muncul dalam berbagai pembahasan tentang Islam, hal itu wajar sekali, dan seharusnya tidak perlu menimbulkan keheranan. Dalam kaitannya dengan masalah politik ini, kaum muslimin bisa mengatakan bahwa agama Islam berbeda dengan agama yang lain. Pernyataan yang sering muncul secara streotifikal itu memang mengandung kebenaran yang substansial. Maka mengingkari hal itu akan berarti sama dengan mengingkari kenyataan sejarah yang telah berabad-abad dan yang akan masih berlangsung entah selama berapa abad lagi. Dan tentu hal itu juga berarti sama dengan mengingkari sebagaian dari essensi agama Islam.”

Realitas faktual tersebut telah manjadi salah satu temuan terpenting dalam kajian ilmiah tentang Islam, termasuk oleh mereka yang non-Muslim yang kadang-kadang simpati dan kerap kali antipati. Maka Marshall Madgson, misalnya, sebagimana dikutip oleh Nurckholish Madjid, melihat keseluruhan sejarah Islam sebagai “venture” [dijadikan judul bukunya, The Venture of Islam] atau usaha yang tidak kenal berhenti untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan. Dan “venture” itu melibatkan orang-orang Muslim dalam praktek semua bidang kehidupan, dan dengan sendiri juga pada bidang politik. (Lihat, Nurcholish Madjid, “Pengatar” dalam H. Munawir Sjazali, Islam dan Tata Negara, 1990:v).

Betapapun, menurut Cak Nur, upaya memahami hubungan Islam dan politik tidak mudah dengan dua pertimbangan. Pertama, bahwa Islam telah membuat sejarah sepanjang lebih empat belas abad. Jadi akan merupakan sebuah kenaifan jika kita menganggap bahwa selama abad-abad tersebut segala sesuatunya tetap stasioner dan berhenti. Kesulitannya adalah bahwa sedikit sekali di kalangan umat Muslim yang memiliki pengetahuan, apalagi kesadaran, tentang sejarah tersebut.

Kedua, bahwa beranekaragamnya bahan-bahan kesejarahan yang harus dipelajari dan diteliti kekuatan-kekuatan dinamis yang menyeratinya. Selain itu, terdapat pula perbendaharan teoritis yang sangat kaya raya tentang politik yang hampir setiap kali muncul bersama dengan munculnya sebuah peristiwa atau gejala sejarah yang penting. Sampai sekarang masih diperdebatkan dikalangan pemikir politik Islam, misalnya, mengapa Nabi Muhammad tidak dengan jelas dan tegas menunjuk siapa yang bakal menjadi penggantinya (khalifah) setelah wafat?

Persoalan yang cukup problematik di atas telah banyak menyita perhatian dan pengkaji sejarah pemikiran politik Islam. Dan pada gilirannnya, menimbulkan jawaban spekulatif dari pertanyaan tersebut, “kenapa dalam kepiawaiannya dalam berorganisasi Nabi Muhammad mengabaikan untuk membuat semacam ketetapan bagi nasib masa depan komunitas yang baru didirikannya itu. Pendak kata,kenapa Nabi tidak menunjuk penggantinya?” Boleh jadi, kerena kesehatannya semakin melemah untuk beberapa saat, sebelum akhirnya benar-benar sakit, sehingga Nabi Muhammad saw. tidak menyelesaikan masalah tersebut dengan menunjuk penggantinya.

Akan tetapi, kemungkinan yang lebih besar bahwa Nabi Muhammad saw. merupakan anak zamannya, dan menyadari sepenuhnya kekuataan perasaan suku Arab yang tidak mengenal prinsip-prinsip keturunan dalam bentuk-bentuk kehidupan politik yang primitif. Dan oleh karenya, Rasul Allah membiarkan angggota suku (para sahabat) dengan bebas untuk memilih pemimpinnya. Namun, ada pula yang menyatakan bahwa itu adalah sikap bijak dari Nabi Muhammad untuk tidak menetapkan siapa penggantinya, dan tidak menentukan bagaimana mekanisme pemilihan.

Sikap Nabi semacam itu, menurut pendapat disebut belakangan, dimaksudkan agar umat Islam sepeninggalannya tidak kaku dan terpaku pada satu sistem pemilihan, dan dalam mengatasi urusan-urusan politik dan pemerintahannya. Dengan begitu, umat Islam bebas untuk mencari kemungkinan-kemungkinan alternatif yang lebih “cerdas” dalam mengatasi persoalan politik sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman. (Mumtaz Ahmad (ed.), Masalah-masalah Teori Politik Islam, 1993: 63).

Adalah wajar kalau belakangan di kalangan pemikir politik Islam lahir pertanyaan, apakah institusi politik merupakan kewajiban agama atau bukan? (Lihat, Qamarauddin Khan, The Political Thought of Ibn Taymiyah (Delhi: Adam Publisher & Distributors, 1982), 23). Kalau, ya. Bagaimanakah bentuk institusi politik yang dikehendaki dalam Islam? Institusi politik di kalangan pemikir politik Islam, khususnya pemikir politik Sunni, tidak terdapat doktrin tunggal yang diterima secara universal. Dasar pemikiran Sunni itu sendiri tidak memungkinkan diterimanya suatu teori apapun yang definitif dan final. Sebab institusi politik dalam pemikiran politik Islam tidak dapat dikungkung dalam suatu rumusan-rumusan tertentu.

Pemikiran politik di kalangan umat Islam di masa silam, menurut Hamid Enayat, merupakan salah satu disiplin dalam cakrawala pemikiran khazanah Islam klasik yang ruang lingkupnya tidak terbatas. Bagi pengkaji pemikiran politik, ungkap Hamid Enayat lebih lanjut, akan menemukan dalam sejarah Islam selama enam atau tujuh abad pertamnya suatu mozaik yang mencengangkan dari aliran-aliran pemikiran dan praktek politik dalam Islam. (Lihat, Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought, t.t.: 4).

Dari kenyataan di atas, dalam mencermati hubungan antara agama dan negara; Islam dan politik, khususnya dalam pemikiran politik dan ketatanegaraan, menurut Munawir Sjadzali, umat Islam terbagi dalam tiga aliran pemikiran.

Pertama, aliran yang berpendirian bahwa Islam adalah agama yang mengatur totalitas hidup dan menawarkan pemecahan terhadap semua masalah, dan tak terkecuali dalam masalah politik. Karenanya, dalam kehidupan bernegara umat Islam harus kembali kepada sistem politik Islam. Sistem politik Islam yang dimaksudkan adalah apa yang telah dipraktekkan oleh Rasul Allah dan Khulafa’ al-Rasyidun di Madinah. Dalam aliran pemikiran politik ini, tokoh utamanya adalah Hasan al-Banna, Sayyid Qutb, Rashid Ridha, dan terutama Abu A’la al-Maududi.

Kedua, aliran yang berpendirian bahwa Islam adalah agama semata, dan tidak ada hubungannya dengan politik. Artinya, Islam hanya mengatur hubungan pribadi antara manusia dan Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa keberadaan Nabi Muhammad hanya seorang utusan Allah, sama dengan rasul-rasul Allah sebelumnya. Bagi aliran ini, Nabi Muhammad diutus tidak untuk berpretensi untuk mendirikan dan menjadi kepala negara.Aliran ini disebut-sebut berpaham sekuler, sebagaimana paham yang berkembang di Barat sebelumnya, yang memishkan antara urusan agama dan negara, Islam dan politik. Dalam wacana pemikiran politik Islam yang dimasukan dalam aliran ini, misalnya Ali Abdul Raziq dan Thaha Husein.

Ketiga, aliran yang berpendirian jalan tengah dari dua aliran sebelumnya. Menurut aliran ini bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem politik dan ketatanegaraan. Akan tetapi, Islam mengandung seperangat tata nilai etik bagi kehidupan bernegara dan bermasyarakat.Dengan kata lain, aliran ini berpandangan bahwa Islam memang bukan agama yang mengatur seluruh persoalan kehidupan, apalagi secara detail dan rinci. Namun, aliran ini menolak pula paham bahwa Islam adalah yang hanya mengatur hubungan personal antara manusia dan Tuhan. Tokoh yang dimasukkan dalam aliran “substansial” ini, Munawir Sjazali menyebut di antaranya adalah Muhammad Husain Haykal.(Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, 1990: 1-2).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh

Alimuddin Hassan Palawa
(Direktur &Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies]UIN Suska Riau)
36. PEMBAHARUAN PEMIKIRAN ISLAM: Tipologi Fazlur Rahman  dan Muhammad ‘Imarah

36. PEMBAHARUAN PEMIKIRAN ISLAM: Tipologi Fazlur Rahman dan Muhammad ‘Imarah

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

 

Awal Kata
Dalam melakukan tipologi dan pemetaan pemikiran, menurut Luthfi Assayaukanie, sekurang-kurangnya ada dua pendekatan. Pertama, pendekatan taksonomis, yaitu mengurai sejarah pemikiran berdasarkan kecenderungan-kecenderungan tertentu. Artinya, fenomana pemikiran didekati lewat klasifikasi-klasifikasi berdasarkan mazhab pemikiran (school of thought) dengan memilahnya dalam berbagai kelompok, misalnya tradisonalis, sekularis dan modernis.

Kedua, pendakatan biografis atau sejarah sosial-intelektual. Pendekatan ini berasumsi bahwa pemikiran tidak bisa dipisahkan dari sang pemikir yang menghasilkan pemikiran-pemikiran itu. Dengan memaparkan biografi dan perjalanan sejarah sang pemikir, dengan sendirinya pemikiran-pemikiran tertentu dari sang tokoh akan tereksplorasi. (Luthfi Assyaukanie “Pengantar”, dalam Albert Hourani, Pemikiran Liberal Dunia Arab, xv).

Untuk keperluan tipologi dan pemetaan dalam penelitian ini akan dipergunakan pendekatan taksonomis dengan hanya menyebutkan dua tipologi yang dilakukan oleh Fazlur Rahman dan Muhammad ’Imarah.

A. Tipologi Fazlur Rahman
Dalam melihat dialektika perkembangan pembaharuan pemikiran Islam, Fazlur Rahman membaginya dalam empat tipelogi gerakan. Pertama, gerakan revivalisme pramodernis yang lahir pada abad ke-18 dan 19 di Arabia yang dicetuskan oleh Muhammad ibn Abd Wahhab; di India oleh Shah Wali Allah; dan di Afrika oleh al-Sanusi. Gerakan revivalisme pramodernis dengan sendirinya tidak terkena sentuhan/ pengaruh Barat.
Adapun ciri-ciri umum dari gerakan pemikiran revivalisme pramodernis ini adalah: (i) keperihatian yang mendalam terhadap degenerasi dan dekandensi sosial-moral umat Islam disertai usaha sungguh-sungguh untuk merubahnya; (ii) menghimpau umat Islam untuk kembali kepada ajaran Islam yang sejati dengan mengenyahkan takhayyul, bid’ah dan khurafat yang ditanamkan oleh bentuk-bentuk sufisme populer; (iii) menyeru umat Islam untuk meninggalakan gagasan tentang obsolutisme dan finalitas mazhab-mazhab hukum serta berupaya untuk melakukan ijtihad; (iv) mengajak umat Islam untuk meninggalkan corak pemikiran dan prilaku predeterministik; dan (v) menyeru umat Islam untuk melaksanakann pembaharuan yang dianutnya, kalau perlu lewat kekuatan senjata.

Kedua, modernisme klasik muncul pada pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20. Gerakan modernisme klasik ini terpengaruh dan terbuka terhadap ide-ide dari Barat dan karenanya lebih aprisiatif terhadap intelektualisme. Dengan begitu, menimbulkan kesan bahwa gerakan modernisme klasik ini bersifat westernized (kebarat-baratan). Gerakan modernisme klasik ini meneruskan dan memperluas cakupan ijtihad yang dilakukan oleh gerakan sebelumnya. Gerakan modernisme klasik ini menciptakan kaitan yang baik antara pranata-pranata Barat dengan tradisi Islam melalui seumber al-Qur’an dan hadis. Rahman sendiri memberikan apresiasi atas upaya ini sebagai suati prestasi besar yang tidak bersifat artifisial dan terpaksa.Meskipun demikian salah satu kekurangan gerakan ini belum mengelaborasi secara tuntas metode yang dikembangkannya. Menariknya, hakekat penafsisran Islam gerakan ini didasarkan pada al-Qur’an dan ”Sunnah historis” (biografi Nabi) yang dibedakan dengan ”Sunnah teknis” (hadis-hadis Nabi). Gerakan modernisme klasik pada umumnya sekeptis terhadap hadis, tetapi skeptisisme ini tidak ditopang oleh kritisisme ilmiah. (Taufik Adnan Amal (peny.), Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur Rahman: 18-19; bandingkan Abu A’la, Dari Neomodernismeke Islam Liberal: 2 dan 20).

Ketiga, neorevivalisme atau revivalisme pascamodernis lahir sebagai reakasi tidak menerima metode dan semangat modernisme klasik. Akan tetapi, mereka tidak mampu mengembangan metodologi apa pun untuk menegskan posisinya, selaih hanya berupaya membedakan Islam dan Barat. Meskipun dalam realitasnya gerakan ini menerima masalah-malasah substantif yang diangkat oleh gerakan modernis, misalnya demokrasi, tetapi penerimaan mereka lebih bersifat terpaksa.

Keempat, neomodernisme lahir dibawah pengaruh dan sekaligus tantangan terhadap neorivivalisme. Untuk gerakan ini, Rahman sendiri mengklaim dirinya sebagai juru bicaranya. Gerakan pembaharuan ini, tentu saja sangat berbeda dengan gerakan-gerakan sebelumnya, berupaya untuk melihat dan menyikapi secara kritis dan obejektif hasil-hasil pemikiran umat Islam dan sekaligus pemikiran orang Barat. Melalui sikap kritis dan objektif, neomodernisme ingin membangun Islam dalam berbagai dimensinya dalam satu kerangka yang utuh, menyeluruh, sistimatis serta mencerminkan nilai-nilai al-Qur’an dan teladan Nabi yang sebenarnya.Taufik Adnan Amal (peny.), Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur Rahman: 18-19; bandingkan Abu A’la, Dari Neomodernismeke Islam Liberal: 2 dan 20).

B. Tipologi Muhammad ’Imarah
Dalam memetakan pembaharuan pemikiran Islam, Muhammad ’Imarah membagi dalam tiga tipologi. Pertama, tradisional-konservatif. Pemikiran tradisional dalam istilah Arabnya ada yang menyebutkan dengan nama Salafiyah. Ada pula yang menyebutkan golongan ini dengan nama fundamentalisme (al-Uṣuliyah). Golongan Salafiyah atau al-Uṣuliyah adalah mereka yang mengajak kembali kepada perilaku para ulama salam (al-Salaf al-Ṣālih), yaitu mereka yang hidup dalam tiga generasi: Sahabat Nabi Muhammad saw, Tabi’īn, dan Atbā’ al-Tabi’īn. Belakangan, adalah Imam Ahmad ibn Hambil dan Ibn Taymiyah yang dianggap sebagai tokoh aliran pemikiran salafiyah.

Kemudian, para pengikut Imam Ahmad ibn Hambal dilanjutkan oleh para pengikut Ibn Taymiyah dan Muhammad ibn ”Abd Wahhab. Pengikut yang disebut belakangan ini agak bersifat keras, tidak peduli dengan pendapat dan kepentingan umum. Adapun karakteeristik utama kelompok tradisonal Islam ini antara lain: (i) argumentasinya harus diambil dari ayat al-Qur’an dan al-Hadis; (ii) penggunaan rasio harus sesuai dengan nash-nash yang ṣaḥiḥ; (iii) dalam konteks aqidah harus bersandarkan kepada nash-nash saja karena nash-nash itu hanya bersumber dari Allah. Adapun tokoh-tokoh dari golongan tradisional-konservatif ini, sekedar menyebut nama, misalnya Muhammad ibn’Abd Wahhab, Abu al-’Alā al-Maudūdī, Sayyid Quṭb dan Imam Khomeini.(Lihat, M. Yusuf Wijaya, “Visi-Visi Pemikiran Keislaman: Upaya Klasifikasi Pemikiran Keislaman Timur Tengah”, dalam M. Aunul Abied Shah, et. al., Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, 2001: 40-42).

Kedua, sekular dalam bahasa Arabnya adalah al-’almāniyyah. Dalam konteks diskursus pemikiran Islam, maka golongan ini tidak akan terlepas dari terminologi kesejarahan sekularisme di dunia Barat. Memang pada dasarnya, sekularisme adalah pola berpikir atau model pendekatan yang diimpor dari Barat. Adapun karakteristik dari golongan pemikir sekularisme di antaranya: (i) mengekor dan mengajak untuk mengikuti Barat dengan mengganti otoritas agama dengan rasio; (ii) pemisahan antara agama negara dan beranggapan bahwa dalam Islam tidak ada konsep kenegaraan; (iii) Islam adalah konsep masa lampau dan, karenanya, sekularisme adalah alternatif dalam membangun peradaban manusia. Adapun tokoh-tokoh dari sekular dari kalangan pemikir Islam Timur-Tengah, sekedar menyebut beberapa nama, adalah Ali ’Abd Raziq, Thaha Husain, Salamah Musa, Faraq Faudah dan Nasr Hamid Abu Zayd. (Lihat, M. Yusuf Wijaya, “Visi-Visi Pemikiran Keislaman…”: 45-49).

Ketiga, Reformis Moderat. Golongan ini muncul sebagai reaksi dari dua golongan pemikiran yang bertolak belakangan sebelumnya. Golongan Salaf mengajak kepada keterasingan zaman, sedangkan kolongan sekular mengajar kepada keterasingan ruang. Untuk menetralisir kedua golongan tersebut, karenanya, pemikir reformis moderat ini bersedia untuk mengakomodasi medernisme yang diperjuangan oleh golongan sekular di satu sisi, dan pemikiran-pemikiran klasik golongan salaf. Bagi golongan reformis-moderat berpendapat bahwa Islam adalah agama universal, komprehensif dan integral. Dengan demikian, Islam akan senantiasa sesuai dan aktul untuk diterapkan pada zaman dan ruang yang berbeda (Ṣaliḥ fīkulli zamān wa makān).

Golongan reformis-moderat ini berpandangan bahwa Barat tidak perlu ditakuti, meskipun harus diwaspadai. Dengan begitu, golongan ini menyatakan bahwa umat Islam dapat saja belajar tentang sains dan teknologi dari Barat untuk mengejar kertertinggalannya. Selain itu, pemikiran reformis-moderat ini memandang perlu untuk mengatualisasikan khazanah intelektual para pemikir masa lalu yang terabadikan dalam kitab-kitab turas.

Pada prinsipnya golongan reformis-modernis berpendirian “ambil yang bermamfaat dan tinggalkan yang mudarat. Dengan kata lain, golongan adalah penganut prinsip: “Al-Maḥāfaẓah‘alā al-qadīm al-ṣaliḥwa al-akhudh bi al-jādīd al-aṣlaḥ” (Memelihara yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik). Adapun figur-figur pemikir dari golongan reformis-modern ini, diantaranya adalah Shaikh Rifa’ah Rafi’ al-Thahtahwi, Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan dan Sayyid Ameer Ali. (Lihat, M. Yusuf Wijaya, “Visi-Visi Pemikiran Keislaman…”, hal. 53-55.)

Akhir Kata
Dari tipologi yang dilakukan oleh Rahman dan ’Imarah, posisi Muhamamad Abduh dengan mudah dapat diketahui. Pada membagian Rahman, Muhammad Abduh termasuk dalam gerakan modernisme klasik. Sementara pada tipologi yang dilakukan oleh ’Imarah, Muhammad Abduh masuk dalam golongan reformis-modernis. Muhammad Abduh sebagai ”Bapak Pembaharu Pemikiran Islam” memiliki sejumlah murid dan pengikut yang, kalau menurut tipologi ’Imarah, tersebar dalam tiga golongan, yaitu (i) golongan tradisional-konservatif; (ii)golongan reformis-modernis; dan (iii) golongan sekuler.

Untuk tipologi-tipologi pemikiran murid-murid dan pengikut Muhammad Abduh dapat dikategorikan, terutama dua tipologi terakhir, yaitu golongan reformis-modernis, dan golongan sekuler, misalnya Mustafa al-Maraghi, Farid Wajdi, Qasim Amin, dan Luthfi al-Sayyid, Ali Abdul Raziq, Thaha Husain. (Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, 1975: 77-88; Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age 1798-1939: 161-192).

Akan halnya Rashid Riḍa, dalam tipologi Rahman dan ’Imaran masing-masing masuk pada golongan neo-revivalisme pascamodernisme dan tradisional-konservatif.Posisi Rashid Riḍa di atas dipertegas Fazlur Rahman dalam bukunya, Islam yang menyatakan bahwa ”…. gerakan salafi di bawah kepemimpinan murid Muhammad Abduh berasal Syiria, Rashid Riḍa (1865-1935), bergerak secara terus-menurus ke arah sebauh tipe fundamentalisme yang semakin dekat, dan tak dapat disangkal, dengan Wahhabisme.” (Fazlur rahman, Islam, Chicago: University of Chicago Press, 1979: 223).

Bukan saja Rahman, tetapi juga Gibb memberikan penilaian yang sama terhadap pradigma pemikiran Rashid Riḍa: ”…. dalam bukunya Risālatut-Tauḥīd, dia (Muhmmad Abduh – AHP) menghidupkan kembali cara berpikir dialektika yang dirasionalisasikan dari para ’ulama lama. Para pengikut ajarannya, yang dipimpin oleh muridnya dari Syiria, Syaikh Muḥammad Rashid Riḍa, meneruskan proses berpikir itu dengan gerakan khas yang halus menuju kepada ekstrimisme.” (H.A.R. Gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam: 61).

Rashid Riḍa dalam menghidupkan ijtihad, menurut Gibb lebih lanjut, masih menggunakan “kuasi-rasionalisme” dan logika skolastik, tetapi tanpa liberalisme yang kental, sebagaimana dimilik oleh Muhammad Abduh. Pada gilirannya, Rashid Riḍa terbawa ke arah arus ekslusivisme dan kekakuan pandangan mashab Hambali. Pada tataran ini Harun Nasution memberikan perbandingan antara Muhammad Abdu dan Rashid Riḍa bahwa “guru lebih liberal dari murid”. Muhammad Abduh tidak mau terikan pada salah sati aliran atau mashab pemikiran dalam Islam. Sebaliknya, Rashid Riḍa masih memegang mazhab dan masih terikat pada pandapat-pendapat Ibn Hambal dan Ibn Taimiyyah. Mengingat gerakan Muhammad bin Abdul Wahab (Wahabiyah) semazhab, menurut Harun, maka ia sokong dengan kuat.(HarunNasution, Pembaharuan dalam Islam, 1975: 77-88).

Belakangan, penerbitan Al-Manar di tangan Rashid Riḍa, oleh karenanya, beralih dengan capat dari pengaruh al-Ghazali ke pengaruh tokoh fundamentalis, Ibn Taimiyyah. Rashid Riḍa bersama Al-Manar semikin jelas mengidentifikasi diri sebagai pengikut corak gerakan puritanisme. Dengan begitu, Rashid Riḍa menenkankn pentingnya Islam yang berdasrkan ajaran Nabi Muhammad saw., para sahabat serta para pengikutnya dari kalangan salaf. Pada akhirnya, dari sinilah muncul nama “Salafiyyah” tersebut.(H.A.R. Gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam: 61-62).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb,
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illā bi Allāh.

*AlimuddinHassan Palawa
(Direktur &Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies]UIN Suska Riau)
35. MELAYU-RIAU ABAD KE-19: “Negeri Ṣaḥib al-Kitâb dan Nasib Kesudahannya”

35. MELAYU-RIAU ABAD KE-19: “Negeri Ṣaḥib al-Kitâb dan Nasib Kesudahannya”

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

 

Persuratan intelektual Melayu-Riau berlangsung kurang-lebih satu abad, yaitu dalam rentang waktu dari awal ke-19 hingga awal dekade abad ke-20. Selama waktu satu kurang-lebih seabad itu ada empat generasi telah berkiprah dalam persuratan intelektual Melayu-Riau dengan melahirkan sejumlah karya. Untuk lebih mudahnya, generasi pertama diidentifikasi sebagai generasi angkatan ayah Raja Ali Haji; generasi kedua diidentifikasi generasi angkatan Raja Ali Haji (sendiri); dan generasi ketiga dan keempat masing-masing generasi anak dan cucu Raja Ali Haji.

Dalam kontek ini, menurut Ibn Khaldun, puncak kebesaran dan kehormatan dalam satu keturunan biasanya mencapai empat generasi. Pembatasan sampai pada empat generasi adalah perhitungan minimal dengan pertimbangkan bahwa generasi pertama sebagai pendiri dan pencetusnya. Kemudian ke generasi kedua membangun pondasinya yang kokoh, lalu generasi ketiga mengikuti jejak dan mengembangkan generasi sebelumnya, sementara generasi keempat meneruskan dan mempertahankannya. Pada masa akhir generasi keempat ini mengalami kemerosotan, dan pada generasi berikutnya mengalami kehancuran. (Ibn Khaldun, Mukaddimah (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), 214-215). Fenemona keempat generasi ini tercermin pada bangunan persuratan intelektual Melayu-Riau.

Dalam penelitian beberapa sarjana telah mengindentifikasi jumlah penulis beserta karya-karya yang telah dihasilkan di kerajaan Melayu-Riau dalam keempat generasi tersebut. Dari beberapa penelitian dilakukan telah mengidentifikasi bahwa selama rentang abad ke-19 pengarang/penulis yang ada dan berdomisili di kawasan Melayu Riau, khususnya di Pulau Penyengat berjumlah 70 orang, dan 41 orang di antaranya adalah anak jadi diri Melayu-Riau. Dari 41 anak jati diri Melayu-Riau tersebut telah melahirkan karya tulis tidak kurang dari 90 buah. Maka tidak heran, kalau R.J. Wilkinson dalam mempelajari sastra Melayu, menurut UU. Hamidy, mempergunakan lebih 144 karya berbahasa Melayu dari Melayu-Riau dalam melahirkan karyanya, Paper on Malay Subjects, Malay Literature pada tahun 1907. (UU. Hamidy, Islam dan Masyarkat Melayu Riau (Pekanbaru: UIR Press), 222; UU. Hamidy, Riau Sebagai Pusat Bahasa dan Kebudayaan Melayu, 194-199).

Jumlah hasil persuratan intelektual Melayu-Riau pada abad ke-19, sedemikian “melimpah”, sehingga orang menyebutkan Pulau Penyengat benar-benar menjadi “taman penulis”, sebagaimana tercermin dari judul karya Raja Ali Haji, Bustān al-Kātibīn. Dan pada gilirannya ada peneliti menyebutkan: “Riau Negeri Ṣaḥib al-Kitāb”, meminjam istilah yang pernah digunakan oleh Amarsan Loebis dalam Selingan iQra, Tempo (16 Oktober 2005: 67-78).

Bahkan sedemikian dinamis dan produktif serta “fenomenalnya” kekayaan khazanah persuratan intelektual yang telah dibina di bumi Melayu-Riau, maka belakangan ada sejumlah pakar sastera Melayu, yaitu R.O. Winstedt dalam karyanya, “A History of Classical Malay Literature” (Monograpsh on Malay Subjects, No. 5, J‎MBRAS, Vol. 31, Part 3, No. 183, 1961, 126), dan V.I. Braginski dalam karyanya Yang Indah, Berfaedah dan Kamal (Jakarta: INIS, 1998) memunculkan dalam tulisan-tulisan mereka istilah khusus, yaitu “Riau School” (Mazhab Riau).

Belakangan, sejumlah sarjana dan penelitian, misalnya Teuku Iskandar dalam karnyanya, Kesusteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad (Brunei: Jabatan Kesustraan Melayu Universiti Brunei Darussalam, 525- 527); Virginia Matheson dalam dua karyanya, yaitu “Questions Arising from a Nineteenth Century Riau Syair”, (dalam Review of Indonesia and Malaysian Affairs, Vol. 17 (Vinter/Summer 1983), 41-44) dan “Suasana Budaya Riau Dalam Abad ke-19: Latar Belakang dan Pengaruh” dalam Tradisi Johor-Riau: Kertas Kerja Hari Sastra 1983); Dong Cho Ming dalam karyanya Raja Aisyah Sulaiman Pengarang Ulung Wanita Melayu (Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia, 1999: 84-88), menyebutkan sedemikian banyak nama-nama figur persuratan intelektual di Pulau Penyengat sebagai “kebun para penulis” (“Bustān al-Kātibīn”) dalam melahirkan karya-karyanya.

Begitu pala, Abu Hassan Sham dalam karyanya “Karya-Karya Yang Berlatar belakang Islam Dari Pengarang Melayu-Johor Sehingga Awal Abad Kedua Puluh” (dalam Tradisi Johor-Riau: Kertas Kerja Hari Sastra 1983, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1987: 245-271), dan U.U. Hamidi dalam dua tulisanya, UU. Hamidy, Islam dan Masyarkat Melayu Riau (Pekanbaru: UIR Press: 222); UU. Hamidy, Riau Sebagai Pusat Bahasa dan Kebudayaan Melayu (Pekanbaru: Unri Press, 2003: 194-199), keduanya menyebutkan sejumlah penulis beserta karya-karyanya yang pernah lahir di Melayu-Riau.

Kehadiran sejumlah ulama dan tuan guru baik dari Timur Tengah maupun dari kawasan Nusantara pada abad ke-19 telah memberikan peranan yang sangat signifikan bagi peletakan dasar bangunan persuratan intelektual Melayu-Riau. Ditambah pula patronase dan dukungan dari penguasa kerajaan telah beran penting bagi tumbuhnya persuratan intelektual di kawasan Melayu-Riau. Begitu pala, konstribusi pegawai/sarjana Barat (Belanda, Inggris dan Jerman) tidak bisa dinafikkan dalam memberikan suasana kondusif bagi perkembangan persuratan intelektual Melayu-Riau.

Selain kehadiran para ulama tersebut, tidak kalah pentingnya adanya sejumlah karya-karyaulama Timur-Tengah dan ulama Nusantara telah membangun pemikiran dan pemahaman keislaman, khususnya telah pula mempengaruhi pemikiran Raja Ali Haji dan “lingkarannya” dalam melahirkan karya-karya mereka. Hal ini dengan mudah dapat dipahami, misalnya ketika melihat latar belakang pendidikannya dan keakraban Raja Ali Haji dan generasinya dalam penggunaan literatur-literatur keislaman.

Dengan kondisi demikian, kawasan Melayu-Riau sepanjang abad ke-19 hingga dua dekade awal abad ke-20 merupakan salah satu kawasan yang paling dinamis yang melahirkan sejumlah penulis/pengarang dengan masing-masing karya-karya mereka dalam mengukuhkan persuratan intelektual Melayu-Riau, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Dan sekaligus kawasan ini telah menjadi marcusuar ilmu pengatahuan agama dan budaya di dunia Melayu pada abad ke-19 berpusat di Pulau Penyengat. (Lihat, Muhammad Yusuff Hashim, Pensejarahan Melayu Kajian Tentang Tradisi Sejarah Melayu Nusantara, 466).

Namun, kawasan Melayu-Riau, dibandingkan dengan kawasan lainnya, tidak pernah kedengaran melahirkan ulamadan pemikir keagamaan yang memiliki resonansi mondial dan masyhur namanya di seantero Nusantara, seperti pernah dilahirkan, di kawasan Aceh, seperti Hamzah Fansuri, Syekh Nurudin al-Raniri, Shamsuddin al-Sumatrani dan Abdul Rauf Singkel; di Palembang, seperti Abdul Shamad al-Palembani dan Muahmmad Ibn Ahmad Kemas; di Banjarmasin, seperti Muahmmad Arsyad bin Abdullah al-Banjari; di Banten, seperti Syekh Nawawi al-Banteni; di Makassar, seperti Syekh Yusuf al-Makassari; serta sejumlah ulamadi kawasan lainnya.Misalnya dari kawasan lain misalnya, seperti Daud Ibn Abdullah Ibn Idris al-Fattani dari Fatani; Haji Abdul Shamad bin Muhammad Salih al-Kalantani dari Kelantan. (Lihat misalnya, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 1995: 166-266).

Dibanding dengan kawasan-kawasan lainnya, kajian kawasan Melayu-Riau nyaris terabaikan. Padahal kawasan ini, seperti dinyatakan sebelumnya, juga sangat kaya dengan khazanah-khazanah intelektual Islam. Dan sesungguhnya kawasan Melayu Riau pun telah melahirkan “bertaburan” penulis dan intelektual. Di antara penulis dan cendikiawan paling produktif, refresentatif dan otoritatif di kawasan Melayu-Riau serta sekaligus merupakan “lokomotif” para penulis dan sebagai “imam” cendikiawan Muslim “persuratan intelektual” Melayu Riau. Cendikiawan terbesar Melayu-Riau tersebut adalah Raja Ali Haji [1809-1873].

Sebelum Raja Ali Haji, “embrio” persuratan intelektual Melayu-Riau dapat dirujuk kepada Raja Ahmad, ayah Raja Ali Haji sendiri, beserta generasi berikutnya. Bahkan karya sejarah, Tuḥfat al-Nafīs, menurut sebagian peneliti dinyatakan sebagai karya-bareng diawali darinya, belakangan disempurnakan oleh anaknya, Raja Ali Haji. Dalam era generasi Raja Ali Haji, juga lahir beberapa pengarang di Melayu-Riau.

Meskipun begitu, menurut U.U. Hamidi, hampir tidak dapat dipungkiri bahwa tanpa Raja Ali Haji kegiatan ilmu pengetahuan dan kebudayaan tidak akan sampai sebegitu semarak di Melayu Riau. (Lihat, U.U. Hamidi, Riau Sebagai Pusat Bahasa dan Kebudayaan, 80). Raja Ali Haji telah melakukan upaya-upaya dalam mencerdaskan komunitasnya, terutama diperuntukkan bagi anak-cucunya dengan melakukan pendidikan dan pengajaran serta menulis dengan melahirkan sejumlah tulisan/karya dalam berbagai aspek ilmu pengetahuan.

Ternyata upaya-upaya “penaburan benih” yang dilakukan para penguasa dan pemerintah di kerajaan Melayu Riau sebelumnya dengan mendatangkan sejumlah ulama dan tuan guru dalam menyemarakkan proses belajar-mengajar telah dituai hasilnya pada diri Raja Ali Haji generasi seangkatan dengannya. Begitu jugapada gilirannya upaya-upaya penyemaian benih yang dilakukan oleh Raja Ali Haji telah pula membuahkan hasil yang sangat mendukung perkembangan dan penentuan kelanjutan proses persuratan intelektual Melayu-Riau. Dari kader yang dibina Raja Ali Haji (baik secara langsung maupaun tidak langsung) lahirlah sejumlah penulis: ahli di bidang bahasa,syair, budaya agama dan berbagai aspek intelektual lainnya, termasuk bidang politik dan diplomasi.(Lihat, Hasan Junus & U.U. Hamidi, “Sumbangan dan Peranan Cendikiawan”, 140).

Namun, sungguh disayangkan persuratan yang telah dibangun oleh Raja Ali Haji dan “lingkarannya” di Melayu-Riau terpaksa terhati ketika memasuki dekade kedua abad ke-20. Setelah Pemerintah Hindia Belanda memakzulkan Sultan Abdul Rahman II “in absentia” pada3 Februari1911 kekuasaan sultan seluruhnya diambil-alih seluruh daerah kekuasaannya berada langsung di bawah kendali Residen Belanda. Atas keputusan pemerintah Hindia Belanda ini seluruh rakyat Melayu Riau terpaksa/persisnya dipaksa untuk menaatinya. (Lihat, Rustam S. Abrur, Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, 326).

Dengan kondisi seperti disebut di atas Sultan ‘Abd Rahman meninggalkan kerajaannya pergi ke Singapura,dan wafat dalam “pengasingannya” di sana pada 1930. Sebagian besar masyarakat mengikuti sultan meninggalkan Pulau Penyengat menuju Singapura. (Lihat, Hasan Junus, “Upaya Menjual Riau”, 190; Virginia Matheson, “Pulau Penyengat: Nineteenth Century”, 163). Bahkan dapat dikatakan masyarakat “eksodus” meninggalkan tanah kelahiran mereka menuju Singapura, Johor dan daerah-daerah sekitar lainnya.

Dari hasil penelitian Muhammad Afan, sebagaimana di kutip Hasan Junus, menyebutkan “… dari sekian ribu penduduk pulau kecil yang menjadi pusat pemerintahan di kerajaan itu hanya lebih kurang lima ratus jiwa saja yang tetap tinggal, karena sebagian besar penduduk pindah ke Johor dan Singapura.” (Lihat, Hasan Junus, “Upaya Menjual Riau”, 190).

Untuk mengetahui berapa jumlah masyarakat yang “eksodus” meninggalkan Pulau Penyengat dapat dilihat dari data “perbandingan” berikut ini: (i) bahwa masyarakat yang tidak meninggalkan Pulau Penyengat haya tinggal 500 orang; (ii) bahwa jumlah penduduk di pulau kecil ini pada akhir abad ke-19 diperkirakan mencapai sekitar 9.000 jiwa. Kedua data nyata menunjukkan bahwa Pulau Penyengat benar-banar ditinggal-pergi oleh penduduknya. (Lihat, Virginia Matheson, “Pulau Penyengat: Nineteenth Century”, 162).

Raja Ali Kelana (Calon YDM yang tidak pernah terwujud) juga meninggalkan negeri kelahirnya dan menetap hingga wafatnya di Johor pada 1927. Raja Ali Kelana meninggalkan negerinya lantaran, menurutnya, telah “berubah kelakuannya” (diperintah Belanda). Raja Ali Kelana menyatakan perinsip ini, seperti katanya dalam Bughyāt al-‘Any fiīḤurūf al-Ma‘āni: “Apabila negeri itu berubah kelakuannya maka tinggalkanlah dia!” (Lihat, Hasan Junus & UU. Hamidi, “Sumbangan dan Peranan Cendikiawan Riau”, 136).

Akhirnya, pemerintahan Belanda mengeluarkan keputusan penghapusan kerajaan Melayu Riau-Lingga dari “peta bumi” pada 11 Maret 1913.Dengan penghapusan kerajaan Melayu-Riau dari “peta bumi” pada sisi kekuasaan dan pemerintahan dapat dikatakan kerajaan Melayu-Riau ini tidak meninggalkan “bekas-bekas” kebesaran dan kejayaannya di masa silam.Apa penyebabnya Pulau Penyengat sebagai pusat pemerintahan YDM Riau hampir tidak meninggalkan “bekas-bekas” kebesaran pada masa lalu. Menurut penelitian Matheson ini disebabkan orang-orang di Pulau Penyengat pada umumnya, dan raja-raja dan keluarga istana pada khususnya lebih memilih memusnahkan harta benda dan barang-barang yang ada dalam rumah mereka (melakukan semacam “bumi hangus” daripada mereka khawatir kalau) Belanda akan menyita seluruh harta kekayaannya. Lihat, Virginia Matheson, “Pulau Penyengat: Nineteenth Century”, 162.

Akan tetapi, dari sisi persuratan intelektual-keagamaan dan kebudayaan, kerajaan Melayu-Riau telah meninggalkan “jejak-jejak” kebesaran dan kejayaan masa lalunya, kendatipun harus diaui belum/tidak mencampai pada puncak kejayaan tertingginya lewat generasi-generasi terpelajar yang menghasilkan “bertaburan” karya di Pulau Penyengat sepanjang menjelang paroh kedua abad ke-19 hingga awal abad ke-20. (Ong Hok Ham, “Pemikiran Tentang Sejarah Riau”, dalam Masyarakat Malayu Riau dan Kebudayaannya, 185).

Dengan situasi politik yang tidak menentu tersebut, maka ketika Indonesia memasuki era sastra modern yang ditandai dengan lahirnya Balai Pustaka pada dasawarsa kedua abad ke-20, Sapardi Djoko Damono menyebutkan, “tampaknya peran para sastrawan dari Riau tidak begitu menonjol”, untuk tidak mengatakan tenggelam sama sekali. (Lihat, Sapardi Djoko Damono, “Sastrawan Riau dan Sastra Indonesia Mutahir”, dalam Masyarakat Melayu dan Budaya Melayu dalam Perubahan, ed. Heddy Shri Ahimsa-Putra, Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengambangan Budaya Melayu, 2007: 289-290).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb,
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illā bi Allāh.

*Alimuddin Hassan Palawa,
Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies)
UIN Suska Riau.
34. MADRASAH AL-IQBAL AL-ISLAMIYAH: Majalah Al-Imâm Menggesa Lembaga Pendidikan Modern Di Alam Melayu

34. MADRASAH AL-IQBAL AL-ISLAMIYAH: Majalah Al-Imâm Menggesa Lembaga Pendidikan Modern Di Alam Melayu

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

 

Para pengelola majalah Al-Imām pada khususnya dan masyarakat terpelajar pada umumnya menyadari betul arti pendidikan guna memajukan masyarakat, dan sekaligus dalam menghadapi tantangan perkembangan zaman. Menyadari kewajibannya kepada Allah dan mempertimbangkan peranannya dalam komunitas masyarakatnya sendiri, Al-Imam mempunyai tujuan pendidikan bersifat khusus.

Pertama, untuk menyakinkan masyarakat Muslim bahwa menuntut ilmu pengetahuan adalah pertama diperintahkan Allah (iqra’) di dalam al-Qur’an.

Kedua, untuk mengenalkan sebuah sistem baru pendidikan yang didasarkan pada ajaran al-Qur’an.

Ketiga, untuk membangun sejumlah lembaga-lembaga pendidikan dengan kurikulum dan silabus yang baik.

Keempat, untuk mendorong dan membimbing para pemuda Muslim dalam melanjutkan pendidikannya ke luar negeri.

Kelima, untuk menganjurkan para sultan (raja-raja dan penguasa), pemimpin tradisional dan ulama agar memberikan perhatian khusus dan berperan aktif secara langsung untuk mengembangakan sistem pendidikan Islam di negeri ini. (Lihat, Abu Bakar Hamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society, 55-56)

Bahkan majalah Al-Imām memiliki pandangan yang sangat maju tentang keberadaan lembaga pendidikan bagi masyarakat, khususnya bagi generasi muda. Misalnya, Roff menulis bahwa “Al-Imām mengusulkan sistem pendidikan modern; bahasa Arab dan bahasa Inggris serta mata pelajaran sains modern seharusnya diajarkan.”

Lebih dari itu, majalah Al-Imām yang sangat peduli terhadap pendidikan ini mengemukakan filsafat pendidikannya dalam pembukaan editorial pada bulan Juli 1906 dengan menyatakan: “Pendidikan merupakan awal dari keimanan, sedengakan pengetahuan adalah mataharinya apa yang tersembunyi dari kegelapan; ia adalah rahasia yang hanya dipahami orang-orang bijak.

Pengetahuan merupakan senjata yang dengannnya kemenangan dapat dirahi dalam medan peperangan kehidupan; ia adalah unsur penghubung yang membawa kebanyakan masyarakat untuk mencapai keunggulan dan kebesaran mereka. Sesungguhnya Pengetahuan adalah perbendaharaan kebenaran dan gudang kearifah; ia merupakan saluran yang paling tepat menuju kesempurnaan, cahaya yang, ketika ia menempati dua indra manusia –hati dan kepala– akan menyinari seluruh negeri.” (Lihat, Abu Bakar Hamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society, 56.).

Dengan latar belakang pemikiran di atas pengelola majalah Al-Imām bercita-cita untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan dimaksud. Cukup lama cita-cita mendirikan lembaga pendidikan digagas, dan kurang lebih satu setengah tahun kemudian baru terwujud. Langkah persiapan pendirian itu diambil berawal pada tanggal 1 Sya’ban 1325 Hijriah (9 September 1907) dengan datangnya seorang ulama yang sangat mumpuni, Othman Affandi yang ditemani oleh Syed Abdullah Al-Zawawi (Mufti Pontianak, Kalimantan) dari Cairo, Mesir. Ia datang untuk mengajar di Madrasah al-Iqbal al-Islāmiyah yang segera akan didirikan di Singapura baik mengajar bahasa Arab maupun bahasa Inggris.

Untuk mendirikan sekolah itu memerlukan banyak guru, karenanya, pada bulan Oktober 1907 Othman Affandi diutus kembali ke Mesir untuk merekrut tenaga pengajar.Kemudian, pada 3 Januari 1908, ia tiba kembali di Penang, dan dari sana mengirim telegram ke Singapura menginformasikan kepada pengelola majalah Al-Imām tentang kedatangannya dari Mesir, dan keberangkatannya menuju Singapura bersama dengan guru-guru telah direkrutnya dari Mesir.

Meskipun secara resmi yang mendirikan Madrasah al-Iqbal al-Islāmiyah atas nama Othman Affandi, tetapi tidak bisa dilepaskan peran pengelola dan orang-orang majalah al-Imam. Bahkan tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Raja Ali Kelana bersama-sama dengan Shaykh Taher Jalaluddin adalah author intelektual berdirinya Madrasah al-Iqbal al-Islāmiyah di Singapura pada 1908. Akhirnya, pada Selasa, 1 Muharram 1326 Hijriah (4 Pebruari 1908), Madrasah al-Iqbal al-Islāmiyah secara resmi dibuka. (Lihat, Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, 41; Barbawa W. Andaya, “From Rum to Tokyo, 140).

Majalah al-Imam sendiri menerbitkan dengan mendetail tentang Madrasah al-Iqbal a-Islamiyah yang baru didirkan di Singapura itu. Misalnya Al-Imam menginformasikan kepada pembacanya pidato pembukaan dibacakan dengan lantang oleh seorang siswa laki-laki yang berusia sepuluh tahun, Abdul Jalil bin Raja Abdul Rahman dalam bahasa Melayu yang berbunyi, di antaranya: “Hadirin Yang Terhormat! Pada awal sekali, perkenankan saya untuk mengatakan: Hari ini adalah permulaan Tahun Hijriah 1326; dan hari ini juga adalah hari pembukaan hari Madrasah Islam ini, dengan begitu ada dua peristiwa bersejarah; menyambut tahun baru dan juga menyambut hari permulaan kebangkitan kembali ilmu pengetahuan melalui suatu sistem pendidikan baru. Ya, Tuhan ku! Mudahkan tugas ini dari berbagai kesulitan dan sempurnakanlah, Ya, Tuhan, tugas ini sangat baik…” Lihat, Abu Bakar Hamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society, 73-74.

Akan tetapi, pendirian madrasah ini mendapat reaksi negatif dan tantangan dari Kaum Tua atau dari kelompok tradisional. Ini disebabkan Madrasah itu didirikan Kaum Muda yang juga di kenal sebagai Kolompok Modern. William R. Roff mengidentifikasikan yang pertama sebagai “Innovasi” dan yang belakang sebagai “Reaksi”. Seorang koresponden dari Batu Biduan, Sumatra menulis kepada Al-Imām laporan sebagai berikut:

“Kami sering membaca dalam surat kabar yang beragam tentang Madrasah Iqbal di Singapura dan yang sangat mengesankan mengenai pelajaran yang diajarkan di sana….. kami merespon secara positif Madrasah tersebut dan kami sekarang menyeru kepada kawasan masyarakat tertentu…. untuk mengirim anak-anak mereka ke Madrasah itu…. tetapi, kekhawatiran kami…. mereka tidak memperhatikan kami; malah sebaliknya bereaksi negatif menyatakan bahwa tidak perlu belajar di sana… lalu kami berupaya yang terbaik untuk menemukan sumber kesalahpahaman ini dan sesudah itu kami menemukan bahwa sumbernya berasal dari sebuah aliran yang sesat, yaitu berasal dari orang-orang yang memakai sorban besar, penjual ajimat, dan orang-orang penipu yang berjalan sambil bertasbih, memakai kacamata dan tongkat panjang, karena iri hati dan ketidakamanan dari penghasilan yang mereka peroleh melalui penipuan dan kecurangan terhadap masyarakat didaerah itu, maka banyak orang yang terpelajar dan menjadi lebih tahu sehingga tipu daya mereka tidak menjadi efektif lagi….” (Abu Bakar Hamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society, 75-76).

Selain mendapat respon negatif dari kelompok tradisional, madrasah al-Iqbal al-Islāmiyah juga menghadapi masalah, misalnya kesalah-pahaman dari penderma sosial yang menganggap bahwa Madrasah itu merupakan milik pribadi seorang kaya, Raja Ali Ahmadi dari Riau. Dewan pimpinan Madrasah itu sudah mengklarifikasi situasi ini, kemudian bulan Desember 1908 pihak madrasah ini membuat pengumuman sebagai berikut:

“Orang-orang mungkin berpikir bahwa Madrasah ini milik Raja Ali Al-Ahmadi karena dia satu-satunya orang yang perduli terhadap segala sesuatunya yang berhubungan dengan Madrasah ini. Karena anggapan ini ada suara-suara yang tidak sejalan dengan situasi yang sebenarnya, sehingga merusak kebaikan kami secara umum. Madrasah ini, kenyataannya, secara resmi adalah milik Othman Afandi Ra’fat, dan Raja Ali sebenarnya hanya salah seorang dari anggota donatur yang menyumbang untuk pendirian Madrasah itu. Raja Ali disebut sebagai pelindung Madrasah dengan pertimbangan karena Othman Ra’fat adalah orang asing dan belum dikenal luas; ini akan membuat orang tua enggan untuk mengirim anak-anak mereka belajar kesana. Kebijaksanaan ini dijalankan sampai orang-orang menyadari siapa pemilik Madrasah itu sebenaranya. Sekarang ketertarikan itu sudah terjamin dan kepercayaan dari masyarakat juga sudah utuh. Karenanya, untuk menghindari kebingungan yang lebih jauh dari anggota masyarakat yang ingin memberikan sumbangan, maka nama Raja Ali ditarik dari pelindung Madrasah, tetapi dilanjutkan dengan keangggotaan luar biasa dalam Dewan Pengurus dan membantu Madrasah seperti anggota yang lain. Oleh karena itu, diharapkan kepada semua kaum Muslim agar memberikan jasa-jasa mereka untuk kebaikan pada anak-anak saudara mereka”. (Lihat, Abu Bakar Hamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society, 76).

Dari kutipan di atas jelas sekali peran dan kedudukan Raja Ali Ahmadi terhadap keberadaan Madrasah al-Iqbal al-Islāmiyah. Bahkan, lantaran kesukaran keuangan dalam pengelolaanya, segera Madrasah ini dipindahkan ke Riau –meskipun belakangan ditentang penjajah Belanda– dengan peran dan kepedulian besar dari intelektual dan penguasa kerajaan Melayu-Riau, khususnya dari Raja Ali al-Ahmadi:

Konsekwensinya, Madrasah al-Iqbal Islamiyah menghadapi ancaman penutupan karena berbagai alasan, terutama masalah keuangan.Namun, nasib Madrasah itu dengan segera menggugah perhatian Raja Ali Al-Ahmadi tanpa ragu-ragu, memberikan reaksi dan mengadukan keadaan itu kepada Sultan Abdul Rahman, Penguasa Lingga dan Riau.Penting untuk dicatat bahwa Raja Ali Al-Ahmadi adalah saudara Sultan Riau.Yang disebut pertama adalah seorang terpelajar yang saleh, dan belakangan seorang Penguasa yang dermawan.

Raja Abdul Rahman merespon secara simpati dan memerintahkan agar Madrasah tersebut beserta dengan guru-guru dan peralatanya dipindahkan ke Riau, di Pulau Penyegat, dan perintah Sultan terlaksana.Madrasah ini sekarang menjadi milik tunggal Pemerintah Riau dan sekarang diberi nama baru, yaitu “Madrasah Ahmadi”. Pada tanggal 20 Syawal 1326 Hijriah, Madrasah “baru” itu secara resmi dibuka kembali dan pengajaran secara gratis untuk semua anak-anak yang menghadiri Madrasah itu. (Lihat, Abu Bakar Hamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society, 77).

Sewaktu Madrasahal-Iqbal al-Islāmiyah masih di Singapura dengan partisipasi Shaykh Jalaluddin Taher. Namun pengaruh tokoh asal Minangkabau ini tetap besar bagi kolega-kolega dan murid-muridnya di Minangkabau. Haji Abdullah Ahmad, misalnya, mengunjungi guru dan teman-temannya ini di Singapura dengan maksud untuk mempelajari pengelolaan Madrasah tersebut. Sekembalinya dari Singapura Haji Ahmad Abdullah menjadikan Madrasah al-Iqbal al-Islāmiyah sebagai model Madrasah Adabiyah yang didirikannya di Padang pada 1909.” (Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942,41 dan 47; Barbawa W. Andaya, “From Rum to Tokyo…”, 140). Lagi-lagi, tradisi intelektual Semenanjung Melayu dan Riau lewat sistem pendidikan madrasahnya, khususnya Madrasah al-Iqbal al-Islāmiyah mempengaruhi sistem pendidikan dan belakangan “semakin mengokohkan” pembentukan tradisi intelektual di Minangkabau.

Kata “semakin mengokohkan” dimaknai sebagai “tambahan” saja, tanpa pretensi bahwa Semenanjung dan Riau telah membentuk tradisi intelektual di Minangkabau. Bukankah pondasi pembentukan tradisi intelektual di Minangkabau sudah mulai terbentuk dilakukan sebelumnya lewat dua jalaur. Pertama, lewat jalur “politik etis” Belanda dan berlanjut pada pengirimin siswa-siswa yang meneruskan pendidikan mereka di perguruan tinggi baik di Batavia maupun di negeri Belanda. Kedua, jauh sebelum kebinakan politik etis tradisi “pendidikan surau” dan berlanjut pada pengirimian pelajar ke Makkah dan Mesir.

Pada waktunya, memasuki dan terus belanjut pada paroh pertama abad ke-20 begitu banyak ilmuan (didikan “Barat”) dan ulama (didikan “Arab”) asal Minangkabau. Pada gilirannya, daerah inilah paling banyak ”menyumbang” inteletual Muslim dalam kiprahnya menjelang dan setelah Indonesia merdeka. Sedemikian banyaknya menyumbang dan memasok putra-putra terbaiknya negeri ini, kalau kita menyebutkan selusin tokoh-tokoh intelektual/ sarjana-terpelajar menjelang dan sesudah Indonesia merdeka, hampir separohnya berasal dari Minangkabau.

Sekali lagi, pada batas-batas tertentu, persuratan intelektual Melayu-Riau memberi andil dalam menghubungkan geneologi intelektualisme ke Minangkabau (Sumatra Barat) dalam kawasan Melayu-Nusantara pada awal ke-20. Sebelumnya majalah Al-Imam yang terbit disingapura jadi rujukan penerbitan penerbitan majalah al-Munir pada 1911-1916 di Padang Minangkabau. Kini Madrasah Iqbal al-Islamiyah di Singapura menjadi model pendirian sekolah Adabiyah yang didirikan pada 1909. Kedua usaha besar dalam bidang penerbitan majalah dan pendirian sekolah ini diupayakan oleh Haji Abdullah Ahmad yang, menurut Deliar Noer, salah seorang pembaharu penting di awal abad ke-20.

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illā bi Allāh

*Alimuddin Hassan Palawa,
(Direktur &Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies)UIN Suska Riau).