33. TĀJ AL-SALĀTIN: Pengenalan Singkat atas “Mahkota Raja-raja” Karya Bukhāri al-Jawhāri

33. TĀJ AL-SALĀTIN: Pengenalan Singkat atas “Mahkota Raja-raja” Karya Bukhāri al-Jawhāri

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

 

Tāj al-Salāṭin (“Mahkota Raja-raja”) masyhur diketahui ditulis oleh Bukhāri al-Jawhāri. Meskipun, setidak-tidaknya bagi Winstedt, tidak menyebutkan nama “asli” siapa penulisnya, ia hanya mengindentifikasi bahwa buku itu dikarang oleh “a jeweller of Bokhāra” (“seorang pedagang perhiasan dari Bukhāra”). Artinya, sebutan “jawhāri” (“jeweller”) adalah penisbatan pada pekerjaan, dan sebutan “Bukhāri” diasosiasikan pada nama asal tempatnya.

Selain ini, Roorda van Eysinga memberikan keterangan dalam terjemahannya atas Tāj al-Salāṭin yang menyebutkan bahwa pengarannya adalah Bukhāri berasal dari Johor (Bocharie van Djohor).(Lihat, Winstedt, “A History of Classical Malay Literature”, 114; Amirul Hadi, Aceh: Sejarah, Budaya dan Tradisi (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2010), 99). Tentu saja, keterangan van Eysinga ini menimbulkan pertanyaan yang meragukan kebenarannya.

Pendapat kedua sarjana Barat itu, baik pendapat Winstedt maupun khusunya pendapat van Eysingan, agaknya “diaminkan” olah Liaw Yock Fang dengan kalimat yang ambiguitas, seperti tulisnya “…. yang bernama Bukhāri al-Jawhāri, artinya saudagar permata atau Bukhari dari Johor.” (Lihat, Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, ed. Riris K. Toha-Sarumpeat (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2011), 413). Pendapat prihal asal-usul pengarangnya lemah dibandingkan dengan pendapat yang dikemukan oleh Abdul Hadi W.M., Ph.S. van Ronkel, C. Hooykaas dan T. Iskandar, seperti akan dipaparkan berikut ini.

Penjelasan yang relatif gamblang meskipun cukup singkat tentang siapa sosok Bukhāri al-Jawhāri diungkapkan oleh Abdul Hadi W.M. yang, menurut pengakuannya diambil dari keterangan samar-samar dari Tāj al-Salāṭin itu sendiri. Diduga kuat bahwa Bukhāri al-Jawhāri adalah seorang terpelajar dan penulis Melayu berketurunan Persia yang nenek moyangnya berasal dari Bukhāra yang datang di negeri Melayu sebagai saudagar batu permata.

Bukhāri al-Jawhāri, tulis Abdul Hadi W.M. lebih lanjut, menulis Tāj al-Salāṭin pada masa kesultanan Aceh, yaitu pada era pemerintahan Sultan Alauddin Ri‘ayat Shah gelar Sayyid al-Mukammil (1590-1604), kakek Sultan Iskandar Muda (1607-1636).( Lihat, Abdul Hadi W.M., “Aceh dan Kesusastraan Melayu”, dalam Aceh Kembali ke Masa Depan, (ed.) Sardono W. Kusumo (Jakarta: IKJ Press, 2005, 216).

Ihwal penulisan Tāj al-Salāṭin itu sendiri terdapat perbedaan pendapat di kalangan sarjana: apakah sebuah karya yang berbahasa Persia yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu; atau sebuah karya yang berbahasa Melayu ditulis di Aceh? Ph.S. van Ronkel setelah menganalis strukturnya, ia sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Tāj al-Salāṭin adalah sebuah karya terjemahan dari bahasa Persia. (Taufik Abdullah, “The Formation of a Political Tradition in the Malay World” dalam Anthony Reid (ed.), The Making of an Islamic Discourse in Southeast Asia, Monash Paper on Southeast Asia – No. 27, (Clayton, Victoria: Monash University, 1993), 40 [catatan kaki no. 12]).

Pendapat Ph.S. van Ronkel ini didukung oleh Winstedt yang menyatakan bahwa Tāj al-Salāṭin ditulis pada awalnya dalam bahasa Persia, tetapi belakangan tidak ditemukan dalam bahasa aslinya. Karya Bukhāri al-Jahwhāri ini masuk di AlamMelayu-Nusantara melalui sumber-sumber dari India pada tahun 1603. Angka ini kemungkinan juga menunjukkan tahun diterjemahkannya Tāj al-Salāṭin dalam bahasa Melayu yang, juga tidak diketahui siapa penerjemahnya, dilaksanakan di Aceh.(Winstedt, “A History of Classical Malay Literature”, 114-116).

Sebaliknya, C. Hooykaas dan T. Iskandar sama-sama berpendapat bahwa Tāj al-Salāṭin memang memiliki judul bahasa Arab dan mengandung unsur-unsur Persia di dalamnya, tetapi kitab itu di tulis dalam bahasa Melayu dan dikarang di Aceh. Menurut kedua sarjana ini, kitab Tāj al-Salāṭin tidak dikenal dalam sejarah kesusastraan Persia. Agaknya, pendapat ini yang lebih mendekati kebenaran seputaran kitab Tāj al-Salāṭin dengan sejumlah agumentasi rasionalnya.

Benar bahwa T. Iskandar sendiri menerima pendapat Ph. S. Van Ronkel yang mendasarkan argumentasinya pada tiga kriteria, yaitu gaya bahasa, ekspresi-ekspresi sastra, dan struktur teks. Akan tetapi, T. Iskandar menyatakan bahwa masing-masing kategori Tāj al-Salāṭin tersebut menunjukkan secara keseluruhan tidaklah asing dalam tradisi kesusastraan Melayu. (Taufik Abdullah, “The Formation of a Political Tradition…”, 41).

Kitab Tāj al-Salāṭin, menurut Taufik Abdullah, termasuk “salah satu kitab Melayu yang paling awal diterjemahkan ke bahasa Jawa”, dan sekaligus kitab “teori ketatanegaraan” yang bercorak moral-sufistik yang paling awal dan penting di Alam Melayu.(Lihat, Taufik Abdullah, “Pemikiran Islam di Nusantara dalam Perspektif Sejarah: Sebuah Sketsa”, dalam Prisma, LP3ES, No. 3 Tahun XX Maret, 1991, 21). Tāj al-Salāṭin tidak hanya populer dan berpengaruh di wilayah berbahasa Melayu, tetapi juga di Jawa.

Menurut sebuah babad, seperti tulis Taufik Abdullah, karya Bukhāri al-Jawhāri ini dijadikan sebagai panduan oleh pendiri dinasti kerajaan Yogyakarta, Sultan Mangkubowono I. Belakangan, Pangeran Diponegoro menasehati saudaranya, Sultan Hamengkubowono V agar mempelajari kitab Tāj Salāṭin secara telaten dan sungguh-sungguh. Akhirnya, kitab Tāj al-Salāṭin ini juga dicetak oleh kerajaan Yokyakarta selepas Perang Jawa (1825-1830).(Taufik Abdullah, “The Formation of a Political Tradition…”, 41).

Manuskrip Tāj al-Salāṭin yang terbilang paling tua adalah milik A. Reland (1676-1718) tersimpan di Leiden. Menurut Winstedt, ada tiga edisi dari kitab ini telah dicetak oleh orang Belanda di Jawa.(Lihatt, Winstedt, “A History of Classical Malay Literature”, 115). Sementara itu, menurut Petter B.R. Carey, kitab ini telah diterbitkan sebanyak empat kali pada abad ke-19. Hooykaas menyebutkan naskah Tāj al-Salāṭin ditemukan beberapa versi berbahasa Jawa yang terdapat dalam manuskrip-manuskrip di Batavia.

Kemungkinan dari salah satu naskah Tāj al-Salāṭin tersebut yang diterjemahkan/disunting dan dicetak oleh Roorda van Eysinga melalui proses tipografi di Betawi pada tahun 1827. Kemudian, upaya penerjemahannya ini disusul dilakukan oleh Aristide Marre pada 1878. Memang diduga kuat, sebagimana tulis Taufik Abdullah, Roorda van Eysinga adalah sarjana pertama kali yang memperkenalkan Tāj al-Salāṭin di kalangan dunia akademik di Alam Melayu. (Lihat, Taufik Abdullah, “The Formation of a Political Tradition…” 40-41)

Raja Ali Haji sendiri telah memiliki kitab Tāj al-Salāṭin kurang dari dua dekade setelah Roorda van Eysinga menerjemahan dan menerbitkannya. Tidak diketahui secara pasti dari siapakah Raja Ali Haji memiliki karya Bukhāri al-Jawhāri itu, apakah langsung dari van Eysinga atau melalui sahabatnya, Von de Wall.

Akan tetapi, yang pasti lewat suratnya kepada van Eysinga pada 1846, Raja Ali Haji begitu mengagumi hasil cetakan kitab Tāj al-Salāṭin dalam dua bahasa (Melayu dan Belanda) yang tidak ditemukan satupun kesalahan di dalamnya. Selanjutnya, Raja Ali Haji mengutarakan rasa kagum dan penilaiannya serta ucapan selamat kepada van Eysinga lewat suratnya:

“… sebelah kanananya dengan bahasa Melayu dan sebelah kirinya dengan bahasa Olanda, maka kita tiliklah daripada permulaan pasalnya hingga akhirnya kesudah2annya maka kita dapatlah kebetulan tiada berubah daripada kurang atau lebih daripada halnya sebagaimana asalnya begitu juga salinan itu. Maka kita pun sangatlah suka serta memberi selamat atas nama sahabat kita yang tertulis pada akhir mukaddimahnya dan bawah tarikh termaktubnya.” (Lihat, Putten, “Printing in Riau: Two Staps Toward Modernitiy, dalam Cyinthia Chou and Will Derks, Riau in Transition, Deel 153, 1997, 719; bandingkan dengan Putten, “Daripada Pekerjaan Hendak Mencetak”, makalah, Hari Raja Ali Haji, Pulau Penyengat: 1-31 Oktober 1996, 5).

Hampir satu dekade kemudian,tepatnya pada 1857 Raja Ali Haji mengirim Tāj al-Salāṭinyang jauh sebelumnya telah miliknya kepada Von de Wall, sahabatnya yang sedang berada di Batavia, agar kitab itu diberikan kulit yang luks.Tersebut dalam suratnya, tertanggal, 1 Februari 1859 [No. 17], Raja Ali Haji sedemikian menghargai kitab ini. Buktinya, ia mengirim kitab Tāj al-Salātin kepada sahabatnya, Von de Wall yang sedang berada di Batavia dengan maksud agar diberi kulit yang baik dan asesoris yang indah. Raja Ali Haji menuturkan hal ini dalam suratanya:

“… yaitu kita minta kulitkan dengan kulit yang benar. Jakalau boleh dengan kulit yang hijau, berair emas juga yakni berperada juga mana2 tempat yang patut jadi perhiasan.”

Kitab ini telah di cetak beberapa kali, dan setidaknya Von de Wall sendiri memiliki salah satu copinya yang diberikan/ dipinjamkan oleh pemerintahan Hindia Belanda pada 1856.(Lihat, Putten dan Al Azhar, Di Dalam Bekekalan Pesahabatan, 46 dan 145).

Kitab Tāj al-Salāṭin memang tidak disebutkan Raja AliHaji secara eksplisit sebagai referensi dalam melahirkan karya-karyanya. Akantetapi, dapat dipastikan bahwa Raja Ali Haji telah membaca karya al-Bukhāri al-Jawhāriini, dan sekaligus jadi referensi sewaktu mengubah karya monumentalnya, Gurindam Duabelas yang selesai ditulisnya pada 1847. Sekurang-kurangnya ada dua argumentasi sehingga diyakini secara kuat kalau Raja Ali Haji mempergunakan Tāj al-Salātin sebagai referensinya.

Pertama, dari segi waktu adanya “alur logis”antara kepemilikan Raja Ali Haji atas Taj al-Salatin (dimiliki 1846) dengan waktu pengubahan Gurindam Dua Belas oleh Raja Ali Haji (selesai di gubah1847). Kedua, dari segi materi adanya kesamaan antara Tāj al-Salātin dengan Gurindam Dua Belasa ketika keduanya memulakan —Taj al-Salatin pada bab pertama, dan Gurindam Dua Belas pada pasal pertama– dengan mengutip hadis Nabi saw. sebagai prinsip dasar ajaran tasawuf, yaitu “Man ‘arafa nafsah, faqd ‘arafa rabbah” (sesiapa mengenal dirinya, maka sesunggunya dia mengenal Tuhan).”

Begitu juga, Raja Ali Haji telah membaca Tāj al-Salātin kurang-lebih sepuluh tahun sebelum ia menulis Thamarāt al-Muhimmah pada 1857. Selain itu, diduga kuat ia mempergunakan Tāj a-Salāṭin sebagai rujukan sewaktu menyusun Kitab Pengetahuan Bahasa yang “dirampungkan” pada 1859, khususnya ketika ia menulis entri kata “Allah”, “Manusia” “Dunia” dan “Akhirat”.(Lihat, Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 22-34).

Kalau melihat tema-tema dan corak pemikiran terkandungdalamkitabTāj al-Salāṭin, dapat dipastikan bahwa Raja AliHajimempergunakan karya Bukhāri al-Jawhāri itu sebagai referensi dalam menulisThamarāt al-Muhimmah dan Muqaddimah fī al-Intiẓam. Pengaruh gagasan dan kisah-kisah yang terkandung dalam Tāj al-Salāṭintidak saja mempengaruh Raja Ali Haji. Akan tetapi, menurut Abdul Hadi W.M., karya Bukhari al-Jawhari juga telah “memberikan pengaruh besar pada pemikir politik dan tradisi intelektual Melayu.”Lihat, Abdul Hadi W.M., “Aceh dan Kesusastraan Melayu”, 217).

Lagi pula, cara penulisan Raja Ali Haji yang kerapkali menyelingi karya-karya dengan deretan-deretan syair-syair pada khususnya dan kepiawaiannya dalam mengubah syair-syair pada umumnya memiliki kemiripan dengan Bukhari al-Jawhari. Untuk tokoh yang belakangan ini Abdul Hadi W.M. menuliskan:

“Melalui Taj al-Salatin …. menunjukkan pula bahwa Bukhāri al-Jawhāri merupakan penyair dan penulis hikayat yang ulung. Dalam pasal-pasal kitabnya itu ia senantiasa menyelipkan jika bukan kisah-kisah pendek yang sarat hikmah, puisi-puisi yang sederhana namun indah dan dalam isinya.”(Abdul Hadi W.M., “Aceh dan Kesusastraan Melayu”, 221).

Hal serupa juga dilakukan Raja Ali Haji ketika memberikan penjelasan mufassar [uraian panjang-lebar] atas atas “kamus monolingual”nya, Kitab Pengetahuan Bahasa baik berupa puisi-puisi maupun kisah-kisah, sebagaimana dinyatakan sendiri dalam suratanya kepada Von de Wall, tertanggal, 25 Muharram 1289/ 12 Maret 1872, di antaranya Raja Ali Haji mengatakan:

“ …. Akan tetapi dibanyakkan bertambah di dalam qissah2 cerita2 yang meumpamakan dengan kalimat yang mufrad, supaya menyenangkan hati orang muda2 mutalaahnya, serta syair2 Melayu sedikit2. Di dalam hal itupun memberi manfaat jua kepada orang2 yang mempikirkan perkataan dan makna bahasa Melayu pada orang2 yang bukan ternak Johor dan Riau dan Lingga.“ (Lihat, Putten dan Al-Azhar, Di Dalam Berkekalan Persahabatan, 107).

Dari suratnya tersebut di atas Raja Ali Haji memaknai kehadiran karyanya, Kitab Pengetahuan Bahasa adalah guna membimbing mereka (masyarakat Melayu-Riau) yang berkeinginan menambah pengetahuan bahasa dan tata bahasa, agama dan prilaku yang benar, baik dan terpuji. (Andaya dan Matheson, Islamic Thought and Malay Tradition: 113).

Artinya, upaya Raja Ali Haji “menyelipkan” puisi-puisi dan kisah-kisah (hikyat-hikayat) dalam Kitab Pengetahuan Bahasa mendapatkan pengaruh darial-Bukhāri al-Jawhāri. Rupanya Raja Ali Haji tidak saja menjadikan Tāj al-Salāṭin sebagai rujukan dari segi materi (isi kandungan). Namun, Raji Ali Haji juga menjadikan contoh dalam cara dan teknik penyajian dari karya al-Bukhāri al-Jawhāri yang sangat dikaguminya.

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

*Alimuddin Hassan Palawa,
(Dirktur &Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies]  UIN Suska Riau).
32. ‘ABD RAUF  AL-SINKILI: Perkenalan Kitab Mir’ah al-Tullâb dan Tarjuman Mustafîd

32. ‘ABD RAUF AL-SINKILI: Perkenalan Kitab Mir’ah al-Tullâb dan Tarjuman Mustafîd

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

 

‘Abd Ra‘ūf al-Sinkili (1615-1693) termasuk salah seorang ulama Melayu-Nusantara yang sangat produktif, otoritatif dan komprehensif. Cakrawala sosial-intelektualnya begitu luas, dilatarbelakangi karena al-Sinkili belajar di sejumlah tempat yang, menurut istilah Azra, “tersebar sepanjang rute haji, dari Dhuha (Doha) di wilayah Teluk Persia, Yaman, Jeddah, dan akhirnya Makkah dan Madinah”dengan jaringan guru-guru yang begitu kompleks.(Azyumardi Azra, Jaringan Ulama: 191-192 dan 194).

Di antara guru-gurunya yang begitu banyak, ungkap Azra lebih lanjut, al-Singkili memiliki hubungan pribadi sangat dekat dan sekaligus hutang budi secara intelektual dan spritual begitu besar pada dua orang gurunya: Aḥmad al-Quṣaṣi (seorang ulama terbesar pada zamanya. Gurunya ini menunjuk al-Sinkili sebagai khalifahnya pada tarekat Shatariyyah dan Qadariyyah) dalam bidang spritual dan mistis; dan Ibrāhīm al-Kurāni (murid paling terkemuka Aḥmad al-Quṣaṣi, dan guru tempat al-Sinkili “menamatkan” pendidikannya) dalam bidang intelektual-keagamaan.(Lihat, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 196; Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana & Kekuasaan (Bandung: PT. RemajaRosdakarya, 2000), 133-134; bandingkan Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Local Islam Nusantara (Bandung: Mizan, 2002), 105-106; lihat juga A.H. Johns, “Friends in Grace: Ibrahim al-Kūrani and ‘Abd al-Raū’f al-Singkeli,” dalam S. Udin, Spectrum: Essays Prensented to Sutan Takdir Alisyahbana, ed. S. Udin (Jakarta: Dian Rakyat, 1878), 469-485; A.H. Johns, “Islamization in Southeast Asia: Refelection and Reconsiderations with Special Reference to the Role of Sufism”, dalam Southeast Asia Studies, Vol. 31, 1 (June 1993), 53).

Dari latar belakangan pendidikan begitu lengkap dan sempurna maka, menurut Wan Shaghir Abdullah, tidak heran kalau belakangan al-Sinkili menulis tidak kurang 25 karya. Jauh melampaui angka ini, menurut Oman Fathurahman, al-Sinkili telah melahirkan lebih dari 36 karya-karya tulis. (H.W. Muhd. Saghir Abdullah, Khazanah Karya Pusaka Asia Tenggara, Jilid 1 (Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah, 1991), 40-41; Oman Fathurahman, Menyoal Wahdatul Wujud: Kasus Abddurauf Singkel di Aceh Abad 17, Jakarta: Mizan, 1999) , 28-30). Karya-karyanya itu mengulas berbagai disiplin ilmu Islam tradisional, seperti tafsir, hadith, fiqh, kalam dan tasawuf. Dua di antara dari karya-karya ‘Abd Ra‘uf al-Sinkili yang paling masyhur adalah Mir’at al-Ṭullāb dan Tarjumān al-Mustafīd.

Kitab Mir’at al-Ṭullâb
Judul lengkap karya Shaykh ‘Abdul Rauf al-Singkili yang selesai dikarangnya pada 8 Jumadil Akhir 1083 (1663) ini adalah Mir’ah al-Ṭullâb li Tahsîl Ma’rifah Aḥkam al-Shar’iyyah li al-Mâlik al-Wahhâb (“Cermin bagi Mereka yang Menuntut Ilmu Fiqh pada Memudahkan Mengenal Segala Hukum Syara’ Allah”). Dari judul lengkapnya mengisyaratkan dengan pasti bahwa kitab ini menguraikan masalah-masalah ilmu hukum (fiqh) menurut mazhab Shafi’i. Mengenai kitab ini, Teuku Ibrahim Alfian mengatakan bahwa “Sepanjang pengetahuan kita inilah kitab pertama yang berisi kodifikasi hukum Islam ditulis dalam bahasa Melayu.”

Kitab ini ditulis oleh Shaykh ‘Abd Ra‘uf al-Singkili untuk memenuhi titah Sultanah Tāj al-‘Ālam Safiat al-Dīn Syah (1641-1675), permaisuri dan pengganti Sultan Iskandar Thani. Berkenaan dengan ini Shaykh ‘Abd Rauf al-Singkili sendiri mengungkapkan:

“Maka bahwasanya adalah Hadarat yang Maha mulia [Paduka Seri Sulṭanah Tāj al-‘Ālam Safiat al-Dīn Syah] itu telah bersabda kepadaku daripada sangat lebai akan agama Rasulullah bahwa kukarang baginya sebuah kitab dengan bahasa Jawi yang dibangsakan kepada bahasa Pasai yang muhtāj [diperlukan] kepada orang yang menjabat jabatan qadi pada pekerjaan hukum daripada segala hukum syara‘ Allah yang mu’tamad pada segala ulama yang dibangsakan kepada Imam Shafi‘i radiallahu ‘anhu….” (Lihat, Teuku Ibrahim Alfian, “Bahasa Melayu Sebagai Faktor Dinamika Pertumbuhan Budaya Bangsa”, dalam Hendri Chambert-Loir dan Hasan Muari Ambari, Panggung Sejarah (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), 477; A. Hasjmi, 57 Tahun Aceh Merdeka di bawah Pemerintah Ratu (Jakarta: Bulan Bintang: 1977), 109; H.W. Muhd. Saghir Abdullah, Khazanah Karya Pusaka Asia Tenggara, 138-156; Anthony John, “Qur’anic Exegesis in the Malay World: In Search of a Profile”, dalam Approaches to the History of Interpretation of the Qur’an, e.d. Andrew Rippin (Oxford: Clarendon Press, 1988), 263).

Lewat karya yang disebut pertama, Mir’at al-Ṭullāb dan sebuah karya fiqh lainnya, Najm a-Masā’il, menurut Buya Hamka, ‘Abd Ra‘ūf al-Sinkili termasuk “ahli fiqhi terbesar dalam Mazhab Syafi‘i.”Dan melalui karya disebut belakangan, Tarjumān al-Mustafīd, ‘Abd Ra‘uf al-Sinkili dikukuhkan, setidaknya oleh muridnya sendiri yang berkebangsaan Turki, Dawud bin Isma‘il dengan kalimat penghormatan terhadap gurunya: “Al-‘Ālim al-‘Allamah wa Bahr al- fahhamah farīd ‘Aṣrihī wa Waḥid al-Dahrihī”.(Lihat, Hamka, Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao”, Jakarta: Bulan Bintang, 1974: 177-178).

Kitab Mir’at al-Ṭullāb itu ditulis al-Sinkili atas permintaan Sulṭanah Safiyat al-Dīn Shah (1641-1675) segera setelah pulang dari menuntut ilmu di Arabiah (Mekkah), dan selesai ditulisnya pada 1663 (persisnya pada Sabtu, 8 Jumād al-Akhīr 1083). (Lihat, R.O. Winstedt, “A History of Classical Malay Literature”, Monograpsh on Malay Subjects, No. 5, J‎MBRAS, Vol. 31, Part 3, No. 183, 1961, 121-122; Peter G. Riddell, Islam and the Malay-Indonesian World, Transmission and Resposes, (Singapore: Horizon Book, 2001), 129).

Pada awalnya, al-Sinkili agak keberatan memenuhi permintaan sang Sultanah karena ia merasa bahasa Melayunya kurang baik setelah “lama berdagang dan diam pada segala negeri Yaman dan Mekah dan Madinah.” Belakangan, dengan mempertimbangkan arti penting kitab semacam itu untuk ditulis dalam bahasa Melayu, ia akhirnya menulisnya dengan mendapat bantuan dari dua orang sahabat. (Lihat, Abdul Hadi W.M., “Aceh dan Kesusastraan Melayu”: 221; lihat juga, Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik: 406).

Melihat waktu penulisannya, menurutAlfian, kitab Mir’at al-Ṭullāb lebih dari 150 tahun sejak setelah dituli sbaru kemudian dipergunakan di kerajaan Johor-Riau yang, menurut Raja Ali Haji dalamTuḥfat al-Nafīs, untuk pertama kalinya sekitar tahun 1810-1820. Lihat, Teuku Ibrahim Alfian, “Islam dan Kerajaan Aceh Darussalam”, dalam A.B. Lapian, dkk., Sejarah dan Dialog Peradaban, (Jakarta: LIPI Press, 2005), 248; Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 268.

Dalam Tuḥfat al-Nafīs disebutkan bahwa karya‘Abd Ra‘uf al-Singkili ini dipelajari oleh YDM VI Riau, Raja Ja‘farbin Raja Haji dan Raja Ahmad, masing-masing paman dan ayah Raja Ali Haji beserta keluarga besar kerajaan di bawah bimbingan Mufti kerajaan, ulama besar pada saat itu, Haji Abdul Wahab dari Sumatra Barat. (Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 268; Sham, Syair-syair Melayu Riau, 193).

Al-Sinkili lewat Mir’at al-Ṭullāb, menurut Azra, adalah ulama Melayu-Nusantara yang paling pertama mengarang kitab tentang fiqh mu‘amalah. Dengan kitabnya itu, kata Azra lebih lanjut, al-Sinkili seolah-olah ingin “menunjukkan kepada kaum Muslim Melayu bahwa doktrin-doktrin hukum Islam tidak terbatas pada ibadah saja, tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan sehari-hari mereka.” Selain itu, al-Sinkili juga menulis buku fiqh, Kitab al-Farā’iḍ yang, lagi-lagi menurut Azra, kemungkinan diambil/bagian dari Mir’at al-Ṭullāb itu sendiri.(Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 201-202).

Sementara itu, dari berbagai naskahnya, menurut Abdullah, kitab ini mengandung pembahasan tentang hukum jual-beli, nikah, farā’iḍ dan hukum jinayah. Kandungan tentang nikah dalam kita ini telah dikaji oleh Peunoh Dali dalam menyelesaikan program Doktornya di IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dan belakangan diterbitkan dengan judul, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlus Sunnah dan Negara-negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988). (Lihat, Saghir Abdullah, Khazanah Karya Pusaka Asia Tenggara, 143. Dalam mengulas isi kandungan Syair Hukum Nikah karya Raja Ali Haji, Abu Hassan Sham menjadikan kajian Peunoh Daly atas Mir’at al-Tullāb sebagai bahan perbandingan dan rujukan yang sangan berarti. (Lihat, Abu Hassan Sham, Syair-syair Melayu Riau, 139-187 dan 193).

Sementara Abdul Hadi menuliskan bahwa kandungan Mir’at al-Ṭullāb terdiri dari tiga aspek utama hukum Islam dalam perspektif mazhab Shafi‘i, yaitu: Mu‘āmalah (mencakup masalah jual-beli, hukum riba, utang-piutang, sewa-menyewa, hak milik, wakaf dan lain-lain); Munakaḥāt (mencakup masalah rukun nikah, walimah, talak, rujuk, nafkah dan lain-lainnya); dan Jināyat (mencakup masalah hukum pemberontakan, perampokan, pencurian, zinah, pembunuhan dan lain-lainya). (Lihat,Abdul Hadi W.M., “Aceh dan Kesusastraan Melayu”: 243).

Raja Ali Haji memang tidak menyebutkan secara langsung kalau ia menggunakan Mir’at al-Ṭullāb sebagai referensinya dalam menulis karya-karya. Akan tetapi, kitab ini beredar luas di Melayu-Nusantara, bahkan, menurutAzra, telah menjadi rujukan utama bagi Muslim Filipina. (Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 202).

Meskipun Raja Ali Haji tidak menyebutkan, tetapi dapat dipastikan bahwa Mir’at al-Ṭullāb juga telah menjadi salah satu buku teks penting ketika ia penempuh pendidikannya di Pulau Penyengat. Kepastian ini didukung oleh kenyataan bahwa karya Al-Sinkiliini, sebagaimana telah disebutkan di atas, Mir’at al-Ṭullāb telah dipergunakan oleh Haji Abd Wahab dalam memberikan pengajaran dan pendidikan keagamaan kepada keluarga kerajaan.

Demikian pula, menurut Abu Hassan Sham, dapat diduga kuat bahwa kitab ini belakangan juga dijadikan Raja Ali Haji sebagai sumber bacaannya. Abu Hassan Sham menyakin bahwa Raja Ali Haji juga telah mempelajari kitab Mir’at al-Tullāb karya ‘Abd Ra‘uf al-Singkili. Abu Hassan Sham mempertimbangkan bahwa kitab ini pernah dipergunakan di kerajaan Melayu-Riau sebelumnya, seperti ungkapannya:

“Lantaran kitab ini pernah tersebar di Riau dalam zaman pemerintahan YDM Riau keenam itu iaitu antara 1805-1831 TM dan tarikh ini merupakan zaman muda Raja Ali Haji tentu sekali beliau pernah membaca atau berguru mengenai kitab ini sebagaimana berlaku pada Raja Jaafar.”(Lihat, Abu Hassan Sham, Syair-Syair Melayu Riau, 193).

Apalagi kalau dilihat dari kandungan kitab tersebut, semakin mengukuhkan dugaan kalau Raja Ali Haji mempergunakannya dalam melahirkan karya-karyanya, terutama ketika menulis Syair Hukum Nikah. Begitu juga, Abu Hassan Sham menduga kuat kalau karya ‘Abd Rauf al-Sinkili ini dipergunakan Raja Ali Haji ketika menulis tentang pembagian harta warisan menurut hukum Islam sewaktu ia menulis Syair Farā‘iḍ.

Dalam mengubah Syair Farā’iḍ, diduga kuat, Raja Ali Haji mempergunakan kitab Mir’at al-Tullāb yang di dalamnya juga membahas tentang fara’id yang, seperti dikatakan Azra di atas, kemungkinan belakangan terpisah dari Mir’at al-Tullāb dan berdiri sendiri sebagai Kitab al-Farā’iḍ. Memang dugaan ini belum dapat dipastikan, karenanya, memerlukan kajian mendalam tentang materi hukum fara’id yang terkandung baik dalam Kitab al-Farā’iḍ karya al-Singkili maupun dalam Syair Fara’iḍ karya Raja Ali Haji. (Lihat, Abu Hassan Sham, Syair-Syair Melayu Riau, 195-196).

Kitab Tafsir Tarjumān al-Mustafīd
Kitab lain karangan ‘Abd al-Ra‘uf al-Sinkili yang memainkan peranan penting dalam sejarah pendidikan dan pengajaran Islam Melayu-Nusantara adalah Tarjumān al-Mustafīd (Peter G. Riddell, Islam and the Malay-Indonesian World, 165). Kitab Tarjumān al-Mustafīd, menurut Buya Hamka, “inilah Tafsir yang pertama sekali di seluruh tanah air kita yang memakai bahasa Melayu…” (Hamka, Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao” , 178-179) dan sekaligus merupakan tafsir utuh al-Qur’an pertama di dunia Melayu yang ditulis sekitar 1675. (Peter G. Riddell, Islam and the Malay-Indonesian World, 161; lihat juga, Peter G. Riddell, “Literal Translation, Sacred Scripture and Kitab Malay”, dalam Studia Islamika, Vol. 9, No. 1 (2002), 11.)

Dengan nada yang hampir sama, lewat tafsirnya ini, sekali lagi, ‘Abd Ra‘uf al-Sinkili mengukir prestasi sebagai ulama pertama yang menulis tafsir lengkap al-Qur’an dalam bahasa Melayu di kawasan “negeri bawah angin”, demikian menurut Azra. Keberadaan Tarjumān al-Mustafīd hampir selama tiga abad di Alam Melayu sebagai satu-satunya terjemahan lengkap al-Qur’an.

Lebih lanjut, Azra menyatakan bahwa tidaklah mengherankan –sebagai tafsir al-Qur’an paling dini– kalau karya ini beredar secara luas di wilayah Melayu-Nusantara. Pernyataan ini diperkuat dengan data valid bahwa Tarjumān al-Mustafīd karya ‘Abd al-Ra‘uf al-Sinkili telah diterbitkan pada masa berbeda-beda tidak saja di Singapura, Penang, Jakarta dan Bombay, tetapi juga di Timur Tengah, seperti di Istambul (Turki), Cairo (Mesir) dan Mekkah. (Lihat, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 202-203).

Data yang disodorkan Azra itu semakin meneguhkan pendirian bahwa Raja Ali Haji sejatinya memang telah menjadikan Tarjuman al-Mustafīd sebagai referensinya dalam melahirkan karya-karya dan memperkaya wawasannya. Dan sekaligus pandangan ini membantah pendirian yang mengatakan bahwa Raja Ali Haji justru membaca (langsung) Tafsīr al-Bayḍāwi Musammā Anwār al-Tanzīl wa al-Asrār al-Ta’wīl karya Nasr al-Dīn Abi Sa‘id ‘Abd Allah ibn ‘Umar ibn Muaḥmmad Shirāzi Bayḍāwi. Dalam penelusuran atas karya-karya Raja Ali Haji, penulis tidak menemukan kalau ia merujuk/membaca secara langsung tafsir Anwār al-Tanzīl karya al-Bayḍāwi.

Wan Muhammad Abdullah memang menyebutkan bahwa Tafsīr Bayḍāwi al-Sharīf nama lain dari Tarjumān al-Mustafīd yang lebih dikenal di alam Melayu sebagai karya al-Singkili; dan bukanlah yang dimaskud Anwār al-Tanzīl karya al-Bayḍāwi. Lihat, H.W. Muhd. Saghir Abdullah, Khazanah Karya Pusaka Asia Tenggara, Jilid 1 (Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah, 1991), 157. Artinya, kenyataan ini (juga) membantah pendirian sebelumnya yang, misalnya Achmad Syahid, menyatakan bahwa Raja Ali Haji telah menjadikan Tafsīr Bayḍāwi karya al-Bayḍāwi sebagai sumber bacaannya. (Lihat, Achmad Syahid, ”Pemikiran Politik dan Tendensi-tendensi Kuasa: Studi Pemikiran Raja Ali Haji pada Muqaddimah fī Intiẓam dan Thamarāt al-Muḥimmah”, Disertasi, Sekolah PPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007: 349).

Memang selama ini, menurut Peter Riddle (Islam and the Malay-Indonesian World”, 161), dan A.H. John, (“Qur’anic Exegesis in the Malay World”, 263) ada anggapan yang keliru dan salah tentang Tarjumān al-Mustafīd sebagai terjemahan utuh berbahasa Melayu dari Anwār al-Tanzīl wa al-Asrār al-Ta’wīl karya Bayḍāwi. Sarjana yang paling bertanggungjawab atas kesalahan tersebut, menurut Azra, adalah Snouck Hurgronje. Sarjana kondang Belanda ini tanpa meneliti terlebih dahulu secara seksama, ia lalu menyimpulkan dengan cara khas sinisnya bahwa Tarjumān al-Mustafīd “hanyalah sebuah terjemahan yang buruk dari tafsir Al-Baydhawi.” (Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 203).

Pernyataan Snouck ini dipertegas oleh Voorhoeve, “… his translations from the Arabic are so literal that they are unintelligible without knowledge of that language….” (Riddell, “Literal Translation, Sacred Scripture and Kitab Malay”, 12). Kesalahan identifikasi dan kecerobohan penilaian serupa tentang karya tafsir al-Sinkili ini datang pula dari pakar sastera Melayu, Winstedt yang mengatakan: “He did a Malay translation, not always accurate, of Baidhawi’s commentary on the Kuran, which published as recently as 1884 at Constantinople.” (Winstedt, “A History of Classical Malay Literature”, 122).

Kemudian, menurut Azra, kesalahan Snouck Hurgronje ini diikuti oleh muridnya, D.A. Rinkes dengan melakukan kesalahan-kesalahan tambahan. (Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 203). Diduga kesalahan-kesalahan Ringkes itu dilakukannya sewaktu mengkaji figur al-Sinkili dalam rangka meraih gelar Doktor (thesis Ph.D.) di bawah bimbingan Snouck Hurgronje. (Martin van Bruinessen, “Studies of Sufism and the Sufi Orders in Indonesia”, dalam Die Welt des Islams, Vol. 38, 2 (1998), 196).

Berikutnya, kesalahan-kesalahan Snouck Hurgronje dan Rinkes juga dilanjutkan P.J. Voorhoeve, meskipun akhirnya sarjana “ahli Nūr al-Dīn al-Rānīri” disebut belakangan ini mengoreksi pendapatnya dengan mengatakan bahwa “sumber-sumber Tarjumān al-Mustafīd adalah berbagai karya tafsir berbahasa Arab.” (Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 203.)

Berbeda dengan pandangan di atas, penelitian Riddlle menunjukkan bahwa inti dari isi Tarjumān al-Mustafīd merujuk pada Tafsīr al-Jalālayn karya Jalāl al-Dīn al-Maḥalli (w. 864/1459) dan Jalāl al-Dīn al-Sayūti (1505). Kalaupun Tarjumān al-Mustafīd merujuk tafsir Anwār al-Tanzīl karya Bayḍāwy dan tafsir Lubāb al-Ta’wil karya al-Khāzin (w.1286) itu dilakukan belakangan oleh murid al-Sinkili, yaitu Dā’wūd bin Ismaīl al-Rūmi guna memberikan sisipan anekdot dan tambahan informasi bacaan dan penjelasan yang beragam. (Peter G. Riddell, Islam and the Malay-Indonesian World, 161.)

Akan tetapi, khusus untuk tafsir karya al-Khāzin, menurut Buya Hamka, murid al-Sinkili dengan jujur menyatakan, “bahwa pengambilan gurunya di dalam menyusun tafsir Turjumān al-Mustafīd itu ialah dari kitab Al-Khazin, karangan Ulama Syafi‘i yang terkenal: ’Alauddin ’Ali bin Muhammad bin Ibrahim Al-Baghdadi, yang selesai dikarangnya dalam bulan Ramadhan tahun 517/H 1122/M.”

Dan yang pasti melalui karyanya, Tarjumān al-Mustafīd, ‘Abd Ra‘uf al-Sinkili dikukuhkan, setidaknya oleh muridnya sendiri yang berkebangsaan Turki, Dawud bin Isma‘il dengan kalimat penghormatan terhadap gurunya: “Al-‘Ālim al-‘Allamah wa Bahr al- fahhamah farīd ‘Aṣrihī wa Waḥid al-Dahrihī”. (Hamka, Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao”, 178-180).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

*AlimuddinHassan Palawa
(Direktur & Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau).
31. AL-ISRĀF: Pola Hidup Kekhalifahan Islam

31. AL-ISRĀF: Pola Hidup Kekhalifahan Islam

Oleh Alimuddin Hassan*

 

Definisi al-Isrāf secara etimologis (al-lugha, bahasa) adalah “berlebih-lebihan” dan “berfoya-foya”. Adapun definisi al-Israf secara terminologis (al-istilāḥ), Raja Ali Haji sendiri memaparkan: “Bermula ada israf ini beberapa macam setengah daripadanya berlebih-lebihan pada membuangkan harta yang tiada memberi faedah kepada syara’ dan kepada adat dan membanyak-banyakkan membuangkan harta pada pekerjaan lampau yang daripada adat dan daripada hajat sebab mengikutkan hawa nafsu shaitan.” (Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah, 61).

Raja Ali Haji mengingatkan bahwa penguasa selayaknya jangan mempergunakan harta kekayaan milik kerajaan yang tidak mendatangkan faedahnya bagi pengembangan agama dan ilmu-budaya. Penggunaan harta kekayaan kerajaan secara berlebih-lebihan disertai hidup pola berpoya-poya pada umumya terjadi “sebab mengikutkan hawa nafsu shaitan.” Ungkapan terakhir Raja Ali Haji menunjukkan bahwa hidup berlebih-lebihan adalah kesukaan shaitan. Maka sesorang yang mengikuti pola hidup boros, berlebih-lebihan dan berpoya-poya berarti berteman dengan shaitan. (Q.s. al-Isrā’ [17]: 27). Padahal, sebaliknya, Allah sendiri tidak menyukai orang-orang yang hidup berlebih-lebihan. ((Q.s. al-A‘rāf [7]: 31).

Agama melarang segala bentuk hidup berlebih-lebihan/pemborosan, jangankan dalam hal yang buruk atau tidak bermamfaat, dalam hal yang baik pun dilarangnya, sabda Rasul Allah: “Tiada pemborosan dalam kebaikan dan tiada kebaikan dalam pemborosan.” (Lihat, M. Quraish Shihab, Dia di Mana-mana: “Tangan” Tuhan di Balik Semua Fenomena, 2011: 356). Maka hendaknya harta benda itu dipergunakan sesuai dengan keperluan dan kebutuhan. Jangan karena memperturutkan rasa malu demi mengangkat marwah, “tiba-tiba dibuanglah belanja dengan yang amat banyak harta.” (Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah, 61).

Raja Ali Haji menasehati penguasa dan pemebesar kerajaan agar harta itu hendaknya dipergunakan untuk kepentingan sendiri (dan keluarga) dengan “tiada sampai sarafun”. (Raja Ali Haji, Muqaddimah fī al-Intiẓam, 13). Harta benda kerajaan seyogyanya dipergunakan secara benar dan sesuai peruntukannya sejalan ketentuan agama dan adat yang luhur. Kalau tidak, harta benda kerajaan menjadi terkuras habis dan “terkadang bisa membinasakan kerajaan”, terutama apabila ada keperluan besar dan mendesak untuk kebutuhan kerajaan dan untuk kepentingan pembangunan dan kesejahteraan rakyat.

Pada bagian lain dalam Thamarāt al-Muhimmah, Raja Ali Haji menjelaskan bahwa penguasa tidak diperkenankan untuk mempergunakan perbendaharaan kekayaaan milik kerajaan untuk tujuan memperturutkan dorongan hawa nafsu shaitannya. Sekiranya penguasa tetap melakukannya, maka penguasa bersangkutan itu pada gilirannya “tiada hirau akan suatu daripada harta dan alat senjata dan tanaman dan rumah kampung.” (Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah, 61).

Lebih lanjut, Raja Ali Haji memberikan penjelasan rinci tentang akibat-akibat ketidakpedulian penguasa terhadap masalah ini: “Adapun harta benda dibiarkan rusak binasa dimakan ulat dan semut atau dibiarkan pecah belah tiada dihiraukan. Adapun senjata dibiarkan rusak dimakan karat serta tiada ditentukan orang memeliharakan. Adapun kampung halaman rumah tangga biarkan cemar-cemar dan sampah. Adapun tanam-tanaman dibiarkan rusak binasa dimakan ulat dan tiada digemukkan dan tiada dibuang rumputnya. Maka segala yang tersebut itu setengah daripada makna israf juga.” (Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah, 62).

Raja Ali Haji merasa perlu untuk mengingatkan kepada penguasa dan pembesar kerajaan untuk tidak berlebih-lebihan dan berfoya-foya dalam kehidupan materi “supaya jangan hilang “‘izzahnya” (kemuliaan, kehormatan, harga diri atau marwah). Peringatannya ini menjadi penting mengingat gaya hidup penguasa/raja atau pangeran di istana dalam rentang sejarah (kekhalifahan Islam) yang selalu memiliki dua ciri utama.

Pertama, bahwa kehidupan istina diwarnai prilaku pesta pora dan foya-foya dengan bergelimang harta dan meteri melimpah serta makan dan minum yang bercita rasa lezat tiada tara. Kedua, bahwa kehidupan seksual di lingkungan istana dengan dikelilingi wanita-wanita muda serta cantik yang kadang jumlahnya tidak terkirakan banyaknya sejalan dengan era perbudakan dan perseliran pada masanya.

Dapat dikatakan bahwa kehidupan mewah dan berfoya-foya, bergelimang materi dan kehidupan seksual yang sedemikian marak telah berlaku secara umum di kalangan istana dalam pentas sejarah anak manusia. Fenomena kehidupan istana semacam ini juga menimpa kekhalifahan Islam, tidak terkecuali di kalangan kesultanan Melayu-Nusantara, dan termasuk Kesultanan Riau-Lingga, kendatipun kadarnya yang agak berkurang.

Oleh karena itu, Raja Ali Haji sendiri mengungkapkan dengan gamblang fenomena umum tentang kehidupan penguasa di istana bergelimang materi serta kehidupan seks rada bebas: “… jadilah ia mengikuti hawa nafsunya tiada tahu akan halal dan haram, dosa dan pahala, sah dan batal; serta melalaikan ia daripada memenuhkan perutnya dengan makanan yang lezat-lezat. Dan membatalkan akal cerdiknya dengan membanyakkan sekedudukan dengan perempuan sebab memenuhi syahwatnya; serta rakus dan lobanya pada beristri dan bergundik, sehingga berjalanlah segala asykarnya segenap dusun dan kampung-kampung rakyatnya mencari perempuan yang baik-baik rupa supaya memenuhi nafsu syahwat rajanya.” (Lihat, Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah,70).

Dari kutipan di atas tampak jelas sekali bagaimana kepiawaian Raja Ali Haji mengambarkan kebobrokan kehidupan raja/ penguasa di istana. Dengan hanya memperturutkan hawa nafsu hedonismenya yang berpangkal di perut, seperti kata Raja Ali Haji dalam Gurindam Dua belas:

Apabila perut terlalu penuh
Keluarlah fi’il yang tidak senonoh.

Dengan “makanan yang lezat-lezat”, penguasa melabrak ajaran agama tanpa memperdulikan halal-haram dan baik-buruk; dan dengan hanya memperturutkan hawa nafsunya yang berpangkal “sejengkal” di bawah perut dengan “membanyakkan sekedudukan dengan perempuan”, penguasa mencederai adat-budaya tanpa melihat benar-salahnya dan patut atau tidaknya.

Pada bagian akhir dari kutipan di atas, Raja Ali Haji mengkritik prilaku penguasa yang memerintahkan tentaranya agar mencarikan wanita-wanita cantik atau gadis-gadis muda belia sampai ke pelosok kampung/desa di seantero negeri untuk dijadikan istri atau gundik demi memuaskan syahwat (birahi seksual) syaitaniahnya.

Pada galibnya, adat-istiadat pada umumnya dan pandangan Raja Ali Haji pada khususnya dapat mentolerir kalau raja/ penguasa dan bahkan keluarga kerajaan (kerabat raja) hidup berpoligami (banyak istri) dan memiliki sejumlah gundik. Akan tetapi, istri dan gundik harus didapatkan dengan jalan patut (tidak memaksa) dan jumlah yang dibenarkan agama [jumlah maksimal empat istri] dan layak menurut adat-istiadat [bilangan gundik]. Raja Ali Haji sendiri, sebagai keturunan raja di kerajaan Riau-Lingga, tidak saja memiliki istri empat sebagai batas maksimal bagi seorang lelaki untuk menikahi wanita, tetapi ia juga memiliki selir (meskipun tidak ada data yang menyebutkan berapa jumlah selirnya).

Raja Ali Haji sendiri menyebutkan bahwa dalam usianya yang sudah tidak muda lagi masih mengambil seorang gadis muda untuk dijadikan gundik/selir. Prihal ini dikemukan kepada Von de Wall supaya sahabatnya dapat membantu mengatasi penyakit lemah syahwatnya, seperti dikemukakan dalam suratnya pada 24 Desember 1869:

“Ini satu susah, akan tetapi rahasia kitalah kepada paduka sehabat kita, yaitu syahwat kita inilah yang kurang benar2. Allah Allah, tiadakah obat daya upaya dokter di situ lagi. Sebab kita jika sudah rusak ini apa gunanya lagi dunia ini. Jadi susah kita, lebih daripada susahkan penyakit. Bagaimanakah kiranya ikhtiar paduka sahabat kita memberi ikhtiar kepada kita. Istimewa pula ini baharu pula kita dapat satu gundik budak muda. Maka hal kita inilah, itulah yang susah kita.”(Lihat, [Surat 31 Juli 1872] Putten dan Al-Azhar, Di Dalam Berkekalan Persahabatan, 115).

Setelah itu, Raja Ali Haji mengingatkan penguasa untuk memperhatikan beberapa hal penting kalau memang ingin/sudah memiliki istri dan gundik (apalagi lebih dari satu), seperti ungkapnya:

Bergundik berbini tiada salah
Asalkan jangan lupakan Allah
Mendirikan ugama jangalah lelah
Barang yang harus diperbuatlah.

Dari syair di atas tampaksekali Raja Ali Haji memberikan “prasyarat” yang tidak gampang. Bagi penguasa dan pembesar kerajaan atau bagi siapapun bahwa tidak salah memiliki istri-istri dan gundik-gundik dengan beberapa “asalkan” (pertimbangan yang mengiringinya).

Pertama, ungkapan “asalkan jangan lupa Allah” secara “langsung” atau tersurat bermakna janganlah gara-gara istri-istri/gundik-gundik itu menjadikan seorang suami melupakan Allah. Dengan kata lain, antara ia disibukkan oleh istri-istrinya membuatnya mengabaikan kewajiban-kewajiban kepada Allah. Lebih dari itu, prase “asalkan jangan lupa Allah” secara “tidak langsung” atau tersirat dapat bermakna bahwa dengan senantiasa ingat pada Allah (zikrilāAllāh) dengan dasar iman yang kokoh dan sejati kepada-Nya disertai dengan pemahaman agama yang baik maka seorang akan memperlakukan istr-istrinya itu dengan baik (ma‘āshira bi al-ma‘rūf) selaras dengan tuntunan agama. Dengan demikian, keimanan semacam ini menjadi azas bagi pembentukan etika/akhlak bagi siapapun, termasuk bagi penguasa dan pembesar kerajaan dalam membina hubungan keluarga yang tenteram dan damai (sakīnah) dalam liputan cinta “mawaddah” dan cinta “rahmah”.

Kedua, asalkan “mendirikan ugama janganlah lelah” bermakna bahwa penguasa dan pembesar kerajaan senantiasa menjalankan ibadah dan tuntunan agama dengan telaten dan sungguh-sungguh. Ibadah yang dimaksud bukan saja berkaitan dengan ibadah mahdah, seperti mendirikan salat, menjalankan puasa bulan ramadhan, mengeluarkan zakat dan menunaikan ibadah haji. Akan tetapi, ibadah gayr mahdah termasuk di dalamnya menjalankan kekuasaan dengan baik dan benar, seperti memimpin dengan adil, mengupayakan kesejahteraan rakyat dan membangun sarana prasarana jalan, pendidikan, tempat ibadah dan lainnya juga dapat dikategorikan sebagai “mendirikan agama”.

Ketiga, asalkan “barang yang harus diperbuatlah” maksaudnya dalh menjalakan tugas dan kewajiban serta amanah yang semestinya dilakukan oleh penguasa dalam mencapai tujuan keberadaan negara. Tujuan keberadaan negara itu, yaitu agar masyarakat sejahtera dan makmur hidup di dunia; dan bahagia dan damai hidup di akhirat. Jadi, penguasa bukannya menghabiskan waktu dengan larut bersama-sama istri dan gundiknya dalam memuaskan hawa nafsu mereka di malam hari. Sementara pada siang harinya terlelap tidur karena semalaman bergadang (“berasyik-mausyuk” dengan istri dan gundiknya), lalu kapan waktunya “barang yang harus diperbuatlah” sebagai seorang pemimpin.

Himbauan Raja Ali Haji itu dan seruan sejumlah ulama semacam itu sebelumnya secara umum, sepertinya, sulit untuk direalisasikan oleh penguasa dalam sepanjang sejarah kekhalifahan Islam –tanpa bermaksud menafikan sejumlah khalifah yang memang baik dan bijaksana. Mengingat gambaran nyata hampir merata prihal kehidupan penguasa nota bene muslim, tetapi prilakunya tidak bermartabat dan bermarwah. Ironisnya, sebagian mereka mengklaim dirinya sebagai “khalīfah Allāh fī al-arḍ” (“wakil Allah di bumi”) dan memproklamasikan kekhalifahan berasaskan Islam.

Padahal, dalam kenyataannya penguasa semacam itu acap kali tidak menjadikan dirinya sebagai wakil Allah.Dan klaimnya bahwa Islam sebagai asas kekhalifahannya hanya sekedar “alat” untuk menjastifikasi prilaku mereka tidak islami (praktek-praktek aspirasi jahiliyah). Dengan kata lain, klaim khalifah berasas Islam adalah demi melanggengkan kekuasaan dalam genggaman yang memang mengasayikkannya, sebagaimana bisikan syaithan kepada Adam: wamulklāyablā (dan kekuasaan yang tidak akan binasa).(Q.s. Ṭāhā [20]: 120).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

*Alimuddin Hassan Palawa,
(Direktur &Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies]UIN Suska Riau).
30. TAKABBUR: Menolak Kebenaran dan Menghina Manusia

30. TAKABBUR: Menolak Kebenaran dan Menghina Manusia

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

 

Kata “takabbur” berasal dari bahasa Arab yang padanannya dalam bahasa lndonesia secara umum adalah sombong, angkuh. Takabbur salah satu sifat yang paling dibenci oleh Allah. Pengertian takabbur, menurut Raja Ali Haji, adalah seseorang membesarkan dirinya, dan sekaligus pada saat yang bersamaan ia merendahkan dan menghinakan orang lain. Kesombongan dapat timbul disebabkan seseorang merasa memiliki kelebihan dibanding dengan orang lain. Misalanya, kelebihan dalam ilmu, kecantikan, keturunan (asal-usul keluarga), harta benda dan kekayaan serta kekuatan dan kekuasaan.(Lihat, Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah,52; Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 243).

Dengan kata lain, kesombongan dapat bersemayam pada diri (hati) seseorang disebabkan ia memandang dirinya berkecukupan, sehingga ia merasa tidak (lagi) membutuhkan orang lain. Kelanjutan logisnya, kelebihan dimiliki manusia baik fisik maupun non fisik acapkali membuat dirinya, bukan saja tidak membutuhkan orang lain, bahkan kerapkali berbuat sewenang-wenang dan melampaui batas terhadap orang lain. “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.” (Q.s. al-‘Alaq [96]: 6-7).

Kelebihan-kelebihan yang bersifat fisik dan materi serta asal-usul kejadian manusia yang bersifat askriptif tersebut, menurut Raja Ali Haji, tidak sepatutnya menjadikan seseorang sombong. Lantaran kelebihan-kelebihan fisik, materi dan askriftif itu hanya bersifat relatif dan sementara. Misalnya, ia menyebutkan bahwa orang yang pandai bisa saja menjadi bodoh karena hilang akalnya. Orang yang memiliki kecantikan dan ketampanan (rupawan) dapat saja menjadi jelek disebabkan umpamanya menderita penyakit.

Begitu pula, keturunan yang mulia dapat saja menjadi hina karena tidak mampu menjaga marwah dan kehormatannya. Orang kaya sangat mungkin jadi miskin lantaran jatuh bangkrut. Begitu pula, kekuatan dan kekuasaan manusia pada dasarnya akan berkurang, dan saatnya akan berakhir, bisa disebabkan sakit atau tuntutan lanjut usia atau sebab-sebab lainnya, dan yang paling pasti oleh kematian.(Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah, 53).

Al-Takabbur, menurut Raja Ali Haji, merupakan sifat dan sekaligus dosa yang pertama dari tiga dosa dimiliki dan dilakukan oleh mahluk Allah, yaitu iblis. Sementara dua dosa lainnya adalah serakah yang dilakukan oleh Adam, dan dosa hasad (iri hati) yang menyebabkan Qabil membunuh Habil. Dengan sifat sombongnya ini Iblis terusur dari surga penuh kehinaan. Kemudian,sifatsombong ini di lakukanoleh orang-orang durjana dalam sejarah umat manusia di muka bumi, seperti Raja Namrudz, Fir’aun, Abu Jahal. (Lihat, Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa,192).

Lebih lanjut, Raja Ali Haji memaparkan (dalam Kitab Pengetahuan Bahasa: 243-244) bahwa Iblis menyombongkan diri dan membangkang ketika Allah memerintahkan, “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujud lahkamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (al-Baqarah [2]: 34;lihat juga, Q.s. al-Kahfi [18]: 50).

Dengan kembali mengutip al-Qur’an, Raja Ali Haji menyebutkan bahwa Iblis menolak sujud kepada Adam karena membanggakan asal-asul kejadiaanya. Iblis merasa lebih mulia asal-usul penciptaannya ketimbang Adam, seperti ungkapnya: “khalaqtanī min al-nār wa khlaktahū min al-ṭīn” (Engkau ciptakan saya dari api, sedang dia Engkau ciptakan dari tanah) (Q.s. Ṣād [38]: 75-76).Lihat juga, (Q.s.al-A’rāf [7]: 12); Q.s. al-Isra’ [17]: 61). Akhirnya, Allah mengusir Iblis dari taman surga sebagai makhluk terhina dan terkutuk karena tidak sepatutnya meyombongkan diri di dalamnya (Q.s.al-A’rāf [7]: 13).

Dalam mengulas kesombongan Iblis, Raja Ali Haji terlihat jelas menjadikan al-Qur’an sebagai “alas”nya. Meskipun demikian, dalam Kitab Pengetahuan Bahasa, ia membatasi dirinya untuk mengulas panjang lebar tentang pembahasan kesombongan Iblis. Makanya, ia meminta pembacanya untuk membaca secara detail dalam al-Qur’an, al-Hadis serta kitab-kitab ulama, khususnya tentang tasawuf, terutama karya al-Ghazali, Iḥyā ‘Ulūm al-Dīn. Raja Ali Haji memaparkan prihal ini, selengkapnya:

“…. dan berpanjanganlah bicara takabur ini dalam Qur’an Nul’azim dan hadis Saidalmursalin dan di dalam kitab-kitab karangan ‘ulamak-ulamak Al ‘amilin yang membicarakan kejahatan takabur itu maka tiadalah aku suratkan pada kitab ini karena bukan maksudku memanjangkan, hanyalah bahasa jua. Akan tetapi hendak juga diterangkan juga maknaya sedikit-sedikit karena jika sekira-kira jatuh jadi pelajaran kepada orang-orang Islam maka yaitu jadi satu pengatahuan yang mamfaat pula dan barang siapa yang berhendak lebih daripada itu, serta hendak mehalus-halus pada ilmu …. maka rujuk’lah ia pada segala kitab-kitab tasawuf yang beberapa banyak karena karangan ulamak-ulamak yang besar ‘khusus di dalam kitab Ikhya umuluddin (sic. Iḥyā ‘Ulūm al-Dīn – AHP) pada rubuk’ mahlukat maka yaitu tersangat banyaknya tafsirnya hukuman yang halus-halus serta obatnya adanya.” (Lihat, Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 244).

Pada dasarnya sikap sombong bertentangan secara diameteral dengan penghambaan diri kepada Allah. Artinya, sifat sombong tidak mungkin ada pada diri seseorang yang tulus dan sadar bahwa ia seorang ‘ābid yang hina, kotor dan kerdilserta lemah dihadapan Sang Ma‘būd yang Maha Suci, Maha Mulia dan Maha Agung serta Maha Kuasa. Karenanya manusia diajarkan untuk menuturkan tasbih: subḥān Allāh, al-ḥamd Allāh dan Allāh Akbār serta lāhawla walā quwwata illā bi Allāh.

Oleh karenanya, bagi siapapun yang memiliki kesombongan dalam hatinya walau sekecil apapun tidak ada tempatnya tinggal di surga, sabda Rasul Allah saw.: “Tidak masuk syurga orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari sifat kesombongan.” (HR. Mslim). Dan orang yang memiliki rasa sombong “Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung berfirman: “Kemuliaan itu adalah gaun-Ku dan keagungan itu adalah jubah-Ku. Sesiapa yang memakai gaun dan jubah-Ku itu akan Kulempar ia ke dalam api neraka!” Demikian tersebut dalam sebuah hadis Qudsi.

Al-Takabbur merupakan sifat kejahatan yang bersemayam dalam hati manusia. Sifat ini diharamkan dan terlarang, sebagaimana banyak diungkapkan dalam al-Qur’an, misalnya agar manusia tidak berjalan di muka bumi dengan kesombongan (Q.s.al-Isra’ [17]: 37). Sifat sombong, kata Raja Ali Haji lebih lanjut, dapat menimbulkan “bantahan”, membawa seseorang kepada kesesatan dan bahkan kepada kekufuran. Pada gilirannya, ungkap pemikir Alam Melayu ini, ia mendustakan kebenaran-kebenaran yang disampikan nabi-nabi dan rasul-rasul.(Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 202). Kesombongan karena kekuasaan, menurut Abdullah Yusuf Ali, adalah langkah pertama menuju berbagai kejahatan. Lihat, Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an, Texs Translation and Commentary, terj. Ali  Audah (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993).

Dalam Kitab Pengetahuan Bahasa, Raja Ali Haji memberikan penjelasan tentang prilaku-prilaku orang takabur: “Orang yang tiada mengikuti sekali-kali perkataan dan pengajaran orang yang lainnya seperti dijawabnya dengan barang-barang jawaban membenarkan dirinya, meskipun nyata salahnya, tiada juga ia mau mengaku daripada salahnya itu. Maka sifatnya inilah yang akhir-akhirnya membawa kepada kafir nauzubillahi minha…. Adalah keluarnya sifat bantahan ini daripada takabur membesarkan dirinya. Asalnya memandang dirinya lebih pandai daripada orang atau lebih alimkah atau lebih bangsanya daripada orang.” (Lihat, Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 202).

Sikap dan prilaku “takabur” yang membawa kepada kekafiran, berdasarkan kutipan di atas, tercermin pada sikap seseorang bahwa ia mengetahui dirinya salah, tetapi ia tidak mau mengakui kesalahnnya. Sebaliknya, orang semacam ini mengetahui kebenaran orang lain, tetapi ia tidak mau mengakui (menutup mata) kebenaran orang tersebut (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 181-182). Kesombongan seperti ini akan diiringi dengan memperlakukan orang lain secara sewenang-wenang dan melampaui batas. Dengan demikian, Allah akan menutup atau mengunci hati orang semacam itu.Firman Allah: “Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.” (Q.s. al-Ghafir/al-Mu’min [40]:35).

Sehingga, orang itu akan “lupa diri”, dan pada gilirannya kesalahan/keburukan yang dilakukannya dipandang sebagai kebenaran/kebaikan. Inilah orang yang teramat durjana dan paling celaka. Raja Ali Haji mencontohkan orang-orang durjana semacam itu diantaranya adalah Namrud, Fir’aun dan Abu Jahal (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 192). Orang-orang laknat ini, kata Raja Ali Haji dengan tegas dan keras, bukanlah manusia, tetapi shaiṭan, seperti dinukil dari Gurindam Dua belas:

Tahu pekerjaan tak baik tetapi dikerjakan
Bukannya manusia ia itulah syaithan.

Pada akhirnya, Raja Ali Haji menegaskan bahwa “orang yang takaburitu pada qalibnya akan mendapatkan kehinaan di dunia ini lambat laun… di dalam akhirat.” (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 243).Jadi, sifat sombong hendaknya di hindari karena akibat yang ditimbulkan tidak saja di akhirat kelak, tetapi juga akan berlaku dalam kehidupan di dunia fanaini. Kemudian, pernyataan Raja Ali Haji ini dipertegasnya secara puitis dalam Gurindam Dua belasa:

Pekerjaan takabur jangan direpih
Sebelum mati juga sepih

Orang sombong, menurut Raja Ali Haji, pada umumnya tidak mau mendengar nasehat, dan malah ia akan marah kalau diperingatkan orang lain, meskipun pada dasarnya ia dalam posisi yang salah. Rasulullah bersabda: “Takabbur itu adalah menolak kebenaran dan menghina orang lain.” (HR. Muslim). Begitu pula, orang yang takabur biasanya merasa tersanjung kalau dipuji-puji dan ditempatkan pada kedudukan yang terhormat. Padahal, dalam pandangan Raja Ali Haji, orang yang suka dipuji dan memuji oleh orang lain adalah pertanda orang tersebut kurang akalnya. (Lihat, Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 63).

Sebaliknya, jika ia tidak dipuja-puji dan ditempatkan pada tempat yang tidak selayaknya, ia akan menjadi marah dan mengumpat, yaitu keluarlah “tutur katanya dengan kasar”, sebab dalam pandangannya orang lain rendah dan hina. (Lihat, Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah,52-53; Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 243). Padahal, boleh jadi orang yang dipandang rendah dan hina tersebut, justru lebih mulia dalam pandangan manusia lainnya, dan terutama dalam pandangan Allah swt. (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 63).

Pernyataan Raja Ali Haji di atas, meskipun ia tidak menyebutnya secara langsung ayatnya al-Qur’an, sebagai seorang intelektual yang “qur’anic oriented”, jelas bahwa pernyataannya itu berasal dari spirit al-Qur’an ((Q.S. al-Hujarāt [49]: 11). Karenanya, sebelum seseorang menyampaikan pujiannya dan mengutarakan umpatannya, hendeklah memikirkan terlebih dahulu akibat-akibat yang akan ditimbulkannya. Raja Ali Haji menandaskan prihal ini secara puitis dalam Gurindam Dua belas:

Mengumpat dan memuji hendaklah pikir
Di situlah banyak orang yang tergelincir.

Sifat dan prilaku sombong harus dihindarkan pada diri setiap manusia, terlebih-lebih bagi seorang yang memegang kekuasaan. Penguasa yang takabur, kata Raja Ali Haji, tidak akan pernah mau mendengarkan nasehat orang lain, dan karenanya, ia akan menjalankan kekuasaannya dengan sewenang-wenang. Di samping itu, penguasa yang sombong tidak akan mau menyantuni dan memenuhi “jemputan dan jamuan” rakyat kecil dan miskin.

Penguasa semacaman itu hanya mau menghadiri jemputan dan jamuan orang-orang besar dan kaya. Raja Ali Haji mengingatkan kepada penguasa untuk tidak mengukur status seseorang dari segi kaya dan miskin serta unsur yang bersifat fisik, materi dan status sosial bersifat askriptif lainnya. Lebih jelasnya, Raja Ali Haji mengatakan, “jangan kita memandang orang-orang yang miskin atau fakir atau orang-orang yang kurang daripada kita pada sifatnya atau pada hartanya dengan pandangan menghina-hinakan akan dia itu.” (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 63).

Sebaliknya, ia juga mengatakan, “jangan sekali-kali besar pada hati kita dan pada tilik pandang kepada orang besar-besar dan orang kaya-kaya itu karena kebesaran dan kekayaannya itu, istimewa pula pada ahli ldunia.” (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 63 dan 243). Kalimat Raja Ali Haji ini relatif sama dengan ungkapan Ali bin Thalib yang dibaca al-Ghazali dari Nahj al-Balagha. Artinya, kemungkinan besar inspriasi perkataan Raja Ali Haji dalam bukunya, Kitab Pengetahuan Bahasa tersebut berasal dari hasil bacaannya pada karya al-Ghazali.

Abdul Qayyum, menulis: “Suatu hari, ketika ia [al-Ghazali –AM] sedang membaca Nahjul Balagha, yaitu koleksi khutbah-khutbah Sayyidina Ali, ia dapati baris-baris sebagai berikut: “Saya peringatkan kamu sekalian bahwa segala sesuatu seperti kekayaan, kekuasaan dan kesenangan-kesenangan… tidak akan menggoda dan memikat kamu. Karena kehidupan itu bagaikan bayangan di atas bumi yang akan memanjang untuk beberapa waktu, tetapi pada akhirnya lenyap.” (Lihat, Abdul Qayyum (ed.), Surat-Surat Al-Ghazalikepada Para Penguasa, Pejabat Negara dan Ulama Sezamannya, Bandung: Mizan, 1988: 8).

Selanjutnya, Raja Ali Haji mengingatkan bahwa penguasa dan pembesar kerajaan yang sombong (senanatiasa membesarkan diri) dan sekaligus menghina dan merendahkan orang lain, sesungguhnya mereka itulah yang hina dan rendah derajatnya dalam pandangan Allah. Dengan kalimatnya sendiri Raja Ali Haji mengatakan: “Dan manakala besar hati kita segala orang yang tersebut itu, niscaya gugur tilik Allah Ta‘ala kepada kita, karena Allah Ta‘ala itu benci akan orang yang tamak akan kebesaran dan kekayaan ….” (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 63).

Untuk memperkuat argumentasinya ini, dalam karyanya yang lain Raja Ali Haji mengutip hadith Rasul Allah saw.: “Man takabbar waḍu‘a Allāh wa man tawaḍḍa‘a farafa‘a Allah.” (Barangsiapa yang membesarkan diri, Allah akan merendahkannya, dan barangsiapa yang merendahkan diri, Allah akan mengangkatnya) (Lihat, Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah, 48). Sabda Rasul Allah saw. yang dikutip Raja Ali Haji di atas, sebelumnya dihayati betul oleh Ali bin Abi Thalib [karramah Allāh wajah], sehingga dalam Nahj al-Balāgha, ia berkata sama: “Ingatlah bahwa orang yang merendahkan dirinya akan ditinggikan, dan orang yang meninggikan dirinya akan dicampakkan.”

Belakangan, ungkapan Ali bin Abi Thalib ini dibaca oleh al-Ghazali yang diformulasi dalam surat-surat yang ditujukan kepada para penguasa dan pejabat negara. (Lihat, Abdul Qayyum (ed.), Surat-Surat Al-Ghazali…, 8-9). Jauh setelah itu, giliran Raja Ali Haji pula yang, setelah membaca surat-surat [atau karya lain] al-Ghazali, memberikan nasehat kepada penguasa-penguasa dan pembesar kerajaan pada zamannya di Alam Melayu. Jadi “geneologi intelektual” kalimat itu berasal dari Nabi Muhammad saw., didengar oleh Ali bin Abi Thalib, lalu diteruskan oleh al-Ghazali, dan pada gilirannya berakhir pada Raja Ali Haji, sebagaimana yang penulis kutip.

Dalam mengobati dan menghilangkan sifat sombong, menurut Raja Ali Haji, hendaknya ditilik dari mana datang sifat sombong tersebut. Apakah sifat sombong itu timbul pada diri seseorang karena merasa memiliki kelebihan, misalnya pada ilmu, kecantikan/rupawan, kegagahan (kuat fisik), harta benda atau kebesaran dalam kedudukan dan jabatan.

Lebih lanjut, Raja Ali Haji menyarankan cara mengobati sifat sombong itu adalah dengan memikirkan secara mendalam (merenungkan) bahwa kelebihan-kelebihan tersebut bisa saja sirna dan bahkan hilang seketika. Misalnya, kepintaran akan hilang karena hilangnya akal; kecantikan bisa hilang karena penyakit; kekayaan akan hilang karena bangkrut; keperkasaan akan hilang dikarenakan sakit atau penyebab-penyebab lainnya. (Lihat, Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah,51; Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 192).

Raja Ali Haji mengatakan, “betapakah kita hendak takaburkan segala sifat yang tersebut itu.” Mengingat banyak latar belakang dan penyebab sifat takabur itu, maka cara mengobatinya juga dengan banyak cara. Akan tetapi, secara keseluruhan sifat sombong mesti dilawan dengan sifat tawaḍḍu‘ (rendah hati). Rasul Allah saw. bersabda: “Tawaḍḍu‘ tidak ada yang bertambah bagi seorang hamba kecuali ketinggian (derajatnya). Oleh sebab itu tawadhulah kamu, niscaya Allah akan meninggikan [derajat]mu.” (HR. Dailami).

Kemudian, untuk mendapatkan pemahaman lebih baik tentang sifat takabur dan cara mengobatinya, ia menyarankan untuk membaca panjang lebar karya-karya ulama, khususnya “kitab-kitab ahlul sufi apalagi di dalam al-Qur’an dan Hadith.”(Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah,51). Lebih lanjut, Raja Ali Haji mempersilahkan kepada pembacanya untuk menelaah kitab-kitab ulama terdahulu, seperti Tarjuman al-Mustafīd karya Abd Rauf al-Singklili; Ṭarīqah Muḥammadiyyah karya Ali Farkawi; Sir al-Sulūkilā al-Khidmah al-Mālik al Mulk karya Qasim Halabi.

Pada bagian lain Raja Ali Haji menulis, “… maka rujuklah ia pada segala kitab-kitab tasawuf yang beberapa karena karangan ulamak-ulamak yang besar khusus di dalam kitab ikhya umuluddin (sic. Iḥyā‘Ulūm al-Dīn – AHP) pada rubuk’ mahlukat maka yaitu tersangatlah banyaknya tafsilnya hukuman yang halus-halus serta obatnya adanya.” Lihat, Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 192 dan 243.

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb,
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

*Alimuddin Hassan Palawa
(Direktur & Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau.
29. GURINDAM  DUA BELAS: Barangsiapa Mengenal Diri;  Maka Telah Mengenal Tuhan yang  Bahari

29. GURINDAM DUA BELAS: Barangsiapa Mengenal Diri; Maka Telah Mengenal Tuhan yang Bahari

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

 

Raja Ali Haji termasuk figur penulis/pengarang yang sangat produktif, komprehensif dan otoritatif di Alam Melayu pada abad ke-19. Meskipun demikian, buah pena Raja Ali Haji tidak banyak diketahui masyarakat awan (kebanyakan), kecuali hanya terbatas pada karyanya, Gurindam Duabelas. Untuk itu, agak ironis memang, “orang banyak tahu” siapa Raja Ali Haji ketika dinisbatkan pada Gurindam Dua belas, tetapi sedikit “orang tahu banyak” siapa sesungguhnya tokoh intelektual Melayu-Riau ini.

Kebenaran ungkapan bahwa sedikit orang tahu banyak itu dapat dibuktikan, misalnya ketika dilontarkan pertanyaan, “apa yang anda ketahui tentang Raja Ali Haji?” Paling tidak, orang tersebut akan menjawab, “ Raja Ali Haji adalah pengarang Gurindam Dua belas; dan Gurindam Dua belas dikarang oleh Raja Ali Haji.” Jawaban ini kelihatannya sangat bersahaja dengan dua prase yang “melingkar”. Malah terkesan salah satu dari kedua jawaban itu tidak berarti, redundant, pemborosan bahasa. Tidak lebih dari itu (pengetahuan mereka tentang Raja Ali Haji).

Ada benarnya kalau Gurindam Dua belas telah memperkenalkan dan mengangkat kebesaran nama Raja Ali Haji. Akan tetapi, tidak tertutup kemungkinan justru sebaliknya, Gurindam Dua belas telah menjadi tabir dan bahkan mengerdilkan bagi kebesaran namanya. Alternatif terakhir ini dapat saja menjadi benar kalau dilihat implikasi logisnya, misalnya bahwa ia hanya dikenal sebagai seorang sastrawan atau seorang penyair. Sehingga aspek intelektual lainnya, semisal bahwa ia juga seorang sejarawan, budayawan, ulama dan pemikir politik; pendek kata bahwa Raja Ali Haji seorang cendikiawan yang mumpuni dalam berbagai aspek, menjadi ternafikan.

Pada awal karier penulisannya, pemikiran-pemikiran keagamaan Raja Ali Haji terangkum dengan sangat baik, apik dan padat dalam bentuk puitis yang terdapat pada karya monumentalnya, Gurindam Dua belas. Untuk itu, keistimewaan Gurindam Dua belas tidak saja terletak pada keindahan “bentuk luar/zahir”nya semata, tetapi yang lebih penting justru terdapat pada “bentuk dalam/batin”nya. Karenanya, U.U. Hamidi menyatakan dengan tepat keistimewaan Gurindam Dua belas:

“Maka dari segala karya Raja Ali Haji, Gurindam Dua belas merupakan karya yang sulit dicari bandingannya. Keutamaan karya ini bukan semata-mata atas keindahan sajak dan pilihan kata dalam bentuk yang artistik, tetapi lebih-lebih atas keindahan batinnya, yakni kandungan pesan-pesannya yang amat mendalam, jernih dengan sinar kejelasan yang murni. Gurindam Dua belas agaknya telah ditulis oleh Raja Ali Haji, sebagai hasil apresiasi beliau atas Surah Ibrahim ayat 24 yang maksudnya “Kalimat yang baik bagaikan sebatang pohon yang rindang berbuah lebat; akarnya terhunjam ke bumi dan dahannya menjulang ke angkasa.” (Q.s. Ibrāhīm [14]: 24). (Lihat, U.U. Hamidi, Jagat Melayu Dalam Lintas Budaya di Riau, Pekanbaru: Bilik Kreatif  Press, 2003:137).

U.U. Hamidi memberikan penjelasan yang benar dan tepat tentang kehindahan makna batin Gurindam Dua belas karya Raja Ali Haji sebagai hasil apresiasinya terhadap makna metafor al-Qur’an. Kalimat yang baik, menurut Abdullah Yusuf Ali, pada khususnya memang berasal dari kalam/firman Allah, ajaran dan agama yang benar. Akan tetapi, pada umumnya kalimat yang baik dapat pula berupa kata yang baik, kalimat yang benar berdasarkan pada pengertian dan pemahaman agama dalam mengatur kewajiban manusia terhadap Allah dan terhadap sesama manusia. (lihat, Lihat, Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Holy Qur’an, Maryland: Amana Publications, 2004, 610, catatan kaki no. 1900.)

Dengan pengertian semacam ini, Gurindam Dua belas termasuk “kalimat yang baik”.Gurindam Dua belas ibarat “pohon” memiliki akar yang kokoh (artinya: berasal dari pemahaman agama [al-Qur’an dan hadis]); dahannya menjulang ke angkasa (artinya: jangkauan pengaruhnya membahana seantero alam Melayu); daunnya rimbun dan buahnya lebat (artinya: kandungannya memberi tuntunan yang melindungi diri dan menenteramkan jiwa serta membahagiakan manusia).

Agama sebagai pedoman dan tuntunan, menurut Raja Ali Haji, sangat penting dalam pri-kehidupan manusia di dunia ini. Makanya, ia mengawali penuturan puitisnya prihal kedudukan agama yang sangat penting ini dalam Gurindam Dua belas:

Barangsiapa tiada memegang agama
sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama

Berpegang teguh pada agama sebagai ajaran yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya, Muhammad saw. untuk ummat manusia, menurut Raja Ali Haji, merupakan suatu keniscayaan hidup. Kalau seseorang melakukan perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dan/atau bertentangan dengan ajaran agama, dipahami dan diyakininya, akan merusak martabat dan nama baiknya. Untuk kasus dirinya, misalnya ketika ia difitnah telah memperhamba seorang wanita setelah perang Reteh.

Untuk kasus di atas, Raja Ali Haji mengatakan dalam suratnya kepada sahabatnya, Van de Wall, tertulis: “Maka itu pekerjaan sekali2 tiada patut kepada agama kita dan kepada nama kita. Apabila kita berbuat yang demikian itu jadi hilanglah nama kita yang selama2 ini…. Tiada sekali2 niat kita hendak memperbuat dia hamba.” (lihat, Puttendan Al-Azhar, Di DalamBerkekalanPersahabatan, 41).

Dalam pandangan Raja Ali Haji memelihara agama dan menjaga nama (baik) sangat penting dan utama. Ia menyebutkan bahwa tidak mengapa walau kita dalam kemiskinan dan menjadi rakyat biasa asalkan agama dan nama terpelihara dengan baik. Bahkan ia menyatakan dengan nada keras bahwa seseorang yang tidak menjankan agama dan menjaga/memelihara nama baiknya maka kedudukannya sama dengan binatang.

Dengan bahasanya sendiri Raja Ali Haji mengungkapkan masalah ini: “Syahdan yang kita pegang selama2ini, biaralah kita jadi orang miskin atau jadi orang kecil asal jangan kita cacat kepada agama dan nama. Karena apabila orang2 tiada memelihara yang dua perkara itu, tiada guna panjang umur di dunia karena sama juga dengan binatang.”(Lihat, Puttendan Al-Azhar, Di Dalam Berkekalan Persahabatan, 43).

Sikap dan pandangan Raja Ali Haji, seperti ditunjukkan dalam pengalaman hidupnya di atas, semakin mencerminkan bahwa dirinya benar-banar seorang, sekali lagi meminjam istilah Abdul Hadi W. M., “ulil albab”. Karena seorang ulil albab tidak saja memahamai dan mengajarkan doktrin-doktrin agama, tetapi sekaligus mengamalkannya dan memberi suri-tauladan bagi masyarakatnya.

Seorang uwlūal-bāb, layaknya Raja Ali Haji, tentunya tidak pernah mau mengajarkan sesuatu doktrin agama yang ia sendiri tidak/belum amalkan. Pertimbangannya bukan saja demi kehidupan sosiologis (masyarakat tidak akan mau mengikutinya), tetapi juga didasari atas pertimbangan teologis (cerminan keimanan dan ketakwaan kepada Allah) dan kehidupan eskatologis (pantulan keyanikan dan keimanan akan kehidupan akhirat beserta dan siksaan dalam neraka), firman Allah: ”Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”(Q.s. al-Ṣāf [61]: 2-3)

Sebaliknya, seseorang mengetahui sebuah perbuatan baik dan tidak dilakukannya; atau seorang mengetahi suatu perbuatan dilarang agama dan tetap dilakukannya, menurut Raja Ali Haji, dia itu bukan manusia, tetapi syaitan, Gurindam Dua belas pasal 9:

Tahu pekerjaan tak baik tapi dikerajakan
bukannya manusia ia itulah syaitan.

Di Dalam Gurindam Duabelas, sebelum Raja Ali Haji bertutur “Barangsiapa mengenal diri Maka telah mengenal Tuhan yang bahari, ia mengawali dengan gubahan indah:

Barang siapa yang mengenal yang empat
maka itulah orang yang ma‘rifat.

Akan tetapi, seseorang tidak mungkin “mengenal yang empat” dan apalagi pada gilirannya menjadi orang “ma’rifat”, kalau orang itu tidak berpegang dan menjalankan syariat agama, seperti ungkapannya:

Barangsiapa tiada memegang agama
sekali-kali tiada boleh dibilang nama.

Artinya, untuk sampai pada “tangga” ma’rifat sebagai anak tangga tertinggi, seseorang terlebih dahulu niscaya melewati anak tangga-anak tangga sebelumnya, yaitu shari‘ah, ṭarīqah dan ḥaqīqah. Karenanya, Tarekat dan hekekat tidak bisa dipisahkan dari shari‘ah sebagai “tangga/ langkah” awal menuju ma‘rifat kepada Allah. Dengan kata lain, tarekat dan hekekat yang menjadi pengetahuan kaum sufi merupakan bagian dari shari‘ah. Bahkan dengan tegas disebutkan bahwa tarekat dan hakekat tunduk pada shari‘ah. (Lihat, Muhammad Abd. Haq Ansari, Antara Sifisme dan Syari’ah, Jakarta: Rajawali Press, 1993, 271).

Bukankah untuk menaiki suatu ketinggian harus mulai dengan menginjak anak tangga pertama? Bukankah untuk menapaki suatu perjalanan jauh harus diawali dengan langka pertama? Sejalan dengan ini, meminjam adagium kaum sufi: “Hanya orang yang mampu berjalan di tanah datar yang bakal mampu mendaki bukit.”(Adagium sufi ini dikutip dari Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Paramadina, 2000), 44).Oleh karena itu, untuk sampai pada puncak makrifah seseorang harus melalui secara berturut-turut shari‘ah, ṭarīqah, haqīqah.

Makanya adalah wajar kalau ada yang memahami –walaupun pemahamannya terkesan “melompat” atau jumping to conclusion-– tentang yang “empat” dalam Gurindam Dua belas dengan penafsiran: shari‘at, tarīqat, ḥakīkat dan ma’rifat. Pemahaman semacam ini, misalnya, dilakukan Abu Hassan Sham, meskipun pada bagian lainnya, ia memahami seperti yang dimaksudkan Raja Ali Haji itu sendiri dalam Gurindam Dua belas nya. Adapun yang “empat” dalam pemahaman Raja Ali Haji secara kasat mata teruntai secara beriringan dengan indahnya dalam Gurindam Dua belas pada pasal pertama, yaitu: Allah; diri, dunia, dan akhirat:

Barangsiapatiadamemegang agama
sekali-kalitiada bolehdibilangnama.
Barangsiapamengenal yang empat
makayaitulah orang yang makrifat.

Barangsiapamengenal Allah
suruhdantegahnyatiadaiamenyala.
Barangsiapamengenaldiri
makatelahmengenalTuhan yang Bahari.

Barangsiapamengenaldunia
tahulahiabarang yang terpedaya.
Barangsiapamengenalakhirat
tahulahiaduniamudharat.

Dari keempat ini yang paling penting diketahui terlebih dahulu adalah diri manusia itu sendiri. Agama (syari‘at) menjadi tidak bermakna kalau seseorang tidak mengenal/tidak memiliki kesadaran (siapa) dirinya. Untuk itu, mengenal diri adalah “anak tangga” pertama atau “langkah” paling awal untuk menapaki dan sampai pada “anak tangga” paling tinggi atau langkah terakhir menuju ma’rifaf pada Allah. Karenanya, dalam Gurindam Dua belas, Raja Ali Haji memahami benar adigium sufistik yang masyhur dari doktrin tasawuf: “man‘arafa nafsah fa qad arafa Rabbah” (sesiapa mengenal diri, sungguh ia telah mengenal Tuhan).

Sekedar catatan, kalangan kaum sufi mengklaim bahwa ungkapan “man‘arafa nafsah fa qad arafah Rabbah” itu berasal dari sabda Nabi Muhammad saw., sementara kalangan ahl al-Hadis, seperti Imam al-Nawawi dan Imam Ibn Taimiyah berpendapat sama dengan masing-masing redaksi yang berbeda, yaitu bahwa hadis itu adalah laisa bi thabit dan hadis palsu. (Lihat, Ali Mustafa Yaqub, Hadis-hadis Bermasalah (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), 78-79).

Kalimat “man‘arafa nafsah fa qad arafa Rabbah” ditangan Raa Ali Haji diterjemahan dalam bahasa puitis, sebagaimana tertera dalam Gurindam Dua belas:

Barangsiapa mengenal diri
Makatelah mengenal Tuhan yang bahari.

“Mengenal diri” yang paling hakiki lebih dimaksudkan –kalau manusia terdiri dari tiga unsur yaitu unsur al- jasm (jasmani, raga atau fisik), al-nafs (nafsani, jiwa atau psikis), al-rūh(rohani, sukma atau spirit)– pada al-nafs (jiwa). Kata “nafs” (dalam kalimat “man ‘arafah nafsah”) dari hadis di atas dipertegas oleh hadis nabi yang lainnya. Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra. berkata bahwa dia berkata, “Wahai Rasul Allah, kapan manusia mengenal Tuhannya? Rasul Allah menjawab, “Apabila ia mengenal jiwanya sendiri.” (Lihat, al-Ghazali, Bidāyah al-Hidāyah, Jakarta: Menara, 2006, 191.)

Adigium sufistik yang sangat populer ituterkait erat dengan ungkapan Nabi saw. lainnya dalam bentuk hadis qudsi ketika menjelaskan kenapa Allah menciptakan alam semesta, terutama manusia: “Kuntu kanzan makhfiyyan, fa aḥbabtu ‘an u‘raf fa khalaktu al-khalqa li kay u‘raf ” (Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi dan aku ingin (sekali) dikenal. Karena itu, Aku lalu menciptakan makhluk agar mengenal-Ku).

Pengenalan diri dan pengenalan Tuhan merupakan dua entitas yang jalin-berkelindan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainya: mengenal Tuhan tanpa mengenal diri adalah absurd; dan mengenal diri tanpa mengenal Tuhan adalah nihil. Pengenalan terhadap Tuhan merupakan langkah awal sebagai tercerminan dari ungkapan “man‘arafa nafsah fa qad arafah Rabbah”, dan ini mutlak berlanjut pada pada jenjang “mengingat” Tuhan. Artinya, setelah mengenal Tuhan, manusia harus senantiasa “mengingat” Tuhan (tanpa mengingat, makna mengenal menjadi hilang dan musfrah [sia-sia]).

Sedemikian penting “mengingat” Tuhan sebab kalau manusia melupakan Tuhan pada titik nadir tertentu, maka Tuhan akan membuat manusia lupa (tidak kenal lagi) pada dirinya.Firman Allah, Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik. (Q.s. al-Ḥashr [59]: 19).

Hanya dengan mengenal dan mengingat Tuhan sebagai eksistensi niscaya (wājib al-wujūd) maka manusia baru (dapat) memiliki eksistensinya (mumkīn al-wujūd), tanpa eksistensi Tuhan, manusia tidak akan bereksistensi. Karenanya, bagimanusia hanya dengan meyakini “ada”-Nya Tuhan, manusia baru dapat melihat “ada-ada” yang lain. Sebaliknya, kalau manusia tidak mengenal dan melupakan keberadaan Tuhan maka segala eksistensi, termasuk eksistensi dirinya menjadi tidak ada, apalagi perbuatannya sungguh menjadi musfrah dan tidak mempunyai makna apa-apa, lantaran terputus dari Tuhan sebagai hakekat keberadaan dan pusat orientasi manusia (seluruh makhluk).

WaAllāha‘lam bi al-Ṣawāb.
MāTawfīqwa al-Hidāyahilla bi Allāh

*Alimuddin Hassan Palawa
(Direktur &Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies]UIN Suska Riau)
28. KOTA SINGAPURA: Peran  Aktifitas Dakwah dan Pelaksanaan Haji Di Melayu-Nusantara Pada Abad ke-19

28. KOTA SINGAPURA: Peran Aktifitas Dakwah dan Pelaksanaan Haji Di Melayu-Nusantara Pada Abad ke-19

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

 

Pada akhir dekade abad ke-19 dan awal dekade abad ke-20 Singapura menjadi kota kosmopolitan. Kota ini menjadi pusat kegiatan keilmuan, keagamaan dan dakwahdi kawasan Dunia IslamMelayu-Nusantara kira-kira seabad setelah dibangun/didirikan Thomas Stamford Reffles (1819). Terkait dengan ini, Anthony Reid mengutarakan dengan baik kondisi dan arti penting kota Singapura pada masa itu:

“Singapura menjadi tempat berkumpulnya bukan hanya para calon yang setiap tahun pergi ke Mekah dari wilayah kekuasaan itu, tetapi juga orang-orang yang tidak senang, para petualang dan lain sebagainya, yang, seperti sering ditunjukkan, rela memilih tempat ini sebagai basis (pangkalan) bagi kegiatan-kegiatan atau tindakan-tindakan yang mengganggu kepentingan-kepentingan Belanda di Kepuluan Hindia Belanda ini. Di tempat inilah musuh-musuh pemerintah Belanda dapat bertemu, dan kadang-kadang menyusun seruan-seruan kepada Turki, dengan jaminan bahwa Pemerintahan Pendudukan Inggris kurang memiliki pengetahuan dan perhatian terhadap apa-apa yang dilakukan oleh mereka.” (Lihat, Anthony Reid, “Pan-Islamisme Abad KesembilanBelas”: 7).

Dari kutipan di atas dengan jelas disebutkan bahwa kota Singapura menjadi pangkalan umat Islam yang akan pergi dan pulang menunaikan ibadah haji. Lebih dari itu –dan ini yang jauh lebih penting seiring munculnya kesadaran keagamaan dan kebangsaan (nasionalisme)– sepulang dari melaksanakan ibadah haji mereka menjadikan kota Singapura sebagai basis dakwan agama dan perjuangan cinta tanah air. Meskipun demikian, pernyataan Anthony Reid tersebut sangat terkesan tendensius, mencurigai dan menyudutkan umat Islam, layaknya mewakili “bahasa-bahasa” penjajah kolonial Belanda.

Pada masa itu banyak ulama-ulama (cendikiawan Muslim) baik yang pulang dari menunaikan ibadah haji, dan terutama yang baru menyelesaikan/menempuh pendidikannya di Mekkah-Madinah dan Mesir bermukim di Singapura. Di kota “Singa” ini meraka melakukan aktivitas-aktivitas keagamaan, termasuk dalam menyuarakan ajaran-ajaran agama lewat penerbitan-penerbitan surat kabar dan majalah atau jurnal dalam bahasa Melayu. Sepertinya, aktifis-aktifis keagamaan sudah memandang perlu keberadaan media penerbitan untuk kepentingan penyebaran pemikiran dan dakwah Islam.

Di kawasan dunia Melayu, menurut William Roff,dalam rentang waktu 65 tahun (dari 1876 sampai menjelang pecahnya Perang Dunia II) terdapat tidak kurang mencapai 147 terbitan. Di antara begitu banyak surat kabar dan majalah Melayu yang sudah eksis sebelum Al-Imam terbit pada tahun 1906, misalnya ada Jawi Peranakan (1876) yang merupakan surat kabar berbahasa Melayu pertama di kawasan ini. Mengikuti Jawi Peranakan, pada 1877 di sana terdapat dua Surat kabar Melayu, yaitu Najumul-Fajr dan Peredaran Al-Shamsu Wal-Qomar.

Kemudian, pada 1888 disana barulah lahir Sekolah Melayu, berikutnya Sri Perak (1893), Tanjung Penagari (1894), Pimpinan Warta (1895), dan Jajahan Melayu (1896). Dalam 1890 saja, telah diterbitkan tiga surat kabar Melayu yakni: Lengkongan Bulan, Bintang Timur dan Cahaya Pulang Pinang. Pada 1901 terdapat satu surat kabar Melayu yang dilaporkan keberadaannya, yaitu Jambangan Warta. Belakangan pada 1904 terdapat dua media yang lahir, yaitu Taman Pengetahuan dan Khazanah al-Ilmu.

Tidak ada bukti yang dapat diusut untuk membuktikan keberadaan tentang surat kabar dan majalah Melayu yang lain pada 1906. Pada tahun itu hanya Al-Imam yang eksis, selain dari Cahaya Pulau Pinang (1900-1908). Akan tetapi,terbitan yang disebut belakangan ini adalah surat kabar harian dan tidak terbit secara periodik. Baik Cahaya Pulau Pinang maupun Al-Imam dalam waktu yang bersamaan masing-masing menghentikan penerbitannya pada 1908.(Lihat, Abu Bakar Hamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society: 1906-1908, Kuala Lumpur: Pustaka Antara, 1991: 17-18; W. R. Roff, Sejarah Surat-Surat Kabar Melayu: 7-11).

Dari sekian banyak surat kabar dan majalah tersebut sebagian besar terbit di Singapura. Ada pertanyaan masih belum terjawab, kenapa sejumlah surat kabar, jurnal/majalah, khususnya jurnal keagamaan diterbitkan di Singapura? Pertanyaan yang lebih mendasar adalah kenapa aktivitas keilmuan dan dakwah Islam berkembangdi sebuah kota koloni Inggris, dan bukannya terbit di negeri-negeri Melayu pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20? Atas pertanyaan ini, terdapat sejumlah kemungkinan jawaban dapat dikemukakan.

Pertama, karena Singapura sebagai sebuah koloni Inggris memberikan peluang bagi masyarakat dengan bebas dan leluasa dalam masalah-masalah keagamaan. Kondisiini berbeda dengan di negeri-negeri Melayu dimana urusan keagamaan merupakan kekuasaan prerogatif tetap dari pemerintahan monarki.

Kedua, Singapura, pada waktu itu, merupakan persinggahan para pedagang dan pelayaran internasional yang lalu-lalang melakukan hubungan dan transaksi. Dengan begitu, menjadikan pulau “singa” itu sebuah “pusat kosmopolitan Dunia Muslim-Melayu di kawasan ini.

Ketiga, para saudagar dan pedagang dermawan membantu baik material maupunmoral terhadap sejumlah penerbitan, khususnya ataspenerbitan majalah Al-Imam yang berkedudukan di Singapura (Abu BakarHamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society: 2-3).

Keempat, pada paroh kedua abad ke-19 masyarakat Melayu-Riau pada khususnya, dan masyarakat “Jawi” Melayu-Nusantara pada umumnya, sebagian besar di antara mereka pergi menunaikan ibadah haji dengan mengambil surat jalan dari dan pulang melalui pintu Singapura.

Bahkan lebih dari awal itu disebutkan bahwa ayah Raja Ali Haji, Raja Ahmad sekembalinya ke Riau dari perjalanan niaganya di Batavia, kapal terakhir dari Singapura sudah berangkat menuju ke tanah Arab. Maka Raja Ahmad tidak dapat mewujudkan niatnya menunaikan ibadah haji menuju ke Tanah Suci pada musim tahun ini, dan dengan terpaksa harus ditundanya pada tahun depan. Akhirnya, pada 1827 Raja Ahmad dan rombongan dapat bertolak menuju ḥaramayn, Mekkah dan Madinah untuk melaksanakan kewajiban rukum Islam yang terakhir. (Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs: 301).

Ada sejumlah alasan, sehingga masyarakat Melayu-Nusantara lebih memilih lewat Singapura sebagai “pintu” keluar dan masuk dalam menunaikan kewajiban ibadah haji. Pertama, sepanjang abad ke-19 pemerintahan Belanda memperlakukan peraturan yang ketat bagi calon jama‘ah haji sebelum berangkat ke Mekkah. Sebuah peraturan dikeluarkan antara tahun 1825-1852 yang menetapkan biaya paspor naik haji yang cukup besar senilai 110 rupiah (Belanda).

Selain itu, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan aturan baru pada tahun 1859 yang mengharuskan setiap calon jama‘ah haji (i) untuk meminta “pas jalan” kepada Bupati tanpa ongkos resmi; (ii) untuk memperoleh sebuah sertifikat dari Bupati yang menerangkan kemampuan finansial membiayai kepulangan mereka dari Mekkah dan para tanggungannya yang ditinggal di kampung halaman; (iii) untuk diuji oleh Bupati –atau orang ditunjuk untuk itu– sepulang dari Mekkah, setelah itu mereka baru diperkenankan memakai gelar “haji” dan pakaian haji. (Lihat, K.A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19 (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 236-237; lihat juga, Anthony Reid, “Pan-Islamisme Abad Kesembilan Belas di Indonesia dan Malaysia”, dalamNico J. G. Kaptein, Kekacauan dan Kerusuhan: Tiga Tulisan tentang Pan-Islamisme di Hindia-Belanda Timur pada Akhir Abad Kesembilan Belas dan Awal abad Kedua Puluh, Seri INIS XLII (Leiden-Jakarta: INIS, 2003, 7).

Karenanya, atas perlakuan tersebut calon jema’ah haji lebih memilih lewat Singapura sebab pemerintahan Inggris tidak memberlakukan syarat-syarat yang ketat, sebagaimana diterapkan pemerintahan Hindia Belanda (W.R. Roff, The Origin of Malay Nationalism: 38). Meskipun belakangan kebijakan biaya paspor yang mahal diralat oleh pemerintahan Hindia Belanda dengan biaya paspor yang wajar atas permintaan perusahaan Perkapalan Kerajaan Belanda (KPM) demi melipatgandakan jumlah penumpang kapal. (Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, 67).

Kedua, pemerintahan Hindia Belanda melakukan pemeriksaan terhadap jama‘ah sepulang mereka menunaikan ibadah haji. Pemerintahan Belanda menaruh curiga kepada jama’ah haji kalau mereka mendapatkan pengaruh sosial dan politik. Selain itu pemerintah kolonial Belanda khawatir kalau orang-orang yang baru menunaikan ibadah hajiitu melakukan tindakan subversif di wilayah mereka masing-masing sepulang menunaikan ibadah haji (K. A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia, 234-243).

Ketiga, pemerintahan Hindia Belanda tetap tidak membentuk konsulat di Jeddah hingga tahun 1872, meskipun calon jama’ah haji dari Melayu-Nusantara (Hindia Belanda) dalam jumlah yang besar tinggal dan melalui Hijaz. Melihat jumlah calon jama‘ah haji yang demikian besar, seyogyanya pemerintah Hindia Belanda memberikan kemudahan dan bantuan dengan membuka konsulat di Jeddah. Konsulat ini idealnya mempunyai tugas, yaitu memberikan kemudahan dan bantuan atas pengaduan jama‘ah berbagai masalah yang dihadapi, misalnya pengaduan tentang perlakuan pegawai Mekah, perusahan kapal, atau terjadi perampokan perjalanan antara Jeddah dan Mekkah dengan harapan dapat memperoleh uang dari konsulat itu.

Akan tetapi, pada kenyataannya konsulat tidak dapat memberikan bantuan maksimal, selain faktor teknis, seperti pegawai konsulat tidak menguasai bahasa Arab dan Indonesia. Parahnya lagi, menurut Steenbrink, “…sejarah Konsulat Belanda di Jeddah ini merupakan kumpulan peristiwa yang cukup menyedihkan. Ada konsul yang sangat korup, yang mencari uang dengan visa dan yang bekerja sama dengan agen perusahan pelayaran untuk menambah gaji mereka (K.A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia, 234-243).

Keempat, perusahaan kapal laut Belanda tidak satupun mengambil peran dalam memberangkatkan calon jama‘ah haji Melayu-Nusantara ke Mekkah hingga akhir abad tersebut. Sungguh-pun sikap resmi pemerintah Belanda berubah pada 1889 dengan diangkatnya C. Snouck Hurgronje sebagai penasehat atas urusan Penduduk Pribumi dan Arab, tetapi kebijakan itu dibatalkan sebelum 1902, sehingga satu dekade abad ke-20 calon jemaah haji Melayu-Nusantara tetap berangkat melalui Singapura. Pada tahun 1900, misalnya terdapat 14.000 orang yang menunaikan ibdah haji lewat Singapura, 70 % dari mereka menumpang kapal-kapal Inggris (Sharon Siddique, “Posisi Islam di Singapura”, dalam Taufik Abdullah dan Sharon Siddique, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES, 1988: 396).

Pada dekade awal abad ke-20 jumlah jama’ah haji berasal dari Asia Tenggara semakin bertambah banyak seiring meningkatnya kondisi ekonomi dan kesadaran religiusitas masyarakat di kawasan ini. Angka jama‘ah haji, khususnya Melayu-Nusantara (Netherlands India) selalu meningkat dari tahun ke tahun, misalnya 28.000 orang jama‘ah pada 1913/1914; 40.000 jama‘ah dalam tahun 1923/1924; dan 52.000 jama‘ah pada 1926/1927.

Jama‘ah haji asal Melayu-Nusantara (Netherlands India) mencapai puncaknya pada 1920-an, dan merupakan sepertiga jumlah dari umat Islam di seluruh dunia yang menunaikan ibadah haji. (Lihat, Jacob Vredenbregt, “Haddj. Some of Its Features and functions in Indonesia”, dalam BKI, 118, 1 (1962), 92-94. Data lain tentangjama‘ah haji Melayu-Nusantara dari tahun ketahun (1879-1939), lihat, H. Aqib Suminto, Islam di Indonesia: Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1986), 222-223, khususnya pada “Lampiran V”).

Beberapa tahun sebelumnya data statistik Pemerintahan Belanda menyebutkan bahwa antara tahun 1911-1914 jama‘ah haji Indonesia mencapai 50 persen dari total jemaah haji dari seluruh penjuru dunia (Lihat, ZamakhsyariDhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, 2011: 67). Dengan kenyataan ini wajar kalau orang-orang Melayu, menurut Wilkinson, mengklaim bahwa mereka lebih banyak mengirim jama‘ah haji ke Mekkah, ketimbang umat Islam dari berbagainegara, seperti India, Persia dan Turki. (Virginia Matheson dan A.C. Milner, “Tuhfat al-Nafis: The Precious Gift”: 38).

Untuk kawasan Melayu-Riau, terutama yang berdomisili di Pulau Penyengat, menurut penelitian Barnard, sebagian besar masyarakat elitnya, baik keturunan Melayu maupun Bugis, sudah menunaikan ibadah haji pada 1900-an (Timothy P. Barnard, “Taman Penghiburan: Entertainments”, 22). Antara 1897 sampai 1914 disebutkanterdapat 939 masyarakat terdaftar telah menunaikan ibadah haji. Dan khusus pada 1926 tercatat ada 111 orang jama‘ah dari Riau menunaikan ibadah haji. (Lihat, Barbara W. Andaya, “From Rum to Tokyo: The Search for Anticolonial Alliesby the Rulers of Riau, 1899-1914”, dalamIndonesia, No. 24 (October), 1977, 139).

Kemudian, dengan kenyataan ini maka di akhir abad ke 19, menurut pengkajian Matheson, Pulau Penyengat dijuluki sebagai “Serambi Mekkah” atau “Pintu Gerbang Mekkah”. Julukan terhadap Pulau Penyengat itu diberikan karena masyarakat yang tinggal di daerah Riau dan wilayah sekitarnya selalu berkunjung (pamitan dengan saudara/kerabatnya yang masih hidup dan menziarahi makan saudara/kerabatnya di Pulau Penyengat. Dan tidak terkecuali mereka juga menziarahi makam-makam tertentu, seperti makam Raja Haji–kakek Raja Ali Haji– yang dikeramatkan, makan Raja Hamidah Engku Putri, serta makam Shaykh/ulama, khususnya makam ulama Shaykh Abdul Wahab di Pulau Penyengat menjelang keberangkatan mereka menunaikan ibadah haji ke tanah suci, Mekkah (Virginia Matheson, “Pulau Penyengat: Nineteenth Century”: 163).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh

*Alimuddin Hassan Palawa,
(Diektur &Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau)