32. ‘ABD RAUF  AL-SINKILI: Perkenalan Kitab Mir’ah al-Tullâb dan Tarjuman Mustafîd

32. ‘ABD RAUF AL-SINKILI: Perkenalan Kitab Mir’ah al-Tullâb dan Tarjuman Mustafîd

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

 

‘Abd Ra‘ūf al-Sinkili (1615-1693) termasuk salah seorang ulama Melayu-Nusantara yang sangat produktif, otoritatif dan komprehensif. Cakrawala sosial-intelektualnya begitu luas, dilatarbelakangi karena al-Sinkili belajar di sejumlah tempat yang, menurut istilah Azra, “tersebar sepanjang rute haji, dari Dhuha (Doha) di wilayah Teluk Persia, Yaman, Jeddah, dan akhirnya Makkah dan Madinah”dengan jaringan guru-guru yang begitu kompleks.(Azyumardi Azra, Jaringan Ulama: 191-192 dan 194).

Di antara guru-gurunya yang begitu banyak, ungkap Azra lebih lanjut, al-Singkili memiliki hubungan pribadi sangat dekat dan sekaligus hutang budi secara intelektual dan spritual begitu besar pada dua orang gurunya: Aḥmad al-Quṣaṣi (seorang ulama terbesar pada zamanya. Gurunya ini menunjuk al-Sinkili sebagai khalifahnya pada tarekat Shatariyyah dan Qadariyyah) dalam bidang spritual dan mistis; dan Ibrāhīm al-Kurāni (murid paling terkemuka Aḥmad al-Quṣaṣi, dan guru tempat al-Sinkili “menamatkan” pendidikannya) dalam bidang intelektual-keagamaan.(Lihat, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 196; Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana & Kekuasaan (Bandung: PT. RemajaRosdakarya, 2000), 133-134; bandingkan Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Local Islam Nusantara (Bandung: Mizan, 2002), 105-106; lihat juga A.H. Johns, “Friends in Grace: Ibrahim al-Kūrani and ‘Abd al-Raū’f al-Singkeli,” dalam S. Udin, Spectrum: Essays Prensented to Sutan Takdir Alisyahbana, ed. S. Udin (Jakarta: Dian Rakyat, 1878), 469-485; A.H. Johns, “Islamization in Southeast Asia: Refelection and Reconsiderations with Special Reference to the Role of Sufism”, dalam Southeast Asia Studies, Vol. 31, 1 (June 1993), 53).

Dari latar belakangan pendidikan begitu lengkap dan sempurna maka, menurut Wan Shaghir Abdullah, tidak heran kalau belakangan al-Sinkili menulis tidak kurang 25 karya. Jauh melampaui angka ini, menurut Oman Fathurahman, al-Sinkili telah melahirkan lebih dari 36 karya-karya tulis. (H.W. Muhd. Saghir Abdullah, Khazanah Karya Pusaka Asia Tenggara, Jilid 1 (Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah, 1991), 40-41; Oman Fathurahman, Menyoal Wahdatul Wujud: Kasus Abddurauf Singkel di Aceh Abad 17, Jakarta: Mizan, 1999) , 28-30). Karya-karyanya itu mengulas berbagai disiplin ilmu Islam tradisional, seperti tafsir, hadith, fiqh, kalam dan tasawuf. Dua di antara dari karya-karya ‘Abd Ra‘uf al-Sinkili yang paling masyhur adalah Mir’at al-Ṭullāb dan Tarjumān al-Mustafīd.

Kitab Mir’at al-Ṭullâb
Judul lengkap karya Shaykh ‘Abdul Rauf al-Singkili yang selesai dikarangnya pada 8 Jumadil Akhir 1083 (1663) ini adalah Mir’ah al-Ṭullâb li Tahsîl Ma’rifah Aḥkam al-Shar’iyyah li al-Mâlik al-Wahhâb (“Cermin bagi Mereka yang Menuntut Ilmu Fiqh pada Memudahkan Mengenal Segala Hukum Syara’ Allah”). Dari judul lengkapnya mengisyaratkan dengan pasti bahwa kitab ini menguraikan masalah-masalah ilmu hukum (fiqh) menurut mazhab Shafi’i. Mengenai kitab ini, Teuku Ibrahim Alfian mengatakan bahwa “Sepanjang pengetahuan kita inilah kitab pertama yang berisi kodifikasi hukum Islam ditulis dalam bahasa Melayu.”

Kitab ini ditulis oleh Shaykh ‘Abd Ra‘uf al-Singkili untuk memenuhi titah Sultanah Tāj al-‘Ālam Safiat al-Dīn Syah (1641-1675), permaisuri dan pengganti Sultan Iskandar Thani. Berkenaan dengan ini Shaykh ‘Abd Rauf al-Singkili sendiri mengungkapkan:

“Maka bahwasanya adalah Hadarat yang Maha mulia [Paduka Seri Sulṭanah Tāj al-‘Ālam Safiat al-Dīn Syah] itu telah bersabda kepadaku daripada sangat lebai akan agama Rasulullah bahwa kukarang baginya sebuah kitab dengan bahasa Jawi yang dibangsakan kepada bahasa Pasai yang muhtāj [diperlukan] kepada orang yang menjabat jabatan qadi pada pekerjaan hukum daripada segala hukum syara‘ Allah yang mu’tamad pada segala ulama yang dibangsakan kepada Imam Shafi‘i radiallahu ‘anhu….” (Lihat, Teuku Ibrahim Alfian, “Bahasa Melayu Sebagai Faktor Dinamika Pertumbuhan Budaya Bangsa”, dalam Hendri Chambert-Loir dan Hasan Muari Ambari, Panggung Sejarah (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), 477; A. Hasjmi, 57 Tahun Aceh Merdeka di bawah Pemerintah Ratu (Jakarta: Bulan Bintang: 1977), 109; H.W. Muhd. Saghir Abdullah, Khazanah Karya Pusaka Asia Tenggara, 138-156; Anthony John, “Qur’anic Exegesis in the Malay World: In Search of a Profile”, dalam Approaches to the History of Interpretation of the Qur’an, e.d. Andrew Rippin (Oxford: Clarendon Press, 1988), 263).

Lewat karya yang disebut pertama, Mir’at al-Ṭullāb dan sebuah karya fiqh lainnya, Najm a-Masā’il, menurut Buya Hamka, ‘Abd Ra‘ūf al-Sinkili termasuk “ahli fiqhi terbesar dalam Mazhab Syafi‘i.”Dan melalui karya disebut belakangan, Tarjumān al-Mustafīd, ‘Abd Ra‘uf al-Sinkili dikukuhkan, setidaknya oleh muridnya sendiri yang berkebangsaan Turki, Dawud bin Isma‘il dengan kalimat penghormatan terhadap gurunya: “Al-‘Ālim al-‘Allamah wa Bahr al- fahhamah farīd ‘Aṣrihī wa Waḥid al-Dahrihī”.(Lihat, Hamka, Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao”, Jakarta: Bulan Bintang, 1974: 177-178).

Kitab Mir’at al-Ṭullāb itu ditulis al-Sinkili atas permintaan Sulṭanah Safiyat al-Dīn Shah (1641-1675) segera setelah pulang dari menuntut ilmu di Arabiah (Mekkah), dan selesai ditulisnya pada 1663 (persisnya pada Sabtu, 8 Jumād al-Akhīr 1083). (Lihat, R.O. Winstedt, “A History of Classical Malay Literature”, Monograpsh on Malay Subjects, No. 5, J‎MBRAS, Vol. 31, Part 3, No. 183, 1961, 121-122; Peter G. Riddell, Islam and the Malay-Indonesian World, Transmission and Resposes, (Singapore: Horizon Book, 2001), 129).

Pada awalnya, al-Sinkili agak keberatan memenuhi permintaan sang Sultanah karena ia merasa bahasa Melayunya kurang baik setelah “lama berdagang dan diam pada segala negeri Yaman dan Mekah dan Madinah.” Belakangan, dengan mempertimbangkan arti penting kitab semacam itu untuk ditulis dalam bahasa Melayu, ia akhirnya menulisnya dengan mendapat bantuan dari dua orang sahabat. (Lihat, Abdul Hadi W.M., “Aceh dan Kesusastraan Melayu”: 221; lihat juga, Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik: 406).

Melihat waktu penulisannya, menurutAlfian, kitab Mir’at al-Ṭullāb lebih dari 150 tahun sejak setelah dituli sbaru kemudian dipergunakan di kerajaan Johor-Riau yang, menurut Raja Ali Haji dalamTuḥfat al-Nafīs, untuk pertama kalinya sekitar tahun 1810-1820. Lihat, Teuku Ibrahim Alfian, “Islam dan Kerajaan Aceh Darussalam”, dalam A.B. Lapian, dkk., Sejarah dan Dialog Peradaban, (Jakarta: LIPI Press, 2005), 248; Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 268.

Dalam Tuḥfat al-Nafīs disebutkan bahwa karya‘Abd Ra‘uf al-Singkili ini dipelajari oleh YDM VI Riau, Raja Ja‘farbin Raja Haji dan Raja Ahmad, masing-masing paman dan ayah Raja Ali Haji beserta keluarga besar kerajaan di bawah bimbingan Mufti kerajaan, ulama besar pada saat itu, Haji Abdul Wahab dari Sumatra Barat. (Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 268; Sham, Syair-syair Melayu Riau, 193).

Al-Sinkili lewat Mir’at al-Ṭullāb, menurut Azra, adalah ulama Melayu-Nusantara yang paling pertama mengarang kitab tentang fiqh mu‘amalah. Dengan kitabnya itu, kata Azra lebih lanjut, al-Sinkili seolah-olah ingin “menunjukkan kepada kaum Muslim Melayu bahwa doktrin-doktrin hukum Islam tidak terbatas pada ibadah saja, tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan sehari-hari mereka.” Selain itu, al-Sinkili juga menulis buku fiqh, Kitab al-Farā’iḍ yang, lagi-lagi menurut Azra, kemungkinan diambil/bagian dari Mir’at al-Ṭullāb itu sendiri.(Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 201-202).

Sementara itu, dari berbagai naskahnya, menurut Abdullah, kitab ini mengandung pembahasan tentang hukum jual-beli, nikah, farā’iḍ dan hukum jinayah. Kandungan tentang nikah dalam kita ini telah dikaji oleh Peunoh Dali dalam menyelesaikan program Doktornya di IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dan belakangan diterbitkan dengan judul, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlus Sunnah dan Negara-negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988). (Lihat, Saghir Abdullah, Khazanah Karya Pusaka Asia Tenggara, 143. Dalam mengulas isi kandungan Syair Hukum Nikah karya Raja Ali Haji, Abu Hassan Sham menjadikan kajian Peunoh Daly atas Mir’at al-Tullāb sebagai bahan perbandingan dan rujukan yang sangan berarti. (Lihat, Abu Hassan Sham, Syair-syair Melayu Riau, 139-187 dan 193).

Sementara Abdul Hadi menuliskan bahwa kandungan Mir’at al-Ṭullāb terdiri dari tiga aspek utama hukum Islam dalam perspektif mazhab Shafi‘i, yaitu: Mu‘āmalah (mencakup masalah jual-beli, hukum riba, utang-piutang, sewa-menyewa, hak milik, wakaf dan lain-lain); Munakaḥāt (mencakup masalah rukun nikah, walimah, talak, rujuk, nafkah dan lain-lainnya); dan Jināyat (mencakup masalah hukum pemberontakan, perampokan, pencurian, zinah, pembunuhan dan lain-lainya). (Lihat,Abdul Hadi W.M., “Aceh dan Kesusastraan Melayu”: 243).

Raja Ali Haji memang tidak menyebutkan secara langsung kalau ia menggunakan Mir’at al-Ṭullāb sebagai referensinya dalam menulis karya-karya. Akan tetapi, kitab ini beredar luas di Melayu-Nusantara, bahkan, menurutAzra, telah menjadi rujukan utama bagi Muslim Filipina. (Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 202).

Meskipun Raja Ali Haji tidak menyebutkan, tetapi dapat dipastikan bahwa Mir’at al-Ṭullāb juga telah menjadi salah satu buku teks penting ketika ia penempuh pendidikannya di Pulau Penyengat. Kepastian ini didukung oleh kenyataan bahwa karya Al-Sinkiliini, sebagaimana telah disebutkan di atas, Mir’at al-Ṭullāb telah dipergunakan oleh Haji Abd Wahab dalam memberikan pengajaran dan pendidikan keagamaan kepada keluarga kerajaan.

Demikian pula, menurut Abu Hassan Sham, dapat diduga kuat bahwa kitab ini belakangan juga dijadikan Raja Ali Haji sebagai sumber bacaannya. Abu Hassan Sham menyakin bahwa Raja Ali Haji juga telah mempelajari kitab Mir’at al-Tullāb karya ‘Abd Ra‘uf al-Singkili. Abu Hassan Sham mempertimbangkan bahwa kitab ini pernah dipergunakan di kerajaan Melayu-Riau sebelumnya, seperti ungkapannya:

“Lantaran kitab ini pernah tersebar di Riau dalam zaman pemerintahan YDM Riau keenam itu iaitu antara 1805-1831 TM dan tarikh ini merupakan zaman muda Raja Ali Haji tentu sekali beliau pernah membaca atau berguru mengenai kitab ini sebagaimana berlaku pada Raja Jaafar.”(Lihat, Abu Hassan Sham, Syair-Syair Melayu Riau, 193).

Apalagi kalau dilihat dari kandungan kitab tersebut, semakin mengukuhkan dugaan kalau Raja Ali Haji mempergunakannya dalam melahirkan karya-karyanya, terutama ketika menulis Syair Hukum Nikah. Begitu juga, Abu Hassan Sham menduga kuat kalau karya ‘Abd Rauf al-Sinkili ini dipergunakan Raja Ali Haji ketika menulis tentang pembagian harta warisan menurut hukum Islam sewaktu ia menulis Syair Farā‘iḍ.

Dalam mengubah Syair Farā’iḍ, diduga kuat, Raja Ali Haji mempergunakan kitab Mir’at al-Tullāb yang di dalamnya juga membahas tentang fara’id yang, seperti dikatakan Azra di atas, kemungkinan belakangan terpisah dari Mir’at al-Tullāb dan berdiri sendiri sebagai Kitab al-Farā’iḍ. Memang dugaan ini belum dapat dipastikan, karenanya, memerlukan kajian mendalam tentang materi hukum fara’id yang terkandung baik dalam Kitab al-Farā’iḍ karya al-Singkili maupun dalam Syair Fara’iḍ karya Raja Ali Haji. (Lihat, Abu Hassan Sham, Syair-Syair Melayu Riau, 195-196).

Kitab Tafsir Tarjumān al-Mustafīd
Kitab lain karangan ‘Abd al-Ra‘uf al-Sinkili yang memainkan peranan penting dalam sejarah pendidikan dan pengajaran Islam Melayu-Nusantara adalah Tarjumān al-Mustafīd (Peter G. Riddell, Islam and the Malay-Indonesian World, 165). Kitab Tarjumān al-Mustafīd, menurut Buya Hamka, “inilah Tafsir yang pertama sekali di seluruh tanah air kita yang memakai bahasa Melayu…” (Hamka, Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao” , 178-179) dan sekaligus merupakan tafsir utuh al-Qur’an pertama di dunia Melayu yang ditulis sekitar 1675. (Peter G. Riddell, Islam and the Malay-Indonesian World, 161; lihat juga, Peter G. Riddell, “Literal Translation, Sacred Scripture and Kitab Malay”, dalam Studia Islamika, Vol. 9, No. 1 (2002), 11.)

Dengan nada yang hampir sama, lewat tafsirnya ini, sekali lagi, ‘Abd Ra‘uf al-Sinkili mengukir prestasi sebagai ulama pertama yang menulis tafsir lengkap al-Qur’an dalam bahasa Melayu di kawasan “negeri bawah angin”, demikian menurut Azra. Keberadaan Tarjumān al-Mustafīd hampir selama tiga abad di Alam Melayu sebagai satu-satunya terjemahan lengkap al-Qur’an.

Lebih lanjut, Azra menyatakan bahwa tidaklah mengherankan –sebagai tafsir al-Qur’an paling dini– kalau karya ini beredar secara luas di wilayah Melayu-Nusantara. Pernyataan ini diperkuat dengan data valid bahwa Tarjumān al-Mustafīd karya ‘Abd al-Ra‘uf al-Sinkili telah diterbitkan pada masa berbeda-beda tidak saja di Singapura, Penang, Jakarta dan Bombay, tetapi juga di Timur Tengah, seperti di Istambul (Turki), Cairo (Mesir) dan Mekkah. (Lihat, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 202-203).

Data yang disodorkan Azra itu semakin meneguhkan pendirian bahwa Raja Ali Haji sejatinya memang telah menjadikan Tarjuman al-Mustafīd sebagai referensinya dalam melahirkan karya-karya dan memperkaya wawasannya. Dan sekaligus pandangan ini membantah pendirian yang mengatakan bahwa Raja Ali Haji justru membaca (langsung) Tafsīr al-Bayḍāwi Musammā Anwār al-Tanzīl wa al-Asrār al-Ta’wīl karya Nasr al-Dīn Abi Sa‘id ‘Abd Allah ibn ‘Umar ibn Muaḥmmad Shirāzi Bayḍāwi. Dalam penelusuran atas karya-karya Raja Ali Haji, penulis tidak menemukan kalau ia merujuk/membaca secara langsung tafsir Anwār al-Tanzīl karya al-Bayḍāwi.

Wan Muhammad Abdullah memang menyebutkan bahwa Tafsīr Bayḍāwi al-Sharīf nama lain dari Tarjumān al-Mustafīd yang lebih dikenal di alam Melayu sebagai karya al-Singkili; dan bukanlah yang dimaskud Anwār al-Tanzīl karya al-Bayḍāwi. Lihat, H.W. Muhd. Saghir Abdullah, Khazanah Karya Pusaka Asia Tenggara, Jilid 1 (Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah, 1991), 157. Artinya, kenyataan ini (juga) membantah pendirian sebelumnya yang, misalnya Achmad Syahid, menyatakan bahwa Raja Ali Haji telah menjadikan Tafsīr Bayḍāwi karya al-Bayḍāwi sebagai sumber bacaannya. (Lihat, Achmad Syahid, ”Pemikiran Politik dan Tendensi-tendensi Kuasa: Studi Pemikiran Raja Ali Haji pada Muqaddimah fī Intiẓam dan Thamarāt al-Muḥimmah”, Disertasi, Sekolah PPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007: 349).

Memang selama ini, menurut Peter Riddle (Islam and the Malay-Indonesian World”, 161), dan A.H. John, (“Qur’anic Exegesis in the Malay World”, 263) ada anggapan yang keliru dan salah tentang Tarjumān al-Mustafīd sebagai terjemahan utuh berbahasa Melayu dari Anwār al-Tanzīl wa al-Asrār al-Ta’wīl karya Bayḍāwi. Sarjana yang paling bertanggungjawab atas kesalahan tersebut, menurut Azra, adalah Snouck Hurgronje. Sarjana kondang Belanda ini tanpa meneliti terlebih dahulu secara seksama, ia lalu menyimpulkan dengan cara khas sinisnya bahwa Tarjumān al-Mustafīd “hanyalah sebuah terjemahan yang buruk dari tafsir Al-Baydhawi.” (Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 203).

Pernyataan Snouck ini dipertegas oleh Voorhoeve, “… his translations from the Arabic are so literal that they are unintelligible without knowledge of that language….” (Riddell, “Literal Translation, Sacred Scripture and Kitab Malay”, 12). Kesalahan identifikasi dan kecerobohan penilaian serupa tentang karya tafsir al-Sinkili ini datang pula dari pakar sastera Melayu, Winstedt yang mengatakan: “He did a Malay translation, not always accurate, of Baidhawi’s commentary on the Kuran, which published as recently as 1884 at Constantinople.” (Winstedt, “A History of Classical Malay Literature”, 122).

Kemudian, menurut Azra, kesalahan Snouck Hurgronje ini diikuti oleh muridnya, D.A. Rinkes dengan melakukan kesalahan-kesalahan tambahan. (Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 203). Diduga kesalahan-kesalahan Ringkes itu dilakukannya sewaktu mengkaji figur al-Sinkili dalam rangka meraih gelar Doktor (thesis Ph.D.) di bawah bimbingan Snouck Hurgronje. (Martin van Bruinessen, “Studies of Sufism and the Sufi Orders in Indonesia”, dalam Die Welt des Islams, Vol. 38, 2 (1998), 196).

Berikutnya, kesalahan-kesalahan Snouck Hurgronje dan Rinkes juga dilanjutkan P.J. Voorhoeve, meskipun akhirnya sarjana “ahli Nūr al-Dīn al-Rānīri” disebut belakangan ini mengoreksi pendapatnya dengan mengatakan bahwa “sumber-sumber Tarjumān al-Mustafīd adalah berbagai karya tafsir berbahasa Arab.” (Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 203.)

Berbeda dengan pandangan di atas, penelitian Riddlle menunjukkan bahwa inti dari isi Tarjumān al-Mustafīd merujuk pada Tafsīr al-Jalālayn karya Jalāl al-Dīn al-Maḥalli (w. 864/1459) dan Jalāl al-Dīn al-Sayūti (1505). Kalaupun Tarjumān al-Mustafīd merujuk tafsir Anwār al-Tanzīl karya Bayḍāwy dan tafsir Lubāb al-Ta’wil karya al-Khāzin (w.1286) itu dilakukan belakangan oleh murid al-Sinkili, yaitu Dā’wūd bin Ismaīl al-Rūmi guna memberikan sisipan anekdot dan tambahan informasi bacaan dan penjelasan yang beragam. (Peter G. Riddell, Islam and the Malay-Indonesian World, 161.)

Akan tetapi, khusus untuk tafsir karya al-Khāzin, menurut Buya Hamka, murid al-Sinkili dengan jujur menyatakan, “bahwa pengambilan gurunya di dalam menyusun tafsir Turjumān al-Mustafīd itu ialah dari kitab Al-Khazin, karangan Ulama Syafi‘i yang terkenal: ’Alauddin ’Ali bin Muhammad bin Ibrahim Al-Baghdadi, yang selesai dikarangnya dalam bulan Ramadhan tahun 517/H 1122/M.”

Dan yang pasti melalui karyanya, Tarjumān al-Mustafīd, ‘Abd Ra‘uf al-Sinkili dikukuhkan, setidaknya oleh muridnya sendiri yang berkebangsaan Turki, Dawud bin Isma‘il dengan kalimat penghormatan terhadap gurunya: “Al-‘Ālim al-‘Allamah wa Bahr al- fahhamah farīd ‘Aṣrihī wa Waḥid al-Dahrihī”. (Hamka, Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao”, 178-180).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

*AlimuddinHassan Palawa
(Direktur & Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau).

Leave a Reply