46  PERSEBATIAN MELAYU-BUGIS (1): Pertautan Silsilah Bangsawan Melayu dan Bugis

46 PERSEBATIAN MELAYU-BUGIS (1): Pertautan Silsilah Bangsawan Melayu dan Bugis

Oleh Alimuddin Hassan Palawa

 

Bersempena Milad ke-44 Kerukunan Keluarga Sulawesi-Selatan (KKSS), Pengurus KKSS Provonsi Riau, insya Allah, akan menaja acara Webinar bertajuk “Persebatian Bugis Melayu di Bumi Lancang Kuning”. Dalam acara ini, panitia menghadirkan narasumber ahli dalam bidangnya, yaitu (1) Prof. H. Suwardi Mohammad Samin, dan (2) Prof. Dr. Mukhlis PaEni, MA. Kedua narasumber ini sangat otoritatif untuk memberikaan pencerahan diseputar persebatian Meluyu dan Bugis di Kerajaan Melayu Johor-Riau. Narasumber pertama Prof. Suwardi dapat disebut sebagai pembicara “internal” yang memahami betul sejarah dunia Melayu secara umum, dan sejarah Riau secara khusus. Sementara narasumber kedua Prof. Mukhlis dapat dikatakan sebagai pembicara “eksternal” yang banyak menggeluti dengan pelakukan penelitian tentang keberadaan dan kiprah orang-orang Bugis di Dunia Melayu di masa-masa silam.

Webinar dalam rangka Milad ke-44 kehadiran KKSS tersebut, khususnya di Bumi Lancang Kuning memiliki urgensi dan arti penting dengan beberapa pemaknaan atas kehadiran dan eksistensi leluhur Bugis. Pertama, dari seminar ini dapat dimaknai sebagai “napak tilas” atas kehadiran leluhur Bugis dalam mengambil peran yang sangat penting dan menentukan di Kerajaan Johor-Riau sepanjang abad ke- 18 dan 19. Kedua, dari seminar ini dapat dipetik pelajaran sejarah bahwa persebatian bangsawan Melayu dan Bugis harus terus dipupuk dan dilestarikan dalam dalam keikutsertaan membangun Bumi Lancang Kuning dewasa ini. Ketiga, dari seminar ini dapat memberikan pengajaran bahwa leluhur Bugis benar-benar mewujudkan motto hidup yang baik, “Dimana Bumi dipijik, di situ langit dijunjung tinggi.”

Artinya, leluhur bugis mengajarkan bahwa konsep “hijrah” (mallekke dapureng) di mana tempat asal (Sulawesi Selatan) benar-benar ditinggalkan. Dan sekaligus di mana tempat baru (Johor-Riau) benar-benar “ditinggali” tanpa pernah berpikir mau balik lagi ke “Tanah Ugi”. Kalau pun mereka “mattanaugi” (mengunjungi “Tanah Bugis) itu hanya sekedar mau menapak-tilisi kampung lelulur mereka, dan sembari bersilaturrahim dengan keluaraga yang ada di sana. Prinsipnya sudah mendarah-daging bahwa hidup dan matiku hanya untuk, dari dan di “Tanah Bare’”, Bumi Lancng Kuning, Riau.

Persebatian berasal dari kata dasar “bati” yang arti etimolginya: sesuai, selaras, senyawa, bersatu-padu dan sangatmesra. Dengandemikian, kata “sebatian” berarti perpaduan dua atau lebih menjadi satu. Jadi, kata “persebatian” bermakna “Proses persatu-paduan antara dua orang atau lebih untuk menjalin keselarasan hubungan yang sangat akrab dan mesra.” Lihat, Teuku Iskandar, Kamus Dewan (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1970), 79; Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988: 84).

Pertautan silsilah keturunan (geneologi) dan awal persebatian bangsawan Melayu-Bugis di Kerajaan Johor-Riau dapat ditelusuri dari diri Raja Haji, YDM Riau IV (1777-1784), pahlawan legendaris Melayu-Riau yang gugur di Teluk Ketapang dalam perang melawan penjajah Belanda dengan gelar “fīsabīl Allāh”. (Tentang figur, prestasi dan kepahlawanan serta perlawan Raja Haji, kakek Raja Ali Haji,terhadap penjajahan Belanda, lihat Rustam S. Abrur, dkk., Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah Dalam Perang Melawan Belanda (Pekabaru: Pemda Riau, 1988); W.E. Maxell, “Raja Haji”, JSBRAS, 81 (1890), 173-224; dan Reinout Vos, “The Broken Balance the Origins of the War Between Riau and the VOC in 1783-1784”, dalam G. J. Schutte (ed.), State and Trade in the Indonesian Archipelago (Leiden: KITLV Press, 1994), 115-139).

Disebut sebagai awal pertautan keturunan dan persebatian bangsawan Melayu-Bugis mengingat Raja Haji tersebut, tidak lagi dipandang sebagai orang “Bugis jati/totok”. Mengingat Raj Haji –kakek Raja Ali Haji, intelektuan dan pujangga Melayu Riau– ini terlahir dari pasangan bangsawan Melayu dan Bugis, yaitu ayahnya adalah keturunan Bugis dan ibunyaadalah keturunan Melayu. Ayah Raja Haji adalah Daeng Cella’merupakan anak keempat dari lima orang bersaudara keturunan bangsawan Bugis, putra-putra Opu Tendri Borong Daeng Rilekka dari kerajaan Luwu’, Sulawesi Selatan.(Catatan tambahan, Raja Ali Haji sendiri mengungkapkan sosok leluhurnya, Daeng Cella’, seperti tulisnya, “… yang tersangat baik parasnya memberi gairah hati perempuan2 memandangnya, demikian-lah kata yang empunya cherita.” (Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 36-37; Virginia Matheson, Tuḥfat al-Nafīs, Sejarah Melayu-Islam, 1991: 181-182 dan 215).

Dan adapun ibu Raja Haji adalah Tengku Madak berasal dari keturunan bangsawan Melayu teras paling atas di kerajaan Johor-Riau, yaitu adik kandung Sultan Sulaiman (1722-1760) (Lihat, Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 10-11 dan 18). Tersebab dari keturunan Melayu dan Bugis, sehingga Raja Haji tidak lagi bergelar kebangsawanan Bugis, yaitu “daeng”, sebagaimana lazimnya seorang berketurunan Bugis, seperti ayahnya, Daeng Cella’ atau paman-pamannya, yaitu Daeng Parani, Daeng Manambung, Daeng Marewa dan Daeng Kamase, lima orang bangsawan Bugis, tetapi bergelar bangsawan ”raja”. Maka Raja Haji adalah orang pertama dari keturunan Melayu-Bugis yang mempergunakan gelar bangsawan “raja”, dan belakangan diteruskan oleh generasi-generasinya. (Lihat, Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 28 dan 304; Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, ed.Virginia Matheson (Kuala Lumpur: FajarBakti, 1982), 36 dan 302; HasanJunus, Raja Ali Haji Budayawan di Gerbang Abad XX (Pekanbaru: UIR-Pess, 1988), 63; A. Samad Ahmad (peny.), Kerajaan Riau-Lingga (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajar Malaysia, 1985), 80-81).

Keturunan orang Bugis di kerajaan Johor-Riau-Lingga berbeda dengan keturunan orang Bugis dari asal daerahnya, Sulawesi Selatan dan sejumlah daerah-daerah migrasi lainnya yang tetap mempertahankan gelar kebangsawanannya, seperti “andi” dan/atau “daeng”. Kehadiran orang-orang Bugis dan keterlibatan keturunannya dalam kekuasaan dan pemerintahan di Kerajaan Johor-Riau-Lingga memiliki sejarah unik. Selain itu, keberadaannya yang dominan sebagai YDM Riau secara turun-temurun pada awalnya tidak jarang menimbulkan kecemburuan dan resistensi dari pihak puak Melayu.

Dalam mengelaminir resistensi tersebut dan percepatan persebatian Melayu dan Bugis di kerajaan Johor-Riau-Lingga, mereka melakukan hubungan perkawinan. Bagi pihak keturunan bangsawan Bugis yang telah menikah dengan kalangan bangsawan Melayu dalam kehidupan keluarga dan masyarakatnya lebih mempergunakan bahasa, budaya, dan adat-istiadat Melayu ketimbang bahasa, budaya dan adat-istiadat luhur mereka (Bugis) dari Sulawesi-Selatan. Karenanya, dapat dimengerti kalau keturunan keempat dari Raja Haji, misalnya sudah tidak dapat berbahasa Bugis dengan baik dan tepat.

Bahkan penggunaan gelar “raja” bagi keturunan bangsawan Melayu-Bugis, dapat diduga “sengaja diciptakan” guna menghilangkan kesenjangan dan perbedaan serta sekaligus upaya penyatuan dan persebatian di kalangan mereka. Sehingga gelar kebangsawanan “raja” tersebut berlaku secara eksklusif dan hanya boleh disandang oleh keturunan Melayu-Bugis yang berawal dari keturunan Raja Haji. Mengenai asal-mula penggunaan gelar “raja dan gelar-gelar lainnya bagi komunitas di Kerajaan Riau-Lingga.

Sebutan gelar “Tengku” berasal dari istilah (bahasa) Aceh, yaitu dari kata Teuku. Kata “Teuku” berasal dari “ta” dan “engku” karena, menurut Raja Ali Haji, “ikhfahkan nun kepada kaf, maka berbunyi “nga” menjadi “tengku”. Berawal pada masa Sultan Abdul Jalil bin Bendahara Tun Habib yang beristrikan putri (keturunan) Aceh bernama Encik Nusamah. Ketika Encik Nusamah melahirkan putranya, orang-orang pada waktu itu menyarankan agar memanggil dengan gelar “Teuku” demi mengikuti nama raja-raja Aceh dan agar gelar keturunan dari pihak ibunya (keturunan bangsawan Aceh) tidak hilang.

Belakangan, ketika datang di kerajaan Johor-Riau dan bercampur-baur dengan orang Melayu, orang-orang Bugis terasa berat dilidahnya (kesulitan) untuk menyebut “Teuku”. Dengan secara keliru mereka menyebutnya menjadi “Tengku”. Kemudian orang-orang Melayu dengan maksud nada mengolok-ngolong (mengejek) orang-orang Bugis, mereka ikut-ikutan menyebut “Tengku”.

Akhirnya, orang-orang Bugis tidak senang dengan olok-olokan itu, karenanya, mereka memanggil orang terhormat di kalangan mereka dengan sebutan “Raja” atau “Engku”. Sehingga, pada masa itu seolah-olah ada perbedaan penyebutan gelar bagi masing-masing keturunan orang-orang Bugis dan Melayu, misalnya seolah-olah sebutan/gelar “Tun”, “Tengku”, “Encik Wan” khusus dipergunakan untuk sebutan keturunan raja-raja Melayu, sedangkan sebutan/gelar “Raja”, “Engku”, “Encik Engku”, khusus dipergunakan untuk sebutan raja-raja keturunan Melayu-Bugis dari Raja Haji. Lihat Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 278-281; lihat juga, A. Samad Ahmad (peny.), Kerajaan Riau-Lingga, 80-81.

Pada umumnya, sejarah peleburan keturunan bangsawan Melayu dan Bugis di kerajaan Johor-Riau terdapat dalam dua karya sejarah Raja Ali Haji, Silsilah Melayu dan Bugis dan Sekalian Raja-rajanya dan Tuḥfat al-Nafīs. Khusus untuk geonologi Melayu dan Bugis yang, pada mulanya, tercatat secara detail dan seksama dalam karya sejarahnya, Silsilah Melayu dan Bugis. Kemudian, geneologi Melayu dan Bugis itu dituangkannya kembali, dan menjadi bagian terpenting pada halaman-halaman pertama dalam karya sejarah monumentalnya, Tuḥfat al-Nafīs yang pada bagian ini, kalau menurut Ismail Hussein, sebagaian besar diambil Raja Ali Haji dari Hikayat Negeri Johor. (E.U. Kratz, Segi-Segi Karangan Melayu Tradisional, 2004: 11).

Menurut Hashim, karya sejarah disebut pertama di atas (Silsilah Melayu dan Bugis dan Sekalian Raja-rajanya)berkenaan dengan catatan sejarah tentang aktivitas bangasawan Bugis di kerajaan Johor sejak pertemuan mereka dengan orang Melayu-Johor pada 1700 dan berlanjut sampai 1740-an. Sedangkan karya sejarah disebut belakangan (Tuḥfat al-Nafīs) mengawali kisahnya tentang garis keturunan dan aktivitas orang-orang Bugis hingga akhir abad ke-19. (Muhammad Yusoff Hashim, The Malay Sultan of  Malacca, 1992, 24).

Ada dua jenis silsilah keturunan dipaparkan Raja Ali Haji yang saling bertaut dan dirajut satu dengan lainnya. Pertama, silsilah dan persebatian keturunan Yang Dipertuan Besar (Sultan) dari kalangan bangsawan Melayu yang berkedudukan di Lingga. Kedua, silsilah keturunan Yang Dipertuan Muda (YDM) dari kalangan bangsawan Bugis yang berkedudukan di Pulau Penyengat. (Mengenai silisilah tersebut selengkapnya, lihat, Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 8-33).

Pengungkapan kedua silsilah Melayu dan Bugis yang dipaparkan Raja Ali Haji baik pada Silsilah Melayu dan Bugis maupun Tuḥfat al-Nafīs penting untuk memberikan gambaran persebatian dan penyatuan kedua puak yang berbeda tersebut. Bahkan untuk memberikan legitimasi keberadaan peran dan fungsi orang-orang Bugis dan keturunannnya dalam struktur kekuasaan dan pemerintahan di kerajaan Johor-Riau-Lingga, agaknya, menurut Putten, menjadi ”kunci motivasi bagi penyusunan kedua karya Raja Ali Haji yang sangat terkenal…” itu. (Lihat, Jan van der Putten, A Malay of Bugis Ancestry: Haji Ibrahim’s Strategy of Survival,” dalam Contesting Malayness: Malay Identity Across Boundaries, ed. Timothy, J. Barnard (Singapore: Singapore University Press, t.t), 121; lihat juga, tulisan yang sama Putten, “A Malay of Bugis Ancestry: Haji Ibrahim’s Strategy of Survival,” dalam Journal of Southeast Asia Studies, vol. 32, no. 3 (Oktober 2001), 343).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh

Alimuddin Hassan Palawa,
Direktur & Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies) UIN Suska Riau.