Oleh Alimuddin Hassan Palawa
Terbunuhnya Sultan Mahmud Syah IIyang kejam dan sadis pada 1699 menandai berakhirnya keturunan dinasti Parameswara (Kerajaan Malaka) di kerajaan Johor. Sultan Mahmud II dibunuh oleh Megat Seri Rama, seorang panglima kerajaan Melayu-Johor. Di saat Megat Seri Rama melaksanakan tugas kerajaan untuk membasmi lanun, istrinya yang sedang hamil, mengidam menginginkan buah nangka dengan mengambil seulas buah nangka untuk dihidangkan buat sultan, tentu sebelumnya lewat persetujuan penghulu kerajaan. Mengetahui hal itu, sultan sangat marah dan memerintahkan untuk membunuh dengan membelah perutnya (yang sedang hamil). Karena perlakuan sultan yang sadis tersebut, suaminya, Megat Seri Rama sangat marah dan akan menuntut balas.
Dengan mendapat persetujuan dari Bandahara, Tun Habib — yang berambisi dinobatkan menggantikan sultan, di samping memang ia mendapat dukungan dari sebagian pembesar kerajaan– dan beberapa orang di kalangan kerajaan tidak senang dengan sikap sultan yang sadis. Akhirnya, Megat Seri Rama membunuh sultan sekembalinya dari shalat Jum’at. Namun, sebelum sultan tewas, ia sempat menyarangkan kerisnya ke tubuh Megat Seri Rama, dan keduanya pun meninggal. Kisah terbunuhnya Sultan Mahmud diungkapkan dalam Tuḥfat al-Nafīs, 10; Raja Ali Haji, The Precous Gift (Tuḥfat al-Nafīs ), terj. Anotasioleh Virginia Matheson dan Barbara W. Andaya (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1982), 9; Raja Ali Haji, Silsilah Melayu dan Bugis dan Sekalian Raja-rajanya(Johor Baharu, 1954), 13; R.J. Wilkinson, “Mahmud II dan Abdul Jalil III, 1685-1720 A.D.”, dalam JMBRAS, Vol. 9, Part 1 (1931), 28-34; Leonard Y. Andaya, The Kindom of Johor, 1642-1728: Economic and Political Developments (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1975); 186-187; Tennas Effendi dan Nahar Effendi, Lintasan Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura (Pekanbaru: BPKD Riau, t.t.), 13-15.
Dengan terbunuhnya Sultan Mahmud II (1699), tanpa meninggalkan keturunan, menandai berakhirnya garis geniologis dinasti kerajaan Malaka-Johor.Kekuasaan dinasti ini berawal pada memerintah di kerajaan Melaka, berawal dari Sri Tri Buana yang, konon, adalah salah satu pangeran yang muncul di Bukit Si Guntung (Palembang). Ketika dinasti ini berpindah ke semenanjung Malaya adalah Parameswara (1390-1414) salah seorang tiga dari serangkai penguasa pertama Kerajaan Melaka. Sementara lainnya adalah Megat Iskandar Syah (1414-1412) dan Sri Maharaja (1424-1414).Ketiganya merupakan penguasa peletak dasar bagi kokohnya kerajaan Malaka. Sedangkan disebut belakangan adalah penguasa kerajaan Melaka pertama memeluk agama Islam dengan gelar Sultan Muhammad Syah. Lihat, Barbara W. Andayadan Leonard Y. Andaya, History of Malaysia (London: Macmillan, 1982), 76-78; bandingkan Wang Gungwu, “The First Ruler of Malacca”, dalam JMBRAS, Vol. XLI (1968), 22.
Berdasarkan adat, apabila keturunan raja sudah putus, turunan Bendahara menggantikannya. Dengan begitu, naiklah Bendahara Sri Maharaja Tun Habib Abdul Jalil pada waktu itu menjadi sultan dengan memakai gelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah.Sebutan “Habib” pada awal namnya sama dengan sebutan “sayyid”. Sebutan “Habib” dipergunakan kerena ia merupakan keturunan (cicit) seorang Arab Hadramaut, yaitu Sayyid al-Idris yang semasa hidupnya menetap di kerajaan Aceh. D.G.E. Hall, A History of South-East Asia (London: Macmillan & Co Ltd, 1964), 328; Tengku Lukman Sinar, “Kepahlawanan Yang Dipertuan Muda Riau Raja Haji Fisabilillah Marhom Ketapang”, dalam Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji Fisabilillah Dalam Perang Riau Melawan Belanda (1782-1784) (Pekanbaru: Pemda Tk. I Riau, 1989), 135.
Akan tetapi, belakangan Raja Kecil tampil mengklaim dirinya putra Sultan Mahnud II sebagai keturuan langsung dan pewaris sah tahta Kerajaan Malaka-Johor. Mengenai figur Raja Kecil secara lebih lengkap, lihat Muhammad Yusoff Hashim (penyelenggara), Hikayat Siak, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajar Malaysia, 1985). Begitu pula, Raja Kecil dan peranannya dalam sejarah kerajaan Johor telah banyak dibahas, misalnya Leonard Andaya telah menulis buku dan sejumlah artikel tentang dia. Lihat, Leonard Y. Andaya, The Kindom of Johor, 1642-1728(Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1975), 250-314; Artikelanya, “Raja Kechil and the Minangkabau Conquest of Johor in 1718”, JMBRAS, Vol. 45, Part 2 (1972), 51-75; lihatjuga, Timothy P. Barnard, Raja Kecil dan Mitos Pengabsahannya, terj. Aladindan Al Azhar (Pekanbaru: PPM-UIR, 1994); R. Roolvink, “The Variant Vertions of the Malay Annals”, Bijdragen tot de Taal- Land en Volkenkunde (BKI), Deel 123, (1967): 301-324; belakangan dengan artikel R. Roolvink ini diterbitkan dalam C.C. Brown, (terj.), Sejarah Melayu, Malay Annals (Kuala Lumpur: Oxford University Press), 1970.
Taufik Abdullah, “The Formation of a Political Tradition in the Malay World” dalam Anthony Reid, The Making of an Islamic Discourse in Souteast Asia (Monash University, 1993), 52-53; M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Medern 1200-2004 (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001), 158-159. Sebelum terbunuh 1699, Sultan Mahmud II mempunyai seorang gundik bernama Enchik Phong sedang hamil. Khawatir kalau gundik sultan ini juga menjadi sasaran pembalasan, maka pihak keluarganya membawa Enchik Phong ke Singapura, lalu diungsikan ke Jambi dan pada akhirnya ditempatkan di istana Pagaruyung. Di istana inilah akhirnya gundik sultan tersebut melahirkan. Anak yang masih kecil itu, oleh ibunya, dititipkan dan dibesarkan di lingkungan kerajaan (istana) Pagaruyung yang belakangan diberinama Raja Kecil. Setelah dewasa, raja Pagaruyung memberitahukan kepadanya bahwa ia adalah anak Sultan Mahmud II yang terbunuh. Dengan begitu, RajaKecik –mengaku sebagai turunan dari Sultan Mahmud II– merasa kalau ia merupakan pewaris sah dari kerajaan Melayu Johor. Lihat, Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 13-14.
Dalam mewujudkan keinginannya mewarisi tahta kerajaan Johor, Raja Kecil menyusun kekuatan di Siak untuk melakukan invasi militer.Ada sumber yang menyebutkan bahwa awalnya Raja Kecil meminta bantuan dari opu-opu Bugis –yang pada abad ke-18 menunjukkan kuasanya di perairan barat Nusantara– untuk menyerang Johor. Raja Kecik menjanjikan, kalau Johor dapat ditaklukkan, Daeng Parani akan dilantik menjadi Yang Dipetuan Muda Johor. Akan tetapi, Daeng Parani kurang berkenan, seperti diungkapan Tuḥfat al-Nafīs: “Syahdan di dalam tengah bersiap-siap itu, maka adalah opu-opu anak raja Bugis pun tiba ke Bengkalis datang daripada mengembara, maka berjumpa ia dengan Raja Kecil. Maka Raja Kecik pun mengajak opu-opu itu melanggar Johor.Makaupu-upuitu pun berfikir, maka tiadalah berkebetulan dengan timu-timunya. Maka tiadaia mahu, lalu dialihkan hendak ke Langkat, hendak mufakat dengan Bugis di Langkat. Maka tiada jadi bantu-membantu itu.”Lihat, Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs (FajarBakti, 1982), 56; Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 42; Lihatjuga, R.O. Winstedt, “A History of Selangor”, dalam JMBRAS, Vol. 12, Part 3 (1932). Sebaliknya, Hikayat Siak menyebutkan bahwa sebelum menyerang Johor, Raja Kecil bertemu denga nopu-opu Bugis dan sepakat untuk menyerang Johor. Menurut Muhammad Yusoff Hashim, Raja Ali Haji, ketika mengutip Hikayat Siak sebagai sumber-rujukannya, telah mengubah dan memanipulasi, sehingga tertera dalam Tuḥfat al-Nafīs bahwa kesepakatan/pembicaraan untuk menyerang Johor tidak pernah terjadi di antara mereka. Lihat, Muhammad Yusouf Hashim, Hikayat Siak, 63 dan 124-125.
Dengan mendapat bantuan dari orang-orang Minangkabau dan orang-orang (suku) Laut, Raja Kecil berhasil menganeksasi Johor (pusat pemerintah kerajaan Melayu Johor). Pertama, dalam merebut dan menguasai Johor, Raja Kecil mendapat sokongan dan dukungan dari raja Pagaruyung, Minangkabau. Dari bantuan Raja Pagaruyung inilah Raja Kecil mendaptkan “Cap Kuasa” yang dapat dijadikan sebagai legitimasi kekuasaan untuk memerintah orang-orang Minangkabau yang ada di pesisir laut timur Sumatra. Misalnya, Tuḥfat al-Nafīs, menyebutkan:, “Maka lalulah diberi satu cap kuasa boleh memerintah anak Minangkabau di Pasisir Laut, konon. … Maka baharu ia mengeluarkan namanya dan kuasanya dan capnya. Maka lalu mengikuti segala anak Minangkabau yang Bengkalis.Lihat, Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 56-7; Leonard Y. Andaya, “Raja Kechil and the Minangkabau Conquest of Johor in 1718”, 51-75;
Kedua, dengan tanpa bantuan dari opu-opu Bugis Raja Kecil berhasil menaklukkan Johor dengan mendapat sokongan dari orang-orang Minangkabau dan Orang Laut.Orang Laut sebelum abad ke-17 menunjukkan kesetiaan penuh dan mempunyai peran penting dalam kerajaan Johor.Ketika Raja Kecil mengklaim dirinya sebagai pewaris keturunan Sultan Mahmud II, Orang Laut mendukunya karena mereka takut ditimpa “daulat” Sultan Mahmud II. Misalnya, Tuḥfat al-Nafīs menuturkan, “Syhadan adapun Raja Kecil setelah mustaid kelangkapannya, maka ia pun menyuruh ke Kuala Johor, dan ke Singapura, akan seorang menterinya pandai memujuk dan menipu-nipu memasukkan kepada hati rakyat dengan perkataan mengatakan ini sebenar-benarnya anak Marhum Mangkat Dijulang. Sekarang ini adalah ia hendak ke Johor, hendak mengambil pusakanya menjadi raja. Maka barangsiapa rakyat yang tiada mau mengikut, nanti ditimpa daulat Marhum Mangkat Dijulangitu,…” Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 56-57.
Pengaruh Orang Laut dalam kerajaan begitu besar karena jumlah mereka sangat banyak mencapai 6.500 orang serdadu. Ada dua peranan yang dimainkan oleh Orang Laut, yaitu sebagai pendayung dan pejuang dalam angkatan perang pemerintahan Johor; dan sebagai pengawal selat Malaka dan Singapura. Pemerintah kerajaan Johor sangat menghargai peran khusus Orang Laut ini dalam menggalakkan para pedangan mendatangi pelabuhan-pelabuhan Johor dan segaligus menghambat para pesaing ekonomi kerajaan, khususnya Belanda. Tugas yang dilaksanakan oleh Orang Laut dalam kerajaan Johor dalam kurun abad ke-17 dan pada awal abad ke-18 adalah sama dengan tugas yang mereka lakukan pada zaman Sriwijaya-Palembang pada abad ke-7 hingga abad ke-14. Mereka menjaga perairan selat Malaka pada masa itu menjadi urat nadi perdagangan dunia yang paling ramai dengan melindungi atau menyerang kapal-kapal yang melintasi perairan tersebut. Lihat, Leonard Y. Andaya, The Kingdom of Johor, 49-52
Akhirnya, Raja Kecil mengembalikan kedudukan semula Sultan Abdul Jalil Riayat Syah menjadi Bendahara. Sewaktu Raja Kecil berhasil menduduki pusat kerajaan, Sultan Abdul Jalil Riayat Syah meninggalkan kota Johor dan mengungsi pada suatu tempat. Dari sana Sultan meminta tanggapan dari para menteri-menterinya dan pembesar kerajaan yang masih setia kepadanya, “Apakah kita menyerang Raja Kecil di Johor atau menyerahkan diri kepadanya?” Para menteri dan pembesar kerajaan sepakat dan mengatakan, “sebaiknya sultan menyerahkan diri.” Ketika sultan tiba kembali di Johor, ia diperlakukan dangan baik oleh Raja Kecil, seraya berkata, “Ayahnda hendak saya jadikan bendahara semula.” Tidak lama setelah itu, Raja Kecil pun bertunangan dengan putri sulung sultan, bernama Tengku Tengah.
Namun, pertunangan itu tidak berlajut kepada jenjang perkawinan, lantaran Raja Kecil lebih tertarik dengan putri bungsu Bendahara yang baru pertama kali dilihatnya, bernama Tengku Kamariyah –pertama kali dilihat oleh Raja Kecil sewaktu Sultan beserta keluarganya berkunjung di kediaman Raja Kecil dalam rangka silaturrahmi pada saat hari lebaran Idul Fitri. Akhirnya, Raja Kecil mengawini putri bungsu Bendahara, Tengku Kamariyah. Atas perlakuan-perlakuan Raja Kecil tersebut –menurunkan kembali menjadi Bendahara dan pembatalan sepihak perkawinan salah seorang anaknya dan mengawini yang lainnya– Abdul Jalili tidak dapat berbuat banyak, selain terpaksa harus menyetujui kehendak Raja Kecil karena Abdul Jalil berada pada posisi lemah, tidak berdaya dan pada pihak yang kalah. (Lihat,Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 50; Timothy P. Barnard, “Taman Penghiburan: Entertainment and the Riau Elite in the Late 19 th Century”, dalam JMRAS, LXVII, Part 2 (Desember 1994),19. Lihat, Matheson, Tuḥfat al-Nafīs, Sejarah Melayu-Islam (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991), 189; bandingkan, Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 58).
Dalam kondisi kerajaan seperti itu, secara faktual agaknya kerajaan Melayu Johor mempunyai dua orang penguasa. Akibatnya, di tengah-tengah masyarakat terjadi perpecahan antara pengikut Raja Kecil dan Abdul Jalil. Karenanya, tidak lama berselang Abdul Jalil meninggalkan pusat pemerintahan Johor menuju dan tinggal di Terangganau selama tiga tahun sebelum akhirnya ia dan keluarganya beserta pengikutnya tinggal di Kuala Pahang guna menghimpun dan membangun pusat kekuatan. Sementara itu, Raja Kecil meninggalkan pusat pemerintahan kerajaan di Johor, sebelumnya bertitah kepada menteri-menterinya, “Ini negeri celaka, baiklah kita pindah ke Riau.” Mulai saat itu Raja Kecik membangun pusat pemerintahnnya di Riau, dan kerajaan ini secara resmi bernama Kerajaan Johor-Riau.
Ketika mengetahui aktivitas Sultan Abdul Jalil di Kuala Pahang, Raja Kecil memerintahkan Laksamana Sekam untuk menyampaikan pesannya, seperti tutur Laksamana, “Ampun tuanku, baiklah silahkan ke Riau karena pesan paduka ananda silahkan ayah ke Raiu. Maka pada kira-kira patik baik juga berangkat ke Riau….” Setelah itu, Sultan Abdul Jalil menjawab, “Jika sudah pikiran Laksamana balik kita ke Riau, maka ke Riaulah kita.” Namun tidak lama berselang, datang lagi utusan Raja Kecil membawa surat untuk Laksamana, berbunyi: “Janganlah Sultan Abdul Jalil dibawa ke Riau lagi, bunuhlah sekali, kita tahukan matinya saja.” Atas perintah Raja Kecil, akhirnya Laksamana pun membunuh Sultan Abdul Jalil, sementara keluarga (putra-putrinya) terselamatkan dari peristiwa itu. (Lihat, Virginia Matheson, Tuḥfat al-Nafīs, Sejarah Melayu-Islam, 178, 196-197; Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 67).
Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh