Oleh Alimuddin Hassan*
Definisi al-Isrāf secara etimologis (al-lugha, bahasa) adalah “berlebih-lebihan” dan “berfoya-foya”. Adapun definisi al-Israf secara terminologis (al-istilāḥ), Raja Ali Haji sendiri memaparkan: “Bermula ada israf ini beberapa macam setengah daripadanya berlebih-lebihan pada membuangkan harta yang tiada memberi faedah kepada syara’ dan kepada adat dan membanyak-banyakkan membuangkan harta pada pekerjaan lampau yang daripada adat dan daripada hajat sebab mengikutkan hawa nafsu shaitan.” (Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah, 61).
Raja Ali Haji mengingatkan bahwa penguasa selayaknya jangan mempergunakan harta kekayaan milik kerajaan yang tidak mendatangkan faedahnya bagi pengembangan agama dan ilmu-budaya. Penggunaan harta kekayaan kerajaan secara berlebih-lebihan disertai hidup pola berpoya-poya pada umumya terjadi “sebab mengikutkan hawa nafsu shaitan.” Ungkapan terakhir Raja Ali Haji menunjukkan bahwa hidup berlebih-lebihan adalah kesukaan shaitan. Maka sesorang yang mengikuti pola hidup boros, berlebih-lebihan dan berpoya-poya berarti berteman dengan shaitan. (Q.s. al-Isrā’ [17]: 27). Padahal, sebaliknya, Allah sendiri tidak menyukai orang-orang yang hidup berlebih-lebihan. ((Q.s. al-A‘rāf [7]: 31).
Agama melarang segala bentuk hidup berlebih-lebihan/pemborosan, jangankan dalam hal yang buruk atau tidak bermamfaat, dalam hal yang baik pun dilarangnya, sabda Rasul Allah: “Tiada pemborosan dalam kebaikan dan tiada kebaikan dalam pemborosan.” (Lihat, M. Quraish Shihab, Dia di Mana-mana: “Tangan” Tuhan di Balik Semua Fenomena, 2011: 356). Maka hendaknya harta benda itu dipergunakan sesuai dengan keperluan dan kebutuhan. Jangan karena memperturutkan rasa malu demi mengangkat marwah, “tiba-tiba dibuanglah belanja dengan yang amat banyak harta.” (Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah, 61).
Raja Ali Haji menasehati penguasa dan pemebesar kerajaan agar harta itu hendaknya dipergunakan untuk kepentingan sendiri (dan keluarga) dengan “tiada sampai sarafun”. (Raja Ali Haji, Muqaddimah fī al-Intiẓam, 13). Harta benda kerajaan seyogyanya dipergunakan secara benar dan sesuai peruntukannya sejalan ketentuan agama dan adat yang luhur. Kalau tidak, harta benda kerajaan menjadi terkuras habis dan “terkadang bisa membinasakan kerajaan”, terutama apabila ada keperluan besar dan mendesak untuk kebutuhan kerajaan dan untuk kepentingan pembangunan dan kesejahteraan rakyat.
Pada bagian lain dalam Thamarāt al-Muhimmah, Raja Ali Haji menjelaskan bahwa penguasa tidak diperkenankan untuk mempergunakan perbendaharaan kekayaaan milik kerajaan untuk tujuan memperturutkan dorongan hawa nafsu shaitannya. Sekiranya penguasa tetap melakukannya, maka penguasa bersangkutan itu pada gilirannya “tiada hirau akan suatu daripada harta dan alat senjata dan tanaman dan rumah kampung.” (Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah, 61).
Lebih lanjut, Raja Ali Haji memberikan penjelasan rinci tentang akibat-akibat ketidakpedulian penguasa terhadap masalah ini: “Adapun harta benda dibiarkan rusak binasa dimakan ulat dan semut atau dibiarkan pecah belah tiada dihiraukan. Adapun senjata dibiarkan rusak dimakan karat serta tiada ditentukan orang memeliharakan. Adapun kampung halaman rumah tangga biarkan cemar-cemar dan sampah. Adapun tanam-tanaman dibiarkan rusak binasa dimakan ulat dan tiada digemukkan dan tiada dibuang rumputnya. Maka segala yang tersebut itu setengah daripada makna israf juga.” (Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah, 62).
Raja Ali Haji merasa perlu untuk mengingatkan kepada penguasa dan pembesar kerajaan untuk tidak berlebih-lebihan dan berfoya-foya dalam kehidupan materi “supaya jangan hilang “‘izzahnya” (kemuliaan, kehormatan, harga diri atau marwah). Peringatannya ini menjadi penting mengingat gaya hidup penguasa/raja atau pangeran di istana dalam rentang sejarah (kekhalifahan Islam) yang selalu memiliki dua ciri utama.
Pertama, bahwa kehidupan istina diwarnai prilaku pesta pora dan foya-foya dengan bergelimang harta dan meteri melimpah serta makan dan minum yang bercita rasa lezat tiada tara. Kedua, bahwa kehidupan seksual di lingkungan istana dengan dikelilingi wanita-wanita muda serta cantik yang kadang jumlahnya tidak terkirakan banyaknya sejalan dengan era perbudakan dan perseliran pada masanya.
Dapat dikatakan bahwa kehidupan mewah dan berfoya-foya, bergelimang materi dan kehidupan seksual yang sedemikian marak telah berlaku secara umum di kalangan istana dalam pentas sejarah anak manusia. Fenomena kehidupan istana semacam ini juga menimpa kekhalifahan Islam, tidak terkecuali di kalangan kesultanan Melayu-Nusantara, dan termasuk Kesultanan Riau-Lingga, kendatipun kadarnya yang agak berkurang.
Oleh karena itu, Raja Ali Haji sendiri mengungkapkan dengan gamblang fenomena umum tentang kehidupan penguasa di istana bergelimang materi serta kehidupan seks rada bebas: “… jadilah ia mengikuti hawa nafsunya tiada tahu akan halal dan haram, dosa dan pahala, sah dan batal; serta melalaikan ia daripada memenuhkan perutnya dengan makanan yang lezat-lezat. Dan membatalkan akal cerdiknya dengan membanyakkan sekedudukan dengan perempuan sebab memenuhi syahwatnya; serta rakus dan lobanya pada beristri dan bergundik, sehingga berjalanlah segala asykarnya segenap dusun dan kampung-kampung rakyatnya mencari perempuan yang baik-baik rupa supaya memenuhi nafsu syahwat rajanya.” (Lihat, Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah,70).
Dari kutipan di atas tampak jelas sekali bagaimana kepiawaian Raja Ali Haji mengambarkan kebobrokan kehidupan raja/ penguasa di istana. Dengan hanya memperturutkan hawa nafsu hedonismenya yang berpangkal di perut, seperti kata Raja Ali Haji dalam Gurindam Dua belas:
Apabila perut terlalu penuh
Keluarlah fi’il yang tidak senonoh.
Dengan “makanan yang lezat-lezat”, penguasa melabrak ajaran agama tanpa memperdulikan halal-haram dan baik-buruk; dan dengan hanya memperturutkan hawa nafsunya yang berpangkal “sejengkal” di bawah perut dengan “membanyakkan sekedudukan dengan perempuan”, penguasa mencederai adat-budaya tanpa melihat benar-salahnya dan patut atau tidaknya.
Pada bagian akhir dari kutipan di atas, Raja Ali Haji mengkritik prilaku penguasa yang memerintahkan tentaranya agar mencarikan wanita-wanita cantik atau gadis-gadis muda belia sampai ke pelosok kampung/desa di seantero negeri untuk dijadikan istri atau gundik demi memuaskan syahwat (birahi seksual) syaitaniahnya.
Pada galibnya, adat-istiadat pada umumnya dan pandangan Raja Ali Haji pada khususnya dapat mentolerir kalau raja/ penguasa dan bahkan keluarga kerajaan (kerabat raja) hidup berpoligami (banyak istri) dan memiliki sejumlah gundik. Akan tetapi, istri dan gundik harus didapatkan dengan jalan patut (tidak memaksa) dan jumlah yang dibenarkan agama [jumlah maksimal empat istri] dan layak menurut adat-istiadat [bilangan gundik]. Raja Ali Haji sendiri, sebagai keturunan raja di kerajaan Riau-Lingga, tidak saja memiliki istri empat sebagai batas maksimal bagi seorang lelaki untuk menikahi wanita, tetapi ia juga memiliki selir (meskipun tidak ada data yang menyebutkan berapa jumlah selirnya).
Raja Ali Haji sendiri menyebutkan bahwa dalam usianya yang sudah tidak muda lagi masih mengambil seorang gadis muda untuk dijadikan gundik/selir. Prihal ini dikemukan kepada Von de Wall supaya sahabatnya dapat membantu mengatasi penyakit lemah syahwatnya, seperti dikemukakan dalam suratnya pada 24 Desember 1869:
“Ini satu susah, akan tetapi rahasia kitalah kepada paduka sehabat kita, yaitu syahwat kita inilah yang kurang benar2. Allah Allah, tiadakah obat daya upaya dokter di situ lagi. Sebab kita jika sudah rusak ini apa gunanya lagi dunia ini. Jadi susah kita, lebih daripada susahkan penyakit. Bagaimanakah kiranya ikhtiar paduka sahabat kita memberi ikhtiar kepada kita. Istimewa pula ini baharu pula kita dapat satu gundik budak muda. Maka hal kita inilah, itulah yang susah kita.”(Lihat, [Surat 31 Juli 1872] Putten dan Al-Azhar, Di Dalam Berkekalan Persahabatan, 115).
Setelah itu, Raja Ali Haji mengingatkan penguasa untuk memperhatikan beberapa hal penting kalau memang ingin/sudah memiliki istri dan gundik (apalagi lebih dari satu), seperti ungkapnya:
Bergundik berbini tiada salah
Asalkan jangan lupakan Allah
Mendirikan ugama jangalah lelah
Barang yang harus diperbuatlah.
Dari syair di atas tampaksekali Raja Ali Haji memberikan “prasyarat” yang tidak gampang. Bagi penguasa dan pembesar kerajaan atau bagi siapapun bahwa tidak salah memiliki istri-istri dan gundik-gundik dengan beberapa “asalkan” (pertimbangan yang mengiringinya).
Pertama, ungkapan “asalkan jangan lupa Allah” secara “langsung” atau tersurat bermakna janganlah gara-gara istri-istri/gundik-gundik itu menjadikan seorang suami melupakan Allah. Dengan kata lain, antara ia disibukkan oleh istri-istrinya membuatnya mengabaikan kewajiban-kewajiban kepada Allah. Lebih dari itu, prase “asalkan jangan lupa Allah” secara “tidak langsung” atau tersirat dapat bermakna bahwa dengan senantiasa ingat pada Allah (zikrilāAllāh) dengan dasar iman yang kokoh dan sejati kepada-Nya disertai dengan pemahaman agama yang baik maka seorang akan memperlakukan istr-istrinya itu dengan baik (ma‘āshira bi al-ma‘rūf) selaras dengan tuntunan agama. Dengan demikian, keimanan semacam ini menjadi azas bagi pembentukan etika/akhlak bagi siapapun, termasuk bagi penguasa dan pembesar kerajaan dalam membina hubungan keluarga yang tenteram dan damai (sakīnah) dalam liputan cinta “mawaddah” dan cinta “rahmah”.
Kedua, asalkan “mendirikan ugama janganlah lelah” bermakna bahwa penguasa dan pembesar kerajaan senantiasa menjalankan ibadah dan tuntunan agama dengan telaten dan sungguh-sungguh. Ibadah yang dimaksud bukan saja berkaitan dengan ibadah mahdah, seperti mendirikan salat, menjalankan puasa bulan ramadhan, mengeluarkan zakat dan menunaikan ibadah haji. Akan tetapi, ibadah gayr mahdah termasuk di dalamnya menjalankan kekuasaan dengan baik dan benar, seperti memimpin dengan adil, mengupayakan kesejahteraan rakyat dan membangun sarana prasarana jalan, pendidikan, tempat ibadah dan lainnya juga dapat dikategorikan sebagai “mendirikan agama”.
Ketiga, asalkan “barang yang harus diperbuatlah” maksaudnya dalh menjalakan tugas dan kewajiban serta amanah yang semestinya dilakukan oleh penguasa dalam mencapai tujuan keberadaan negara. Tujuan keberadaan negara itu, yaitu agar masyarakat sejahtera dan makmur hidup di dunia; dan bahagia dan damai hidup di akhirat. Jadi, penguasa bukannya menghabiskan waktu dengan larut bersama-sama istri dan gundiknya dalam memuaskan hawa nafsu mereka di malam hari. Sementara pada siang harinya terlelap tidur karena semalaman bergadang (“berasyik-mausyuk” dengan istri dan gundiknya), lalu kapan waktunya “barang yang harus diperbuatlah” sebagai seorang pemimpin.
Himbauan Raja Ali Haji itu dan seruan sejumlah ulama semacam itu sebelumnya secara umum, sepertinya, sulit untuk direalisasikan oleh penguasa dalam sepanjang sejarah kekhalifahan Islam –tanpa bermaksud menafikan sejumlah khalifah yang memang baik dan bijaksana. Mengingat gambaran nyata hampir merata prihal kehidupan penguasa nota bene muslim, tetapi prilakunya tidak bermartabat dan bermarwah. Ironisnya, sebagian mereka mengklaim dirinya sebagai “khalīfah Allāh fī al-arḍ” (“wakil Allah di bumi”) dan memproklamasikan kekhalifahan berasaskan Islam.
Padahal, dalam kenyataannya penguasa semacam itu acap kali tidak menjadikan dirinya sebagai wakil Allah.Dan klaimnya bahwa Islam sebagai asas kekhalifahannya hanya sekedar “alat” untuk menjastifikasi prilaku mereka tidak islami (praktek-praktek aspirasi jahiliyah). Dengan kata lain, klaim khalifah berasas Islam adalah demi melanggengkan kekuasaan dalam genggaman yang memang mengasayikkannya, sebagaimana bisikan syaithan kepada Adam: wamulklāyablā (dan kekuasaan yang tidak akan binasa).(Q.s. Ṭāhā [20]: 120).
Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.