Institute for Southeast Asian Islamic Studies (ISAIS) UIN Sultan Syarif Kasim Riau meyelenggarakan kegiatan diskusi bersama Musyrif dan Musyrifah Ma’had Al-Jami’ah UIN SUSKA Riau dengan tema Memahami Islam Jalan Tengah Antara Legal Spesifik dan Moral Ideal yang dilaksanakan pada hari Minggu, 26 Juli 2020, mulai pukul 20.00 secara online via zoom.
Pada diskusi kali ini, ISAIS mendatangkan narasumber dari dosen UIN SUSKA Riau yaitu bapak Dr. Alimuddin Hassan, M.Ag. yang dimoderatori oleh Heru Lesmanda, S.Ag.
Setelah ayat ihdinnashirotolmustakim shirotollazina’anam ta’alaihim ghoiril maghdubi pemuda akhirin selalu mengatakan bahwa bukan orang yang kau murkai walladhollin dan bukan pula orang yang sesat. Yang dimaksud maghdub disini yahudi. Sementara dhollun adalah orang Kristen. Jadi kehadiran Islam beberapa abad yang lalu tidak lagi berjalan dengan baik karena yang satu terlalu keras dan yang satu terlalu lembek, maka hadirlah islam didayun dikarang yang lembek.
Orang Yahudi, itu Taurat diturunkan kepada dia dinasti Fir’auni di Mesir, sehingga mereka tidak memiliki inisiasi, tidak memiliki kemerdekaan ketika mereka dihimbau memeluk agama yang dibawa oleh nabi Musa akhirnya mereka tidak punya inisiatif dan tidak punya kebebasan karena sudah terpoles sedemikian rupa sehingga yang diturunkan Taurat. Taurat itu sendiri artinya hukum serba keras.
Singkatnya sehingga ketika kita cermati didalam Al-Qur’an beberapa ayat yang selalu ketika Allah menegur orang Yahudi kenapa engkau mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan oleh Allah lalu dengan keras mereka mengatakan didalam Al-Qur’an menyebutkan ketika mereka dicederai dengan hidung maka hidung balas hidung dan darah dibalas darah dan seterusnya. Melihat kondisi ini, lalu kemudian Allah mengutuskan Nasi Isa a.s tetapi belakangan umat Nabi Isa itu singkat kata terlalu lunak menjadi manusia yang lembek, bahkan ada yang mengatakan andai kata orang kristiani di Eropa tidak mengisi budaya-budaya dari Romawi yang ada hukum ada undang-undang dan peraturan sebagainya, maka mereka sungguh menjadi orang yang sangat lembek bahkan harta sekalipun mereka mewarisi itu dari Romawi tetap saja mereka premisif dari segi etika dan seterusnya.
Oleh karena itu, ketika kondisinya seperti itu, maka diutuslah Nabi Muhammad SAW untuk mendayung diantara dua buah pemahaman antara Yahudi dan Kristen yang kita pahami yang satu keras yang satu adalah terlalu lembek. Kemudian masuk ke skema yaitu pengkajian dan pengajian adalah dua hal yang berbeda. Kata “ngaji” itu selalu terkait dengan bacaan-bacaan terhadap kitab suci, terhadap mantra-mantra. Berbeda pula dengan kaji. Kata “kaji” itu adalah upaya untuk melakukan eksplorasi secara rasional. Sementara mengaji itu terkait dengan kitab suci. Kita boleh tidak setuju dengan pembagian kata-kata kaji dengan ngaji. Lalu mengaji itu selalu bersifat normatif bersifat absolut pada akhirnya al-khair, sementara mengkaji itu selalu didekati dengan historis ilmiah pemahaman-pemahaman yang ada didalamnya relatif pada ujung-ujungnya dibawahnya itu kita kenal dengan ma’ruf sesuatu yang dikenal baik.
Al-Khairu dimanapun dan kapanpun oleh siapapun pasti benar pasti baik. Mengaji sebagaimana kita ketahui konteksnya dengan kitab suci Al-Qur’an. Mengaji Al-Qur’an sebagaimana waktu kita kecil kita mendapat definisi apa itu mengaji Al- Qur’an atau Al-Qur’an adalah diantaranya sebuah kalam Allah yang diturunkan oleh Allah dan disampaikan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril dan disitu ada penjelasan bahwa berpahala bagi orang yang membacanya. Makanya misalnya ketika kita membaca Al-Qur’an Alif Lam Mim disebutkan bahwa satu huruf itu menandakan ada sepuluh pahala dan alif lam mim berarti tiga puluh pahala seterus dan seterusnya.
Kesimpulannya adalah ada pada misalnya mengaji merangkai huruf-huruf dan kata-kata dan kalimat-kalimat ayat-ayat dalam Al-Qur’an itu mengaji. Kemudian yang level kedua adalah bagi bapak-ibu kita dibulan Ramadhan itu orang-orang rajin sekali mengaji mungkin kita juga rajin membaca demi mendapatkan pahala, itu juga dalam konteks mengaji yang lebih serius ketimbang kita membaca ketika kecil membaca Iqra’ mengaji juga. Lalu juga di posisi yang ketiga adalah mengaji dalam konteks majelis ta’lim. Disitu kita tidak diberi hamparan tentang kebenaran-kebenaran. Seorang ustadz atau ustazah itu menyampaikan materinya dengan tidak memberikan peluang kepada audiencenya untuk memberikan alternatif, berbeda misalnya kita mengkaji berkaitan dengan lembaga pendidikan.
Secara umum membedakan antar lembaga pendidikan dengan lembaga dakwah. Mungkin untuk persentasinya untuk perguruan tinggi misalnya UIN mungkin misi dakwahnya tetap harus ada karena ada uinnya islamnya tetapi jika itu yang mendominasi itu juga tidak benar. Kemudian juga kajian-kajian yang ada dimajelis ta’lim, kalau begitu masjid-mesjid yang dilakukan oleh ibu-ibu tersebut yang disitu tidak ada alternatif kebenaran pokoknya mereka ingin “mengaji pendek” ketika mereka pulang mereka ingin menerapkannya.
Di perguruan tinggi kita harus memahaminya dengan kritis kita harus memahaminya dengan melihat segala sesuatunya. Lebih lanjutnya bahwa, mengaji itu selalu berkait harfiat tekstual. Sementara mengkaji itu terkait dengan maknawi kontekstual. Lalu kemudian harfiat tektual itu bersikap skriptural lalu kemudian legal spesifik.
Legal spesifik itu bersifat ta’abbudi. Ketika dia bersifat ta’abbudi dia akan bersikap pundamental. Sebaliknya mengkaji itu kita biasanya melihat makna kontekstualnya lalu bersifat substansial. Yang diberikan penekan disini adalah moral idealnya, lalu kemudian dengan moral idealnya mau tidak mau kita akan melihat pada akulnya. Dan terakhirnya terus di ikuti oleh orang itu maka akan bersifa liberal. Ada masanya kita harus memahami Al- Qur’an secara kontekstual, disatu sisi ada masanya kita juga harus memahami Al-Qur’an secara maknawi kontekstual.
Secara umum, orang yang memahami Al-Qur’an hanya sebatas kontekstual maka dia akan memahami Al-Qur’an secara sinjular. Sinjular itu hitam-putih, lalu dia kan bersikap eksklusif lalu kemudian dia ekstrim. Sebaliknya, orang yang melakukan pengkajian dengan melihat secara prurar bahwa kebenaran-kebenaran alternati-alternatif. lalu bersifat inklusif, pada bagianya akan bersifat moderat.
Kalau hanya pemahaman kita terhadap Al-Qur’an tekstual boleh jadi ketika kita memahami sesuatu. Ketika kita memahami satu konteks Al-Qur’an hanya satu, maka itu akan membuat kita menjadi eksklusif jadi ekstrim. Dengan demikian, biasanya orang itu memiliki pemahaman yang sempit lalu kemudian taklid maka pada ujungnya orang itu akan fanatik. Sebaliknya orang yang memahami Al-Qur’an secara prural, tidak memahami satu makna tertentu dari Al-Quran itu hanya tunggal tetapi memahami begitu banyak maknanya, lalu kemudian dia akan bersikap inklusif dan moderat biasanya orang itu lapang dada, kritis lalui memaknai ijtijad itu terbuka luas maka ujung-ujungnya akan menjadi toleran.
Karena ini berbicara tentang Nash Al-Qur’an dan Hadits, maka saya ingin menggunakan metode fashlurahman ketika ia menggunakan untuk memahami sebuah teks kitab suci Al-Qur’an dan juga sebelumnya tentang Hadits. Misalnya soal Hadits, hadits itu menurut fashlurahman ataupun sunnah secara realitas adalah berevolusi secara historis. Karenanya boleh jadi berevolusi dimasa yang akan datang. Secara actual secara sunnah, Nabi itu dihidupkan oleh sahabat Nabi dan pada masa Tabi’in. adapula ijma’ dikalangan mereka ada ijtihad dikalangan mereka yang memaknai sunnah nabi itu dilakukan oleh para ulama-ulama pada masa itu.
Penulisan hadits secara besar-besaran pada abad kedua setidaknya menumbuhkan persebatian antara sunnah nabi yang hidup dengan upaya yang dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in konteksnya mereka adalah ulama-ulama besar pada waktu itu terkait dengan ijma’ dan ijtihad ulama itu kita lihat dalam sejarah adab ke empat, abad ke sepuluh masehi empat hijriyah sudah tertutup karena mereka tidak lagi membiarkan sunnah nabi itu hidup. Contohnya dalam banyak kasus sebut saja misalnya kasus kekerasan rumah tangga dimana suami sedemikian dominan dan seterusnya, mari kita menghidupakan sunnah Nabi dalam satu sisi dan kemudian di sisi lain mari kita kembangkan dalam konteks menghidupkan uapaya nabi mengangkat derajat wanita untuk ukuran waktunya amat sangat revolusioner tetapi jika itu saja tidak kemudian dihidupkan dimasa yang akan datang maka tertinggal dalam konteks banyak hal yang harus dikembangkan dari sunnah nabi yang misalnya nabi saw menghidupkan sebuah bunga di sebuah pot, kemudian disiram oleh rasullah dan sahabatnya dikembangkan, lalu kemudian ketika kita hidup dizaman sekarang kita juga harus mengembangkan dan menyiram kembali pot bunga ini lalu kemudian tumbuh mekar dan seterusnya.
Kemudian yang kedua, didalam memahami Al-Qur’an singkat kata menggunakan fashlurahman yaitu gerak ganda singkat kata bahwa gerak ganda yang dimaksudkan adalah gerak pertama kita berada sekarang lalu kemudian kita bergerak menuju dimana Al-Qur’an ketika Rasulullah masih hidup lalu kemudian kita lihat situasi dan kondisi pada masa itu. Setelah kita memahami kondisi pada waktu itu kenapa pada waktu itu Al-Qur’an itu turun bukankah kita selalu memahami dari awal bahwa AlQur’an tidak turun dalam ruang yang hampa Al-Qur’an turun untuk merespon. Kemudian kita loihat konteksnya dalam rangka apa untuk meresponnya, lalu kemudian kita bawa situasi itu tarik kezaman sekarang, apakah zaman sekarang itu dari situ kemudian kita bisa memahami Al-Qur’an secara kontekstual. Kenapa pemahaman Al-Qur’an secara kontekstual itu sangat penting?
Contoh yang sangat sederhana misalnya nabi mengatakan Laisallunnaahadukumul asar ila fi bani quraiza janganlah ada seseorang diantara kamu sholat ashar dikampungan bani quraiza. Nah sahabat setidak-tidaknya memiliki dua pola didalam memahami hadits nabi ini. Yang satu mengatakan secara harfiah secara tekstual nabi mengatakan menghendaki agar kita tetap sholat meskipun sholat ashar itu berakhir magrib masuk diperkampungan bani quraiza. Itu merupakan makna teksnya. Tetapi ada juga sahabat yang mengatakan bahwa maksud nabi meminta kita untuk bergegas agar kita cepat kita sampai waktu ashar tidak habis sampai kita diperkampungan bani quraiza. Jadi, dua pemahaman itu rasulullah sangat bijak ketika itu sampai kepada mana yang salah mana yang benar tidak ada yang salah semua benar kata rasulullah tergantung pemahaman. Yang kedua sangat dekat dengan kita contoh nya ada diantara kita yang pernah tinggal dimesjid waktu diminta oleh pengurus masjid untuk memprint out sebuah kalimat misalnya “maaf mohon HP tidak di nonaktifkan”. Nah kita harus melihat konteks nya adalah teks ini dimaksudkan untuk sholat berjama’ah. Tetapi diluar jam sholat berjama’ah teks tersebut tidak terlalu berarti.