TALKSHOW ISAIS UIN SUSKA RIAU DI RADIO SUSKA 107,9 FM BERSAMA IMAM HANAFI, MA.

TALKSHOW ISAIS UIN SUSKA RIAU DI RADIO SUSKA 107,9 FM BERSAMA IMAM HANAFI, MA.

Talkshow ISAIS UIN SUSKA RIAU hari ini bersama sekretaris ISAIS, yaitu Imam Hanafi, MA. Talkshow di radio suska 107,9 FM diadakan pada kamis, 13 Februari 2020 seperti biasanya pukul 10.00 s/d 11.00 WIB. Obrolan pagi ini dengan topik “Kembali kepada Qur’an dan Sunnah, Mungkinkah?”. Materi ini diulas secara detail dan menarik tentunya.

Dalam diskusi pada hari jumat tanggal 24 Januari 2020 di ISAIS yang lalu, salah seorang peserta diskusi memberikan catatan penting terkait dengan pelaksanaan moderasi beragama yang sedang didiskusikan. Dalam catatannya, ia menyatakan bahwa tolak ukur atau indicator implementasi moderasi beragama seharusnya adalah mengacu kepada Alquran dan Sunnah. Tanpa menyandarkan diri pada kedua sumber hukum Islam tersebut, maka moderasi beragama akan keluar dari Islam. “Bukankah dalam setiap beribadah, kita dituntut dan diharuskan untuk mengikuti apa yang sudah digariskan oleh Allah swt dalam Al-Quran dan apa yang sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw melalui riwayat-riwayatnya? Begitu lah kira-kira pernyataan keras dari pertanyaannya.

Pertanyaan ini sesungguhnya bukan hal yang baru dalam konteks kajian Islam di Indonesia atau dalam Islam sendiri. Karena, sejak dulu kita sering mendengar jargon kembali ke Alquran dan Sunnah. Jika anda mau ber-Islam secara benar, maka kembalilah kepada Alquran dan Sunnah. Demikian kira-kira anjuran mulia itu.

Dalam Alquran sendiri, memang Allah telah menyebutkan dengan tegas bahwa “Fa in tanaaza’tum fii syai’in farudduuhu ilallah wa rasuulih“, apabila kalian semua berselisih tentang sesuatu hal, maka kembalikanlah kepada petunjuk Allah dan Rasulnya. Atau Hadits Nabi yang menyebutkan “Aku tinggalkan kepada kalian dua pusaka yang kalau kalian berpegang teguh kepadanya kalian tak akan tersesat, yaitu kitab Allah dan sunnah Rasulullah

Ketika Nabi Muhammad masih segar bugar, masih menerima wahyu dan menyampaikan risalah, maka semua orang bisa bertanya langsung kepada beliau. Semua persoalan selesai, ketika Nabi ada. Kalaupun Nabi tidak bisa menjawab, Nabi Muhammad langsung bertanya kepada Allah, turun wahyu. Selesai. Namun, ketika Nabi wafat, kita tidak dapat lagi langsung bertanya kepada beliau.

Persoalannya kemudian adalah kepada siapa kita harus menanyakan sesuatu yang hari ini kita pesrselisihkan? Apakah kita harus “menelan mentah-mentah” apa yang terjadi pada masa nabi untuk kondisi kita pada saat ini? Atau kita cari orang yang memiliki otoritas ke-Islaman, dan memintanya untuk menjelaskan? Lantas bagaimanakah cara menyatakan bahwa apa yang disampaikannya itu benar-benar sudah sesuai dengan Alquran dan sunnah tersebut? Kapan sebuah pemahaman yang kita berikan atas Alquran dan Sunnah ini, benar-benar seusai dengan apa yang dikehendai oleh Alquran dan Sunnah itu sendiri?

Banyak pertanyaan saya kira terkait dengan hal itu. Makanya ada yang “aneh” dalam jargon kembali kepada Alquran dan Sunnah ini. Bagaimanapun Alquran dan Sunnah adalah teks. Karena ia teks, maka ia dengan sendirinya tidak bisa bicara. Ia akan berbicara ketika ada yang membaca dan menafsirkannya. Nah, ketika orang membaca atau memahami Alqur’an, maka pada dasarnya “otak” si pembaca lah yang berbicara. Si pembaca secang menafsirkan Alquran.

Secara historis, kondisi itu sudah pernah disampaikan oleh Ali bin Abi Thalib. Sebagaimana disebutkan dalam tarikh Ath Thabari, bahwa pada suatu hari sekelompok kaum Khawarij mendatangi Ali bin Abi Thalib. Mereka protes dan mengkritik Ali, karena Ali dianggap menyelesaikan suatu perkara dengan hukum buatan manusia, bukan hukum Allah.

Melihat hal itu Ali kemudian meletakkan sebuah mushaf Alquran di depan orang khawarij tersebut, seraya berkata “Hai Alquran, bicaralah!”. Prilaku Ali ini tentu menuai kebingungan di kalangan Khawarij, “Hai Ali, kamu gila ya?” begitu teriak mereka. “Mana mungkin Al Quran bisa berbicara sendiri?”. Mendengar hal tersebut, lalu Ali, “Wa inna haadzal quraan, khattun mastuurun baina daffatayini laa yanthiq, innamaa yatakallamu bihii ar rijaal” (Sesungguhnya Alquran ini hanyalah tulisan yang diapit dua sampul, tak dapat berbicara, yang berbicara adalah pembacanya).

Oleh karena itu, point penting dalam konteks ini adalah bahwa Ali bin Abi Thalib ingin menegaskan dan menunjukkan jika Alquran itu hanyalah teks biasa dan tidak mungkin bisa bicara sendiri. Alquran akan hidup, jika dibaca dan dipahami. Pembacaan dan pemahaman atas Alquran inilah yang disebut dengan tafsir. Karena ia pemahaman orang, maka ia menjadi tidak mutlak kebenarannya. Orang bisa berbeda-beda dalam membaca dan memahami Alquran.

Perbedaan dalam memahami Alquran ini bisa dipengaruhi oleh banyak factor. Bisa factor pendidikan; factor social budaya; factor psikologi; dan lain sebagainya, tergantung pada kondisi yang terjadi pada diri si Pembaca. Maka jangan heran, jika pembacaan satu orang dengan yang lain atas satu ayat atau satu teks, akan berbeda satu sama lainnya.

Pada tataran ini, bukan Alquran atau sunnahnya yang lemah atau salah, melainkan karena pemahamannya yang beragam. Wallahu A’lam

Imam Hanafi adalah Sekretaris Institute for Southeast Asian Islamic Studies (ISAIS) UIN Suska Riau

TALKSHOW ISAIS UIN SUSKA RIAU DI RADIO SUSKA 107,9 FM BERSAMA Dr. ALIMUDDIN HASSAN, M.Ag

TALKSHOW ISAIS UIN SUSKA RIAU DI RADIO SUSKA 107,9 FM BERSAMA Dr. ALIMUDDIN HASSAN, M.Ag

ISAIS UIN SUSKA RIAU mengadakan talkshow di radio suska 107,9 FM. Talkshow ini diadakan pada kamis, 06 Februari 2020 tepatnya pukul 10.00 s/d 11.00 WIB. Talkshow pertama ini bersama Direktur ISAIS yaitu Alimuddin Hassan Palawa yang menyampaikan harapan dan impian ISAIS. Beliau memaparkan mengenai kajian Islam Inklusif, Moderat, Plural dan Toleran.

Perdebatan dan kontroversi yang menimpa ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies) setahun lebih silam dalam pelaksanaan kegiatan ilmiah yang mencuat itu, terkait-nyata dengan persoalan pemahaman keagamaan demi keutuhan bangsa.

Pemahaman keagamaan yang dibutuhkan oleh bangsa adalah inklusif, moderat, plural dan toleran, dan bukannya pemahaman keagamaan yang ekslusif, estrim dan singular (hitam-putin), dan radikal. Pemahaman keagamaan yang disebut pertama tadi, seharusnyabdipelajari dan diteladani dari dua figur Guru Bangsa, yaitu (allahumma yarham bagi keduanya), Gus Dur dan Cak Nur.

Sekiranya pemahaman keagamaan yang diajarakan oleh kedua Guru Bangsa itu tidak dituruti, alamat bangsa ini akan bubar. Mengingat masalah ini terkait dengan kelangsungan hidup negara-bangsa, pemahaman ekslusif, ekstrim dan singular (hitam-putin), dan radikal harus menjadi musuh bersama. Artinya, kalau pemikiran ini terus dibiarkan dan bahkan didoktrinkan kepada warga negara, apalagi kepada warga kampus, maka negara bangsa ini siap-siap sajalah untuk “tutup buku” atau gulung tikar! Demi kelangasungan hidup berbangsa dan bernegara, pemahaman keagamaan semacam ini harus disingkirkan, terutama dalam kehidupan warga kampus yang memang seyogyanya menjunjung tinggi nilai-nilai akademik-ilmiah.

Keberadaan ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies) sebagai bagian dari warga kampus UIN Suska Riau ingin tetap menjadi pengusung pemikiran dan pemahaman keagamaan yang inklusif, moderat, plural dan toleran, seperti disebut di awal tadi. Kalau ada orang tertentu di kalangan warga kampus yang membeci ISAIS dalam mengusung pemikiran dan pemahaman Islam dimaksud, berarti mereka itu adalah menjadi bagian dari pengusung pemikiran dan pemahaman agama yang ekslusif, ekstrim, singular (hitam-putih) dan radikal. Dari kedua pemahaman ini –diusung ISAIS dan sebaliknya diusung oleh “penentang” ISAIS, mana yang dibutuhkan oleh warga kampus pada khususnya dan warga negara-bangsa pada umum?

Pertanyaan di atas adalah pertanyaan retorik yang tidak memerlukan jawaban. Dengan begitu, menurut saya, pemahaman keagamaan yang ekslusif, ekstrim, singular dan radikal harus kita desak ke pinggur, dan pada gilirannya ditolak. Pemamahan negatif ini  dapat dipastikan akan menjadi “racun” bagi kelangsungan hidup beragama dalam keragaman berbangsa dan bernegara. Sebaliknya, kita harus mengarus-utamakan dengan terus-menerus menyampaikan pemahaman Islam inklsuif, moderat, plural dan toleran yang dapat menjadi “obat” bagi kelangsungan dan keutuhan NKRI.

Beralas pada pemikiran di atas Institute for Southeast Asian Islamic Studies (ISAIS) di masa-masa mendatang berupaya untuk melakukan kegiatan dengan tema besar: “MEMBELA AGAMA TANPA KEKERASAN; Sebuah upaya Mainstreaming Pemahaman Keagamaan yang Inklusif, Moderat dan Plural serta Toleran”. Upaya-upaya intellectual exercise ini merupakan sebuah “ijtihadi” dalam merespon pemahaman keagamaan yang esklusif, ekstrim singular (hitam-putih) serta paham radikal yang merebak akhir ini di Negera tercinta, Indonesia. Dengan harapan, insya Allah, dengan pemahaman keagamaan Islam sedemikian itu Indonesia akan dapat merayakan seabad kemerdekaanya, sehingga Lagu Kebangsaan “Indonesia Raya” tetap membahana di seantero negeri; sehingga Bendera Kebangsaan Sang “Merah Putih” tetap berkibar di bumi Pertiwi dari Merauke sampai Sabang.

Wa Allah a’lam bi al-Shawab.

Alimuddin Hassan Palawa.

MOU Kerjasama ISAIS dengan SUSKA FM dan SUSKA TV  Fakultas Dakwah dan Komunikasi

MOU Kerjasama ISAIS dengan SUSKA FM dan SUSKA TV Fakultas Dakwah dan Komunikasi

Institute for Southeast Asian Islamic Studies (ISAIS) UIN SUSKA RIAU melakukan penandatangan MOU kerjasama dengan Suska Fm dan Suska Tv di Fakultas dakwah dan Komunikasi pada hari jum’at tanggal 10 Januari 2020. Kerja sama ini merupakan sebuah rencana bersama dalam menyemarakkan moderasi beragama sesuai anjuran Rektor  UIN Suska Riau Prof.Dr. H. Akhmad Mujahidin, S.Ag., M.Ag.

Mou kerjasama ini berlangsung dalam waktu 6 bulan, sebagaimana di sepakati bersama. Kemudian dalam MOU ini langsung di hadiri langsung Dekan Fakultas dakwah dan komunikasi dari pihak pertama dan dari ISAIS yaitu dari direktur Isais.

Kuliah Umum ISAIS bersama Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, M.A., CBE

Kuliah Umum ISAIS bersama Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, M.A., CBE

Institute for South-east Asian Islamic Studies (ISAIS) UIN Sultan Syarif Kasim Riau menggelar Kuliah Umum bertema “Urgensi Pemahaman Sejarah Bagi Pembentukan Sikap dan Intelektual yang Moderat”, Kuliah umum ini cukup istimewa karena menghadirkan narasumber Cendekiawan Muslim Indonesia, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., CBE. Kegiatan yang dihadiri, ratusan dosen dan mahasiswa ini berlangsung di Aula Lantai V Gedung Rektorat UIN SUSKA RIAU.

Prof. Dr. H. Akhmad Mujahidin, S.Ag., M.Ag. Rektor UIN Suska Riau dalam sambutannya menyatakan menyambut baik atas terlaksananya kegiatan ini. “Kegiatan ini merupakan Kegiatan yang tak terpisahkan dari ruh perjuangan bangsa dimasa lalu. Banyak pemimpin bangsa di masa lalu yang menyumbangkan pemikiran dan gagasan untuk kemajuan bangsa ini, jangan sampai kita melupakan sejarah” tegas Rektor.

Sementara itu,Direktur ISAIS Dr. Alimuddin Hasan, M. Ag, menyatakan bahwa kegiatan ini sudah menjadi program kerja ISAIS. Kedepan, selain mendatangkan tokoh-tokoh seperti Azyumardi Azra, ISAIS juga akan melaksanakan kursus studi naskah-naskah arab, pengantar metodelogi studi Islam dan berbagai kegiatan positif lainnya. “Kegiatan-kegiatan ini diiringi dengan mendatangkan tokoh-tokoh bangsa lainnya seperti  Cak Nun dan Gus Mus,” jelasnya.

Sebelum Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., CBE menyampaikan kuliah umum,  Prof. Dr. H. Munzir Hitami, MA Rektor UIN Suska Periode 2014-2018 turut menyampaikan pengantar awal rencana perkuliahan dalam memahami ulang sejarah. “Mengkaji sejarah artinya Mengkaji karya-karya orang sebelum kita, mengkaji karya-karya yang monumental. Hal ini perlu untuk dilakukan,” tegas Prof. Munzir.

Dalam memahami teks agama saat ini terjadi kecenderungan terpolarisasinya pemeluk agama dalam dua kutub ekstrem. Satu kutub terlalu mendewakan teks tanpa menghiraukan kemampuan akal atau nalar. Kutub lain sebaliknya, terlalu mendewakan akal pikiran sehingga mengabaikan teks. Kedua kutub ini sama bahayanya.

Permasalahan ini membuat umat terpecah. Karena itu, perlu adanya pemahaman dan pengamalan bangsa yang moderat. Bagi terbentuknya intelektualisme Islam yang wasyatiah atau moderat kita perlu mengambil pelajaran dari sejarah masa lalu agar tidak berulang-ulang melakukan kesalahan yang sama. “Mohon maaf ya, sebagian kita lebih bodoh dari kedelai karena tidak bisa mengambil pelajaran dari masa lalu. Kesalahan masa lalu diulang-ulang kembali. Sejak dulu bila ummat Islam selalu berkelahi maka akan mudah dihancurkan, disinilah perlunya Islam yang Wasathiyah, yang tidak terlalu berat kekiri juga tidak terlalu berat ke kanan, moderat, ada ditengah-tengah,” Jelas pria yang meraih gelar kehormatan dari kerajaan Inggris ini.

Pembentukan Tradisi Wasathiyah di Indonesia dimulai dari masa penyebaran Islam, Islamisasi dilakukan secara damai. Kerajaan juga memegang peranan penting; relasi dengan ulama sangat baik. “Untuk di Riau contohnya dengan Kesultanan Siak. Hubungan simbiotik sultan dengan ulama atau penyiar Islam harus diungkap, untuk menjadi pembelajaran,” ujar peraih gelar MA dari Columbia University ini.

Selain itu, Corak Islam berupa Fiqh/ Syariah-Tasauf yang menyebabkan konflik akomodasi dan rekonsuliasi dengan tradisi lokal. Bisa diistilahkan dengan Islam embedded, Islam yang corak kemelayuannya melekat melalui proses akulturasi. “Jika ada kelompok yang menolak ini sekarang maka ini adalah sikap yang memunculkan tindakan ekstrim karena bagaimanapun juga agama itu berkembang tidak di ruang yang kosong tapi sudah memiliki sistem nilai, sistem budaya. Semakin terakulturasi maka akan semakin lekat Islam di dalamnya,” terang pria kelahiran Lubuk Alung ini.

Tidak ada Islam di dunia yang sekaya Indonesia. Ada ribuan pesantren, Hal ini merupakan warisan yang sangat khas Indonesia. Pesantren-pesantren dan Sekolah/ Universitas muncul dari tradisi kemandirian yang tidak tergantung kekuasaaan. “Kenapa ini bisa terjadi karena Lembaga-lembaga ini bukan dibiayai oleh pemerintah, mandiri jadi bisa maju.” Jelasnya lagi.

Masa depan Islam adalah Islam yang mendukung perkembangan sains dan teknologi, ilmu dan inovasi. Kehadiran Universitas Islam Negeri (UIN) itu mutlak karena dari UIN lah Indonesia akan mendapatkan ahli teknologi, ahli pertanian dan peternakan, farmasi dan kedokteran. “Umat Islam Indonesia ini terlalu besar masalahnya kalau harus diselesaikan oleh orang lain, jadi harus kita sendiri yang menyelesaikannya. Kalau umat Islam maju maka Indonesia akan maju. Kalau ummat Islam terbelakang maka Indonesia akan terbelakang. Jadi dari UIN inillahir orang-orang yang berfikiran maju yang akan mengurus permasalahan bangsa ini.” Pungkas Guru besar sejarah ini.

 

       

Launching Website ISAIS UIN Suska Riau

Launching Website ISAIS UIN Suska Riau

ISAIS mengadakan Launching Website ISAIS dan Orasi Ilmiah pada tanggal 27 Maret 2019 di aula lt. 2 gedung Islamic Center UIN Suska Riau. Dengan mengangkat tema “Meredam Amarah dan Menebar Rahmah’, ISAIS menghadirkan 3 Narasumber yaitu (1) Prof. Dr. H. M. Amn Abdullah, MA.-Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, (2) Yunianti Chuzaifah – Komnas Perempuan RI, dan (3) Dr. H. Suryan A. Jmarah, MA. Dihadiri oleh lebih dari 450 peserta yang terdiri dari pimpinan UIN Suska Riau, pembina ISAIS, dosen, dan mahasiswa. Dengan dipandu oleh Bambang Hermanto, MA sebagai moderator, kegiatan orasi ilmiah berjalan lancar dan terlihat antusias mahasiswa dan dosen yang aktif berdiskusi langsung dengan ketiga narasumber.