By: Imam Hanafi, MA
Sekretaris ISAIS UIN Suska Riau
Baru-baru ini kita dihadapkan oleh drama pembusukan skandal perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia. Belum lagi selesai kasus ini, wajah negeri ini “ditangisi” oleh godaan nafsu segelintir artis Indonesia yang menawarkan kenikmatan duniawiyah. Belum lagi cerita-cerita busuk lainnya yang selalu menghias di media kita, baik elektronik maupun surat kabar, mulai dari perselingkuhan, korupsi, pemerkosaan, bahkan pembunuhan dengan sangat brutal.
Kondisi ini lah yang saat ini menggayut dan mengitari pendidikan anak-anak kita. Kita sering mengatakan bahwa kualitas pendidikan di negeri ini tergantung pada kualitas guru, kualitas media pembelajaran, kualitaskurikulum, dan seterusnya.
Kita lupa bahwa para pemimpin, penguasa, aparat keamanan, pejabat dan ulama di negeri ini adalah pihak-pihak yang memiliki peran strategis dalam membangun uswatun hasanah bagi anak-anak kita. Mereka ini adalah medium bagi para siswa untuk meniru dan mencontoh gaya hidupnya.
TimbalBalikPendidikandanBudayaPolitik
Institusi-institusi dan proses politik disuatu Negara, membawa dampak besar pada karakteristik pendidikannya. Juga akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku peserta didiknya. Jadi antara pendidikan dan budayapolitik itu mempunyai hubungan erat dan dinamis. Hubungan tersebut adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan peradaban manusia dan menjadi perhatian para ilmuan.
Misalnya sebagaimana yang dikemukakan oleh Rasyid (1994: 6), bahwa “kedudukan politik didalam Islam sama pentingnya dengan pendidikan tanpa otoritas politik, syariat Islam sulit bahkan mustahil untuk ditegakkan. Kekuasaan adalah sarana untuk mempertahankan syiar Islam. Pendidikan bergerak dalam usaha menyadarkan umat menjalankan syariat. Bila politik berfungsi mengayomi di ata, maka pendidikan harus melakukan pembenahan lewat arus bawah”.
Kutipan diatas menegaskan bahwa hubungan antara politik dan pendidikan dalam Islam tampak demikian erat. Perkembangan kegiatan-kegiatan kependidikan banyak dipengaruhi oleh para penguasa dan para penguasa memerlukan hubungan yang baik dengan institusi-institusi pendidikan untuk membenarkan dan mempertahankan kekuasaan mereka.
Persoalannya kemudian adalah ketika lembaga-lembaga di luar pendidikan tidak mampu memberikan nilai-nilai pendidikan.Sehingga, dekadensi moral yang terus saja muncul dikalangan anak-anak dan remaja saat ini, tidak lepas dari andil lembaga-lembaga diluar pendidikan, misalnya para aparatur Negara, para pemimpin politik, dan bahkan para ulama.
Moral generasi muda saat ini, dijejali oleh perilaku-perilaku kerakusan dan keserakahan. Kita terlalu sering mempertontonkan dihadapan anak-anak dan remaja kita, perilaku sadis, membantai, dan menginjak hak-hak orang lain.Aparat keamanan tidak bisa lagi diharapkan untuk menjaga ketenangan masyarakat bahkan aparat keamanan yang seharusnya menjadi panutan masyarakat, lebih memprihatinkan kondisinya (mudah disuap, banyak yang terlibat kasus judi, dan bahkan menjadi salah satu institusi Negara yang terkorup).
Bagaimana mungkin amanat UU NO 20/2003 tentang Sisdiknas yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah “menciptakan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Yuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab“ dapat terwujud? Jika mereka yang menjadi “corong” atau garda terdepan dalam mengawal dan melaksanakan UU tersebut, justru terlibat berbagai skandal yang menodai bangsa ini?.
Perlunya Spritualitas dalam Pendidikan
Pendidikan, khususnya pendidikan formal disekolah, tidaksajamerupakan tempat transfer pengetahuan (Tranfer of Knowlegde)tetapi juga sebagai tempat transfer nilai (Transfer of Value), nilai dalam hal ini sangat erat kaitannya dengan norma-norma dan segala sesuatu yang baik dimasyarakat.
Persoalannya kemudian adalah bagaimana mungkin seorang peserta didik mampu memperoleh sebuah nilai yang baik, jika konstruk sosial masyarakatnya justru memamerkan “kebusukan-sosial”?
Maka, sangatlah perlu kiranya saat ini kita berusaha melakukan upaya penjelajahan terhadap aspek spiritualitas dalam proses pendidikan anak kita. Meskipun tradisi spritualitas ini, sangat uneversal, yaitu semua agama memilikinya.
Penggunaan aspek spritual dalam proses pendidikan yang paling sederhana adalah bagaimana orang tua, guru dan lembaga-lembagadiluarpendidikan (tokoh masyarakat, Politikus, Ulama, Pemerintah) sungguh-sungguh mendoakan pada semua peserta didik di negeri kita ini.Sehingga, saya bisa membayangkan betapa indahnya jika para guru negeri ini, para pemimpin bangsa ini, bangun malam sembari menangis dihadapat Tuhannya demi kesuksesan dan pembentukan moral anak didiknya.
Proses ini saya kira sudah umum dilakukan oleh para Kyai di Pondok Pesantren. Sehingga memang moralitas di Pesantren lebih terbentuk. Karena ada nilai spritualitas dalam proses pendidikanya.
Wal hasil, tradisi spiritualitas dalam Islam memiliki khasanah pemikiran yang sangat kaya dalam pembentukan moral-spiritual seseorang. Sehingga meskipun seringkali spritualitas dimaknai sebagai falsafah hidup dengan kekuatan daya intuitifnya yang subyektif, namun dapat membangkitkan jiwa seseorang dari suatu anomali kejiwaan kepada pemenuhan hasrat spiritual yang berujung pada lahirnya kepribadian yang penuh dengan kearifan.Walla hu a’lam bi al-Showab.