DARI ISRA’ SPRITUAL KE MI’RAJ SOSIAL

DARI ISRA’ SPRITUAL KE MI’RAJ SOSIAL

By: Imam Hanafi, MA.

Sekretaris ISAIS UIN Suska Riau

Seandainya aku Muhammad yang di-Isra’ Mi’raj-kanitu, maka demi Allah aku tidak akan mau dikembalikan lagi kebumi.”

(Sir Muhammad Iqbal)

 

Salah satuperistiwa yang bersejarah dalam kehidupan Nabi Muhammad adalah peristiwaIsraMi’raj. Kenapa bersejarah? Karena ia merupakan milestone (tonggaksejarah) bagi kehidupan Nabi Muhammad sendiri dan seluruh umatnya. Milestone adalaha significant point in any progress of development, yang berarti bahwa peristiwa yang bermakna dan memberikan dampak bagi bergerak majunya ummat manusia atau masyarakat atau suatu bangsa dalam perkembangan atau pembangunannya.

Hal ini disebabkan oleh karena isra’ mi’raj  merupakan peristiwa atau momentum penting yang  memiliki makna perubahan bagi perubahan adab dan budaya ummat Islam, karena peristiwa tersebut mampu merobah pola pikir, pola sikap dan tindak umat Islam atau bangsa Arab pada saat itu. Salah satu pesan penting dalam peristiwa ini adalaha dan ya perintah untuk menunaikan salat lima waktu sehari semalam.

Umum dipahami bahwa IsraMi’raj terjadi pada periode akhir kenabian di Makkah sebelum Rasulullah hijrah keMadinah.Misalnya merujuk pendapat al-Allamah al-Manshurfuri, Isra Mi’raj terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke-10 kenabian Nabi Muhammad. Begitu juga pendapat al-Maududi dan mayoritas ulama, Isra Mi’raj terjadi pada tahun pertama sebelum hijrah, yaitu antara tahun 620-621 M. Meskipun demikian, tidak dipungkiri sebenarnya telah terjadi perbedaan dikalangan para ulma’ terkait dengan peristiwa ini. Misalnya Imam An-Nawawi dan Al Qurthubi  menyatakan bahwa perisitiwa tersebut terjadi lima tahun setelah Nabi Muhammad diutus sebagai rasul, bukan tahun ke-10.

Isra’ Spritual

Dalam beberapa literatur menyebutkan bahwa Isra dan Mik’raj adalah perjalanan Nabi Muhammad SAW. Dari Mekah keBait al-Maqdis (Palestina) kemudian naik keSidrat al-Muntaha serta kembali lagi keMekah dalam waktu sehari semalam. Dalam psikologi, persitiwa ini sebenarnya adalah peristiwa religious experience (pengalaman keagamaan) yang sangat luar biasa. Karena sifatnya yang luar biasa inilah, Isra Mi’raj menjadi dari bagian mukjizat Nabi yang tidak seorang pun mengalaminya, kecuali Nabi Muhammad SAW.

Sebagai sebuah pengamalan keagamaan, perjalanan yang dialamai Nabi Muhammad tersebut pada dasarnya merujuk pada dua perjalanan sekaligus, yaitu naik kelangit dan turun kembali kebumi.

Dalam tradisi sufi, peristiwa “naik kelangit” merupakan perjalanan spiritual yang tidak mudah. Seseorang jika ingin memperoleh pancaran cahaya tasawuf (ma’rifatullah) perlu menempuh tahapan spiritual (maqamatruhiyyah). Tahapan-tahapan spiritual seperti tobat, wara’, zuhud, faqr, sabar, tawakal dan syukur bisa digapai melalui bermacam-macam ibadah, mujahadah dan riyadhah serta menyerahkan segenap jiwa dan  raga sepenuhnya kepada Allah SWT. Ketika ia mampu meluruhkan atau melenyapkan sifat-sifat kebinatangan yang ada pada dirinya, seperti sombong, angkuh, kikir, serakah, dan lainnya, maka ia akan mengalami ahwal, yaitu keadaan pengalaman spiritual dalam mengintropeksi jiwa (muhasabah al-nafs). Suatu keadaan dimana ia mampu mendekat kehadirat Allah Swt.

Karena begitu susahnya manusia menuju ke Allah, maka sangat wajar ketika para sufi memberikan komentar “Muhammad telah naik, aku bersumpah, seandaikan aku yang mencapai tempat itu (baca; Sidrat al-Muntaha), aku takkan mau kembali lagi kebumi” seru Abdul Quddus dari Ganggoh. Dalam dunia sufi, merasakan kenikmatan bersama dengan Allah, merupakan puncak aktivitas spiritual manusia.

MeskipunNabi Muhammad sudah mencapai maqam tertinggi dalam dunia sufi, sebagaimana yang selalu di idam-idamkan para sufi dalam mistisisme Islam, namun Nabi Muhammad bukanlah “sufi” tipikal seperti itu. Muhammad SAW. Adalah seorang rasul yang –meminjam istilah filsuf penyair Dr. Sir Mohammad Iqbal- harus “menyiapkan diri kedalam kancah zaman”. Nabi Muhammad justru turun kebumi.

Menuju Mi’raj Sosial

Kembalinya NabiMuhammad SAW. Dari pengalaman keagamaan yang maha dasyat atau yang oleh oleh Gustav Jung sebut sebagai bagian dari arche type (pola dasar) bagi kehidupan umat Islam, maka umat Islam mesti menjadikan perjalanan spiritual tersebut sebagai upaya untuk mentransfer nilai-nilai kemanusiaan dalam dimensi yang lebih luas. Sejarah sacral  paranabi, termasuk Isra Mi’raj ini, menjadi apa yang oleh sosiologi Prancis terkemuka, Pierre Bourdieu disebut “akalpraktis” (senspratique), yaitu kemampuan yang mengendalikan umat Islam dalam kehidupan praktisnya. Bukan menjadi objek atau hasil pemikiran rasional. Sebagai “modal simbolis” (capital syimbolique), karena peristiaIsra Mi’raj dapat dijadikan modal simbolis untuk menjadikan sesorang menjadi besar dalam kehidupan sosialnya dan sebagai “peresapan dalam tubuh” (incoper incorporation), berarti peristiwa Isra’ Mi’raj dapat diolah menjadi modal simbolis untuk dikembangkan kedalam sikap atau gerak kehidupannya saat ini.

Dengan demikian, Mi’raj bukanlah titik    Muhammad  tersebut. Merasakan kenikmatan ruhani yang maha dahsyat,bukanlah tujuan dari perjalanan hidup dan risalahnya. Hal inilah yang membuat Nabi dan Sufi agak bertolak belakang. Jika dalam dunia Sufi memandang ekstase kenikmatan ruhani itu sebagai tujuan hidupnya, sementara  bagi Nabi, kenikmatan ruhani yaitu hanyalah sekedar menjadikannya sebuah rehat sejenak untuk mengambil kembali energi ruhani, mengisi ulang stamina jiwa. Sesudah itu dunia menantinya untuk berkarya bagi kemanusiaan.

Inilah karya kemanusian terbesar bagi Nabi Muhammad. Merelakan kenikmatan ruhaniyah demi kembali berjuang menyelamatkan kaum jahiliyah pada waktu itu. Dan memang Nabi Muhammad telah memperoleh mi’raj yang sangat istemewa, mi’raj ini dapat diperoleh kapan saja dan oleh siapa saja.Karena baginya,”Saat mi’raj seorang mukmin adalah shalat!”

Shalat, kata Sayyid Quthb, adalah hubungan langsung antara manusia yang fana dan kekuatan yang abadi.Ia adalah waktu yang telah dipilih untuk pertemuan setetes air yang terputusdengansumber yang takpernahkering. Iaadalahkunciperbendaharaan yang mencukupi, memuaskan, dan melimpah. Ia adalah pembebasan dari batas-batas realita bumi yang kecil menuju realita alam raya.

Namun begitu, shalat bukan saja dipandang sebagai karitas individual, tetapi juga menunjuk pada transformasi sosial. Shalat merupakan jalan yang paling manusiawi untuk mengubah sejarah kehidupan umat manusia kearah yang lebih berkeadapan (madinat). Sebab, dalam proses ini yang berlaku adalah pendampingan, bukan pemaksaan, begitu penjelasan Dr. Moeslim Abdurrahman.

Postulasi epistemologis shalat sebagai tonggak peradaban, secara gamblang telah dijelaskan oleh Ochen Idris Sirfefa, menurutnya hadits yang berbunyi “Al-sholatu ‘imadu al-din famanaqaamahufaqadaqaama al-diin” dapat diartikan secara luasyaitu, “Shalat itu tonggak perdaban, maka barang siapa yang mengerjakannya telah menegakan peradaban”. Maka, agama (sholat) dengan peradaban bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.

Shalat dengan begitu harus berdampak pada dimensi keadaban. Kadar ketakwaan sesorang dihadapan Tuhan bukanlah semata-mata ditentukan oleh rutinitas shalatan-sich, tapi juga sejauh mana implikasi shalat itu dalam aksi kemanusiaan secara universal.

Jika kita sekarang masih menyaksikan ketidakadilan, kemiskinan, kesenjangan sosial, korupsi, kelaparan, terror, pembunuhan, pemerkosaan, dan “patologi social” lainnya yang marak belakang ini, mungkin ada baiknya kita intripeksi diri (muhasabah al-nafs), sekaligus berbenah diri (reformasi), sudahkah kita shalat secara baik dan benar? Sudahkah kita mampu mengejawantahkan fungsi shalat di tengah krisis social belakangan ini?.

Padaara sinilah, bias dipahami bahwa IsraMi’raj dapat dijadikan sebagai kekuatan transformasi untuk perubahan social menuju format masyarakat yang adil, egaliter dan masyarakat yang madani. Wallahua’lam

Leave a Reply