Merayakan Keberagaman, Merawat Perdamaian (Terciptanya Perdamaian melalui Pemahaman Keberagaman di Indonesia)

Merayakan Keberagaman, Merawat Perdamaian (Terciptanya Perdamaian melalui Pemahaman Keberagaman di Indonesia)

Salah satu fitrah dalam kehidupan yang kita jalani di dunia ini ialah adanya bentuk-bentuk keberagaman yang dimiliki oleh setiap manusia maupun kelompok masyarakat. Keberagaman yang dimiliki tersebut menjadi warna bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang menjadi komunitas terbesar kehidupan manusia. Keberagaman tersebut seharusnya menjadi sebuah keharmonisan dalam menjalani misi kehidupan yang telah ditentukan oleh Sang Maha Pencipta, juga menumbuhkan rasa dan sikap memahami perbedaan sehingga teciptanya tatanan kehidupan yang aman dan damai. Untuk mencapai itu, keberagaman yang telah menjadi fitrah tersebut harus dipahami oleh setiap orang. Hal ini di dasari oleh Al-Quran surah Al-Hujurat ayat 13 yang berarti “. . . dan kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.  . . . “. Berdasarkan ayat tersebut, adalah benar keberagaman itu memang diciptakan oleh Allah supaya manusia yang ada di dunia ini bisa mengenal antara satu dengan yang lainnya. Seperti halnya di Indonesia, kita sudah di anugrahkan keberagaman yang sangat banyak. Mulai dari agama, suku, bahasa, budaya, serta keragaman social yang dipayungi oleh Pancasila sebagai dasar Negara.

Indonesia memiliki beberapa agama. Setiap penganut agama tersebut dilindungi oleh Negara. Dengan adanya keberagaman agama tersebut, masyarakat Indonesia harus menghormati nya. Selain itu, bahasa yang dimiliki oleh bangsa Indonesia juga beragam. Keberagaman tersebut seperti sebuah hal yang istimewa yang perlu dikenali dan di cintai agar memunculkan suasana perdamaian yang perlu di rawat selamanya. Jangan karena berbeda agama, bahasa, kita menjadi terpecah belah. Mengenali keberagaman, akan membuat kita bersyukur dan merasakan betapa indahnya hal tersebut. Maka dari itu, dengan mengenalinya diharapkan menumbuhkan sikap toleransi dan rasa sayang sehinggal perdamaian bisa terbentuk. Kemudian, adanya keberagaman suku dan budaya juga merupakan sesuatu hal yang istimewa. Saat kita hidup di kelompok masyarakat yang berbeda suku dengan kita, jangan menjauhi diri kita dari mereka. Itu merupakan sikap yang akan mengikis perdamaian. Aspek keberagaman yang tak kalah penting yang harus di cintai dan di pahami yaitu keragaman social. Manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Orang kaya tidak bisa hidup tanpa orang susah. Siapa yang mau bekerja untuknya, jika tidak ada orang susah? Guru tidak bisa bekerja dan mengajar, jika tidak ada murid yang akan dia didik. Maka dari itu, pemahaman mengenai pentingnya keberagaman dalam kehidupan kita di Indonesia haruslah tertanam sejak kecil oleh orang tua kita.

Terkadang kita berfikir apa gunanya mengenali keragaman yang telah menjadi fitrah kehidupan di dunia, khususnya di Indonesia. Ketahuilah, untuk membuat bangunan rumah, diperlukan bahan atau material yang berbeda dan beragam. Tidak bisa rumah itu dibuat dengan pasir saja. Juga tidak mungkin rumah itu dibuat dengan kerikil saja. Tetapi membutuhkan banyak komponen bahan bangunan yang beragam. Indonesia bisa diibaratkan seperti rumah yang sangat besar. Setiap komponen nya haruslah saling melengkapi, saling menutupi segala kekurangan komponen lainnya sehingga terciptanya rumah yang kokoh, aman dari goncangan dari luar, dan keamanan rumah akan didapat dan terawat selama komponen yang beragam itu bersatu. Kedamaian yang sudah dibangun di Indonesia melalui keberagaman tadi, harusnya selalu dijaga dan konsisten untuk dijalankan. Pancasila sebagai dasar Negara sesungguhnya menjadi alat untuk menciptakan perdamaian dengan menyatukan semua keberagaman. Hal tersebut di abadikan dalam sebuah semboyan yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Kata Bhinneka berarti “beraneka ragam”, tunggal berarti “satu” dan ika berarti “itu”. Sehingga jika diartikan seluruhnya yaitu walaupun beranekaragam tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia adalah satu kesatuan. Prinsip inilah yang harus dijaga kemurniannya oleh bangsa Indonesia agar tidak adanya rasa sombong, karena seperti yang sudah disebutkan diatas, setiap perbedaan itu memerlukan sesuatu yang berbeda pula sehingga membentuk satu kesatuan yang kokoh dan damai.

Dalam praktek kehidupan di Indonesia, masih ada orang maupun kelompok yang tidak mau menerima perbedaan tersebut. Kelompok tersebut ada yang mendasari perbuatannya dari aspek agama, suku dan status social. Dalam aspek agama, dicontohkan agama Islam, praktek keagamaan ada yang di sampaikan secara eksplisit, ada yang implisit. Secara eksplisit, tentunya sudah 1 contoh dari Rasulullah. Namun yang implisit, praktek religious yang berbeda cara nya. Namun juga dicontohkan oleh Rasulullah. Dalam menyikapi hal ini, selama praktek keagamaan itu ada dalilnya, itu sah saja dilakukan. Baik dalil yang khusus maupun umum. Perbedaan itu sudah dicontohkan oleh imam 4 madzhab yang mahsyur. Jadi kita harus menjaga perbedaan itu selama tidak sesat. Selanjutnya, ada kelompok yang tidak menerima perbedaan suku. Selama bergaul di masyarakat, mereka hanya bergaul dengan kelompok mereka yang satu suku saja. Hal ini dapat menimbulkan retaknya perdamaian diantara masyarakat. Point terakhir yaitu perbedaan status social. Pada hakikatnya, setiap status social itu saling membutuhkan. Jangan lah orang kaya berlaku sombong kepada yang miskin. Seorang pemimpin haruslah melindungi rakyatnya, tidak memandang perbedaan status social. Baik itu orang kaya, menengah, miskin maupun fakir. Dengan begitu, akan tecipta perdamaan, keharmonisan dalam menjalani kehidupan.

Maka dari itu, seperti yang sudah dijelaskan diatas, keberagaman itu memang sudah fitrah nya bagi manusia agar mereka saling kena-mengenal, saling mencintai dan saling melengkapi segala kekurangan yang lainnya. Sebagai bangsa yang besar Indonesia wajib memelihara keberagaman untuk terciptanya perdamaian bagi bangsa kita. Hidup akan indah jika kita saling menghormati keberagaman. Jika sudah konsisten terhadap hal tersebut, maka kedamaian akan tercipta dan terawat sampai akhir hayat nanti. Dengan begitu, bisa saja kita merayakan yang namanya keberagaman, untuk terawatnya kedamaian di Indonesia.

By (Bahrul Ulum)

Eloknya Keberagaman di Negri yang Beragam

Eloknya Keberagaman di Negri yang Beragam

Indonesia merupakan negara dengan kemajemukan yang sangat tinggi. Terdiri dari banyak suku dan ribuan kebudayaan yang mewarnai eloknya Indonesia. Indonesia diberikan anugrah dengan  keberagaman adat istiadat, bahasa, dan ciri-ciri biologis di berbagai daerah. Badan Pusat Statistik merilis data pada 2010 yang menyebut ada 1.128 suku di Indonesia yang tersebar di lebih dari 17 ribu pulau. Keberagaman ini menjadikan Indonesia salah satu negara dengan budaya yang paling kaya. Dikenal dengan masyarakat yang majemuk dapat dilihat dari realits yang ada. Senada dengan H.A.R Tilaar menyatakan bahwa : “Masyarakat multikultural menyimpan banyak kekuatan dari masing-masing kelompok tetapi juga menyimpan benih-benih perpecahan”. Keberagaman juga dapat memicu konflik di masyarakat. Benturan antar budaya, suku, ras, etik, dan nilai-nilai yang berlaku yang pada nantinya menjadi benih dan menciptakan disintegrasi bangsa. Ada yang beranggapan bahwa keberagaman justru dianggap sebagai sumber perbedaan bila tak dijembatani dengan baik. Terlebih salah satu akar masalah yang sangat serius adalah masalah klaim kebenaran oleh sebuah kelompok. Berdasarkan Dewan Pengurus Lembaga Bantuan Hukum (LBH) tahun 2016 di seluruh wilayah Indonesia masih banyak kasus intoleransi dan kekerasan yang terjadi. PBB mencatat sebanayak 75 persen dari konflik besar yang terjadi di dunia saat ini berasal dari dimensi kultural (Tempo.co).

Pada kenyataan nya masyarakat dewasa ini masih menunjukkan pemahaman yang dangkal mengenai keberagaman ini. Istilah keberagaman atau pluralisme sudah menjadi barang harian dalam wacana umum nasional. Namun dalam masyarakat, ada tanda-tanda orang memahami keberagaman ini hanya sepintas saja tanpa makna yang lebih mendalam dan tidak berlandaskan kepada ajaran yang benar. Paham keberagaman tidak cukup hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk, tapi harus disertai sikap yang tulus untuk menerima kenyataan kemajemukan itu bernilai positif. Sekaligus merupakan sebuah rahmat dari Tuhan. Di dalam kehidupan kita sehari-hari tidak terlepas dari perbedaan adalah kunci dalam kebahagian.Kita akan melangkah ke jalan yang benar dengan toleransi atau kita melangkah di kehancuran. Oleh sebab itu, Masyarakat Indonesia harus mengembangkan nilai-nilai multikulturisme dan dapat dieajawantahkan dalam kehidupan sehari-hari sudah saatnya masyarakat mulai sadar betapa pentingnya toleransi dan keharmonisan antar perbedaan. Dalam rangka menjaga persatuan dan kesatuan dalam masyarakat maka diperlukan sikap saling mengharagi dan menghormati ,sehingga tidak terjadi gesekan yang dapat menimbulkan pertikaian.

Dalam kaitannya dengan agama sangat menjunjung pluralitas/keberagaman, karna keberagaman merupakan sunnahtullah yang harus dijunjung tinggi dan dihormati keberadaanya. Karena pada dasarnya Allah SWT menciptakan semua orang berbeda-beda.Karena itulah , dalam Q.S Al-Hujarat ayat 13 yang artinya : “Hai manusia ,sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa supaya kamu saling menegenal.Sesungguhnya orang yang paling mulia di antarakamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.”

Dengan adanya keberagaman ini,bukan berati menganggap kelompok,mahzab,ataupun keberagaman yang lainnya  mengganggap hanya kelompoknyalah yang paling benar.Ajaran islam mengutamakan persaudaraan atau ukhwah dalam menyikapi keberagaman.Hal ini di jelaskan dalam Q.S Al-Hujarat ayat 10 :”Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara ,karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah Swt supaya kamu mendapatkan rahmat”.Perumpamaan lainnya di ibaratkan bangunan “Orang mukmin dengan mukmin yang lain seperti sebuah bangunan,sebagian menguatkan sebagian yang lain.(H.R Shahih Muslim).Maka langkah konkrit untuk menyikapi itu semua adalah  membangun tali silaturahmi yang mengedepankan toleransi intern umat islam. Dengan terjalinnya tali silaturahmi maka banyak peluang kerjasama dalam berbagai aspek kehidupan,sehingga kedamaian akan terus berjalan dan perpecahan tidak akan terjadi.

By ( Hilyati Zikriani)

Resolusi Konflik

Resolusi Konflik

By: M. Syaprul Alamsyah

Indonesia memiliki banyak kemajemukan. Diantaranya keragaman sosial dalam hidup berbangsa dan bernegara. Seperti; suku, agama, ras, antar golongan, budaya dan adat istiadat yang berbeda-beda. Kemajemukan yang dimiliki sangat berpengaruh besar dalam pembangunan bangsa dan negara,sertasangat rawanterjadinya konflik di Indonesia. Kemampuan yang akan terjadi sangat dipengaruhi dari kehidupan bersosial. Hal ini menyebabkan munculnya konflik sosial dan konflik ideologis di masyarakat.[1]

Dalam konflik tersebut, akan bermunculan perbedaan presepsi dari berbagai golongan yang ada di masyarakat mengenai suatu hal berupa pemikiran dalam kehidupan. Sementara di tingkatan politisi, konflik akan terjadi apabila adanya pertentangan dalam pembagian sumber kekuasaan yang tidak adil. Sehingga, timbul pertengkaran saling menjatuhkan satu sama lain. Walaupun demikian, konflik yang adadi masyarakat Indonesia dapat diminimalisir dengan menyelesaikan konflik tersebut secara konstruktif yakni (resolusi konflik).[2]

Adapun solusi  dalam mengatasi dan mencegah terjadinya konflik sosial di Indonesia.Pertama, adanya peran Islam sebagai agama mayoritas, memiliki kontribusi yang besar. Sebagai agama perdamaian mampu menjadi rahmatanlil alamin bagi seluruh umat beragama.

Kedua, adanya peran pendidikanyang humanis. Menekankan aspek memanusiakan manusia, dengan memperhatikan aspekkecerdasan intelektual, emosional, sosial dan spiritual. Dengan adanya peran-peran ini Indonesia mampu memberikan solusi nyata terhadap konflik sosial dan ideologis.[3]

Sejak era globalisasi, telah banyak terjadi peristiwa sosial di Indonesia. Yakni dalam suku, etnis, agama dan politik yang cendrung menghancurkan sesama,  tanpa memikirkan rasa kemanusian. Dengan mudah menaruh kebencian, curiga dan tidak memiliki rasa persaudaraan. Seperti konflik sosial yang terjadi di Ambon, Poso, Kalimantan Barat, Sukabumi serta kerusuhan tahun1998 yang terjadi di berbagai daerah lain nya di Indonesia.[4]

Kemajemukan yang dimiliki Indonesia bersifat unik, mampu membentuk lapisan-lapisan kelas sosial dan struktur sosial di masyarakat. Adapun lapisan masyarakat terbagi dua;, lapisan horizontal yaitu adanya pebedaan etnis, suku, agama, dan adat istiadat. Sedangkan lapisan vertikal ialah lapisan atas dan bawah yang dilihat dari tingkatan ekonomi seperti (tingkatan pekerjaan, pendidikan dll). Hal inilah mengakibatkan selalu terjadinya konflik sosial.[5]

Kondisi sosial masyarakat Indonesia  memiliki kesamaan dengan Madinah. Pada waktu Nabi Muhammad saw memimpin, penuh kedamaian dalam hidup bertoleransi. Hingga tercipta nya hidup harmonis dalam keragaman. Oleh sebab itu, Indonesia seharusnya mampu menjadikan konsep tersebut sebagai hikmah pelajaran untuk kedepan nya. Karna banyak konflik yang terjadi selalu berbau agama, utamanya agama Islam. Padahal agama Islam selalu mengajarkan perdamaian. Kemudian anti kekerasan serta selalu menghargai perbedaan dalam kemajemukan.[6]

Tentunya, ajaran sosial agama Islam sangat perlu di implementasikan, adanya sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda : “Berilah salam kepada orang yang kau kenal atau yang tidak kau kenal”.Artinya, dalam berbuat baik kepada orang lain, kita harus menunjukkan rasa kemanusian yang setinggi-tingginya. Allah adalah damai, salam(QS al-hasyr[59]:23), sumber kedamaian dan aktivitas damai ( HR Muslim,Turmudzi dan Nasa’i).[7]

 

Islam menjanjikan adanya rahmat berupa kedamaian. Kehidupan yang dapat damai menimbulkan ketentraman hati, hingga terbuka kepada semua invidu yang beragam. Pastinya setiap umat yang beragama butuh ketenangan. Sudah selayaknya setiap manusia memulai kedamaian dari diri sendiri walaupun berada pada suasana ramai.[8]

Dalam agama islam, pemeluknya di sebut sebagai muslim. Kata Islam sendiri berasal dari kata salam yang secara harfiah artinya selamat, damai dan sejahtera. Maksudnya mempunyai misi universal, Islam sebagai pembawa rahmat bagi sekalian alam (QS al-anbiya [21]:107).[9]

Dengan demikian, nilai-nilai yang terkandung dalam Islam sangatlah universal yang harus di implementasikan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Khususnya mayoritas umat muslim yang harus mengerti dan paham akan ajarannya. Hingga dapat menjadikan islam rahmatan lil alamain dalam resolusi konflik. Serta dapat menghalau dan meminimalisir penghancur perdamaian.

Selanjutnya, resolusi konflik yang harus di pelajari ialah pendidikan yang humanis. Masyarakat Indonesia harus memiliki karakter yang kuat pada dirinya. Oleh karna itu, pendidikan sangat penting dalam sebuah negara. Sebagai sarana membangun masyarakat, dengan saling membuka diri hingga  menjadikan hidup damai bukan saling mentup diri dan membenci sesama.

Pendidikan humanis haruslah berorientasi pada pendidikan multikultural dan pendidikan karakter. Untuk meresolusi konflik yang akan terjadi di Indonesia. Peran pendidikan multikultural mampu menciptakan kesadaran pluralitas agama dan budaya. Sehingga pendidikan multikultural dapat menjadi solusi nyata terhadap konflik yang akan terjadi di kehidupan bermasyarakat.

Kemudian melalui  pendidikan karakter, masyarakat Indonesia mampu menumbuhkembangkan sikap empati, jujur, adil, amanah, bijaksana, sopan santun dan sikap patriotisme yang tinggi. Dalam memperlakukan manusia lain sebagai sesama makhluk Tuhan yang memiliki kodrat dan hak-hak yang sama. Dengan menghormati serta menjunjung tinggi harkat-martabat sesama manusia.[10]

Dari beberapa nilai-nilai yang telah di jelaskan, jika di implementasiakan dalam hidup berbangsa dan bernegara akan melahirkan perdamaian dan persatuan. Dengan mengokohkan keislaman, sebagai agama rahmatan lil alamin dan peran pendidikan humanis. Kita mampu menjaga persatuan dan kedamaian di Indonesia,  walaupun hidup dalam umat berbeda agama. Serta hidup dalam bangsa yang kuat dengan saling menjaga dan menghindari pertikaian, sesuai undang-undang dasar 1945 dan pancasila.

[1]Sagaf S. Pettalongi, Islam Dan Pendidikan Humanis Dalam Resolusi Konflik Sosial  (Palu Sulawesi Tengah: Stain Datokarama, Cakrawala Pendidikan – Jurnal Pendidikan, Juni 2013,No. 2)

[2]Jakiatin Nisa, resolusi konflik dalam presfektif komunikasi ( Jakarta : UIN syarif hidayatullah :2015 )permalink https://www.academia.edu/15117008)

[3]Sagaf S. Pettalongi, Loc.Cit

[4]Arya Hadi Dharmawan,Konflik-Sosial dan Resolusi Konflik: Analisis Sosio-Budaya(Kalimantan Barat : Seminar PERAGI Pontianak 10-11 Januari 2006)

[5]Jakiatin Nisa,Loc.Cit

[6]Sagaf S. Pettalongi, Loc.Cit

[7]Budhy Munawar – Rachman , pendidikan karakter dengan pendekatan living values education (Jakarta : The asia foundation 2019) h.18

[8]Ibid.h.18

[9]Ibid.18

[10]Sagaf S. Pettalongi.Loc.Cit

Toleransi di Era Digital

Toleransi di Era Digital

By: Danang Esha M.

Indonesia merupakan negara yang beragama, ini biasa dilihat dari dasar Negara dan juga undang-undangnya. Sila pertama Pancasila, yaitu “Ketuhanan yang Maha Esa”, serta pasal 28E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakanan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama danber ibadat menurut agamanya..”Landasan tersebut sudah jelas, Indonesia adalah negara yang beragama dan berketuhanan. Ada 6 agama yang diakui di Indonesia mencerminkan keberagaman,keberagaman inilah yang terkadang menimbulkan pergesekan antar umat beragama.

Di Indonesia, Islam adalah agama mayoritas, umat Muslim di Indonesia adalah yang terbanyak di dunia, namun tak heran banyak juga yang Islam “KTP”. Maksudnya, ketika seseorang hanya di identitasnya saja Islam, namun prilakunya jauh dari itu. Sebagai mayoritas, beberapa oknum yang beragama Islam bertindak otoriter, contohnya salah satunya yaitu pemotongan nisan salib di pemakaman tepatnya di Yogyakarta pada akhir 2018. Berita tersebut dengan cepat viral melalui media sosial, misalnya Twitter. Contoh lainnya, pada bulan Februari tahun ini, beredar sebuah video berasaldari pemilikakun Twitter @beamerboyy_. Di dalam video tersebut, Nampak seorangpemuka agama non-Islam, membacakan surat pernyataan bahwa, agama tersebut tidak akan melakukan kegiatan keagamaan dalam waktu yang ditentukan, yang mana tempat ibadah mereka di lingkungan kaum Muslim. Di dalam video itu, pemuka agama mengatakan bahwa tidak ada paksaan dari pihak manapun, namun berdasarkan pengamatan penulis ketika melihat video tersebut, jelas beliau terpaksa melakukan itu dan mendapatkan intervensi dari masyaakat yang berbondong-bondong mengelilinginya. Meskipun begitu, sebagai umat Muslim, penulis mencoba berprasangka baik, semoga yang dikatakan beliau benar adanya.

Dari dua contoh di atas, sebagai negara yang beragama dan berketuhanan yang memiliki semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, seharusnya peristiwa tersebut tidak perlu terjadi.Ini sudah jelas di dalam Al-Quran, terjemahan Qs Al – An’am: 108, Allah berfirman:“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti  akan memaki Allah melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”.

Dari ayat di atas, kita sebagai kaum Muslim seharusnya bertoleransi dengan non-muslim, dengan cara tidak mencela mereka terhadap yang mereka lakukan saat berbadah.

Pada era digital ini dan juga kebebasan berpendapat, tak heran terkadang timbul perpecahan antar umat beragama.Ini bisa dilihat melalui Youtube, Twitter, dan media sosial lainnya. Ada juga beberapa oknum non-muslim yang sengaja memancing amarah umat Muslim, bahkanada pula perselisihan sesama Muslim, yang disebabkan oleh perbedaan pendapat, yang mana itu seharusnya pendapat saling menghormati, bukannya saling memaki. Dengan kecanggihan media sosial, bermunculanlah “hoax”yang mana menimbulkan perpecahan umat beragama. Hoax atau sebuah pernyataan yang bohong, yang digunakan segelintir masa untuk memecah suatu kelompok, dan hoax kini pun banyak dijumpai diberbagai berita, terutama di Facebook. Di sinilah banyak dijumpai berita-berita bohong yang bertujuan memecah kerukunan umat.

Sebagai pengguna media sosial yang bisa dibilang aktif, penulis telah memperhatikan pengguna-pengguna media sosial, terutama yang berada di Indonesia.Yang pertama, penggunaakun Twitter. Di jejaring media seperti ini, biasanya penggunanya berumur 15 tahunkeatas.Setiapujarankebencianataucandaanyang  menyangkut agama , pasti akan mendapatkan banyak respons. Dari sekian banyak candaan yang menyangkut agama, ketika Islam yang menjadi sumber candaan, maka banyak warganet yang turut berkomentar dengan nada pedas dan menyayangkan sikapsi pembuat candaan. Warganet yang tidak terima mengatakan bahwa agama bukan bahan untuk dibuat bercanda. Tetapi, di lain sisi banyakjuga yang memuji. Mereka yang mendukung terhadap candaan ini, biasanya menganggapi tubukanlah sesuatu yang berlebihan dan masih dalam batas kewajaran. Dalam kasus ini, penulis mengambil tempat sebagai warganet yang menentang candaan yang melibatkan agama. Ini sesuai dengan firman Allah Qs: At Taubah: 65-66 sebagai berikut terjemahannya.“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersendagurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakahdengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.Jika kami memaafkan sebagian dari kamu (karena telah tobat), niscaya Kami akan mengazab   golongan (yang lain) karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang (selalu) berbuat dosa”.

Berbeda dengan Twitter, usia pengguna Instagram mulai dari 10 tahun, yang mana pada usia tersebut jiwa anak-anaknya masih mendominasi, jadi ketika mereka mengirim konten atau berbalas komentar di Instagram, mereka belum memikirkan dampak yang akan ditimbulkan. Bisa saja perpecahan persatuan umat beragama rusak disebabkan oleh kiri mandarin anak-anak yang belum mengerti dampak yang akanciptakan. Seringkali, pengguna Instagram mengambil kiriman yang viral di Twittertanpa meyantumkan sumber. Ini membuat pengguna Twitter yang kirimannya diambil oleh pengguna Instagram merasa geram. Mereka menanggap pengguna Instagram tidak kreatif, karena hanya mampu mencuri atau mengambil konten dari Instagram.

Di sosial media YouTube juga banyak konten video yang mengujar kebencian, salahsatunya yaitu kanal Louis Budi Prasetyo. Di kanal tersebut, ada seorang pria non muslim, yang mencoba mempengaruhi umat muslim dengan cara mencari kesalahan-kesalahan yang dilakukan ulama. Salah satu videonya berjudul “Mengungkap kekeliruan Ustad Abdul Somad”. Memang di era sekarang ini kita bebas berpendapat namun tidak etis jika seseorang mencari-cari kesalahan orang lain, apalagi orang tersebut bukanlah termasuk golongan, jadi dia tidak tahu menahu tentang topic tersebut. Tujuannya hanya untuk mempengaruhi kaum muslim dan memecah umat beragama.

Akhir-akhir ini heboh tentang NU yang meminta agar non-muslim disebutkafir. Penulis mememukan berita ini di halaman Line Today , di dalam berita tersebut NU meminta agar sebutan kafir bagi non-muslim di Indonesia diganti menjadi muwathinun yang artinya warganegara. Jelas, ini ada yang mendukung dan menolak. Di kolom komentar nampak beberapa komentar, salah satunya dari Angel, “mau dibilang kafir atau apapun juga, iman kami kuat kok bedaamay glaen, jadi terserah situ simau manggil apa dosa juga masing-masing”. Dari sini jelas, bahwa penyebutan kafir di Indonesia masih kurang dipahami dengan baik. Kafir sendiri memiliki artiya itu menutup diri dari kebenaran, asal katanya dari bahasa Arab. Pada zaman nabi juga banyak yang kafir, seperti Abu Lahab, Abu Jahal, mereka orang Arab, tidak marah dipanggil kafir, karena mereka paham apa arti kafir tersebut. Berbeda dengan di Indonesia, arti kafir sendiri masih dianggap tabu dan memiliki nilai negatif. Jadi, penulis berharap agar ulama-ulama Indonesia makin gencar untuk memberi pemahaman bagi mereka yang salah paham akan arti tersebut. Karena di Al-Quran juga sudah jelas penyebutannya yaitu kafir, seperti salah satu surah di Al-Quran yaitu surah Al-Kafirun.

Diakhir penulis ingin menyampaikan bahwa setiap agama pasti mengajarkan tentang nilai-nilai kebaikan, tetapi mengapa kita sebagai umat beragama tidak bisa mengimplementasikannya dikehidupan sehari-hari atau bersosial media, malah saling menebar kebencian. Penulis ingin mengutip kata-kata dari Kim Phuc, beliau adalah korban selamat dari perang Vietnam, yang penulis lihat videonya di Twitter, beliau berkata bahwa “Jika setiap orang bisa belajar untuk hidup dengan cinta, harapan dan memaafkan, jika semua orang bisa melakukan itu, sudah jelas bahwa kita tidak memerlukan perang”.

Dari uraian di atas, penulis berharap agar masyarakat Indonesia makin rukun kedepannya, makin toleransi antar umat beragama di kehidupan sehari-hari maupun didunia maya menggunakan sosial media, jangan mau dipecah belah sebagai bangsa. Bhinneka Tunggal Ika! Kita satu, kita Indonesia!

Pentingnya Spritualitas dalam Pendidikan Kita

Pentingnya Spritualitas dalam Pendidikan Kita

By: Imam Hanafi, MA

Sekretaris ISAIS UIN Suska Riau

Baru-baru ini kita dihadapkan oleh drama pembusukan skandal perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia. Belum lagi selesai kasus ini, wajah negeri ini “ditangisi” oleh godaan nafsu segelintir artis Indonesia yang menawarkan kenikmatan duniawiyah. Belum lagi cerita-cerita busuk lainnya yang selalu menghias di media kita, baik elektronik maupun surat kabar, mulai dari perselingkuhan, korupsi, pemerkosaan, bahkan pembunuhan dengan sangat brutal.

Kondisi ini lah yang saat ini menggayut dan mengitari pendidikan anak-anak kita. Kita sering mengatakan bahwa kualitas pendidikan di negeri ini tergantung pada kualitas guru, kualitas media pembelajaran, kualitaskurikulum, dan seterusnya.

Kita lupa bahwa para pemimpin, penguasa, aparat keamanan, pejabat dan ulama di negeri ini adalah pihak-pihak yang memiliki peran strategis dalam membangun uswatun hasanah bagi anak-anak kita. Mereka ini adalah medium bagi para siswa untuk meniru dan mencontoh gaya hidupnya.

TimbalBalikPendidikandanBudayaPolitik

Institusi-institusi dan proses politik disuatu Negara, membawa dampak besar pada karakteristik pendidikannya. Juga akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku peserta didiknya. Jadi antara pendidikan dan budayapolitik itu mempunyai hubungan erat dan dinamis. Hubungan tersebut adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan peradaban manusia dan menjadi perhatian para ilmuan.

Misalnya sebagaimana yang dikemukakan oleh Rasyid (1994: 6), bahwa “kedudukan politik didalam Islam sama pentingnya dengan pendidikan tanpa otoritas politik, syariat Islam sulit bahkan mustahil untuk ditegakkan. Kekuasaan adalah sarana untuk mempertahankan syiar Islam. Pendidikan bergerak dalam usaha menyadarkan umat menjalankan syariat. Bila politik berfungsi mengayomi di ata, maka pendidikan harus melakukan pembenahan lewat arus bawah”.

Kutipan diatas menegaskan bahwa hubungan antara politik dan pendidikan dalam Islam tampak demikian erat. Perkembangan kegiatan-kegiatan kependidikan banyak dipengaruhi oleh para penguasa dan para penguasa memerlukan hubungan yang baik dengan institusi-institusi pendidikan untuk membenarkan dan mempertahankan kekuasaan mereka.

Persoalannya kemudian adalah ketika lembaga-lembaga di luar pendidikan tidak mampu memberikan nilai-nilai pendidikan.Sehingga, dekadensi moral yang terus saja muncul dikalangan anak-anak dan remaja saat ini, tidak lepas dari andil lembaga-lembaga diluar pendidikan, misalnya para aparatur Negara, para pemimpin politik, dan bahkan para ulama.

Moral generasi muda saat ini, dijejali oleh perilaku-perilaku kerakusan dan keserakahan. Kita terlalu sering mempertontonkan dihadapan anak-anak dan remaja kita, perilaku sadis, membantai, dan menginjak hak-hak orang lain.Aparat keamanan tidak bisa lagi diharapkan untuk menjaga ketenangan masyarakat bahkan aparat keamanan yang seharusnya menjadi panutan masyarakat, lebih memprihatinkan kondisinya (mudah disuap, banyak yang terlibat kasus judi, dan bahkan menjadi salah satu institusi Negara yang terkorup).

Bagaimana mungkin amanat UU NO 20/2003 tentang Sisdiknas yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah “menciptakan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Yuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab“ dapat terwujud? Jika mereka yang menjadi “corong” atau garda terdepan dalam mengawal dan melaksanakan UU tersebut, justru terlibat berbagai skandal yang menodai bangsa ini?.

Perlunya Spritualitas dalam Pendidikan

Pendidikan, khususnya pendidikan formal disekolah, tidaksajamerupakan tempat transfer pengetahuan (Tranfer of Knowlegde)tetapi juga sebagai tempat transfer nilai (Transfer of Value), nilai dalam hal ini sangat erat kaitannya dengan norma-norma dan segala sesuatu yang baik dimasyarakat.

Persoalannya kemudian adalah bagaimana mungkin seorang peserta didik mampu memperoleh sebuah nilai yang baik, jika konstruk sosial masyarakatnya justru memamerkan “kebusukan-sosial”?

Maka, sangatlah perlu kiranya saat ini kita berusaha melakukan upaya penjelajahan terhadap aspek spiritualitas dalam proses pendidikan anak kita. Meskipun tradisi spritualitas ini, sangat uneversal, yaitu semua agama memilikinya.

Penggunaan aspek spritual dalam proses pendidikan yang paling sederhana adalah bagaimana orang tua, guru dan lembaga-lembagadiluarpendidikan (tokoh masyarakat, Politikus, Ulama, Pemerintah) sungguh-sungguh mendoakan pada semua peserta didik di negeri kita ini.Sehingga, saya bisa membayangkan betapa indahnya jika para guru negeri ini, para pemimpin bangsa ini, bangun malam sembari menangis dihadapat Tuhannya demi kesuksesan dan pembentukan moral anak didiknya.

Proses ini saya kira sudah umum dilakukan oleh para Kyai di Pondok Pesantren. Sehingga memang moralitas di Pesantren lebih terbentuk. Karena ada nilai spritualitas dalam proses pendidikanya.

Wal hasil, tradisi spiritualitas dalam Islam memiliki khasanah pemikiran yang sangat kaya dalam pembentukan moral-spiritual seseorang. Sehingga meskipun seringkali spritualitas dimaknai sebagai falsafah hidup dengan kekuatan daya intuitifnya yang subyektif, namun dapat membangkitkan jiwa seseorang dari suatu anomali kejiwaan kepada pemenuhan hasrat spiritual yang berujung pada lahirnya kepribadian yang penuh dengan kearifan.Walla hu a’lam bi al-Showab.

DARI ISRA’ SPRITUAL KE MI’RAJ SOSIAL

DARI ISRA’ SPRITUAL KE MI’RAJ SOSIAL

By: Imam Hanafi, MA.

Sekretaris ISAIS UIN Suska Riau

Seandainya aku Muhammad yang di-Isra’ Mi’raj-kanitu, maka demi Allah aku tidak akan mau dikembalikan lagi kebumi.”

(Sir Muhammad Iqbal)

 

Salah satuperistiwa yang bersejarah dalam kehidupan Nabi Muhammad adalah peristiwaIsraMi’raj. Kenapa bersejarah? Karena ia merupakan milestone (tonggaksejarah) bagi kehidupan Nabi Muhammad sendiri dan seluruh umatnya. Milestone adalaha significant point in any progress of development, yang berarti bahwa peristiwa yang bermakna dan memberikan dampak bagi bergerak majunya ummat manusia atau masyarakat atau suatu bangsa dalam perkembangan atau pembangunannya.

Hal ini disebabkan oleh karena isra’ mi’raj  merupakan peristiwa atau momentum penting yang  memiliki makna perubahan bagi perubahan adab dan budaya ummat Islam, karena peristiwa tersebut mampu merobah pola pikir, pola sikap dan tindak umat Islam atau bangsa Arab pada saat itu. Salah satu pesan penting dalam peristiwa ini adalaha dan ya perintah untuk menunaikan salat lima waktu sehari semalam.

Umum dipahami bahwa IsraMi’raj terjadi pada periode akhir kenabian di Makkah sebelum Rasulullah hijrah keMadinah.Misalnya merujuk pendapat al-Allamah al-Manshurfuri, Isra Mi’raj terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke-10 kenabian Nabi Muhammad. Begitu juga pendapat al-Maududi dan mayoritas ulama, Isra Mi’raj terjadi pada tahun pertama sebelum hijrah, yaitu antara tahun 620-621 M. Meskipun demikian, tidak dipungkiri sebenarnya telah terjadi perbedaan dikalangan para ulma’ terkait dengan peristiwa ini. Misalnya Imam An-Nawawi dan Al Qurthubi  menyatakan bahwa perisitiwa tersebut terjadi lima tahun setelah Nabi Muhammad diutus sebagai rasul, bukan tahun ke-10.

Isra’ Spritual

Dalam beberapa literatur menyebutkan bahwa Isra dan Mik’raj adalah perjalanan Nabi Muhammad SAW. Dari Mekah keBait al-Maqdis (Palestina) kemudian naik keSidrat al-Muntaha serta kembali lagi keMekah dalam waktu sehari semalam. Dalam psikologi, persitiwa ini sebenarnya adalah peristiwa religious experience (pengalaman keagamaan) yang sangat luar biasa. Karena sifatnya yang luar biasa inilah, Isra Mi’raj menjadi dari bagian mukjizat Nabi yang tidak seorang pun mengalaminya, kecuali Nabi Muhammad SAW.

Sebagai sebuah pengamalan keagamaan, perjalanan yang dialamai Nabi Muhammad tersebut pada dasarnya merujuk pada dua perjalanan sekaligus, yaitu naik kelangit dan turun kembali kebumi.

Dalam tradisi sufi, peristiwa “naik kelangit” merupakan perjalanan spiritual yang tidak mudah. Seseorang jika ingin memperoleh pancaran cahaya tasawuf (ma’rifatullah) perlu menempuh tahapan spiritual (maqamatruhiyyah). Tahapan-tahapan spiritual seperti tobat, wara’, zuhud, faqr, sabar, tawakal dan syukur bisa digapai melalui bermacam-macam ibadah, mujahadah dan riyadhah serta menyerahkan segenap jiwa dan  raga sepenuhnya kepada Allah SWT. Ketika ia mampu meluruhkan atau melenyapkan sifat-sifat kebinatangan yang ada pada dirinya, seperti sombong, angkuh, kikir, serakah, dan lainnya, maka ia akan mengalami ahwal, yaitu keadaan pengalaman spiritual dalam mengintropeksi jiwa (muhasabah al-nafs). Suatu keadaan dimana ia mampu mendekat kehadirat Allah Swt.

Karena begitu susahnya manusia menuju ke Allah, maka sangat wajar ketika para sufi memberikan komentar “Muhammad telah naik, aku bersumpah, seandaikan aku yang mencapai tempat itu (baca; Sidrat al-Muntaha), aku takkan mau kembali lagi kebumi” seru Abdul Quddus dari Ganggoh. Dalam dunia sufi, merasakan kenikmatan bersama dengan Allah, merupakan puncak aktivitas spiritual manusia.

MeskipunNabi Muhammad sudah mencapai maqam tertinggi dalam dunia sufi, sebagaimana yang selalu di idam-idamkan para sufi dalam mistisisme Islam, namun Nabi Muhammad bukanlah “sufi” tipikal seperti itu. Muhammad SAW. Adalah seorang rasul yang –meminjam istilah filsuf penyair Dr. Sir Mohammad Iqbal- harus “menyiapkan diri kedalam kancah zaman”. Nabi Muhammad justru turun kebumi.

Menuju Mi’raj Sosial

Kembalinya NabiMuhammad SAW. Dari pengalaman keagamaan yang maha dasyat atau yang oleh oleh Gustav Jung sebut sebagai bagian dari arche type (pola dasar) bagi kehidupan umat Islam, maka umat Islam mesti menjadikan perjalanan spiritual tersebut sebagai upaya untuk mentransfer nilai-nilai kemanusiaan dalam dimensi yang lebih luas. Sejarah sacral  paranabi, termasuk Isra Mi’raj ini, menjadi apa yang oleh sosiologi Prancis terkemuka, Pierre Bourdieu disebut “akalpraktis” (senspratique), yaitu kemampuan yang mengendalikan umat Islam dalam kehidupan praktisnya. Bukan menjadi objek atau hasil pemikiran rasional. Sebagai “modal simbolis” (capital syimbolique), karena peristiaIsra Mi’raj dapat dijadikan modal simbolis untuk menjadikan sesorang menjadi besar dalam kehidupan sosialnya dan sebagai “peresapan dalam tubuh” (incoper incorporation), berarti peristiwa Isra’ Mi’raj dapat diolah menjadi modal simbolis untuk dikembangkan kedalam sikap atau gerak kehidupannya saat ini.

Dengan demikian, Mi’raj bukanlah titik    Muhammad  tersebut. Merasakan kenikmatan ruhani yang maha dahsyat,bukanlah tujuan dari perjalanan hidup dan risalahnya. Hal inilah yang membuat Nabi dan Sufi agak bertolak belakang. Jika dalam dunia Sufi memandang ekstase kenikmatan ruhani itu sebagai tujuan hidupnya, sementara  bagi Nabi, kenikmatan ruhani yaitu hanyalah sekedar menjadikannya sebuah rehat sejenak untuk mengambil kembali energi ruhani, mengisi ulang stamina jiwa. Sesudah itu dunia menantinya untuk berkarya bagi kemanusiaan.

Inilah karya kemanusian terbesar bagi Nabi Muhammad. Merelakan kenikmatan ruhaniyah demi kembali berjuang menyelamatkan kaum jahiliyah pada waktu itu. Dan memang Nabi Muhammad telah memperoleh mi’raj yang sangat istemewa, mi’raj ini dapat diperoleh kapan saja dan oleh siapa saja.Karena baginya,”Saat mi’raj seorang mukmin adalah shalat!”

Shalat, kata Sayyid Quthb, adalah hubungan langsung antara manusia yang fana dan kekuatan yang abadi.Ia adalah waktu yang telah dipilih untuk pertemuan setetes air yang terputusdengansumber yang takpernahkering. Iaadalahkunciperbendaharaan yang mencukupi, memuaskan, dan melimpah. Ia adalah pembebasan dari batas-batas realita bumi yang kecil menuju realita alam raya.

Namun begitu, shalat bukan saja dipandang sebagai karitas individual, tetapi juga menunjuk pada transformasi sosial. Shalat merupakan jalan yang paling manusiawi untuk mengubah sejarah kehidupan umat manusia kearah yang lebih berkeadapan (madinat). Sebab, dalam proses ini yang berlaku adalah pendampingan, bukan pemaksaan, begitu penjelasan Dr. Moeslim Abdurrahman.

Postulasi epistemologis shalat sebagai tonggak peradaban, secara gamblang telah dijelaskan oleh Ochen Idris Sirfefa, menurutnya hadits yang berbunyi “Al-sholatu ‘imadu al-din famanaqaamahufaqadaqaama al-diin” dapat diartikan secara luasyaitu, “Shalat itu tonggak perdaban, maka barang siapa yang mengerjakannya telah menegakan peradaban”. Maka, agama (sholat) dengan peradaban bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.

Shalat dengan begitu harus berdampak pada dimensi keadaban. Kadar ketakwaan sesorang dihadapan Tuhan bukanlah semata-mata ditentukan oleh rutinitas shalatan-sich, tapi juga sejauh mana implikasi shalat itu dalam aksi kemanusiaan secara universal.

Jika kita sekarang masih menyaksikan ketidakadilan, kemiskinan, kesenjangan sosial, korupsi, kelaparan, terror, pembunuhan, pemerkosaan, dan “patologi social” lainnya yang marak belakang ini, mungkin ada baiknya kita intripeksi diri (muhasabah al-nafs), sekaligus berbenah diri (reformasi), sudahkah kita shalat secara baik dan benar? Sudahkah kita mampu mengejawantahkan fungsi shalat di tengah krisis social belakangan ini?.

Padaara sinilah, bias dipahami bahwa IsraMi’raj dapat dijadikan sebagai kekuatan transformasi untuk perubahan social menuju format masyarakat yang adil, egaliter dan masyarakat yang madani. Wallahua’lam