AGAMA DAN BUDAYA: Persebatian dalam Tradisi Intelektual Melayu

AGAMA DAN BUDAYA: Persebatian dalam Tradisi Intelektual Melayu

Oleh: Alimuddin Hassan Palawa,

Agama dan budaya merupakan dua entitas yang absurd untuk dipisahkan satu dengan lainnya. Dalam pentas sejarah perkembangan peradaban anak manusia di bebarapa belahan jagat ini. Karenanya, agama dan budaya selalu mengalami pergumulan secara sangat intens signifikan, dan tak terkecuali pada belahan Dunia Melayu-Nusantara. Maka agama dan budaya dalam di kawasan ini mempunyai pertalian yang jalin-berkelindan. Dengan kata lain, persebatian agama Islam dan budaya Melayu di kalangan masyarakat Melayu, khususnya Riau sudah menyatu dan senyawa dalam kehidupan mereka.

Sekedar catatan bahwa kata “persebatian” berasal dari kata dasar “bati” yang arti etimolginya: sesuai, selaras, senyawa, bersatu-padu dan sangat mesra. Dengan demikian, kata “sebatian” berarti perpaduan dua atau lebih menjadi satu. Jadi, kata “persebatian” bermakna “Proses persatu-paduan antara dua orang/sesuatu atau lebih untuk menjalin keselarasan hubungan yang sangat akrab dan mesra.” (Lihat, Teuku Iskandar, Kamus Dewan, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1970: 79; Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988: 84).

Selanjutnya, dengan memeluk agama Islam, selain berberadat-istiadat dan berbahasa Melayu menjadi penentu bagi “kemalayuan” seseorang. Bahkan ketika sifat kemelayuan ini menjadi syarat dasar yang harus dipenuhi oleh orang Melayu jika ingin dianggap “manusia”. (Lihat, Jan van der Putten, “Pemekaran Negeri Kata-Kata: Konfigurasi Kebudayaan Melayu di Riau”, dalam Amin Sweeney et.al., Keindonesian dan Kemelayuan dalam Sastra, Depok: Desantara: 26).

Dengan kata lain, seseorang dapat dianggap “Melayu”, misalnya apabila telah memenuhi persyaratan utamanya, yaitu beragama Islam. Dalam hal ini, menurut Chou, “kajian atas masyarakat Melayu cenderung menekankan homogenitas bentuk-bentuknya yang difokuskan kepada Islam disamping adat dan bahasa Melayu sebagai fitur essensial “menjadi Melayu.” (Lihat, Cynthia Chou, “Orang Laut Women of Riau: An Exploration of Difference and the Emplems of Status and Prestige”, dalam Indonesia Circle, no. 67 (1995), 175). Maka dikebanyakan daerah Sumatera, Semenanjung dan Kalimantan, menurut Reid, masuk agama Islam berarti juga ”menjadi Melayu” (masuk Melayu). (Lihat, Anthony Reid, “Introduction”, dalam The Making of an Islamic Discourse in Southeast Asia, Monash Paper on Southeast Asia – No. 27, Clayton, Victoria: Monash University, 1993: 3).

Di kalangan orang Melayu terkadang muncul kebingungan, siapa sesungguhnya orang Melayu itu. Ketika orang menyebut term “Melayu” ada beberapa asosiasi pengertian.

Pertama, Melayu dalam arti satu ras di antara berbagai ras lainnya di dunia. Ras Melayu adalah ras manusia yang berwarna kulit coklat. Dalam pengertian, semua orang yang berwarna kulitnya coklat di Nusantara (Asia tenggara umumnya) adalah Melayu.

Kedua, Melayu dalam pengertian suku (etnis) Melayu itu sendiri yang mendiami, khususnya di kawasan pesisir timur Sumatera.

Ketiga, Melayu dalam pengertian suku bangsa dalam konteks yang memiliki adat-istiatad dan budaya Melayu (Melayu perspektif kultural). Maka suku bangsa yang tidak memiliki adat (budaya) Melayu disebut sebagai non-Melayu.

Keempat, Melayu dalam pengertian agama Islam, khusus misalnya kawasan pesisir timur Sumatera dan Semenanjung Malaysia, sesorang dapat dikatakan Melayu kalau beragama Islam. Maka kalau ada orang masuk Islam, ia dikatakan masuk Melayu. (Lihat, Muchtar Lutfi, “Interaksi Antara Melayu dan Non-Melayu Serta Pengaruhnya Terhadap Pembauran Kebudayaan dan Pendidikan”, dalam Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya (Pekanbaru: PEMDA Riau, 1986), 488; Timothy Bernard, “Texts, Raja Ismail and Violence: Siak and the Transformation of Malay Identity in the Eighteenth Century”, dalam Contesting Malayness: Malay Identity Across Boundaries, ed. Timothy Barnard, Singapore: Singapore University Press, t.t, 107).

Dari pengertian “Melayu”, sebagaimana telah disebutkan di awal tulisan ini, karenanya, agama dan budaya dalam tradisi intelektual Melayu absurd dipisahkan. Meskipun demikian, agama dan budaya dua entitias yang distingtif, tentu dapat dibedakan. Perbedaan prinsip antara agama dan budaya setidaknya dengan dua alasan.

Pertama, “argumen ideal-epistimologis”. Bahwa agama adalah kebenaran bersumber dari wahyu (revilation) sebagai ciptaan Tuhan (God made-riligion). Untuk itu, kebenaran yang dikandungnya bersifat absolut dan universal, berlaku untuk semua waktu dan ruang. Sementara budaya adalah kebenaran berasal dari akal (ratio) sebagai ciptaan manusia ( man made-culture). Karenanya, kebenaran yang dikandungnya bersifat relatif dan lokal, terbatasi oleh waktu dan ruang. Maka ketika kedua kebenaran ini dikonfrontir, tentu saja, kebenaran absolut-universal (agama) dimenangkan ketimbang kebenaran relatif-lokal (budaya). (Lihat, Nurchalish Madjid, Islam Agama Kemausiaan, 1995: 36).

Kedua, “argumen empiris-historis”, merupakan kelanjutan dari yang pertama. Bahwa agama dipahami, meminjam istilah Azra, sebagai tradisi besar (great tradition), sedangkan budaya dipahami sebagai tradisi kecil (little tradition). Lebih lanjut, agama adalah primer atau centeral tradition;  dan budaya adalah sekunder atau periferal tradition. Konsekwensi logisnya, kebanyakan budaya-politik berdasarkan agama, tidak pernah terjadi sebaliknya, agama berdasarkan budaya. Maka agama menjadi faktor determinan bagi budaya; dan budaya menjadi subordinasi terhadap agama. (Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, Pengalaman Islam, 1999: 13; Nurchalish Madjid, Islam Agama Kemausiaan, 1995: 36).

Agama, utamanya Islam mengandung nilai-nilai yang sangat kondusif bagi pengembangan budaya. Al-Attas, mislanya menyebutkan “karena agama Islam adalah agama yang mengandung semangat keagamaan yang rasional dan sekaligus melahirkan daya intelektualisme kepada penganutnya.” Al-Attas menambahkan, “semangat rasionalisme dan intelektualisme tidak termanifestasi pada masa sebelum Islam.” (Syed M. N. al-Attas, Prelimenary Statement on a General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesia Archipelago, 1969: 11).

Dalam perkembangan emperis-historisnya, agama Islam telah menjadi landasan dan model bagi dunia Melayu dengan membentuk “budaya tinggi”, dan ini semakin meluas awal abad ke-17. Sebelum kedatangan Islam, nilai-nilai budaya [politik] Melayu, umpamanya, ada ungkapan: “pantang Melayu mendurhaka!” –ketaatan tanda reserve rakyat vis a vis penguasa. Belakangan, setelah Islam masuk, adigium tersebut diubah: “Raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah!” (Hussin Mutalib, Islam dan Etnisitas, Perspektif Politik Melayu, 1995: 18).

Argumen empiris-historis ini diperkuat sendiri oleh al-Attas, misalnya, ketika ia menyoroti bahasa Melayu sebagai lingua franca: “Sesungguhnya tanggapan umum bahwa bahasa Melayu itu telah lama tersebar luas sebagai lingua franca sebelum datangnya Islam masih boleh diperdebatkan, sebab di zaman pra-Islam perdagangan di kepulauan ini tidak meluas pasarannya …. Kemudian, jika sungguh benar bahwa bahasa Melayu itu sudah merupakan lingua franca di zaman pra-Islam, mengapa ia tidak menjadi bahasa sastra selama berkurun-kurun itu –sedangkan yang demikian itu tercapai hanya sesudah datangnya Islam.” (Syed M. N. Al-Atas, Islam Dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, 1990: 65).

Pernyataan Naquib al-Atas di atas secara umum ada benarnya. Meskipun pada bagian awal pernyataan tersebut perlu dipertanyakan. Apakah bahasa Melayu pra-Islam belum menjadi lingua frangca kalau dihubungkan dengan bidang perdagangan pada masa pemerintahan maritim kerajaan Sriwijaya, misalnya? Akan tetapi, pernyataan Naquib al-Atas menjadi benar ketika bahasa Melayu –tidak menjadi lingua frangca— dikaitkan dengan perkembangannya sebagai bahasa sastra di Nusantra, karena bahasa Melayu baru menjadi bahasa sastra setelah datangnya Islam lewat rintisan kesulatanan Aceh.

Kemudian, bahasa Melayu berkembang menjadi bahasa tulis dan karya-karya literer lainnya yang lebih serius dan canggih di bawah asuhan intelektual Muslim Sermabi Mekkah, seperti Hamzah Fanzuri, Syams al-Din dan Nur al-Din al-Raniri pada abad ke-17. Dan pada abad berikutnya geneologi bahasa Melayu sebagai bahasa ilmiah diteruskan oleh intelektual Muslim di Sumatra Selatan, misalnya ‘Abd Samad al-Palembang; intelektual Muslim Kalimatan Selatan, seperti Muhammad Arsyad al-Banjari, dan kawasan lainnya. (Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 1995: 166-266:

Upaya mengembangan bahasa Melayu menjadi bahasa tulis, menurut Nurcholish Madjid, “terjadi dengan menggunakan fasilitas huruf Arab yang dengan sendirinya sudah merupakan bagian dari kekeayaan atau rujukan kultural sebuah kekuasaan Islam. Bahasa Melayu dengan huruf Jawi itu kemudian menyebar ke seluruh Nusantara, dan dengan terlebih dahulu menjadi pola utama kebudayaan di deerah-daerah pesisir Selat Malaka, baik sisi Sumatera maupun sisi Semenanjung.”

Belakangan, selama rentang abad ke-19 bahasa Melayu sebagai bahasa sastra dan bahasa tulis dengan fasilitas huruf Arab-Jawi semakin berkembang yang,  menurut Nurcholis Madjid, puncaknya terwujud di Riau, dan Pulau Penyengat sebagai Pusat denyut nadinya di bawah binaan intelektual Muslim Melayu-Riau, Raja Ali Haji dan generasinya. Sehingga, ketika bahasa Indonesia belum dikenal di awal abad ke-20, menurut Muhammad Hatta, “…. Yang dikenal sebagai lingua franca ialah bahasa Melayu Riau. Orang Belanda menyebutknya Riouw Meleisch. Ada yang menyebutkan berasal dari logat sebuah pulau kecil yang bernama Pulau Penyengat dalam lingkungan pulau Riau.” (Hasan Junus dan Tim Penulis, Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji, 71).

Di Melayu-Riau sendiri agama telah menjadi faktor utama dalam mendorong aktifitas dan kreatifitas intelektual, dan sekaligus mengangkat kebudayaan Melayu. Sebelum Islam kebudayaan Melayu-Riau, kata Hasan Junus, “tidak lebih dari sebuah kebudayaan periferi yang tidak memperlihatkan mutu intelektual mengesankan.” (Lihat, Nurcholish Madjid, “Khazanah Kesufiaan, Kekayaan Terpendam dalam Perpendaharaan Budaya Kemanusiaan dan Peran Rintisan Aceh dalam Pertumbuhan Keindoneseian”, Makalah, KKA 170 Paramadina, Regent Hotel, 24 Agustus 2001; Hasan Junus Lihat “Pengantar” dalam U.U. Hamidi, Riau Sebagai Pusat Bahasa dan Budaya, 1988: 10).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb,
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies) UIN Suska Riau.

KAJIAN ISLAM ASIA TENGGARA: Pertautan Antara Tradisi dan Modernitas

KAJIAN ISLAM ASIA TENGGARA: Pertautan Antara Tradisi dan Modernitas

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*)

Mari kembalikan ingatan kita pada lebih dua dasawarsa silam, tepat 23 tahun silam, sewaktu akan dibukannya Program Pascasarjana IAIN Susqa Pekanbaru [kini UIN Suska Riau], persisinya pada 1997. Konon, untuk pembukaan program pascasarjana itu, Pak Harun (demikian murid-muridnya menyapa-akrab Prof. Dr. Harun Nasution) mensyaratkan dua hal. Pertama, harus mendapat legitimasi legalitas dan sokongan dana dari Pemerintah Provinsi Riau. Al-Hamd Allah, Bapak Saleh Djasit, Gubernur Riau pada saat itu menyetujui dan mendukung secara moral dan financial pembukaan program pascasarjana tersebut. Sayang, kita seperti mau melupakan (menghapus) jasa dan kebaikan sesorang (baca: Bapak Saleh Djasit) dari benak-memori.

Kedua, harusmembukajurusan yang berbedadenganpascasarjana di lingkungan Kemenag RI yang telah ada sebelumnya, dan sekaligus menjadi “ciri kekuatan” Program Pascasarjana UIN Riau. Maka waktu itu pengelola pendirian menetapkan dengan membuka dua jurusan: (1) Jurusan Perkembangan Islam Regional Asia Tenggara (PIRAT) [dalam keterbatan ingatan saya, kalau tidak salah, nama singkatan awalnya adalah PRIAT: Perkembagan Regional Islam Asia Tenggra]; (2) JurusanPerkembangan Modern Dalam Islam (PMDI). Akan tetapi, disayangkan kedua jurusan ini sudah lama “terkubur” dalam kenanganan alumninya.

Kebijakan penetapan kedua jurusan di atas, menurut hemat penulis, bukan saja tepat, tetapi sekaligus cerdas. Disebut tepat dan cerdas karena kedua jurusan itu mencerminkan/menggambarkan suatu bangunan intelaktual dan keilmuan yang utuh dan relevan. Artinya, semangat yang dikandung dari eksistensi kedua jurusan itu adalah ingin membangun budaya intelektual yang, meminjam ungkapan Cak Nur (NurcholishMadjid), memiliki pertautan dengan warisan khazanah Islam masa silam, khususnya Islam di Asia Tenggara, dan secara kreatif dan cerdas diterjemahkan kepada hal-hal yang relevan sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman modern.

Ada firman Allah (Q.s. Ibrahim [14]: 24-26) yang memberikan gambaran metapor bagi bangunan intelektual utuh dan relevan itu: “Tidakkah engkau lihat, bagaimana Allah membuat perumpamaan: kalimat yang baik adalah bagaikan pohon yang baik; pangkalnya kukuh (menghujam dalam bumi) dan cabangnyaada di langit. Pohon itu mendatangkan makanan (buah) setiap saat dengan izin Allah. Allah membuat berbagai perumpamaan untuk manusia supaya mereka merenungkan. Dan perumpamaan kalimat yang jelek adalah bagaikan  pohon yang jelek: tercerabut akarnya dari atas bumi dan tidak ada kekukuhan sedikit pun padanya.”

Belajar dari metapora Allah di atas, “kalimat” yang baik bagaikan pohon mempunyai pangkal kukuh: tidak akan tercerabut akarnya dari muka bumi, dan terus produktif menghasilkan mamfaat untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia. Bila perumpamaan ini ditarik kepada sebuah bangunan intelektual, maka kita memerlukan bangunan intelektual yang memiliki pangkal dan akar dalam tradisi keilmuan masa silam dalam peradaban kita. Justru adanya pangkal yang kukuh itu akan membuat kita, menurut Nurcholish Madjid [semoga Allah swt. senantiasa merahmatinya], mampu “membuahkan” inisiatif dan kerativitasi ntelektual sebagai usaha kita untuk merespon tuntutan perkembangan zaman modern.

Dengan kata lain, respon atas tuntutan perkembangan zaman modern menjadi absurd, setidaknya rapuh dan tidak bisa berdiri lama kalau tidak berasas pada bangunan tradisi intelektul masa lalu dan/atau tercerabut dari akar historistasnya. Prihal ini Cak Nur menyontohkan pada kasus negara Turki dan Jepang.

Pertama, kasus Turki dengan pemimpinanya Mustafa Kemal tidak berhasil (gagal) melakukan upaya modernisasi karena tidak berasas pada budaya  dan tradisi dan tercerabut dari akar-akar sejarahnya (baca: Islam) dan menggatinya dengan Nasionalisme, Sekularisme dan Westernisme.

Kedua, kasus Jepang yang mampu bangkit dari kehancurannya  pada Perang Dunia II. Belakangan Jepang berhasil dalam melakukan upaya  restorasi dan modernisasil lantaran pemimpin dan rakyatnya menghargai warisan khazanah intelektual masa lalunya.

Miskinnya ilmu pengetahuan dan  keterbatasan inforamasi kita tentang kawasan Islam Asia Tenggara dalam mengambil inisiatif yang sejati sekaligus kreatif, antara lain disebabkan, karena kita  kurang mengenal  dan menghargai warisan khazanah intelektual yang kita miliki. Untuk sekedar contoh, bila kita dihadapkan pada  persoalan-persoalan kekinian  dan kedisinian kemungkinan besar kita buta. Lantaran penguasaan sumber rujukan tidak kita punyai, sehingga kita tidak  mengetahui bagaimana hal yang sebanding pernah terjadi dalam tradisi khazanah intelektual kita untuk dapat dijadikan rujukan dan sumber ilham.

Sekedar umpama, persolan-persoalan politik,  yang dihadapi pada masa kontemporer ini, terutama menyangkut masalah etika politik, akan dengan mudah dipecahkan (dicari jalan solusinya) kalau kita mengambil rujukan dari al-Ahkam al-Sulthaniyah-nya al-Mawardi perspektif fiqh al-siayah; mengambil hikmah dari Madhinah al-Fadhilah-nya al-Farabi dalam perpektif “falsafah al-siyasah”; dan/atau mengambil ilham dari Nasihat al-Mulk-nya al-Ghazali dalam perspektif “sufi al-Suyasah”. Sama halnya untuk rujukan di Asia tenggara, kita dapat mengambil pelajaran dari Taj al-Salatin-nya  Bukhari al-Jawhari; Sejarah Melayu-nya Tun Sri Lanang; atau Bustān al-Salāṭin-nya Nurdin al-Raniri; atau mengambil tuah dari Tuhfat al-Nafis dan Tsamarat al-Muhaimmah dan Muqaddimah fi al-Intizam-nya Raja Ali Haji.

Tanpa mengetahui warisan khazanah intelektual Islam masa lalu, maka dengan semena-mena kita mengklaim diri kita sebagai “penemu” ilmu dan kebenaran itu. Padahal, jangan-jangan ilmu tersebut sudah “ditemukan” oleh orang-orang (sarjana-sarjana Muslim) sebelum kita. Masalahnya, bukannya ilmu-ilmu itu yang tidak ada, tetapi persoalannya adalah kita saja yang tidak tahu. Artinya, “ketiadaan ilmu bukanlah berarti ilmu tentang itu tidak ada” (‘adam al-‘ilmalaysailman bi ‘adamih). Pendeknya,  ketidaktahuan  khazanah bukan berarti khazanah itu tidak ada. Dengan sendirinya, jadilah kita a histories (tidak menyejarah) dan tercerabut dari akar sejarah.

Kembali merujuk kepada metapora di atas, paling tidak, kita dapat mengelaminir tuduhan sementara pihak (terutama orang-orang di luar IAIN dulu) yang mengatakan bahwa  studi keislaman (Islamic Studies) yang dilaksanakan di lembaga itu bersifat abstrak dan tidak menyentuh realita sempiris (mengawang-ngawang). Bahkan secara tandas mereka menyatakan kajian-kajian tersebut tidak layak untuk disebut ilmu.

Memang kritik itu tidak seluruhnya salah, kajian yang dilakukan di lembaga ini (baca: IAIN dulu) ada kelemahannya, contoh, misalnya dalam bidang Teologi. Kajian Teologi pada awalnya lebih banyak menggunakan análisis sejarah dan perbandingan pemikiran yang digambarkan secara deskriftif, seperti sejarah pemikiran aliran teologi Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah dan lain-lainnya.

Tema-tema yang diperbincangkan lebih banyak merespon persoalan-persoalan masa lalu dan tidak menyentuh relitas sosial masyarakat modern dewasa ini. Perbincangannya selalu diseputaran, misalnya, apakah Tuhan menciptakan alam ini dari ada atau tiada (creation ex nihilo); apakah al-Qur’an qadim (tidak diciptakan) atau baharu (diciptakan); apakah  Tuhan mempunyai sifat atau tidak; apakah kebangkitan di akhirat nanti bersifat jasmani atau ruhani; apakah surga dan neraka itu sudah ada sekarang atau belum; dan apakah iblis nanti (juga) masuk surga atau kekal di neraka; dan masih banyak lagi yang lainnya.

Akan tetapi, belajar dari metapora Allah di atas, di Program Pascasarjana yang dulu kami ikuti, perbincangan yang saya sebutkan di atas memang masih tetap digeluti ulang pada semester pertama sebagai wacana intelektual awal agar kami tidak tercerabut dari akar, sehingga bisa menjad ia histories. Meskipun begitu, pada semester ketiga dan keempat kami juga mendapatkan mata kuliah, misalnya Perkembangan Teologi Modern yang mendiskusikan masalah-masalah teologis yang bersifat emperis sesuai dengan tuntunan zaman modern.

Dalam   mengkaji teologi ini, misalnya juga dikaji pemikiran tokoh-tokoh modern dan kontemporer. Lagi pula, sewaktu studi di Program Magister (S2) di UIN Suska dulu (1997-1999) ada mata kuliah Perkembaagan Modern Dalam Islam (PMDI) yang memiliki dua orientasi, sebagaimana tersimpul dalam kaidah: “Al-Mahafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhudz bi al-jadid al-ashlah” (memelihara sesuatu tradisi lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik).

Pertama, menatap ke “belakang lewat intelektual-pemikir Muslim,  seperti Muhamamad Abduh dan Rasyid Ridha (Mesir), Sayyid Ahmad Khan dan Syed Ameer Ali (India) dan lainnya dalam “membedah” penyakit umat Islam: kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan umat Islam. Kemudian, “mendiagnosa” penyakit-penyakit tersebut diberikan “obat” penyembuhannya.

Kedua, menatap ke “depan” lewat intelektual pemikir Muslim, seperti Fazlur Rahman, Muhammad Arkound, Muhammad Abid al-Jabiri, Hasan Hanafi, Nazr Hamid Abu Zayd, Muhammad Shahrur, dan lainnya yang berupaya untuk memberikan solusi dengan membangun “metodologi baru” dalam memahami al-Qur’an demi menghadapi tantangan moderitas.

Dan hebatnya lagi, kehadiran jurusan Perkembangan Islam Regional Asia Tenggara (PIRAT) dengan mata kuliah-mata kuliah yang ada memiliki dua orientasi. Pertama, pada kajian sejarah Islam Asia Tenggara di masa silam sebagai wujud peletakan fondasi bangunan inteleketual yang kokoh. Kedua, pada kajian Islam Asia Tenggra di masa kini dengan “proyeksi” pada masa depan.

Meminjam motafora “kalimat yang baik”, Program Pascasarjana UIN Riau telah berupaya sebagai langka awal mewujudkan, “…. bagaimana Allah membuat perumpamaan: kalimat yang baik adalah bagai kanpohon yang baik; pangkalnya kukuh (menghujam dalam bumi) dan cabangnya ada di langit. Pohon itu mendatangkan makanan (buah) setiap saat dengan izin Allah.”. Dengan begitu, kajian Islam di Asia Tenggara berjalin kelindan antara tradisi dan modernitas.

Sadar akan sabagai alumni Program Pascsarjana yang bangga sebagai “anak angkatan pertama, merespon kawan Jarir Amrun, mari kita “hidup” kembali jurusan Perkembangan Islam Regional Asia Tenggara (PIRAT) yang memang “dibunuh” secara tidak sengaja oleh tuntutan zaman. Dalam konteks ini, kita sebaiknya tidak melulu berorientasi memenuhi tuntutan“pasar”, tetapi harus ada upaya yang “tidak populer” dalam mewujudkan bangunan tradisi intelektual yang utuh dan relevan. Bukankan sebuah perubahan besar awalnya diupayakan secara sungguh-sungguh dalam “kesunyian”?

Kalaupun jurusan PIRAT itu tidak bisa “dihidupkan” (lagi) dalam waktu dekat ini, minimal kajian kajian Islam Asia Tenggara dalam berbagai aspeknya “digalakkan” kembali disemua jurusan di progran pascasarjana yang ada sekarang secara khusus, bahkan pada UIN Suska secara umum. Bukankan dalam Renstra UIN Suska Riau tersebutkan bawah “karakterisitik”nya adalah kajian Islam Asia Tenggara. Jujur, karakterisktik ini sejak kelahirannya sudah menjadi “yatim piatu”. Para alumni Program Pascasarjana UIN Suska Riau, khususunya “anak anggatan”: 1, 2, dan 3 (1997-2000) harus rela menjadi bapak/ibu anggat atas anak yatim tersebut.

Mā Tawfiq illā bi Allāh,
Wa Allāh  a‘lam bi al-Ṣawāb

*)Direktur dan Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau).

Ringkasan Singkat Buku The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid Karya Greg Barton

Ringkasan Singkat Buku The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid Karya Greg Barton

Buku berjudul “Biografi Gus Dur; The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid” adalah buku yang ditulis oleh Greg Barton seorang berkebangsaan Australia. Dr. Greg Barton seorang senior lecturer di Deakin University Australia yang sangat aktif melakukan studi tentang Islam di Indonesia.

Pada tahun 1989 dia tinggal di Jakarta dan berkenalan dengan Gus Dur untuk pertama kalinya. Dari pertemuan yang hangat dan menyenangkan itu Greg akhirnya menjadi sahabat Gus Dur hingga sisa hidupnya. Tak jarang Gus Dur mengajak mahasiswa ini menemaninya dalam berbagai tugas kenegaraan ketika menjadi presiden. Hubungan antar personal inilah yang menjadi sumber informasi dari buku biografi Gus Dur.

The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid ini dibagi menjadi lima bagian. Bagian satu ke bagian berikutnya merupakan fase perjalanan hidup seorang Gus Dur dari kecil hingga saat ia menjabat sebagai pimpinan tertinggi Indonesia (Presiden).Gus Dur merupakan tokoh panutan yang sangat dihormati oleh banyak kalangan karena pengabdiannya kepada masyarakat, demokrasi, dan Islam toleran.

A. Riwayat Sang Intelektual
Sebagai seorang anak dari seorang kiai besar yang sekaligus pendiri organisasi Nahdlatul Ulama, Gus Dur tidak dapat dipisahkan dari lingkungan ayah dan kakeknya yakni pesantren. Pesantren dalam lingkup Nahdlatul Ulama merupakan unsur penting dalam sendi kehidupan organisasi ini.

Ada beberapa orang yang berpengaruh dalam membentuk sosok Gus Dur di lingkungan pesantren. Mereka adalah kakek-kakek Gus Dur, Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Bisri Syansuri, dan Kiai Wahab Chasbullah yang merupakan keponakan dari kakeknya Kiai Hasyim Asy’ari. Selain itu tentu dari kedua orang tuanya yakni Kiai Wahid Hasyim dan Nyai Solichah. Kakek-kakek Gus Dur adalah keturunan kiai-kiai besar NU, baik dari pihak ayah maupun Ibu.
Pendidikan Gus Dur sepenuhnya bersifat sekular. Namun, tentu saja ia telah mempelajari bahasa Arab ketika kecil dan mempunyai cukup pengetahuan untuk membaca Al-Qur’an. Setelah beranjak dewasa, ia mulai belajar Bahasa Arab secara sistematis.

Gus Dur juga dikenal menguasai beberapa bahasa asing. Bahasa Inggris, Prancis, Arab, Jerman, dan lainnya dikuasai secara baik.Secara garis besar buku ini juga menjelaskan kehidupan Gus Dur saat studi di Timur Tengah. Ada tiga kota besar yang mempengaruhi arus intelektualisme Gus Dur, tiga kota itu adalah Kairo, Baghdad, dan Eropa.
Di Kairo Gus Dur justru ‘gagal’ dalam studinya, ini dikarenakan lebih pada kekecewaan Gus Dur pada Al-Azhar yang menurutnya tidak memberikan pendidikan yang baik macam Barat. Di Al-Azhar ini kemudian ia merasakan kekecewaan yang begitu besar, karena baginya Al-Azhar tidak ada bedanya dengan pesantren di Indonesia, karena itulah ia tidak ingin menghabiskan waktunya dengan mempelajari apa yang telah dipelajarinya bertahun-tahun di pesantren.

Tak lama kemudian Gus Dur dikeluarkan dari universitas ini karena sering membolos. Membolosnya Gus Dur lebih sering ia gunakan membaca di perpustakan dan menonton pertandingan bola dan film India. Ketika ia mendapatkan kesempatan untuk belajar di Baghdad, ia merasakan menemukan lingkungan yang dimaksud. Di Baghdad baginya lebih kosmopolitan dengan menghadirkan sistem pembelajaran yang lebih terbuka, pun dengan koleksi perpustakaan yang lebih beragam koleksi bukunya. Di sinilah ia banyak berkenalan dengan pemikiran dan filsafat Barat.

Meski di Baghdad ia harus taat dan harus kooperatif dengan kampus. Sebab aturan di sini lebih disiplin dan ketat bagi mahasiswanya. Baghdad menjadi tempat yang paling nyaman baginya terbukti hampir empat tahun ia habiskan waktunya di sana.

Sementara itu, dalam sela-sela kuliahnya iapun meminang Nuriyah. Pernikahan ini pun berlangsung tetapi Gus Dur tidak hadir secara langsung dan diwakilkan kakeknya Kiai Bisri Syamsuri. Setelah menikah dan lulus di Baghdad Gus Dur memiliki cita-cita melanjutkan pendidikannya ke Eropa dengan harapan dapat membawa Nuriyah tinggal bersamanya di sana. Akan tetapi, harapan itu pupus setelah ijazah keluaran Baghdad tidak diakui di Eropa.

B. Islam dan Liberalisme
Ketika Gus Dur meninggalkan Jombang untuk belajar ke luar negeri, ia adalah seorang pemuda yang tengah bergulat dengan masalah bagaimana Islam bisa mengadakan perubahan. Menjelang masa dewasanya, ia pernah terpukau oleh kelompok Islamis radikal. Tujuh tahun
kemudian ia kembali ke tanah air sebagai seorang yang penuh komitmen terhadap pemahaman liberal mengenai Islam.

Pengaruh yang membentuk pemikiran liberalisme ini, pertama adalah karena keluarganya sendiri. Di dalam lingkungan keluarga ia dididik untuk bersikap terbuka dan selalu mempertanyakan sesuatu secara intelektual. Kedua, ia dibesarkan di dalam dunia sufistik Islam tradisional Indonesia. Ketiga, ia dipengaruhi oleh orientasi budaya masyarakat Indonesia modern yang mengarah pada pluralisme dan egalitarianisme.

Gus Dur yang di kalangan pesantren dikenal sebagai seorang kiai justru dalam hal pemikiran dan gagasan bisa terbilang liberal dalam pandangan sebagian Muslim Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari pemaparan Greg dalam bagian ketiga buku ini. Bagaimana sosok Gus Dur mati-matian membela demokrasi dengan membentuk forum-forum yang pro demokrasi dan terus terjun ke akar rumput sembari membela dan menolak penindasan-penindasan yang dilakukan negara kepada masyarakat.

Gus Dur pun sangat terbuka dengan aliran pemikiran dan menjunjung kebebasan beragama. Karena itulah ia sering melakukan dialog antar iman dan membela hak-hak kaum minoritas yang dikebiri. Ia sendiri tetap memakai landasan demokrasi dan konstitusi dalam menyuarakan kebebasan berpendapat dan berkeyakinan.

C. Menerjang Batas
Gus Dur adalah sosok yang mendobrak batas untuk keterbukaan dan kebebasan. Ia kemudian menjadi simbol kebangkitan bagi anak-anak muda NU dan Muslim umumnya dalam berpikir terbuka dan bebas. Karena itulah kehadiran Gus Dur dalam kancah pergerakan masa Orba menjadi sangat penting dan simbolik. Gus Dur menjadi simbol perlawanan bagi Soeharto, yang selama ini orang takut menghadapinya. Namun di sisi lain juga ada orang yang mengkritiknya.

Salah satu alasan utama mengapa orang mengkritik kepemimpinan Gus Dur dalam organisasi adalah bahwa ia sering kali meletakkan organisasi dalam hubungan yang bertubrukan dengan rezim Soeharto (hlm : 248). Pada bagian terakhir atau kelima, adalah lanjutan dari bagian keempat. Pada bagian ini masih menceritakan soal politik dan pergerakan menentang Soeharto dan saat ia menjabat menjadi presiden.

Pada bagian akhir ini Greg menjelaskan situasi sulit Gus Dur saat berhadap-hadapan dengan Soeharto. Pasalnya berhadapan dengan rezim adalah satu “kekonyolan” yang mengantar pada kesakitan. Dan itu disadari betul oleh Gus Dur, intimidasi, ancaman, boikot serta kampanye anti-Gus Dur dibuat untuk menjatuhkan dan melemahkan Gus Dur.
Namun sayang, semua itu gagal dan tidak berhasil melenyapkan Gus Dur. Justru hal itu membuat Gus Dur semakin dewasa dalam berhadapan dengan rezim. Tak hanya itu, orang yang dekat dengan Gus Dur seperti Megawati juga memberikan perlakuan yang sama.

Saat situasi politik memanas, kekacauan hampir terjadi dimana-mana. Pasca Timor-timor, Poso meledak. Sementara kerusuhan atas nama agamapun juga terjadi di Situbondo. Partai PDI-pun tepecah dan terjadi tragedi yang menewaskan banyak orang.

Saat situasi itu terjadi, posisi Gus Dur menjadi sangat berat. Sebagai seorang yang konsisten membela kebebasan dan perdamaian Gus Dur tetap turun ke akar rumput untuk menyerukan perdamaian dan toleransi. Saat ia menjabat, yang tak lebih dari dua tahun itu, Gus Dur mengalami pasang surut kehidupan yang luar biasa. Sikapnya yang bebas, santai, dan cuek menjadi keuntungan dan kerugian sekaligus. Karena hal itulah banyak lawan politiknya kemudian menyerangnya. Manuver politik lawan begitu kuat, dan Gus Dur hanya seorang diri, dan pada akhirnya ia harus dilengserkan dari kursi kepresidenan.
Terhadap tuduhan bahwa Gus Dur telah mulai bersikap otoriter, suatu alasan kuat dapat digunakan untuk menentang gugatan tersebut, yakni bahwa kelemahan politik Gus Dur disebabkan oleh keidakmampuannya untuk bernegosiasi dengan keras dan mencapai kesepakatan dengan musuh-musuh politiknya (hlm : 491).
Dalam menyusun buku biografi ini Barton membaginya dalam beberapa bagian yang disusun secara kronologis historis dari sebagian perjalanan hidup Gus Dur. Dan ia batasi hingga akhir tahun 2001, yakni saat masa lengser dari kursi kepresidenan RI.
Sedikit kekurangan buku ini, karena merupakan buku terjemahan maka banyak ditemukan kosakata salah ketik. Dengan demikian pembaca harus teliti untuk menentukan maksud kata tersebut. Dari sisi penulisan seringkali setiap sub pembahasan yang membahas pokok yang sama terpisah di bagian-bagian yang berbeda.

Buku ini sangat tepat untuk menggambarkan Gus Dur yang memiliki pandangan besar sebagai seorang negarawan, ulama, dan cendekiawan. Beliau seorang manusia yang memandang sesamanya sebagai seorang manusia juga. Sebagaimana kebaikan-kebaikan yang sudah dilakukan, beliau memberikan keteladanan sikap kemanusiaan atas banyaknya tragedi di Indonesia. Ada banyak yang bisa kita pelajari mengenai sosok Gus Dur melalui buku ini.

By: Miftahul Huda

Duabelas Noktah-Noktah: Persamaan Antara Raja Ali Haji dan Buya Hamka

Duabelas Noktah-Noktah: Persamaan Antara Raja Ali Haji dan Buya Hamka

Dalam buku Perceptions of the Past ini Southeast Asia dieditori oleh Anthony Reid dan David Marr yang belakangan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Th. Sumarthanan dengan judul “menyimpang”, yaitu Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka: Indonesia dan Masa Lalunya. Dalam buku ini, tulisan tentang Raja Ali Haji oleh Barbara Watson Andaya dan Virginia Matheson judul persisinya “Pemikiran Islam dan Tradisi Melayu: Tulisan Raja Ali Haji dari Riau”. Sementara itu, tema terkait Hamka dengan judul persisinya “Yamin dan Hamka: Dua Jalan Menuju Identitas Indonesia” yang ditulis oleh Deliar Noer.

Terjemahan buku rampai yang terdiri dari delapan bab disebut, saya sebut “menyimpang” sebab tema-temanya bukan semata-mata kajian tokoh. Artinya dari delapan tulisan dalam buku tersebut hanya ada tiga tulisan tema tentang tokoh. Lagi pula, kalau kajian tokoh yang ada –hanya empat orang, yaitu Arung Palakka, Raja Ali Haji, Muhmmaf Yamin dan Hamka– dari segi waktu kehadiran tokohnya, judul seharusnya Dari Arung Palakka Hingga Hamka. Lalu, kenapa judul terjemahan buku tersebut demikian? Saya berupaya untuk “memaksakan logika” bahwa antara Raja Ali Haji dan Buya Hamka memiliki banyak sekali persamaan. Logika pemaksaan ini pun diambil demi mencocoki judul tulisan ringan ini, yaitu “Duabelas Noktah-Nokta: Persamaan Antara Raja Ali Haji dan Buya Hamka.

Dalam melihat figur Raja Ali Haji, sama seperti ketika Steenbrink dan Azra melihat sosok Hamka bahwa kedua intelektual dan sastrawan lebih merupakan seorang, meminjam ungkapan Azra, “penulis prolifik keagamaan yang baik, ketimbang ’ulama’ yang mumpuni.” (Karel Steenbrink, “Hamka (1908-1981) and The Integration of The Islamic Ummah of Indonesia”, Studia Islamika,  Vol. 1, No. 3, 1994: 210; Azyumardi Azra, “Melacak Pengaruh dan Pergesaran Orientasi Tamatan Kairo”, Studia Islamika,  II, (3), 1995: 199-219). Penilaian yang sama dengan aspek yang berbeda dan lebih spesifik bahwa  baik Raja Ali Haji maupun Buya Hamka sama-sama awalnya lebih dikenal sebagai seorang sastrawan ketimbang seorang ulama.

Istilah “sastra” (kesusastraan) dalam bahasa Melayu berbeda ruang lingkup dan cakupannya dengan istilah “literature” dalam bahasa Inggris. Dan berbeda pula dengan istilah “belles lettres” dalam bahasa Prancis yang berarti “karya tulis yang artistik dan indah.” Istilah “sastra” dalam bahasa Melayu mempunyai cakupan yang lebih luas, yaitu mencakup semua karya tulis baik karya yang bersifat fiksi maupun karya bersifat non-fiksi. Artinya, “sastra” dalam bahasa Melayu dapat mengantarkan pada pemuasan “pengalaman intelektual” dan “pengalaman emosional” secara simultan. Dari pemahaman seperti ini, agaknya istilah “persuratan” lebih mewakil makna sastra atau istilah “ecriture” dalam bahasa Prancis. Lihat, Panuti Sudjiman, Filologi Melayu  (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), 16. Dengan latar belakang pengertian semacam ini, menggunakan istilah “persuratan” dengan menambahkan kata “intelektual” dibelakangnya, sehingga menjadi “persuratan intelektual” sebagai penegasan terhadap pemahaman atas makna “sejati “ sastra yang belum populer.

Penyebutakan Raja Ali Haji dan Buya Hamka di awal kiprahnya pada negeri dan bangsanya, oleh karenanya, lebih tepat dinisbatkan pada diri kedunya sebagai “intelektual-penyair” atau “sasterawan intelektual”. Penisbatan sebagai “sasterawan intelektual” atau “intelektual-penyair” tersebut menjadi beralasan karena dari hampir seluruh karya-karyanya mencerminkan jenis-jenis karya sastra Melayu-Indonesia, sebagaimana pembatasan  sastera Malayu oleh R. Roolvink. Misalnya R. Roolvink menyebutkan bahwa sastera dalam bahasa Melayu meliputi segala yang dikarang dalam bahasa Melayu, baik hikayat-hikayat dan kisah-kisah, kitab-kitab keagamaan, hukum  kanun dan sebagainya.” (Lihat, Lian Yock Fang, “Beberapa Masalah dalam Penulisan Sejarah Sastera Tradisional Melayu: Kajian Permulaan,” dalam Cendikia Kesustaraan Melayu Tradisional, ed.  Siti Hawa Haji Salleh (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1987: 13).

Namun demikian, Raja Ali Haji dan Buya Hamka, terutama di akhir-akhir kiprahnya, dapat dikategorikan seorang ulama, bahkan sebagai ulama besar, khususnya figur disebut belakangan. Sebab bagi kebanyakan Muslimin Indonesia dan/atau dalam realitas sosial, menurut Azra, pengertian ulama secara umum ada tiga. Pertama, ulama adalah mereka yang memiliki ilmu pengetahuan (agama) Islam yang diperoleh dari lembaga-lembaga  pendidikan Islam tradisional. Kedua, ulama adalah mereka yang mendapat legitimasi dan pengakuan dari masyarakat luas akibat langsung dari interaksi dengan masyarakat melalui sejumlah lembaga keagamaan, sosial dan pendidikan. Ketiga, ulama adalah lebih berkonotasi pada penguasaan ayat-ayat kawliyah (al-Qur’an) lebih “membumi” daripada pengertian ulama diisyaratkan al-Qur’an itu sendiri berkonotasi pada penguasaan ayat-ayat qawniyah (alam semesta) lebih “melangit”. (Lihat, Azyumardi Azra, “Melacak Pengaruh dan Pergeseran Orientasi Tamatan Kairo”, Studia Islamika,  II, 3, 1995: 210). Artinya, dengan ketiga pengertian ini maka Raja Ali Haji dan Hamka adalah sungguh-sungguh seorang ulama.

Dengan ungkapan yang berbeda bahwa Raja Ali Haji dan Buya Hamka dapat dikatakan –dengan meminjam istilah al-Qur’an– sebagai seorang “uwlū al-bāb”. Seorang “uwlū al-bāb” harus piawai dalam menyampaikan pengetahuan, pemikirannya dan melahirkan karya-karya tulis bercorak kosmopolitan berdasarkan panggilan hati nuraninya dengan berasaskan  pada al-Qur’an dan hadis.  Adapan tujuan seorang “uwlū al-bāb”, ungkap Abdul Hadi W.M.,  dalam mengutarakan pengetahuan dan pemikiran serta tulisan-tulisannya, di antaranya, yaitu: (i) untuk membantu masyarakat dalam mencari pemecahan atas krisis yang dihadapi; (ii) untuk memberikan pencerahan, sehingga masyarakat dapat keluar dari keputusasaan dan nihilisme kehidupan. Pendek kata, khusus untuk Raja Ali Haji, tulis Abdul Hadi W. M., “… pemikiran dan karya-karyanya memperlihatkan keterkaitannya dengan persoalan-persoalan nyata yang dihadapi masyarakat, serta mencerminkan kesinambungan dengan istiadat (tradisi) kecendikiawanan bangsanya.” (Lihat, Abdul Hadi W.M, “Aceh dan Kesusastraan Melayu”, dalam Aceh Kembali ke Masa Depan, (ed.) Sardono W. Kusumo (Jakarta: IKJ Press, 2005: 218).

Selanjutnya, kalau diperbandingkan antara Raja Ali Haji (1809-1873) dan Hamka (1908-1981) –kalau diperhatikan tahun kelahirannya, keduanya hidup persis berbeda satu abad masing-masing pada abad ke-19 dan ke-20– dalam banyak hal memang memiliki banyak kesamaan. Kesamaan antara kedua tokoh besar ini terlihat sebagai figur multidimensi: penulis prolifik, sastrawan, politisi, dan ulama. Persamaan antara kedua figur ini, Raja Ali Haji dan Buya Hamka, dapat dirinci minimal sampai “duabelas noktah-noktah”, sebagai berikut.

Pertama, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama memiliki semangat dan tekad yang kuat untuk menuntut  ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu agama. Kedunya  lebih banyak menempuh pendidikan secara otodidak (membaca buku-buku/kitab-kitab [khususnya berbahasa Arab] yang berlangsung dalam waktu relatif lama. Keduanya tidak diketahui pernah menempuh mendidikan secara formal melebihi daripada tingkat pendidikan menegah ke atas. Dengan kata lain, baik Raja Ali Haji maupun Buya Hamka tidak pernah berguru lama  secara langsung pada seorang dan beberapa guru, dan (apalagi) secara formal di sebuah lembaga pendidikan. Artinya, Raja Ali Haji dan Buya Hamka adalah pembelajar otodidak yang baik, tekun dan terus-menerus serta berkekakalan hingga dipenghujung hanyatnya..

Kedua,  Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama pernah pergi ke Tanah Suci dalam usia remaja untuk menunikan ibadah haji, dan sekaligus belajar agama di Mekkah. Begitu pula, keduanya belajar di Mekkah dalam rentang waktu yang singkat, yaitu hanya berkisar lebih enam bulanan di kala masing-masing berusia sekitar 18 tahun. Kemungkinan waktu Raja Ali Haji dan Buya Hamka yang singkat itu sama-sama dipergunakan untuk menyempurnakan kemampuan Bahasa Arabnya selama menempuh pendidikan di kota kelahiran Rasul Allah tersebut.

Ketiga, Raja Ali Haji dan Buya Hamka tampaknya sangat berbakat dalam bahasa Arab dan  menguasainya. Keduanya menjadikan bahasa Arab sebagai satu-satunya bahasa asing yang dikuasai. Dengan kemampuan bahasa Arabnya sangat mumpuni, sehingga bahasa tersebut benar-benar dijadikan “alat” guna membaca dan memahami teks-teks Arab, khususnya teks-teks keagamaan dari karya-karya sejumlah ulama, baik ulama mutaqaddimin maupun mutaakhkhirin, dan sekaligus menjadi sumber utamanya dalam melahirkan karya-karnya.

Keempat, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama menikah sepulang dari Mekkah pada usia yang reatif sama, kurang lebih 19 tahun. Namun, dalam perjalan lebih lanjut, keduanya memiliki sikap yang berbeda dalam pernikahan: Raja Ali Haji poligami, Buya Hamka monogami. Perbedaan sikap keduanya ini kemungkinan disebabkan oleh tuntutan (keharusan) zamannya masing-masing. Raja Ali Haji lebih “memaksimalkan” seruan ayat al-Qur’an secara tekstual untuk mengawini wanita sampai empat karena ia hidup sebagai keluarga istana kerajaan Melayu Riau. Sementara Buya Hamka lebih “meminimalkan” seruan ayat al-Qur’an secara kontekstual dengan hidup bermonogami, dan baru menikah kedua kalinya setelah istri pertamanya wafat. Sikap Buya Hamka dalam perkawinan ini boleh jadi disebabkan oleh tuntutan zamanya, dan/atau karena mungkin saja tidak berkenan mencontoh pola perkawinan poligami dari ayahnya. Dan mungkin pula Buya Hamka tidak berpoligami khawatir tidak kuasa berlaku adil.

Kelima,  Raja Ali Haji dan Buya Hamka pada awalnya sama-sama meminati dan sekaligus melahirkan karya-karya sastera, sehingga keduanya masyhur dikenal sebagai seorang sastrawan atau pujangga. Begitu pula, bakat tulis-menulis keduanya diwarisikan dan ditularkan dari kedua orang tuanya masing-masing, yaitu Haji Abdul Malik Karim dan Raja Ahmad secara berturut. Selain itu, belakangan keduanya juga –seiring dengan perjalan waktu dan usia– mengokohkan masing-masing dirinya sebagai penulis dalam bidang keagamaan.

Keenam, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama terlibat dalam politik dan pemerintahan (eksekutif), dan pada “badan permusyawaratan” (legisliatif) di usia relatif muda. Raja Ali Haji menjadi tangan kanan YDM Raja Ali bin Ja’far dalam menjalankan pemerintahan di kerajan Melayu-Riau. Raja Ali Haji memangku jawatan keagamaan sekaligus menjadi Ahl Halli wa al-Aqdhi pada masa pemerintahan YDM Raja Abdullah. Sementara itu, Buya Hamka pernah menjadi pegawai teras atas Departeman Agama.  Buya Hamka pernah pula menjadi anggota Konstituante pada masa pemerintahan Orde Lama.

Ketujuh, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama memiliki minat pada kajian sejarah. Oleh karenanya, keduanya menulis sejarah: Raja Ali Haji menulis sejarah “bangsa”nya; dan Buya Hamka menulis sejarah “ummat”nya. Tokoh pertama menulis sejarah kerajaan Johor-Riau-Lingga dengan melahirkan dua karya, yaitu Silsilah Melayu dan Bugis, dan Tuḥfat al-Nafīs. Buya Hamka sendiri menulis buku Sejarah Islam yang komprehensif (berjilid-jilid) dipaparakannya dari era “Pra-Kenabian hingga Islam di Nusantara”.

Kedelapan, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama menjadi “watchdog” (“moral guadian” dan “spiritual patronage”) bagi masyarakat dan pemerintah pada masanya masing-masing. Raja Ali Haji diangkat menjadi penasehat “resmi” kerajaan dengan jabatan  sebagai penasehat kerajaan dalam bidang pemerintahan dan keagamaan pada masa YDM Raja Muhammad Yusuf Ahmadi. Sementara Buya Hamka diangkat sebagai penasehat “tidak resmi” pemerintah dalam bidang keagamaan dengan jabatan sebagai Ketua MUI pada masa pemerintahan Orde Baru.

Kesembilan, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama penulis, peminat dan penganut tasawuf “mu‘tabarah” yang menyelaraskan antara ajaran esoterisme dan eksoterisme dalam Islam. Dengan bahasa lain, boleh dikatakan bahwa keduanya sama-sama  berpaham  neo-sufisme. Raja Ali Haji dan Buya Hamka memaknai asawuf, misalnya tidak melulu bahwa zuhud itu menyepi dan menghidari kehidupan duniawi, tetapi harus memaknai hidup di dunia ini secara aktif beramal shaleh, apakah amal yang akan bermuara pada keshalehan pribadi maupun keshalehan sosial.

Kesepuluh, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama terlahir untuk menjadi seorang guru (born a teacher) dalam memberikan pendidikan bagi  generasi muda (pendidikan formal) dan menjadi guru ngaji bagi anak dan cucu-cucunya (generasinya). Begitu juga, keduanya selalu hadir memberikan pencerahan pemahaman keagamaan lewat pengajian bagi masyarakat secara umum (pendidikan/pengajaran non-formal).

Kesebelas, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama penulis  keagamaan yang produktif dan otoritatif dan komprehensi. Disebut produktif karena keduanya telah melahirkan sejumlah karya-karya, khususnya dalam bidang keagamaan. Disebut otoritatif karena keduanya sangat bernas dalam menjabarkan masalah agama dalam berbagai karya-karyanya. Disebut komprehensif karena keduanya mengulas ajaran agama dalam berbagai aspeknya dengan diilhami oleh semangat Islam yang kokoh dan utuh.

Keduabelas, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama, kadang-kadang, diragukan keulamaannya, sehingga Raja Ali Haji dan Buya Hamka oleh sebagai orang lebih layak/tepat disebut seorang “intelektual” tinimbang sebagai seorang ulama, sebagaimana dijelasakn di atas. Di antara keduanya, Buya Hamka lebih menonjol keulamaanya lantaran karya fenomenal dan monumentalnya dalam menafsirkan al-Qur’an serta sekaligus menjadi masterpiece (karya agungnya): Tafsir Al-Azhar.

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb,
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

Alimuddin Hassan Palawa, Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies)

Humanisme Buya Syafi’i

Humanisme Buya Syafi’i

Ahmad syafi’I ma’arif yang juga akrab dipanggil Buya oleh orang-orang terdekatnya meski ia sendiri cenderung menghindarinya. Ia lahir pada 31 Mei 1935 di Bumi Calau Sumpur Kudus “Makkah Darat”. Perjalanan pendidikan Buya Syafii mencerminkan pola asuh santri baru. Gambaran pola pendidikan santri tempo dulu adalah demikian: setelah mengenyam pendidikan agama di Nggon Ngaji dan pesantren kemudian pergi haji sekaligus belajar agama kepada ulama-ulama besar di Mekkah. Oleh karena itu, Syafii kecil tidak pergi ke pesantren tradisional, tapi bersekolah di Madrasah Mualimin Muhammadiyah Lintau (1953) dan Madrasah Mualimin Yogyakarta (1956). Sarjana Muda ditempuh di Universitas Cokroamnoto Surakarta (1964), dan sarjana lengkap dalam pendidikan sejarah di IKIP (Universitas Negeri) Yogyakarta (1968). Ia pernah menghadapi lika liku Pendidikan selama di Yogyakarta, ia belajar sambil mengajar. Setelah itu, Ahmad Syafi’I Ma’arif melanjutkan studinya di Amerika, ia belajar sejarah pada Northern Illinois University (1973) dan Ohio State University (1980) hingga memperoleh gelar MA. Selanjutnya masih dinegara yang sama, di Universitas of Chicago ia memperoleh gelar PhD dengan judul disertasi “Islam As The Basic of State; A Study of The Islamic Political Ideal As Reflected In The Constituent Assembly Debates In Indonesia” yang dibimbing oleh Fazlur Rahman. Tulisan Buya Syafii tentang pendidikan Islam seluruhnya di tulis setelah era 1980-an, setidaknya yang menjadi bahan kajian ini, paska mengalami pergolakan intelektual di Chicago. Tinjauan selintas perjalanan pendidikan dan pergeseran pemikirannya, meski jauh dari memadai, sudah dapat mengambarkan latar belakang pemikiran pendidikannya. Sumbangsih pemikiran Syafi’I Ma’arif dalam bentuk karya tidak perlu diragukan lagi. Telah banyak karya buku yang telah ditulisnya, baik yang membahas agama, negara, atau keduanya sekaligus. Diantara kara-karya nya yakni Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (2009), Menerobos Kemelut Refleksi Cendekiawan Muslim (2006), Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku (2006), Menggugah Nurani Bangsa (2005), Mencari Autentitas Dalam Kegalauan (2004), Independensi Muhammadiyah Ditengah Pergumulan Pemikiran Islam dan Politik (2000), Islam dan Politik Membingkai Peradaban (1999), Islam Kekuatan Doktrin dan Keagamaan Umat (1997),  Keterkaitan Antara Sejarah, Filsafat, dan Agama (1997), Islam dan Politik; Teori Belah Bamboo Masa Demokrasi Terpimpin (1996), Muhammadiyah Dalam Konteks Intelektual Muslim (1995), Membumikan Islam (1995), Percik-Percik Pemikiran Iqbal (1994), Peta Bumi Intelektualitas Islam di Indonesia (1994), Islam dan Politik di Indonesia (1988), Al-Quran, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (1985), Islam dan Masalah Kenegaraan; Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante (1985), Dinamika Islam (1984), Islam, Mengapa Tidak ? (1984), Islam, Politik dan Demokrasi di Indonesia Dalam Aspirasi Umat Islam Indonesia (1983), Mengapa Vietnam Jatuh Seluruhnya ke Tangan Komunis (1975), Mencari Autensitas Dalam Dinamika Zaman (2019), dan lain sebagainya.

Ahmad Syafi’I Ma’arif termasuk salah satu cendekiawan muslim Indonesia yang aktif merespon berbagai permasalahan bangsa ini dengan sudut pandangnya. Konsep humanism Buya Syafi’I tanpa jubah dan sorban dalam berdialektika dan bergumul dalam konteks islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Islam yang sesungguhnya adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Humanism Ahmad Syafi’I Ma’arif berlandaskan kepada tauhid, yang memberikan kebebasan, persaudaraan, serta persamaan kepada sesama. Bagi Ahmad Syafi’I Ma’arif, manusia memiliki hak dalam menentukan pilihan hidupnya, dan setiap manusia berhak memiliki keadilan untuk menganut agama apapun yang diinginkannya, karena itu adalah hak bagi manusia tanpa adanya paksaan. Kemajemukan itu adalah sunnatullah yang mau tidak mau harus diterima sebagai sebuah fitrah. Humanism Ahmad Syafi’I Ma’arif sangat menghargai dan menghormati perbedaan-perbedaan tersebut, baik dari aspek keagamaan, suku, ras, budaya, sosial, dan sebagainya. Apalagi dengan kondisi Indonesia yang plural maka disinilah kita sebagai manusia dituntut untuk saling memahami keragaman tanpa lagi harus saling menuding satu sama lain dalam sebuah perbedaan.

Ahmad Syafi’I Ma’arif juga mendedikasikan seluruh kemampuannya untuk merespon dan memberikan kontribusi pemikiran kepada rakyat Indonesia baik secara langsung ataupun melalui karya-karyanya, supaya terlepas dari paham-paham yang dapat membelenggu kemajuan bangsa, melepaskan masyarakat dari kebodohan cara pandang, fanatisme yang sempit, serta paham-paham lainnya yang memperburuk situasi sosial keagamaan bangsa, agar Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara tetap utuh, tidak ternoda oleh berbagai kepentingan politik jangka pendek yang tidak sehat. Manusia, dalam pandangan Ahmad Syafi’I Ma’arif adalah makhluk ciptaan Tuhan yang dibekali dengan ilmu dan aql (intelek atau penalaran), manusia melalui kreatifitasnya dapat menemukan ilmu pengetahuan. Humanism Ahmad Syafi’I Ma’arif sejalan dengan rasionalitas dan pendirian bahwa dengan usaha-usaha rasional yang terus menerus Islam akan lebih dari sekedar mampu untuk menghadapi berbagai tantangan modernitas. Humanism Ahmad Syafi’I Ma’arif adalah humanism Islam yang berkaitan dengan berbagai ajaran Islam tentang toleransi dan keharmonisan sosial yang menyangkut budaya muslim yang mendorong umat Islam tidak seharusnya takut terhadap suasana plural yang ada ditengah masyarakat modern, sebaliknya harus merespon dengan positif.

Pemikiran humanism Ahmad Syafi’I Ma’arif menurut penulis sangat penting dan mempunyai nilai kontribusi pemikiran yang besar dalam memahami islam dalam kaitannya dengan masalah-masalah peradaban dan kemanusiaan. Pemikiran humanism beliau akan mampu membawa Islam untuk memberikan jawaban atas masalah-masalah yang dihadapi manusia sekarang ini, terutama yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, antara lain: kebodohan, keterbelakangan, kefanatikan, dan tantangan sosial keagamaan bangsa lainnya. Karena itu beliau selalu menekankan satu poin penting bagi bangsa Indonesia khususnya Islam yaitu, kembalilah kepada al-Quran. Sehingga akan terlepas dari penafsiran-penafsiran keagamaan yang sarat dengan kepentingan tertentu. Berangkat dari permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini, humanism Ahmad Syafi’I Ma’arif menginginkan adanya rekonsiliasi antara agama dan politik, karena agama kerap kali menjadi bulan-bulanan para pelaku politik dalam mencapai tujuannya. Ahmad Syafi’I Ma’arif ialah sosok yang memadukan antara kekuatan intelektual yang kritis dan kekuatan moral spiritual keagamaan yang telah teruji kokoh. Disaat keberagaman intelektual dihambat dan dibabad dalam tradisi kehidupan umat Islam, maka yang terjadi adalah dekadensi dalam seluruh sistem kehidupan umat terutama dekadensi moral intelektual. Ahmad Syafi’I Ma’arif pernah menyatakan dengan tegas, “mereka yang takut pada pemikiran yang berbeda adalah manusia fosil. Kalau kita takut berbeda pendapat, takut disembelih orang karena memiliki pendapat yang berbeda, maka jadi saja manusia fosil.” Ahmad Syafi’I Ma’arif senantiasa mengembangkan intelektualitas dalam tradisi Islam, maka yang harus dikembangkan adalah mendorong kemerdekaan berpikir seluas-luasnya. Inilah yang dalam pandangan beliau akan menghindarkan umat manusia terjerembab dari tragedy “manusia fosil” tadi. Kemerdekaan berpikir akan melahirkan jiwa yang merdeka. Baginya Islam yang damai, Islam yang konstruktif, dan Islam yang dapat mengayomi bangsa ini ialah dengan tanpa membeda-bedakan suku, agama, dan lain sebagainya. Keislaman harus satu nafas dengan keindonesiaan dan kemanusiaan.

Dalam pandangan Ahmad Syafi’I Ma’arif, ketika Islam diaplikasikan dalam konteks keindonesiaan maka akan memunculkan sebuah Islam yang ramah, terbuka, inklusif, dan mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa Indonesia. Inilah kondisi carut marut yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini. Permasalahan-permasalahan keagamaan dan sosial politik yang yang dialami bangsa ini, butuh sosok seorang Ahmad Syafi’I Ma’arif dalam memberikan jalan tengah dan pencerahan terhadap bangsa ini.

Menurut Ahmad Syafii Maarif, secara doktrinal Islam tidak menetapkan dan menegaskan pola apapun tentang teori negara Islam yang wajib digunakan oleh kaum Muslim. H.A.R. Gibb seperti dikutip Buya Ahmad Syafii Maarif, memaparkan bahwa baik AlQur’ân maupun Sunnah tidak memberikan petunjuk yang tegas tentang bentuk pemerintahan dan lembaga-lembaga politik lainnya sebagai cara bagi umat untuk mempertahankan persatuannya. Argumentasi Buya Syafii Maarif ini berangkat dari asumsi bahwa Islam bukanlah sekedar cita-cita moral dan nasihat-nasihat agama yang lepas begitu saja. Islam membutuhkan sarana sejarah untuk mewujudkan cita- cita moralnya yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Sarana yang dimaksud Buya Ahmad Syafii Maarif tidak lain adalah negara, sehingga Syafii Maarif menolak pandangan yang menghendaki pemisahan Islam dan negara.

Humanism Ahmad Syafi’I Ma’arif mendukung sepenuhnya prinsip kebebasan beragama. Ia senantiasa menghargai setiap perbedaan-perbedaan tersebut meskipun berbeda dengan keyakinannya. Keimanan beliau tak tergoyahkan meskipun ia bergelut dengan agama-agama dan keyakinan yang berbeda dengannya. Syafi’I Ma’arif membuka luas-luas hak-hak individu dalam menentukan keyakinannya sendiri. Dengan demikian, pada satu sisi Syafi’I Ma’arif mendapatkan dasar teologis dan pada sisi lain mendapatkan penghargaannya terhadap kebebasan beragama berdasarkan konstitusi yang berlaku. Beliau mendasarkan humanismenya terhadap kebebasan manusia dalam menentukan pilihannya tentunya dengan segala resikonya masing-masing. Sebagai tokoh yang radikal ia senantiasa bergerak setelah mendapatkan lampu hijau dari alquran. Pilihan bebas untuk memilih sebuah keimanan juga berdasarkan landasan normative dari kitab suci tersebut, bukan sebagai ijtihad yang tak memiliki akar teologis, karena baginya iman yang dipaksakan dalam hati penganutnya merupakan sebuah Tindakan yang tidak pantas karena menghambat hak-hak asasi individu tersebut.

Humanism Syafi’I Ma’arif memandang bahwa perbedaan-perbedaan yang dimiliki manusia bukanlah untuk ditakuti yang akan melahirkan perpecahan diantara sesama, melainkan menjadi sebuah kekayaan yang mendinamiskan pemahaman visi dan pemahaman manusia tentang realitas. Perbedaan merupakan dictum untuk saling mengenal yang merupakan pondasi kultural dan religius untuk membangun persaudaraan kemanusiaan universal dan mengokohkan pluralism. Humanism Syafi’I Ma’arif menyatakan persaudaraan universal yang mampu menciptakan kedamaian yang solid dalam menerima realitas yang plural melalui sikap yang toleran. Baginya sikap yang toleran tak terlepas dari konsep kesetaraan manusia, karena keadilan dan persaudaraan yang solid tak tercipta begitu saja tanpa didukung dengan pengakuan kesetaraan status manusia, baik yang beragama atau bahkan ateis. Kondisi masyarakat Indonesia yang bersentuhan langsung dengan suasana yang plural sedang mengalami disorientasi nilai-nilai agama. Menurut Syafi’I Ma’arif, kondisi yang demikian terjadi akibat dari keangkuhan manusia itu sendiri yang merasa “lebih benar” daripada satu kelompok dan mencurigai kelompok lainnya sebagai “biang kerok” dalam bangsa dan agama ini. Akibatnya, terjadi interaksi negatif yang terkesan merendahkan dan meremehkan. Menurut Syafi’I Ma’arif sesungguhnya kemanusiaan itu tunggal, tidak ada orang lain di dunia ini kecuali semua merupakan hamba-hamba tuhan. Semuanya tercakup dalam sebuah ikatan persaudaraan universal dan berhak merasakan kasih sayang Tuhan.

Humanism Syafi’I Ma’arif berpedoman kepada al-Quran. Menurutnya al-Quran mengajarkan kepada kita bahwa sikap moderat merupakan pilihan tepat dalam menjaga dan menjalin hubungan antar umat beragama. Semangat al-Quran telah memberikan lampu hijau tentang pluralism dimana setiap kelompok masyarakat diakui eksistensinya. Kepedulian Ahmad Syafi’I Ma’arif akan masalah-masalah yang membelit bangsa ini begitu besar. Bagi Ahmad Syafi’I Ma’arif inilah pekerjaan utama bagi setiap agama yang perlu dihadapi dan dicarikan solusinya. Kondisi yang demikian, maka agama harus diletakkan sebagai fungsional supaya berbagai ancaman terhadap eksistensi keberagaman dan kemanusiaan dapat diatasi.

Fachry Ali dan Bachtiar Effendi menyebut pemikiran keislaman Buya Syafi’I bercorak modernism Islam, sebuah corak pemikiran yang berakar kuat pada kaum modernis awal (baca: Muhammadiyah dan Masyumi), tetapi dalam beberapa hal justru melampauinya. Perhatian utama Buya Syafi’I tercurah pada proses pelembagaan Islam dari sudut sejarah dan pemikiran berpapasan dengan modernisasi dan perubahan-perubahan sosial ekonomi dan politik yang begitu cepat.

Meski sejak kecil sudah mengenal Muhammadiyah, Syafi‟i baru benar-benar menjadi pengurus organisasi Islam itu sepulang dari Chicago. Pada tahun 1985, ia bergabung di Majelis Tabligh Muhammadiyah hingga akhirnya ia bisa menjadi Ketua PP Muhammadiyah tahun 1998. Guru besar UNY Yogyakarta ini juga pernah menjadi dosen pasca sarjana IAIN Yogyakarta.

By: Mukhlisa

Tiga Piranti Peradaban: Jalin Berkelindan antara Politik, Ekonomi dan Ilmu

Tiga Piranti Peradaban: Jalin Berkelindan antara Politik, Ekonomi dan Ilmu

“Yang Dipertuan Besar, menempati posisi sebagai “seorang istri”, ia baru dapat makan kalau diberi makanan kepadanya. Akan tetapi, Yang Dipertuan Muda, menempati posisi sebagai “seorang suami”, setiap keinginannya harus menjadi kenyataan.” [R.J. Wilkinson]
——-
“Syahdan kata sahibul hikayat adalah pada masa Yang Dipertuan Muda Raja Haji ini makin ramai, serta dengan makmurnya serta banyaklah orang-orang negeri Riau kaya-kaya. Syahdan Yang Dipertuan  Besar dan Yang Dipertuan Muda banyaklah mendapatkan hasil-hasil dari cukai-cukai. Syahdan segala penjajab perangpun beraturlah di pelabuhan serta cukup ubat peluruhnya serta panglima-panglimanya….” [Raja Ali Haji]
——-
“Dan yang menarik hati ialah sebuah khutub khanah (bibliotheek). Ah, sayang sekali. Kitab-kitabnya termasuk kitab-kitab yang  mahal dan sangat berharga, seperti kitab fiqh, tafsir, tasawuf dan filsafat. Di antara termasuk al-Qanun karangan Ibn Sina.” [Buya Hamka]
——-

Kutipan dari tiga tokoh-tokoh ternama di atas mencuatkan tiga unsur masing-masing tentang “sejarah sosial politik-pemerintahan” dari Wilkinson; “sejarah sosial ekonomi-perdagangan” dari Raja Ali Haji; dan “sejarah sosial budaya-keagamaan dari Hamka. Ketiga unsur inilah yang, pada galibnya jalin-berkelindan secara hirarkis dan kronologis, menjadi penentu bagi bangunan sejarah peradaban anak manusia di muka bumi.

Ketiganya disebut hirarkis (berjenjang) dan kronologis (berturut-turut) sebab yang disebut terakhir tidak bisa mendahului dua sebelumnya atau yang kedua mendahulu yang pertama. Meskipun ketiganya selalu menyatu, seiringan dan/ atau simultan pada  satu masa tertentu, tetapi terkadang juga terpisah dalam  mencapai puncak kejayaaan masing-masing pada peradaban suatu bangsa, terutama yang disebut belakangan dalam hirarkisitas tersebut. Artinya, terkadang puncak kedikjayaan (politik-pemerintahan) dan kemakmuran (ekonomi-perdangan) sudah mulai surut, sementara pengembangan tradisi intelektul (budaya-keagamaan) justru baru di mulai. Kalau kondisi terakhir ini yang terjadi, akibatnya terkadang pengembangan intelektualisme dan ilmu pengetahuan sulit mencapai puncak-gemilangnya. (Hemat penulis, gambaran inilah yang pernah terjadi di kerajaan Melayu-Riau).

Ketiga “piranti” itu berlaku umum dalam sejarah kelahiran, pertumbuhan/perkembangan dan kejayaan suatu bangsa. Namun, dalam prosesnya, lambat-laun kemudian berlakulah, meminjam istilah yang digunakan Nurcholish Madjid, “sunnatullah” (sunnah Allāh) yang tidak pernah mengalami perubahan. (Q.s. al-Fatḥ [48]: 23).  Nurcholish Madjid menyebutkan bahwa ada dua istilah yang dipergunakan al-Qur’an: untuk hukum-hukum yang  berlaku pada alam kebendaan dipergunakan istilah taqdīr; dan untuk hukum-hukum yang berlaku pada alam sosial-kemanusiaan digunakan istilah sunnah Allāh. (Lihat, Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, 1997: 28).

Setelah suatu bangsa sampai pada titik puncak peradaban, maka terjadilah anti klimaks dan terus merosot hingga pada titik nadir bagi perjalanan peradaban bangsa tersebut. Dengan kata lain, sebagaimana teori filsafat sejarah dan sosial Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya, dengan mengutip Azra:

“… begitu negara berbudaya tercipta, maka niscaya ia mengikuti hukum alam tentang pertumbuhan, kedewasaan, dan kemerosotan. Hukum alam juga berlaku bagi perkembangan negara ini sering diibaratkan Ibn Khaldun dengan siklus kehidupan manusia: bayi, anak-anak dan remaja, dewasa, renta dan mati.” (Lihat, Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer, 2002), 414).

Salah satu unsur dalam hukum sejarah (sunnah Allāh) itu adanya prinsip perputaran (mudāwalah), yaitu bahwa nasib umat manusia berputar dan bergilir di antara mereka. Firman Allah, “Dan demikianlah masa (kejayaan dan kehancuran) itu kami pergilirkan di antara manusia, dan agar Allah membedakan orang-orang beriman (dengan orang-orang kafir), dan agar sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) sakks-saksi. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Q.s. al-Āli ‘Imrān  [3]: 140).

Artinya, suatu umat atau bangsa ada kalanya berada di atas (menang, unggul dan maju), dan ada juga kalanya berada di bawah (kalah, merosot dan terbelakang). (Lihat, Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, 28-29). Dengan kata lain, dalam persepsi sosial ada keniscayaan bahwa sejarah memiliki rotasi kesinambungan dan perubahan (continuity and change). Sesekali sejarah merekam peristiwa-peristiwa besar dan capaian-capaian agung suatu bangsa; pada kali lain sejarah mengukir keterprosokan suatu bangsa, dan pada gilirannya meluncur ke dasar kehinaan yang memilukan  dalam “tidur-pulasnya” yang berkepanjangan. (Lihat, Malik Bennabi, Shurūṭ Nahḍah, 1961: 63).

Pada galibnya, bangsa yang mengalami nasib semacam di atas berawal dari hegemoni –tepatnya penaklukan dan penjajahan– oleh bangsa lain. Gambaran paling mewakili untuk kurun waktu pertengahan abad ke-20 ini, sekadar memberi contoh adalah negeri-negeri Muslim Asia Tengah yang, menurut Fazlur Rahman, terus masih tercengkram oleh Komunis Rusia dalam “triple domination”: politik, ekonomi dan  –yang akan disebut belakangan ini justru jauh lebih  jahat (merusak) dibandingakan dengan kolonialisme manapun yang dikenal dalam sejarah– intelektual-moral. (Lihat, Fazlur Rahman, Islam dan Modernity: Transformation on an Intellectual Tradition, 1982: 84). Dengan kata lain, kondisi bangsa seperti ini sudah dapat dipastikan, meminjam ungkapan Dawam Rahardjo, “secara politik tidak stabil, secara ekonomi tidak sejahtera, secara sosial-kultural –khususnya pendidikan– terbelakang.” (Lihat, Dawan Rahardjo, “Melawan Hegemoni dan Dominasi”, dalam Kishore Mahbubani, Bisakah Orang Asia Berpikir?, 2005: ix).

Dalam merobah nasib dan kondisi negara-negara Muslim di atas, dan selanjutnya membangun kembali peradabannya, menurut Malik Bennabi –boleh dikatakan sebagai seorang “satu-satunya” pelanjut tradisi keilmuan [baca: filsafat sejarah dan sosial] yang dikembangkan Ibn Khaldun– menyeru secara spesifik kepada umat Islam dewasa ini untuk melaksanakan tiga “piranti” itu dengan bahasa metaforiknya: (i) mengambil “kayu” untuk membangkitkan kesadaran politik dalam menentang dan melawan penjajahan; (ii) memiliki “modal” untuk membangun sarana ekonomi dalam memberantas kemiskinan; (iii) menanam “benih” pengetahuan untuk membasmi kebodohan dan sekaligus membangun peradaban.(Lihat, Malik Bennabi, Shurūḍ Nahḍah, 54). Ketiga piranti ini, sekali lagi, harus dimaknai berlaku secara hirarkis dan kronologis. Bahkan, menurut Azra, dua piranti pertama adalah menjadi  “prasyarat” dalam mewujudkan piranti terakhir. Azra menyatakan dengan baik sebagai berikut:

“Jika kita mau belajar dari sejarah, stabilatas politik dan kemakmuran ekonomi termasuk di antara beberapa prasyarat terpenting untuk mencapai kemajuan kebudyaaan dan peradaban Islam. Kejayaan Islam pada masa klasik, seperti pada masa Dinasti Abbasyiah, berdasarkan kajian saya, berkait erat dengan stabiltas politik dan kemakmuran ekonomi yang berhasil dicapai dinasti kosmopoliti ini. Tanpa kedua prasyarat ini, agaknya kemajuan-kemajuan dalam lapangan kehidupan lainnya, termasuk pemikiran (intelektualisme) Islam, ilmu pengethuan dan teknologi, pendidikan, kesusastraan, kesenian dan lain-lainnya tidak akan tercapai.” (Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana & Kekuasaan, 2000: xix).

Dalam pentas sejarah peradaban hubungan erat antara ketiga “piranti” tersebut pernah terjadi pada sejarah Islam masa silam. Berikut ini akan uraikan sekilas dan sekedar beberapa contoh sunnatullah yang beraku dalam sejarah peradaban anak manusia di muka bumi.

Pertama, dalam sejarah Islam prestasi peradaban gemilang pernah terukir pada masa Dinasti Abbasyiah. Pada era khalifah Harun al-Rashid (786-809) disebut-sebut merupakan zaman keemasan, sehingga ada penilaian bahwa kota Baghdad menjadi “kota yang tiada taranya di seluruh dunia” (Phillip K. Hitti, History of  the Arab, London: Macmillan, 1970: 301-302). Dan berlanjut di era pemerintahan al-Ma’mun (813-833) merupakan puncak kebangkitan intelektual dengan didirikannya lembaga Bayt al-Ḥikmah pada 830 dengan tiga fungsi kombinasi:  perpustakaan, akademi dan biro penerjemahan. Bayt al-Ḥikmah merupakan lembaga pendidikan terpenting sejak didirikannya Musium Iskandariah pada paroh pertama abad ke-3 SM. (Phillip K. Hitti, History of  the Arab, 310). Setelah mencapai puncak kejayaan Dinasti Abbashiyah lambat-laun memenuhi “sunnatullah”nya dengan gong kematiannya yang ditabuh oleh tentara bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulugu Khan pada 1258. Kota Baghdad pun porak-poranda dan Bayt al-Ḥikmah beserta khazanah intelektual Muslim hancur berantakan, dan pada giliranya reduplah, untuk tidak mengatakan berakhirlah, kisah negeri “seribu satu malam” yang pernah jadi marcusuar ilmu pengetahuan dan peradaban selama kurang lebih empat setengah abad.

Kedua, dalam sejarah yang tidak kalah hebatnya pernah diukir ketika Dinasti Umayyah di Andalusia (Spanyol Islam) membanguan kejayaannya pada ketiga unsur tersebut. Pada masa pemerintahan khalifah Abd Rahman III (929-961) umat Islam di Barat mencapai puncaknya kejayaannya dalam bidang politik dan ekonomi. Kejayaan ini dilanjutkan dan terjadi pada masa pemerintahan al-Hakam al-Mustanshir (961-976) yang, oleh al-Mas‘ūdi disebut sebagai khalifah yang paling bijaksana (aḥkam [dalam pengertian paling cinta buku/ ilmu]), mencapai keagungan dalam bidang keilmuan.  Cordova sebagai ibukota pemerintahan dipandang sebagai kota yang paling berbudaya di Eropa atau lebih dari itu sebagai “kota yang berperadaban paling tinggi di muka bumi.” (Lihat, Maria Rosa Menocal, Surga di Andalusia, 2015: 96). Sejumlah universitas di berbagai kota menarik minat para pencari ilmu baik Muslim maupun Kristen tidak saja dari Spanyol, tetapi juga dari wilayah-wilayah lain di Eropa, Afrika dan Asia (Phillip K. Hitti, History of  the Arab, 526-536). Kekuasaan Islam di Andalusia (Spanyol Islam) memang tidak serta-merta berakhir dengan runtuhnya Dinasti ‘Umayyah pada abad ke-11, dan meskipun pada periode ini pula dimulai penaklukan kembali Spanyol (reconquista). Akan tetapi, kekuasaan terus belanjut di bawah pimpinan raja-raja kecil (mulūk al-Ṭawā‘if) dengan tetap mengembangkan tradisi keilmuan dengan melahirkan sejumlah ilmuan dan filosuf. Belakangan, kekuasaan Islam di Andalusia memenuhi “takdir sosiologisnya” ketika bersatuannya kerajaan Aragon dan Castile ditandai dengan perkawinan Raja Ferdinand II (1452-1516) dengan Ratu Isabella I (1451-1504) pada 1469. Penyatuan kekuasaan ini, menurut Philip K. Hitti, menjadi lonceng kematian kekuasaan Islam di Andalusia (Phillip K. Hitti, History of  the Arab, 537).

Ketiga, pada awal kebangkitan bangsa Barat, hal serupa terjadi, ketiga piranti utama itu tercermain, misalnya dari semboyan: Glory  (Kegemilangan), Gold  (Emas) dan Gospel  (Ajaran Agama). Pertama, “kegemilangan” mereka berawal ketika bangsa Barat (Kristen) berhasil menggeser posisi kekuasaan (politik-pemerintahan) dan menghalau umat Islam di Andalusia. Hegemoni politik mengantarkan mereka pada “penjajahan” dunia belahan Timur. Kedua, penjajahan membawa mereka pada penguasaan dan monopoli “emas” (kekayaaan) dunia Timur (Islam). Kekayaan yang melimpah ruah itu mereka angkut ke negeri masing-masing, dan membuat mereka makmur secara materi. Ketiga, dengan kekayaan itu mereka dapat membangun “budaya” keagamaan berupa bangunan gereja dan katedral yang mewah dan indah (baca: bagi Spanyol dan Portugis); membanguan “budaya” keilmuan dan intelektualisme dengan mendirikan/mengembangan universitas-universitas bermutu dan ternama (baca: bagi Inggris dan Prancis), seperti Universitas Oxford (1163) dan Universitas Cambridge (1209) di Inggris, Unversitas Sorbonne (1253) di Prancis serta sejumlah universitas yang terpandang di daratan Eropa lainnya.

Keempat, kejadian sama juga pernah terjadi pada masa kesultanan Islam di Nusantara, misalnya pada kesultanan Islam Aceh Dār al-Salām pada pertengahan abad ke-17, persisnya pada pemerintahan Sultan Iskandar Muda (Penjelasan luas tentang Acah pada era Sultan Isknadar Muda, misalnya, lihat  Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2007). Pada masa ini, Taufik Abdullah menyebutkan bahwa puncak kegemilangan kesultanan Aceh terjadi ketika ketiga unsur utama, yaitu politik, dagang dan agama dengan sangat jelas memperlihatkan hubungan yang sangat erat (Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, 1987: 124-125). Dengan hegemoni politik dan kemapanan ekonomi pada gilirannya menjadikan Aceh menjadi pusat persuratan intelektual Alam Melayu pada abad ke-17. Capaian-capaian yang diraih kerajaan Aceh ini dalam tiga piranti: bidang politik- kekuasaan; bidang ekonomi-perdagangan; bidang budaya-ilmu pengetahuan dan agama-intelektualisme sulit untuk mencari taranya baik sebelum maupun sesudahnya, khususnya di Malayu-Nusantara dicerminkan dengan sebutan “Serambih Mekkah”. (Tulisan yang otoritas prihal proses persuratan intelektual di Aceh, lihat, Abdul Hadi W.M., “Aceh dan Kesusastraan Melayu”, dalam Aceh Kembali ke Masa Depan, (ed.) Sardono W. Kusumo (Jakarta: IKJ Press, 2005), 173-276). Namun belakangan, setelah mencapai puncak kejayaannya pada era Sultan Iskandar Muda, meskipun sunnah Allāh tidak berlansung secara tragis, Kesultanan Aceh Dār al-Salām lambat-laun melemah. Untuk perang Acah yang pada akhirnya mengalami kekalahan melawan Belanda, lihat Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah: Perang Aceh 1873-1912, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987).

Kelima, di kerajaan Melayu-Riau sendiri, pernah meraih kedikjayaan (politik-pemerintahn), kemakmuran (ekonomi-perdagangan) dan kemapanan (budaya-keagamaan). Dari ketiga unsur itu, dua disebut pertama terjadi pada lima dekade pertengahan abad ke-18 [persisnya mulai pada masa pemerintahan YDM II Riau Daeng Cella’ (1728-1745) sampai pada masa pemerintahan YDM IV Riau Raja Haji (1777-1784). Sementara unsur yang disebut terakhir, yaitu prestasi persuratan intelektual terjadi dalam “asuhan” Raja Ali Haji dan “lingkarannya” pada paroh kedua abad ke-19 hingga dekade awal abad ke-20 di kerajaan Melayu-Riau. Sesunggunya pasca Perang Riau (1782-1784) yang dahsyat antara kerajaan Johor Riau-Lingga di bawah pimpinan Raja Haji melawan kolonial Belanda, kerjaan Melayu-Riau sudah tidak lagi berdaulat penuh. Apalagi memasuki abad ke-20 kerajaan Melayu-Riau benar-benar sudah tidak lagi berdaya, dan memenuhi “sunnatullah”-nya ketika kekuasaanya “digenggam” oleh penjajahan Belanda dengan memakzulkan Sultan Abdur Rahman Mu‘azzam Syah (1884-1991) pada 1911, dan sebelum pada akhirnya Kerajaan Riau-Lingga dihapus dari “peta bumi” pada 1913. Pada waktu inilah kegiatan persuratan intelektual di bumi Melayu-Riau mulai surut, mandek dan akhirnya menjadi tinggal kenangan khazanah masa silam. (Untuk perang Riau yang pada akhirnya mengalami kekalahan melawan Belanda, lihat Abrur, Rustam S., (peny.) Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah Dalam Perang Melawan Belanda, Pekabaru: Pemda Riau, 1988).

Demikianlah sejumlah contoh tonggak-tonggak sejarah dunia yang menunjukkan betapa politik-pemerintahan, ekonomi-perdagangan, dan budaya-keilmuan telah berjalin-kelindan dalam membangun peradaban manusia. Ketiga printi ini secara hirarkis akan tetap senantiasa “berputar” dan “mewarnai” peradaban anak manusia silih berganti di masa menjelang.

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb,
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

Alimuddin Hassan Palawa, Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies) UIN Suska Riau.