AGAMA 4.0

-MHW

Digitalisasi agama apakah juga berarti matinya sakralitas dan kepakaran? Namun sebelumnya, begitu krusialkah sakralitas dan kepakaran?

Jika Anda merasa sikap beragama manusia hari ini kehilangan dimensi kedalaman, maka di situlah pentingnya sakralitas. Jika anda melihat agama layaknya parodi, di situlah primernya kepakaran.

Kendati demikian, digitalisasi tidak bisa dijadikan kambing hitam atas redupnya sakralitas dan kepakaran. Telah sejak lama, lama sekali, sikap beragama kita berada di jalur yang getir. Sehingga mudah diotak-atik, juga dikotak-kotakkan. Sepi dari ghirah intelektualisme. Lantaran dikangkangi oleh, mengutip Ahmet T. Kuru, otoritarianisme.

Mirisnya lagi, sikap beragama kita tak ubah seperti psikis babu, sarat dengan simpul penindasan. Bahkan hanya untuk sekadar mengabstraksikan identitas agama, kita harus mengadopsi mind map yang liyan. Maka wajar saja agama yang dianut hanya terhenti pada batas formil, tidak menembus kesadaran.

Dimensi kedalaman dan daya ‘detonasi’ agama terletak pada spirit intelektualisme, bagi saya. Inilah yang hilang dari agama, sehingga mengembangbiakkan penganut agama yang mengidap mental inferior. Gampang menganggap yang berbeda sebagai ancaman, salah satu cirinya.

Termasuk digitalisasi, dianggap sesuatu yang teramat bahaya. Padahal, sakralitas dan kepakaran sirna lebih karena paradigma beragama yang cacat.

Justru, era digitalisasi saat ini merupakan momen yang tepat guna mentransformasi agama sebagai tonggak peradaban. Sebab terbukanya akses pengetahuan dan kian tumpulnya relasi kuasa.

KELIRU MEMILIH USTADZ

Author : Mahmud Hibatul Wafi

 

Orang menjadi apa dan bersikap seperti apa tergantung dari faktor-faktor yang mengitarinya, lalu bagaimana ia menghayati, memproses, dan mengaktualisasi ragam faktor itu dalam pikiran dan laku.

Sosok ustadz, di antara faktor yang dapat memengaruhi seseorang. Terutama di Indonesia, ustaz punya privilege tersendiri, meski tidak semua. Selain karena berangkat dari kebutuhan religius-teologis, ustaz juga berposisi sebagai ‘reseller ideologi’, yang cenderung bias.

Apalagi di bulan Ramadhan, para ustadz berduyun-duyun nongol di ruang publik, baik online maupun offline, umum maupun privat. Tampil dengan rupa-rupa atribut, retorika, dan metode. Saya tidak tahu apakah ada atau belum lembaga yang mendata total keseluruhan ustaz di Indonesia, lengkap dengan keterangan afiliasinya. Namun yang pasti, jumlah mereka tidak sedikit, mungkin sama banyaknya dengan jumlah politisi.

Karena banyaknya model ustaz (belum lagi yang merasa ustaz), ada baiknya kita selektif, terutama terkait dengan afiliasi ideologi. Dampaknya begitu krusial, yang paling akut terjerat paham ekstremisme. Artinya, salah mengidolakan ustaz hidup bisa celaka.

Selain itu, disrupsi informasi yang luar biasa juga cenderung membuat orang sulit untuk selektif, sehingga pertimbangannya seringkali mengarah pada kemasan (form). Prinsipnya: daripada ribet, praktis, dan instan.

Mental praktis dan instan dalam beragama mengindikasikan anjloknya daya literasi bangsa kita. Percepatan media baru dan teknologi, bahkan kian memperkeruh hal tersebut. Zaman sudah 5.0, mental masih 1.0. Duh, payah.

Singkatnya, sikap keliru memilih ustaz menandakan rendahnya daya selektif, dan berarti pula dangkalnya daya literasi. Maka, sebuah kewajaran jika sikap truth claim, takfiri, reaktif, dan sejenisnya berkembang menyesaki ruang publik, bahkan sudah sampai pada tingkat darurat.

Bagaimana pun, kita tidak bisa melihat fenomena ini dari satu sudut. Saya lebih cenderung melihatnya sebagai gejala sosiologis. Sebab, meminjam istilah Peter L. Berger, society is a human product. Masyarakat dibentuk oleh sejumlah entitas, yang berupaya mengekspresikan diri untuk tujuan eksistensi (eksternalisasi).

Artinya, keterhubungan seseorang pada satu ustaz atau kelompok agama tertentu merupakan upaya penegasan eksistensi, dan itu lumrah. Namun, yang perlu disorot ialah bagaimana proses internalisasi (penanaman) ajaran-ajaran yang diterima dari ustaz itu berlangsung. Karena kaitannya begitu signifikan terhadap ‘pelembagaan’ ajaran dalam bentuk ideologi atau regulasi. Moderat ataukah ekstrim?

Oleh karena itu, pada proses internalisasi, individu hendaknya mampu menapis (menyensor) informasi yang diterima dengan disiplin lainnya, semisal, sospol, antropologi, ekonomi, sejarah, indigenous wisdom, dan seterusnya. Apakah proses ini terkesan ruwet? Saya pikir tidak, jika relasi dialogis terus kita kembangkan.

Dengan kata lain, ia jadi ruwet plus ribet jika kita masih mempertahankan pendekatan monodisiplin dan menolak untuk ‘ngopi bareng’.

Pekanbaru, 15 April 2021