Doktrin “Taskhir”: Keadaban Manusia Terhadap Alam

Doktrin “Taskhir”: Keadaban Manusia Terhadap Alam

Masih ingatkah kita tembang lagu gubahan group band fenomenal di era tahun 1970-an, Koes Plus? Lagu bertajuk “Lautan Susu”, satu di antara lagu-lagu Koes Plus sangat populer dan hampir setiap orang yang hidup masa-masa itu mampu melantukannya dengan baik. Syair lagu itu melukiskan dengan benar secara metafor, baik dan indah tentang negeri ini? Potongan syairnya itu masih tergiang-ngiang dalam benakku, begini:

Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupmu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu

Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkah kayu dan batu jadi tanaman

Namun, beberapa tahu belakangan ini, lirik syair ini layak dimodifikasi menjadi:

Bukan lautan hanya kolam lumpur,
kapal asing kini menghantui dirimu
banyak badai banyak teror kau temui
ikan dan udang menjahu dari dirimu.

Orang bilang tanah kita tanah …

Saya “tidak tega” untuk melanjutkan potongan syair lagu yang akan saya modifikasi. Saya “tidak tega” dan urung merangkai kata bernada negatif karena betapun saya tetap akan memiliki seonggok harapan positif pada ibu pertiwi ini. Negeri kepulauan nan elok-permai disebut-sebut sebagai gugusan zamrud khatulistiwa bagian dari potongan surga, kita telah berubah menjadi … Saya “tidak bisa ”melanjutkan kalimat karena saya masih memiliki setumpuk optimism pada tumpah darah ini. Betapapun, cinta kepada ibu pertiwi dan tumpah darah terkalahkan, layaknya ungkapan pribahasa: “hujan batu dinegari sendiri” lebih baik daripada “hujan emas di negeri orang”. Betapapun sikap optimis dan pandangan positif itu penting untuk mengokohkan langkah kedapan demi melihat hari-hari cerah dan ceria di masa-masa menjelang.

Tanpa sikap optimis dan pandangan positif semacam itu ke depannya, apa yang bisa saya banggakan dari negeriku di hadapan Tuhan? Tentu, saya akan tertunduk bukan saja takut, tetapi juga malu untuk menegadah melihat “Wajah” Tuhan. Dan Aku malu dan risih menatap mata cemehan malaikat, dengan katanya, “Benar ‘kan, apa yang aku katakan dulu (tatkala Adam [nenek-moyangmu] akan diciptakan). Kamu, bangsa manusia hanya tahunya melakukan kerusakan dan pertumpahan darah di bumi.” Tuhan, ampuni hamba dan tolanglah hamba dari “sindiran” malaikat, … Bukankah Engkau lebih mengatahui apa yang tidak diketahui oleh malaikat itu. (Qs. al-Baqarah [2]: 30).

Mengemban amanah sebagai khalifah (penggati/duta) Allah dengan segenap tanggung jawab yang menyertainya, sungguh teramat berat. Amanah berat ini tampak ketika Allah menawarkan kepada langit, bumi dan gunung, mereka semua pada enggan menerimanya/memikulnya. (Qs.al-Ahzab [33]: 72). Betapapun amanah itu teramat berat, tetapi Allah tidak akan membebani manusia kecuali sesuai dengan kemampuannya, “lā yukallif Allah nafsan illā wu’aha” (Qs. al-Baqarah [2]: 286). Dengan kata lain, Allah tidak akan pernah memberikan amanah dan tanggungjawab di luar ambang batas kesanggupan yang dimiliki manusia. Apalagi, Allah pasti tidak pernah akan menzalimi hamba-hamba-Nya.

Atas dasar pertimbagan itu, dan ditambah dengan kasih-sayang Allah yang meliputi segala sesuatu (“rahmatī wa si‘a kulla shay’), sehingga Allah “mewajibkan dirinya” untuk menolong manusia agar dapat menunaikan amanah itu dengan memberikannya akal pada (di dalam) diri dan doktrin “taskhir” pada (di luar) diri manusia. Anugrah akal dan doktrin taskhir ini jalin berkelindan pada diri manusia bagi kebutuhan dalam menunaikan amanah yang diembankan Allah kepadanya. Artinya, anugrah akal tanpa doktrin taskhir manusia menjadi pincang; sebaliknya, doktrin taskhir tanpa akal manusia menjadi buta.

Istilah taskhir berasal dari akar kata bahasa Arab tersusun dari huruf “sin”, “kha” dan “ra”, hingga terwujud kata “sakhkhara”. Makna “sakhkharah”, menurut Quraish Shihab, adalah Allah “menundukkan sesuatu agar dapat dimanfaatkan manusia”. Pada doktrin “sakhkhara” melibatkan Allah di dalamnya mengingat sesuatu itu menurut sifatnya atau keadaannya enggan tunduk, tanpa penundukan Allah. (Lihat, Quraish Shihab, “Tafsir al Misbah”, Vol 9, 2005: 115)

Sementara itu, Nurcholish Madjid, menyebutkan bahwa “sakhkharah” mengandung arti bahwa Allah “menundukkan” atau “membuat sesuatu lebih randah” (“taskhīr”) bagi manusia. Artinya, manusia tidak akan pernah mampu menundukkan langit dan bumi (jagad raya) dengan segala benda dan gejala alam –meskipun dengan kecanggihan akal yang dimilikinya– tanpa campur tangan langsung dari Allah. (Lihat, Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam (Jakarta: Paramadina, 2009), 146-147)).

“Alam” (al-‘ālam atau cosmos) terdiri dari: jagad (al-āfāq) [“alam besar” (‘ālam al-kabīr atau makrokosmos)]; dan manusia (al-insān) [“alam kecil” (‘ālam al-ṣaghīr atau mikrokosmos)]. Kedua jenis alam ini, menurut Cak Nur, berwujud “dengan hikmatnya” atau dengan istilah lain, “bereksistensi teleologis”, yakni diciptakan oleh Allah dengan “ḥaqq” (benar), “Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar.” (Q.s. al-Zumar [39]: 5); diciptakan dengan tidak “lā‘b” (main-main), “Dan tidaklah kami ciptakan Iangit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main.” (Q.s. al-Ambiyā [21]: 16); dan tidak pula diciptakan dengan “baṭīl” (palsu), “Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dengan batil (Q.s. Ṣād [38]: 27)”.

Sebaliknya, alam semesta (lagit dan bumi beserta segala wujud/makhluk yang terdapat di dalamnya) diciptakan Allah swt. dengan penuh maksud dan tujuan. (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, 289). Sekurangnya-kuranganya, maksud dan tujuan penciptaan alam semesta itu, di kalangan teolog (mutakallimīn) dimaknai sebagai argumentasi “ayat-ayat” adanya Allah (“cosmological argument”).Allah sendiri telah menegaskan dan menunjukkan bahwa pada makrokosmos lewat al-āfāq (cakrawala) dan pada mikrokosmos lewat al-anfus (jiwa) terdapat tanda-tanda keberadaan dan keagungan Allah dan sebagai penegasan bahwa al-Qur’an adalah benar. (Q.s. Fuṣṣilat [41]: 53).

Penciptaan alam semesta sebagai “cosmological argument” atas eksistensi Allah menjadi penting diperhatikan manusia yang memiliki akal, seperti memperhatikan penciptaan langit dan bumi (Q.s. Alu ‘Imrān [3]: 190); bintang-bintang (Q.s. al-An‘ām [6]: 97); binatang-bintang (,Q.s. al-Naḥl [16]: 79); dan tumbuh-tumbuhan (Q.s. al-A’rāf [7]: 58); serta fenemona alam (Q.s. Al-Rūm [30]: 24); dan entitas-entitas alam lainnya. (Q.s. al-Naḥl [16]: 13). Raja Ali Haji menyatakan bahwa “Semuanya itu jika dipikirkan dengan akal yang sempurna semuanya menjadi tanda Allah Ta’ala….” (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa: 23).

Makanya pemahaman terhadap alam semesta dan segala isinya sangat tergantung kepada bagaimana manusia menggunakan semaksimal mungkin akal yang dianugrahkan Allah. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan dalam peredaran siang dan malam, terdapat tanda-tanda (sumber-sumber pelajaran) bagi mereka yang mempunyai akal budi.” (Q.s. Ālu ‘Imrān [3]: 190). Dan Firman Allah, “…. segala sesuatu ada disemua langit dan ada di bumi, semuanya dari Dia. Sesungguhnya dalam hal itu ada tanda-tanda bagi kaum berpikir.” (Q.s. al-Jāthiyah [45]: 13). Dengan mempergunkan akal secara maksimal dalam merenungkan fenomema-fenomena alam akan membuat manusia takjub atas kebesaran Allah. Dan seyogyanya sujud-tersungkur di hadapan Allah, Sang Pemilik alam semesta disertai gumaman bibir: Subhan Allah, al-Hamd li Allah, dan Allah Akbar.

Mengandalkan kemampuan anugerah akal semata, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, menjadikan manusia tidak kuasa sepenuhnya dalam mengelola alam semesta. Oleh karena itu, terdapat sejumlah ayat yang menegaskan bahwa Allah telah banar-benar “menundukkan dan merendahkan” alam semesta beserta isi dan fenomenanya bagi kepentingan dan keperluan manusia. Al-Qur’an menyatakan, “Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya pada demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang yang berpikir.” (Q.s. al-Jāthiyah [45]: 13).

Pada ayat lain Allah berfirman, “Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.” (Q.s. Luqmān [31): 20).

Dalam ayat lain juga dikemukan, “Apakah kamu tiada melihat bahwa Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya. Dan Dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Ny. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada Manusia. (Qs. al-Hajj [22]: 65).

Begitu pula pada ayat lain, ditegaskan, “Allahlah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang”. (Qs. Ibrahim [14]: 32-33).

Dari sejumlah ayat tentang taskhir tampak dengan jelas bahwa Allah telah menundukkan langit dan bumi beserta di antara kedunya dengan bebarapa perincian, mislanya, menundukkan matahari, bulan, bahtera, sungai-sungai, siang dan malam. Dalam penundukkan lagi dan bumi beserta di antara keduanya dimakani sebagai anugerah, rahmat dan nikmat serta sebagai wujud kasih sayang Allah kepada manusia. Dan dari rentetan ayat tersebut perlu dicatat bahwa dalam penundukan alam semesta itu terdapat tanda-tanda dan pelajaran bagi orang-orang yang berakal.

Doktrin taskhir dalam al-Qur’an mengandung tiga prinsip penting yang saling terkait satu dengan lainnya. Pertama, bahwa manusia adalah puncak ciptaan Allah, sehingga seluruh alam berada dalam martabat yang lebih rendah daripada manusia. Kedua, karena alam memiliki martabat yang lebih rendah daripada manusia, sehingga manusia diberi wewangan untuk memamfaatkan alam demi kebutuhan manusia. Ketiga, wewenang manusia dalam memamfaatkan alam harus bertanggungjawab dengan tidak mengeksploitasi alam secara semena-mena.

Manusia sebagai khalifah (“duta” atau “pengganti”) Allah di bumi harus memperlakukan alam ini secara baik dan bertanggungjawab. Nurcholish Madjid menyatakan dengan gamblang: “Kekhalifahan manusia ini mempunya implikasi prinsipil yang luas. Disebabkan oleh kedudukannya sebagai “duta” Tuhan di bumi, maka manusia akan dimintai tanggung jawab di hadapan-Nya tentang bagaimana ia melaksanakan tugas suci kekhalifahan itu. Maka manusia diharapkan untuk senantiasa memeperhatikan amal perbuatannya sendiri sedemikian rupa, sehingga dapat dipertanggungjawabkan di hadapan pengadilan Ilahi kelak. Kewajiban untuk bertindak dengan penuh tanggung jawab ini merupakan titik mula moralitas manusia, dan membuatnya sebagai makhluk moral, yakni makhluk yang selamanya dituntut untuk mempertimbangkan kegiatan hidupnya dalam kriteria baik dan buruk. (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, 2008: 297).

Adanya penekanan sebagai “pengganti” atau “duta” Allah di bumi maka setiap kali akan memulai amal ibadah manusia dituntun dan ditutut agar melafadzkan, “Bismi Allah al-Rahman al-Rahim” (“Atas nama [maaf, terjemahannya bukan dengan nama] Allah Yang Maha Pengasih dan Penyanyang). Begitu pula, hubungan manusia dengan alam ditekankan adanya tanggungjawab, sehingga manusia dituntut untuk memperlakukan alam layak seorang “istri” dengan penuh kasih sayang, baik (mu’asayarah bi al-ma’ruf), dan disertai tanggung jawab. Sebalinya, manusia seharusnya tidak memperlakukan alam bagaikan seorang “pelacur” dengan hanya modal uang, tanpa adanya kasih-sayang dan tanggung jawab.

Memperlakukan alam dengan tanpa “kasih-sayang” yang tidak diiringi tanggun jawab benar-benar-benar telah menjadi realitas hidup keseharian. Dengan demikian, sungguh nyata kerusahan baik di darat maupun di laut karena ulah manusia. Semoga, kerusakan yang telah dilakukan oleh manusia diperlihatkan Allah, sehingga manusia kembali ke jalan yang benar. (Qs. al-Rūm [30]: 41).Untuk itu, manusia dewasa ini harus semakin menyadari dan sekaligus menuruti perintah Allah,“Janganlah kamu melakukan kerusakan di bumi ini ….” (Q.s. al-A‘rāf [7]: 56).

Lebih dari itu, manusia seyogyanya untuk mulai belajar meneladani Allah sebagai khalifah-Nya di bumi: “… wa aḥsin kamā aḥsan Allāh ilayka wa la tabghi al-fasād fī al-arḍ inna Allāh la yuhibb al-mufsidīn (dan berbuat baiklah engkau sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesugguhnya Allah tidak menyukai orang yag berbuat kerusakan.” Q.s. al-Qaṣāṣ [28]: 77). Lagi pula, manusia harus mengisafi menurut ajaran al-Qur’an bahwa manusia dapat ditimpakan hukuman mati hanya pada dua kasus, yaitu membunuh dengan tanpa alasan dan melakukan kerusakan di bumi. (QS. al-Ma’idah [5]: 32)

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

By: Alimuddin Hassan Palawa, (Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies], UIN Suska Riau).

Leave a Reply