Ahmad syafi’I ma’arif yang juga akrab dipanggil Buya oleh orang-orang terdekatnya meski ia sendiri cenderung menghindarinya. Ia lahir pada 31 Mei 1935 di Bumi Calau Sumpur Kudus “Makkah Darat”. Perjalanan pendidikan Buya Syafii mencerminkan pola asuh santri baru. Gambaran pola pendidikan santri tempo dulu adalah demikian: setelah mengenyam pendidikan agama di Nggon Ngaji dan pesantren kemudian pergi haji sekaligus belajar agama kepada ulama-ulama besar di Mekkah. Oleh karena itu, Syafii kecil tidak pergi ke pesantren tradisional, tapi bersekolah di Madrasah Mualimin Muhammadiyah Lintau (1953) dan Madrasah Mualimin Yogyakarta (1956). Sarjana Muda ditempuh di Universitas Cokroamnoto Surakarta (1964), dan sarjana lengkap dalam pendidikan sejarah di IKIP (Universitas Negeri) Yogyakarta (1968). Ia pernah menghadapi lika liku Pendidikan selama di Yogyakarta, ia belajar sambil mengajar. Setelah itu, Ahmad Syafi’I Ma’arif melanjutkan studinya di Amerika, ia belajar sejarah pada Northern Illinois University (1973) dan Ohio State University (1980) hingga memperoleh gelar MA. Selanjutnya masih dinegara yang sama, di Universitas of Chicago ia memperoleh gelar PhD dengan judul disertasi “Islam As The Basic of State; A Study of The Islamic Political Ideal As Reflected In The Constituent Assembly Debates In Indonesia” yang dibimbing oleh Fazlur Rahman. Tulisan Buya Syafii tentang pendidikan Islam seluruhnya di tulis setelah era 1980-an, setidaknya yang menjadi bahan kajian ini, paska mengalami pergolakan intelektual di Chicago. Tinjauan selintas perjalanan pendidikan dan pergeseran pemikirannya, meski jauh dari memadai, sudah dapat mengambarkan latar belakang pemikiran pendidikannya. Sumbangsih pemikiran Syafi’I Ma’arif dalam bentuk karya tidak perlu diragukan lagi. Telah banyak karya buku yang telah ditulisnya, baik yang membahas agama, negara, atau keduanya sekaligus. Diantara kara-karya nya yakni Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (2009), Menerobos Kemelut Refleksi Cendekiawan Muslim (2006), Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku (2006), Menggugah Nurani Bangsa (2005), Mencari Autentitas Dalam Kegalauan (2004), Independensi Muhammadiyah Ditengah Pergumulan Pemikiran Islam dan Politik (2000), Islam dan Politik Membingkai Peradaban (1999), Islam Kekuatan Doktrin dan Keagamaan Umat (1997), Keterkaitan Antara Sejarah, Filsafat, dan Agama (1997), Islam dan Politik; Teori Belah Bamboo Masa Demokrasi Terpimpin (1996), Muhammadiyah Dalam Konteks Intelektual Muslim (1995), Membumikan Islam (1995), Percik-Percik Pemikiran Iqbal (1994), Peta Bumi Intelektualitas Islam di Indonesia (1994), Islam dan Politik di Indonesia (1988), Al-Quran, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (1985), Islam dan Masalah Kenegaraan; Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante (1985), Dinamika Islam (1984), Islam, Mengapa Tidak ? (1984), Islam, Politik dan Demokrasi di Indonesia Dalam Aspirasi Umat Islam Indonesia (1983), Mengapa Vietnam Jatuh Seluruhnya ke Tangan Komunis (1975), Mencari Autensitas Dalam Dinamika Zaman (2019), dan lain sebagainya.
Ahmad Syafi’I Ma’arif termasuk salah satu cendekiawan muslim Indonesia yang aktif merespon berbagai permasalahan bangsa ini dengan sudut pandangnya. Konsep humanism Buya Syafi’I tanpa jubah dan sorban dalam berdialektika dan bergumul dalam konteks islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Islam yang sesungguhnya adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Humanism Ahmad Syafi’I Ma’arif berlandaskan kepada tauhid, yang memberikan kebebasan, persaudaraan, serta persamaan kepada sesama. Bagi Ahmad Syafi’I Ma’arif, manusia memiliki hak dalam menentukan pilihan hidupnya, dan setiap manusia berhak memiliki keadilan untuk menganut agama apapun yang diinginkannya, karena itu adalah hak bagi manusia tanpa adanya paksaan. Kemajemukan itu adalah sunnatullah yang mau tidak mau harus diterima sebagai sebuah fitrah. Humanism Ahmad Syafi’I Ma’arif sangat menghargai dan menghormati perbedaan-perbedaan tersebut, baik dari aspek keagamaan, suku, ras, budaya, sosial, dan sebagainya. Apalagi dengan kondisi Indonesia yang plural maka disinilah kita sebagai manusia dituntut untuk saling memahami keragaman tanpa lagi harus saling menuding satu sama lain dalam sebuah perbedaan.
Ahmad Syafi’I Ma’arif juga mendedikasikan seluruh kemampuannya untuk merespon dan memberikan kontribusi pemikiran kepada rakyat Indonesia baik secara langsung ataupun melalui karya-karyanya, supaya terlepas dari paham-paham yang dapat membelenggu kemajuan bangsa, melepaskan masyarakat dari kebodohan cara pandang, fanatisme yang sempit, serta paham-paham lainnya yang memperburuk situasi sosial keagamaan bangsa, agar Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara tetap utuh, tidak ternoda oleh berbagai kepentingan politik jangka pendek yang tidak sehat. Manusia, dalam pandangan Ahmad Syafi’I Ma’arif adalah makhluk ciptaan Tuhan yang dibekali dengan ilmu dan aql (intelek atau penalaran), manusia melalui kreatifitasnya dapat menemukan ilmu pengetahuan. Humanism Ahmad Syafi’I Ma’arif sejalan dengan rasionalitas dan pendirian bahwa dengan usaha-usaha rasional yang terus menerus Islam akan lebih dari sekedar mampu untuk menghadapi berbagai tantangan modernitas. Humanism Ahmad Syafi’I Ma’arif adalah humanism Islam yang berkaitan dengan berbagai ajaran Islam tentang toleransi dan keharmonisan sosial yang menyangkut budaya muslim yang mendorong umat Islam tidak seharusnya takut terhadap suasana plural yang ada ditengah masyarakat modern, sebaliknya harus merespon dengan positif.
Pemikiran humanism Ahmad Syafi’I Ma’arif menurut penulis sangat penting dan mempunyai nilai kontribusi pemikiran yang besar dalam memahami islam dalam kaitannya dengan masalah-masalah peradaban dan kemanusiaan. Pemikiran humanism beliau akan mampu membawa Islam untuk memberikan jawaban atas masalah-masalah yang dihadapi manusia sekarang ini, terutama yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, antara lain: kebodohan, keterbelakangan, kefanatikan, dan tantangan sosial keagamaan bangsa lainnya. Karena itu beliau selalu menekankan satu poin penting bagi bangsa Indonesia khususnya Islam yaitu, kembalilah kepada al-Quran. Sehingga akan terlepas dari penafsiran-penafsiran keagamaan yang sarat dengan kepentingan tertentu. Berangkat dari permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini, humanism Ahmad Syafi’I Ma’arif menginginkan adanya rekonsiliasi antara agama dan politik, karena agama kerap kali menjadi bulan-bulanan para pelaku politik dalam mencapai tujuannya. Ahmad Syafi’I Ma’arif ialah sosok yang memadukan antara kekuatan intelektual yang kritis dan kekuatan moral spiritual keagamaan yang telah teruji kokoh. Disaat keberagaman intelektual dihambat dan dibabad dalam tradisi kehidupan umat Islam, maka yang terjadi adalah dekadensi dalam seluruh sistem kehidupan umat terutama dekadensi moral intelektual. Ahmad Syafi’I Ma’arif pernah menyatakan dengan tegas, “mereka yang takut pada pemikiran yang berbeda adalah manusia fosil. Kalau kita takut berbeda pendapat, takut disembelih orang karena memiliki pendapat yang berbeda, maka jadi saja manusia fosil.” Ahmad Syafi’I Ma’arif senantiasa mengembangkan intelektualitas dalam tradisi Islam, maka yang harus dikembangkan adalah mendorong kemerdekaan berpikir seluas-luasnya. Inilah yang dalam pandangan beliau akan menghindarkan umat manusia terjerembab dari tragedy “manusia fosil” tadi. Kemerdekaan berpikir akan melahirkan jiwa yang merdeka. Baginya Islam yang damai, Islam yang konstruktif, dan Islam yang dapat mengayomi bangsa ini ialah dengan tanpa membeda-bedakan suku, agama, dan lain sebagainya. Keislaman harus satu nafas dengan keindonesiaan dan kemanusiaan.
Dalam pandangan Ahmad Syafi’I Ma’arif, ketika Islam diaplikasikan dalam konteks keindonesiaan maka akan memunculkan sebuah Islam yang ramah, terbuka, inklusif, dan mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa Indonesia. Inilah kondisi carut marut yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini. Permasalahan-permasalahan keagamaan dan sosial politik yang yang dialami bangsa ini, butuh sosok seorang Ahmad Syafi’I Ma’arif dalam memberikan jalan tengah dan pencerahan terhadap bangsa ini.
Menurut Ahmad Syafii Maarif, secara doktrinal Islam tidak menetapkan dan menegaskan pola apapun tentang teori negara Islam yang wajib digunakan oleh kaum Muslim. H.A.R. Gibb seperti dikutip Buya Ahmad Syafii Maarif, memaparkan bahwa baik AlQur’ân maupun Sunnah tidak memberikan petunjuk yang tegas tentang bentuk pemerintahan dan lembaga-lembaga politik lainnya sebagai cara bagi umat untuk mempertahankan persatuannya. Argumentasi Buya Syafii Maarif ini berangkat dari asumsi bahwa Islam bukanlah sekedar cita-cita moral dan nasihat-nasihat agama yang lepas begitu saja. Islam membutuhkan sarana sejarah untuk mewujudkan cita- cita moralnya yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Sarana yang dimaksud Buya Ahmad Syafii Maarif tidak lain adalah negara, sehingga Syafii Maarif menolak pandangan yang menghendaki pemisahan Islam dan negara.
Humanism Ahmad Syafi’I Ma’arif mendukung sepenuhnya prinsip kebebasan beragama. Ia senantiasa menghargai setiap perbedaan-perbedaan tersebut meskipun berbeda dengan keyakinannya. Keimanan beliau tak tergoyahkan meskipun ia bergelut dengan agama-agama dan keyakinan yang berbeda dengannya. Syafi’I Ma’arif membuka luas-luas hak-hak individu dalam menentukan keyakinannya sendiri. Dengan demikian, pada satu sisi Syafi’I Ma’arif mendapatkan dasar teologis dan pada sisi lain mendapatkan penghargaannya terhadap kebebasan beragama berdasarkan konstitusi yang berlaku. Beliau mendasarkan humanismenya terhadap kebebasan manusia dalam menentukan pilihannya tentunya dengan segala resikonya masing-masing. Sebagai tokoh yang radikal ia senantiasa bergerak setelah mendapatkan lampu hijau dari alquran. Pilihan bebas untuk memilih sebuah keimanan juga berdasarkan landasan normative dari kitab suci tersebut, bukan sebagai ijtihad yang tak memiliki akar teologis, karena baginya iman yang dipaksakan dalam hati penganutnya merupakan sebuah Tindakan yang tidak pantas karena menghambat hak-hak asasi individu tersebut.
Humanism Syafi’I Ma’arif memandang bahwa perbedaan-perbedaan yang dimiliki manusia bukanlah untuk ditakuti yang akan melahirkan perpecahan diantara sesama, melainkan menjadi sebuah kekayaan yang mendinamiskan pemahaman visi dan pemahaman manusia tentang realitas. Perbedaan merupakan dictum untuk saling mengenal yang merupakan pondasi kultural dan religius untuk membangun persaudaraan kemanusiaan universal dan mengokohkan pluralism. Humanism Syafi’I Ma’arif menyatakan persaudaraan universal yang mampu menciptakan kedamaian yang solid dalam menerima realitas yang plural melalui sikap yang toleran. Baginya sikap yang toleran tak terlepas dari konsep kesetaraan manusia, karena keadilan dan persaudaraan yang solid tak tercipta begitu saja tanpa didukung dengan pengakuan kesetaraan status manusia, baik yang beragama atau bahkan ateis. Kondisi masyarakat Indonesia yang bersentuhan langsung dengan suasana yang plural sedang mengalami disorientasi nilai-nilai agama. Menurut Syafi’I Ma’arif, kondisi yang demikian terjadi akibat dari keangkuhan manusia itu sendiri yang merasa “lebih benar” daripada satu kelompok dan mencurigai kelompok lainnya sebagai “biang kerok” dalam bangsa dan agama ini. Akibatnya, terjadi interaksi negatif yang terkesan merendahkan dan meremehkan. Menurut Syafi’I Ma’arif sesungguhnya kemanusiaan itu tunggal, tidak ada orang lain di dunia ini kecuali semua merupakan hamba-hamba tuhan. Semuanya tercakup dalam sebuah ikatan persaudaraan universal dan berhak merasakan kasih sayang Tuhan.
Humanism Syafi’I Ma’arif berpedoman kepada al-Quran. Menurutnya al-Quran mengajarkan kepada kita bahwa sikap moderat merupakan pilihan tepat dalam menjaga dan menjalin hubungan antar umat beragama. Semangat al-Quran telah memberikan lampu hijau tentang pluralism dimana setiap kelompok masyarakat diakui eksistensinya. Kepedulian Ahmad Syafi’I Ma’arif akan masalah-masalah yang membelit bangsa ini begitu besar. Bagi Ahmad Syafi’I Ma’arif inilah pekerjaan utama bagi setiap agama yang perlu dihadapi dan dicarikan solusinya. Kondisi yang demikian, maka agama harus diletakkan sebagai fungsional supaya berbagai ancaman terhadap eksistensi keberagaman dan kemanusiaan dapat diatasi.
Fachry Ali dan Bachtiar Effendi menyebut pemikiran keislaman Buya Syafi’I bercorak modernism Islam, sebuah corak pemikiran yang berakar kuat pada kaum modernis awal (baca: Muhammadiyah dan Masyumi), tetapi dalam beberapa hal justru melampauinya. Perhatian utama Buya Syafi’I tercurah pada proses pelembagaan Islam dari sudut sejarah dan pemikiran berpapasan dengan modernisasi dan perubahan-perubahan sosial ekonomi dan politik yang begitu cepat.
Meski sejak kecil sudah mengenal Muhammadiyah, Syafi‟i baru benar-benar menjadi pengurus organisasi Islam itu sepulang dari Chicago. Pada tahun 1985, ia bergabung di Majelis Tabligh Muhammadiyah hingga akhirnya ia bisa menjadi Ketua PP Muhammadiyah tahun 1998. Guru besar UNY Yogyakarta ini juga pernah menjadi dosen pasca sarjana IAIN Yogyakarta.
By: Mukhlisa