Islam: “Salih Fi Kulli Zaman Wa Makan”? (Respon Pemikir Muslim atas Modernisme)

Islam: “Salih Fi Kulli Zaman Wa Makan”? (Respon Pemikir Muslim atas Modernisme)

Dewasa ini, ungkapan “al-Islām ya‘lū walā yu‘la ‘alayh” (Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengatasinya), sepertinya hanya berlaku pada tataran idealitas, dan bukan pada tataran realitas. Dulu umat Islam memang pernah membuktikan ungkapan tersebut dalam realitas yang menyejarah. Lalu, bagaimana objektivikasi ungkapan tersebut di masa kini dan di masa-masa mendatang? Dalam mengejawantahkan ugkapan itu lagi, umat Islam terlebih dahulu harus membuktikan bahwa bagaimana Islam “saliḥ fī kulli zamān wa makān” (selaras dalam setiap waktu dan tempat) dalam menghadapi dan menjawab tantangan modernitas di kekinian dan di kedisinian.

Dalam mewujudkan agar Islam tetap “saliḥ fī kulli zamān wa makān”, tidaklah semudah “memalingkan wajah” dari belang ke depan. Salah satu upaya untuk lebih memudahkan “pemalingan wajah” itu, menurut hemat saya, di antaranya adalah memaknai sungguh-sungguh apa yang terkandung dalam lafadz:

المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح
(memelihara sesuatu tradisi lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik). Lama yang baik dan baru yang lebih baik seyogyanya beriringan dan saling komplementer dalam menjawab tantangan zaman, tanpa harus menafikkan satu dengan yang lainnya. Yang satu tidak akan kokoh dan sempurna tanpa yang lainnya. Misalnya, kalau seorang sangat “percara diri” dan hanya mau menoleh ke belakangan sementara kakinya melangkah ke depan, akibanya bisa jatuh terjungkal. Sebaliknya, kalau seseorang begitu “ngotot” dan hanya mau menatap ke depan sementara tercerabut dari akar, akibatnya menjadi a historis.

Dalam konteks ini ada pertanyaan yang selalu diajukan: “Apakah Islam (baca: pemamahan atasnya) yang harus mengikuti/ disesuaikan dengan perkembangan zaman; atau zaman yang harus mengikuti/disesuaikan dengan Islam? Bagi kalangan yang sangat “percara diri pada masa lalu”, sebagaimana disebut di atas, akan memberikan jawab mutlak bahwa zamanlah yang harus mengukuti Islam, dan bukan sebaliknya. Sementara itu, bagi kalangan yang “ngotot pada masa depan” akan menjawab, “Islamlah yang harus mengikuti zaman”, dan bukan sebaliknya. Kedua jawaban “mutlak-mutlakan” ini tidak akan pernah bisa menjadikan Islam “saliḥ fī kulli zamān wa makān”. Keduanya, sekali lagi, harus saling “isi-mengisi” dalam menghadapi perkembangan “waktu dan tempat” pada saat ini, terlebih-lebih masa-masa mendatang.

Kalau kita ingin melihat Islam tetap relevan dengan tuntutan “zaman” dan “waktu”, maka konsekwensi logisnya harus ada keberanian untuk memahami “noktah-noktah” tidak melulu secara harfiah (lahiriyah), tetapi ada kalanya harus pula dipahami secara maknawi (bathiniyah). Bukankan al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama, meminjam ungkapan ulama besar dari Syiah (Iran), ‘Allamah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i dalam karyanya, “Mengungkap Rahasia al-Qur’an”, menyebutkan bahwa bahwa al-Qur’an mempunyai arti lahir dan batin. Dalam pengertian yang disebut belakangan ini, ulama besar pengarang tafsir “al-Mizan” mengutip hadis bahwa: ““Inna lil-Qur’ān zahran wa baṭnan wa libaṭnih baṭnan ilā sab‘ah abṭnan”.

Jadi, dari hadis ini nyata betul bahwa al-Qur’an tidak saja memiliki makna lahir, tetapi juga makna batin. Bahkan dalam makna batin al-Qur’an ada sejumlah makna batin lagi yang terdalam, dan hebatnya sampai tujuh makna batin.

Betapapun khazanah intelektual warisan ulama dan ilmuan Islam klasik (yang baik) harus tetap ditoleh. Sikap ini dipandang penting demi memudahkan pengembangan intelektualisme Islam pada masa kini dan mendatang yang lebih kretif dan inovatif. Dengan demikian, dalam sejarah pembahruan pemikiran Islam lahir tokoh yang dinamis, sehingga di kalangan mereka lahir tesa dan anti-tesan dan sintesa, (dialektika), sebagaiman tercermin pada empat tipologi gerakan pemikiran Islam, menurut Fazlur Rahman.

Pertama, gerakan revivalisme pramodernis yang lahir pada abad ke-18 dan 19 di Arabia yang dicetuskan oleh Muhammad ibn Abd Wahhab; di India oleh Shah Wali Allah; dan di Afrika oleh al-Sanusi. Gerakan revivalisme pramodernis dengan sendirinya tidak terkena sentuhan/ pengaruh Barat. Adapun ciri-ciri umum dari gerakan pemikiran revivalisme pramodernis ini adalah: (i) keperihatian yang mendalam terhadap degenerasi dan dekandensi sosial-moral umat Islam disertai usaha sungguh-sungguh untuk merubahnya; (ii) menghimpau umat Islam untuk kembali kepada ajaran Islam yang sejati dengan mengenyahkan takhayyul, bid’ah dan khurafat yang ditanamkan oleh bentuk-bentuk sufisme populer; (iii) menyeru umat Islam untuk meninggalakan gagasan tentang obsolutisme dan finalitas mazhab-mazhab hukum serta berupaya untuk melakukan ijtihad; (iv) mengajak umat Islam untuk meninggalkan corak pemikiran dan prilaku predeterministik; dan (v) menyeru umat Islam untuk melaksanakann pembaharuan yang dianutnya, kalau perlu lewat kekuatan senjata.

Kedua, modernisme klasik muncul pada pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20. Gerakan modernisme klasik ini terpengaruh dan terbuka terhadap ide-ide dari Barat dan karenanya lebih aprisiatif terhadap intelektualisme. Dengan begitu, menimbulkan kesan bahwa gerakan modernisme klasik ini bersifat westernized (kebarat-baratan). Gerakan modernisme klasik ini meneruskan dan memperluas cakupan ijtihad yang dilakukan oleh gerakan sebelumnya. Gerakan modernisme klasik ini menciptakan kaitan yang baik antara pranata-pranata Barat dengan tradisi Islam melalui seumber al-Qur’an dan hadis. Rahman sendiri memberikan apresiasi atas upaya ini sebagai suati prestasi besar yang tidak bersifat artifisial dan terpaksa. Meskipun demikian salah satu kekurangan gerakan ini belum mengelaborasi secara tuntas metode yang dikembangkannya. Menariknya, hakekat penafsisran Islam gerakan ini didasarkan pada al-Qur’an dan ”Sunnah historis” (biografi Nabi) yang dibedakan dengan ”Sunnah teknis” (hadis-hadis Nabi). Gerakan modernisme klasik pada umumnya sekeptis terhadap hadis, tetapi skeptisisme ini tidak ditopang oleh kritisisme ilmiah.

Ketiga, neorevivalisme atau revivalisme pascamodernis lahir sebagai reakasi tidak menerima metode dan semangat modernisme klasik. Akan tetapi, mereka tidak mampu mengembangan metodologi apa pun untuk menegskan posisinya, selaih hanya berupaya membedakan Islam dan Barat. Meskipun dalam realitasnya gerakan ini menerima masalah-malasah substantif yang diangkat oleh gerakan modernis, misalnya demokrasi, tetapi penerimaan mereka lebih bersifat terpaksa.

Keempat, neomodernisme lahir dibawah pengaruh dan sekaligus tantangan terhadap neorivivalisme. Untuk gerakan ini, Rahman sendiri mengklaim dirinya sebagai juru bicaranya. Gerakan pembaharuan ini, tentu saja sangat berbeda dengan gerakan-gerakan sebelumnya, berupaya untuk melihat dan menyikapi secara kritis dan obejektif hasil-hasil pemikiran umat Islam dan sekaligus pemikiran orang Barat. Melalui sikap kritis dan objektif, neomodernisme ingin membangun Islam dalam berbagai dimensinya dalam satu kerangka yang utuh, menyeluruh, sistimatis serta mencerminkan nilai-nilai al-Qur’an dan teladan Nabi yang sebenarnya. (Lihat, Taufik Adnan Amal (peny.), Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur Rahman: 17-20; bandingkan, Abu A’la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal: 1-3 dan 20).

Agaknya, ummat ini pada abad pertengahan selama lima abad (dari abad ke- 13 sampai akhir abad ke-19) sudah membuat Islam jauh “ketinggalan kareta” dari segi “zamān” (waktu) dan “mākan”, sehingga harus terus menurus melanjutkan perjuangan dan pemikiran para pembaharu Islam sejak akhir abad ke-19. Dalam mencermati problem-problem dihadapi dunia Islam, di kalangan intelektual dan pemikir pembaharu Muslim terdapat beberapa variasi pandangan dan pemikiran sebab-sebab keterbelakangan kaum Muslim dan sekaligus upaya solusi pemecahannya.

Pertama, pemikir kelompok Muslim ini melihat bahwa biang keladi seluruh keterbelakangan dunia Islam adalah kerena berkembangnya paham khurafat dan telah menjauhnya kaum Muslim dari ajaran aslinya, al-Qur’an dan Hadis. Menurut kelompok ini, jika umat Islam ingin meraih kembali kejayaan masa silam yang pernah dimiliki, mereka harus kembali ke pangkal; mengikis segala khurafat dan bid’ah serta kembali kepada al-qur’an dan al-Sunnah. Gerakan ini kemudian dikenal sebagai gerakan furifikasi, seperti yang dimotori oleh gerakan Wahabiah di Hijaz.

Kedua, pemikir Muslim dalam kelompok ini melihat bahwa sebab-sebab ketidakberdayan dunia Islam tersebut dikarenakan perpecahan dan tidak adanya persatuan di kalangan umat Islam yang mengakibatkan mereka menjadi terjajah. Untuk itu, menurut kelompok ini, umat Islam harus menggalang persatuan dan membebaskan diri belenggu penjajahan. Dalam kelompok ini termasuk Jamaluddin al-Afghani sebagai pelopor utamanya; yang terkenal dengan pemikirannya tentang Pan-Isalamisme.

Ketiga, pemikir Muslim dalam kelompok ini melihat bahwa biang kerok dari segala keterbelakangan dunia Islam adalah karena kejumudan pemikiran lantaran tertutupnya pintu ijtihad. Sebagai jalan keluarnya agar ummat Islam dapat kembali membangun peradabanaya, mereka harus membuka lebar-lebar pintu ijtihad dengan mempergunakan rasionalitas-liberalitas secara kental, sembari menambil nilai-nilai dari barat yang relevan dan tidak bertentangan dengan ajaran dasar Islam. Di antara tokoh dari kelompok ini yang sangat artikulatif adalah Muhammad Abduh yang sangat mashur denga rasonalisme, dan belakangan dielaborasi oleh Syed Ameer Ali dari anak benua India.

Namun, rumusan sebab dan upaya pemecahan keterbelakangan itu, sepertinya masih jauh “panggang dari api.” Artinya, harus diakui bahwa kini ummat Muslim tidak/belum bisa menjadi ke mbali“al-Islām ya‘lū walā yu‘la ‘alayh”. Gambaran bahawa Islam “yang tinggi dan tidak ada yang mengatasinya” yang pernah dicatat oleh tinta emas sejarah Islam klasik selama kurang lebih 5/7 abad (abad ketujuh sampai abad duabelasa/empat belas) hanya indah untuk dikenang sambil menepuk-nepuk dada sebagai wujud “onanisme”. Memang ini memuaskan untuk jangka waktu sesaat, tetap setelah itu yang ada adalah lara yang berkempanjangan. Romatisisme sejarah ibaratnya mimpin indah yang membuai, tetapi setelah tersentak dari tidur, kita mendapatkan diri kita dalam posisi kebalikan 180 derajat dari mimpi indah tersebut.

Lihatlah dewasa ini dunia Islam tetap merupakan kawasan di bumi ini yang paling terkebelakang di antara penganut agama-agama besar di jagad ini. Menurut Cak Nur, negeri-negeri Islam jauh tertinggal oleh Eropa Utara, Amerika Utara, Australia dan Selandia baru yang bergama Protestan; oleh Eropa Selatan yang Katolik Romawi; oleh Eropa Timur yang Katolik Ortodoks; oleh Israil yang Yahudi; oleh India yang Hindu; oleh Cina, Korea Selatan, Taiwan dan Hongkong serta Singapura yang Budhis-Konfusionis; oleh Jepang yang Budhis-Teois; dan oleh Thailan yang Budhis. (Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam: 21).

Sebetulanya kondisi memilukan ini tidak perlu berlanjut hingga kini, minimal mengurangi jarak ketertinggalan, kalau saja umat Islam, misalanya, mau menyahuti seruan gagasan beberapa pembaharu, khususnya seperti Muhammad Abduh dan Syed Ahmad Khan, masing-masing dari Mesir dan Indo-Pakistan, untuk kembali menangkap ajaran agama Islam yang lebih kreatif, dinamis dan logis, segaligus lebih otentik serta mampu menangkap “api Islam” dan meninggakalkan “abunya”, sebagaimana yang pernah diperagakan oleh umat dalam sejarah Islam klasik selama berabad-abad. Namun kenyatannya tidaklah demikian, jangankan menangkap “api” Islam, umat Islam justru meninggalkan ajaran agamanya dan hanya menggenggam “abunya”. Karenanya, Muhammad Abduh benar ketika mengatakan, “umat Kristen maju karena meninggalkan agamanya; dan ummat Islam mundur karena meninggalkan agamanya.” (Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, 22; Fazlur Rahman, Islam: 322-323; dan Albert Hourani, Arabic Thoughth in the Liberal Age 1798-1939: 130-159).

Jika direnungkan lebih mendalam ungkapan Muhammad Abduh ini, akan menghasilkan argumen bahwa menjadi rasional dalam Islam adalah inheren (melekat dalam) agama itu sendiri. Sebalkinya, pada orang Barat menjadi rasional adalah tantangan terhadap agamanya. Jika alur logika ini diteruskan, argumen berikutnya bahwa menjadi modern dan ilmiah dalam Islam adalah konsisten dengan ajaran agama Islam, sedangkan pada orang Barat berarti penyimpangan dari agamanya. (Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam: 165). Belakangan, menurut Rahman, pandangan pemikiran semacam ini dipopolerkan dan diperdebatkan dengan intens oleh ahli hukum dan pemikir Anak-Benua India yang terkemuka: Syed Ameer Ali. (Fazlur Rahman, Islam: 322-323). Maka sangat logis dan relevan kalau ia mengungkapkan bahwa agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad bukanlah agama yang membawa kepada kemunduruan. Tetapi sebaliknya, agama Islam ada lah agama rasional yang mengantarkan kepada kemajuan. (Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, (Delhi: Idarah-I Adabiyat Delli, tt.), 435).

Mā Tawfiq illā bi Allāh,
Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.

By: Alimuddin Hassan Palawa, (Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau)

Leave a Reply