Keberagaman yang Tak Lagi Menyatukan

Keberagaman yang Tak Lagi Menyatukan

Radikalisme Dalang Perpecahan

by Nurhayati Nupus

28059_20297.jpg

Indonesia terkenal dengan keberagamannya. Kekayaan budaya, bahasa maupun agama menjadi keunikan tersendiri –yang tak jarang membuat iri bangsa dan negara lain–. Perbedaan seakan menjadi kekuatan dalam persatuan antar bangsa. Sesuai dengan semboyan negara Indonesia, yaitu: “Bhinneka Tunggal Ika” yang maknanya “Berbeda-beda tetapi tetap satu jua”.

Sangat disayangkan, di Indonesia kedamaian mulai memudar secara perlahan. Seiring berkembangnya zaman, penyalahgunaan teknologi menimbulkan masalah yang dapat memicu kehancuran. Sosial media contohnya, menjadi perantara dalam menyebar ujaran kebencian, intoleransi bahkan radikalisme. Keadaan tersebutlah yang mengakibatkan bangsa ini dijajah oleh teknologi modern –menjadi budak teknologi–.

Masalah utama bangsa ini adalah radikalisme. Sebuah paham yang dimaknai negatif oleh kebanyakan orang. Arus yang semakin deras dikhawatirkan dapat meluluhlantakkan Indonesia. Tak sekadar di kalangan mahasiswa, virus radikalisme juga menjadi buah bibir di antara tokoh politik, sosial dan agama. Paham ini juga mulai menyusup ke jenjang sekolah, baik sekolah menengah pertama maupun menengah atas.

Paham ekstrim  seringkali dikaitkan dengan salah satu agama di Indonesia, yaitu Islam. Bangsa Indonesia adalah pemeluk Islam terbesar di Asia Tenggara bahkan dunia. Sebagai mayoritas yang memiliki pertahanan kokoh, Muslim dijadikan sasaran oleh golongan tertentu. Misi semacam ini mencoba melakukan pergerakan dari dalam untuk memecah belah keberagaman.

Tidak hanya Islam, radikalisme sebenarnya telah meracuni kepercayaan lainnya. Berlandaskan pemahaman yang dianggap benar dalam melakukan perubahan pada tatanan negara, -tidak menerima pendapat golongan lainnya–. Segala cara dilakukan demi mencapai suatu tujuan, -meski dengan tindak kekerasan yang tak jarang berujung kematian–. Fanatisme terhadap agama sangat berbahaya, sehingga dapat berdampak pada sikap intoleran antar bangsa.

Berbagai fenomena tragis mulai bermunculan. Pengeboman dilakukan di berbagai tempat, aksi teroris tiada henti serta pembantaian di mana-mana. Konflik sosial semakin memuncak ketika tindak kekerasan mengatasnamakan agama. Padahal kepentingan golongan-golongan tertentulah yang menjadi alasan utama. Setiap ajaran yang diterima penganut agama apa pun pastinya selalu mengedepankan sikap toleransi.

Tak sedikit tokoh ulama dan pendidikan yang dianggap sebagai penopang, justru menyesatkan pemikiran. Budaya membaca yang kian melemah adalah salah satu faktor mudahnya terpengaruh dalam berbagai hal. Kebanyakan bangsa Indonesia ingin dipandang cerdas dengan memberikan pemahaman maupun kritikan –walaupun dengan wawasan minim–.

Media massa memiliki peran yang sangat penting dalam pergerakan pesat radikalisme, tak hanya sebagai alat propaganda penyebar paham yang menyesatkan, tetapi juga sebagai senjata guna melawan aksi “kejahatan pemikiran”. Kecerdasan bermedia sosial, karenanya, sangat diperlukan oleh pengguna aktif internet (sering juga disebut netizen). Kelemahan dalam literasi penggunaan media sosial dapat memicu terjadinya pelecehan, pertentangan atau merusak identitas seseorang.

Sebagai salah satu wadah yang diguyuri informasi, media sosial mendorong seseorang untuk meningkatkan daya kreatifitasnya dan pengaktualisasian diri. Pasal 28 E ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan tentang kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Bebas berpendapat bermedia sosial bukan bermakna bebas tanpa arah, melainakan bebas yang bertanggung jawab

Semakin mendekati pemilu, terlihat individu-individu maupun golongan berupaya dalam meraih kemenangan. Lagi-lagi, kecanggihan teknologi yang bernuansa media sosial maupun aplikasi pengeditan marak difungsikan secara optimal. Berbagai ujaran kebencian semakin memanas, perbedaan pendapat menjadi duri pemisah yang teramat menyakitkan.

Banyak laman berbasis Islam di media sosial yang khusus dibuat sebagai alat provokator. Portal-portal online serta penerbitan berpaham radikal yang bermunculan seakan menepis persatuan. Perbuatan semacam ini sangat merugikan Muslim karena Islam tak memuat ajaran tersebut. Bahkan Islam menjunjung tinggi sikap toleran serta sangat terbuka terhadap pokok pikiran modern.

Generasi muda seharusnya melakukan gerakan perubahan. Generasi penerus sangat disarankan menuangkan pemikirannya pada berbagai karya, salah satunya tulisan. Dalam melakukan pemberitaan, media massa harus lebih proaktif dan obyektif lagi, sehingga tidak menjadi alat propaganda.

Gunakanlah media sosial untuk menebar kebaikan;  memberi motivasi kepada orang lain serta berupaya menggerakkan hati seseorang untuk menjadi lebih baik ketika membaca tulisan kita baik secara online maupun secara offline. Gerakan tersebut lebih baik dan mampu menjadi amal jariyah bagi penyebarnya.

Pemuda cerdas, akan selalu menggali dan memperluas wawasannya. Bisa  dimulai dengan melakukan aksi tukar pikiran dalam sebuah kelompok, serta mengadakan sosialisasi maupun seminar. Berperan aktif dalam penanggulangan  masalah agama, bangsa dan negara, -memberantas radikalisme–.

Indonesia haruslah kembali merajut persatuannya. Berhati-hatilah dengan ujaran kebencian yang menginginkan kehancuran. Radikal tak selalu berkonotasikan negatif, seperti halnya pemuda bangsa yang berfikir radikal dalam mewujudkan kemerdekaan.

Tidak ada yang sulit dalam melakukan perubahan, kita hanya membutuhkan niat, nekad, usaha dan doa. Keluarlah dari zona nyaman untuk merasakan indahnya perkembangan zaman. Perbedaan tak kan lagi menjadi boomerang, bahkan perbedaanlah yang menyatukan. Hidup toleran, ciptakan perdamaian.

Kutipan www.qureta.com

Leave a Reply