by Siti Thohiroh
Akhir-akhir ini, ‘moderat’ menjadi istilah yang bertendensi mengangkat satu kelompok tertentu dan menjatuhkan kelompok yang lain. Tanpa disadari, istilah ini sering digunakan untuk mengategorikan orang-orang yang bertindak dan berpikir secara liberal dalam beragama dan tidak anti Barat (baca: anti kapitalisme). Sedangkan orang-orang yang berseberangan dengan itu disebut radikal dan seolah menjadi antagonis moderat yang menolak ideologi kapitalisme, sekuler, anti demokrasi, dan tidak mau berkompromi dengan Barat.
Moderasi Islam?
Di antara karakteristik Islam yang secara eksplisit Allah sebut dalam al-Quran adalah al-wasathiyyah/moderat (lihat QS. al-Baqoroh: 143). Dr. Afrizal Nur, MIS dan Mukhlis Lubis, Lc., M.A. mendefinisikan al-wasathiyyah sebagai kondisi terpuji yang menjaga seseorang dari kecenderungan menuju dua sikap ekstrem; sikap ifrath (berlebih-lebihan) dan muqashshir (mengurang-ngurangi sesuatu yang dibatasi Allah SWT).
Dalam bahasa yang lebih sederhana, moderasi Islam dapat dipahami sebagai pandangan atau sikap berusaha mengambil jalan tengah. ‘Muslim moderat’ menjalankan Islam secara mendalam (kaffah) dan seimbang, baik pada tataran hubungannya dengan Allah (hablun minallah) maupun kepada sesama manusia (hablun minannas).
Kehidupan muslim moderat cenderung fokus untuk meningkatkan mutu kehidupan manusia, baik yang berkaitan dengan pengetahuan, sistem ekonomi dan keuangan, politik, kebangsaan, pertahanan, persatuan, maupun persamaan ras.
Akidah
Moderasi di bidang akidah memiliki arti bahwa Islam tidak memaksakan akidahnya kepada agama lain. Seorang Muslim harus menghormati dan menghargai kelompok agama lain. Dalam konteks ke-Indonesia-an, sikap seperti ini disebut dengan istilah ‘toleransi’.
Konsep toleransi yang ditawarkan Islam sangatlah rasional dan praktis serta tidak berbelit-belit. Namun, dalam hubungannya dengan keyakinan, Islam tidak mengenal kompromi.
Toleransi merupakan pemberian kebebasan kepada sesama manusia untuk menjalankan keyakinan, mengatur hidup dan menentukan nasibnya masing-masing. Kebebasan ini dibatasi oleh syarat-syarat atas terciptanya ketertiban dan perdamaian dalam masyarakat.
Salah satunya, muslim milenial perlu memahami bahwa Islam melarang umatnya untuk ‘memaksa’ pemeluk agama lain memeluk agama Islam.
Toleransi dalam beragama bukan berarti bebas menganut agama lain atau dengan ‘sesuka hati’ mengikuti ibadah dan ritualitas semua agama tanpa adanya peraturan yang mengikat.
Toleransi beragama harus dipahami sebagai bentuk pengakuan akan adanya agama-agama lain selain Islam dengan segala bentuk sistem dan peribadatannya serta memberikan kebebasan untuk menjalankan keyakinan agama masing-masing.
Menghina Tuhan dan agama orang lain tentu suatu hal yang dilarang. Apabila hal ini dilakukan (baca: ‘menghina’) akan memicu masalah yang besar dalam kehidupan. Sejatinya Islam mengatur segala sendi kehidupan, termasuk larangan menghina, mengolok-olok dan mencaci sesembahan penganut agama lain. Demikianlah, Islam sangat menjunjung dan menghargai perbedaan.
Begitu juga dalam berhubungan dengan sesama masyarakat. Muslim harus berbuat adil walaupun terhadap non muslim dan dilarang untuk menzalimi hak mereka. Artinya umat Islam diperbolehkan berbuat baik kepada mereka.
Umat Islam juga diizinkan hidup bermasyarakat dan bernegara dengan orang-orang yang berbeda agama selagi mereka berbuat baik dan tidak memerangi umat Islam. Dengan demikian, kehidupan lintas agama dapat berdampingan secara harmonis.
Ibadah
Islam mewajibkan penganutnya untuk melakukan ibadah dalam bentuk dan jumlah yang sangat terbatas. Keterbatasan ini dapat dilihat dari beberapa ibadah yang diperintahkan; shalat lima kali dalam sehari, puasa sebulan dalam setahun, dan haji sekali dalam seumur hidup. Selebihnya, Allah SWT mempersilakan manusia untuk berkarya, bekerja dan mencari rezeki di muka bumi.
Wilayah ibadah memiliki cakupan yang sangat luas, meliputi seluruh aktivitas keseharian manusia. Sungguh, sangat sempit pemikiran sebagian kalangan yang menganggap bahwa ibadah hanya sekedar sholat, puasa, zakat, dan haji.
Bukankah syariat Islam tidak hanya berbicara tentang halal, haram, sunnah dan makruh? Masih ada perkara mubah yang dapat bernilai ibadah jika di dalamnya terdapat niat dan maksud yang baik.
Ulama salaf memiliki kebiasaan untuk tidur di awal malam. Mereka bangun cepat untuk melaksanakan sholat dan mengharapkan pahala dari tidurnya sebagaimana mengharapkan pahala dari sholatnya.
Kebiasaan mereka dapat dijadikan contoh bahwa ‘tidur’ pun dapat bernilai ibadah, jika sebelumnya telah diniatkan. Hal ini juga berlaku pada aktivitas keseharian lainnya.
Pemahaman di atas akan menjadikan seorang muslim dapat menghadapi kehidupan secara profesional, karena semua yang ia lakukan adalah ibadah kepada Allah SWT. Namun, pemahaman tersebut perlu didasari atas komitmen bahwa pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan syariat Islam dan memiliki niat yang benar, tekun (profesional) dan ihsan, senantiasa menjaga aturan-aturan yang Allah SWT tentukan, dan pekerjaan tersebut tidak menghalangi dirinya untuk taat beragama.
Berdasarkan pemahaman di atas, seorang Muslim semestinya tidak hanya fokus dengan ibadahnya sendiri (hablunminallah), tetapi juga berusaha menyeimbangkan dengan ibadah sosial (hablunminannas). Dengan demikian, seseorang yang taat ber-ibadah pun dapat memberikan kontribusi dalam menunjang pembangunan nasional, baik di bidang pengembangan sumber daya manusia, finansial dan perokonomian maupun bidang-bidang lainnya.
Muslim Moderat
Berdasarkan ulasan di atas, dapat disimpulkan bahwa seseorang yang berusaha menerapkan prinsip moderasi Islam disebut muslim moderat. Mereka berusaha menjalankan Islam secara mendalam (kaffah) dan menyeimbangkan kehidupannya, baik pada tataran hablunminallah maupun hablunminannas. Konsep ini juga sesuai dengan cermin masyarakat muslim yang disebutkan al-Quran, muslim rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi alam semesta).
Kutipan www.qureta.com