Milenial Semesta

Milenial Semesta

by Siti Thohiroh

84927_61573.jpg

Milenial Semesta

Teknologi digital saat ini dapat diakses oleh hampir semua kalangan. Informasi berkembang dengan pesat dan penyebarannya pun makin cepat. Kondisi ini membuat berbagai kalangan dapat melihat beragam informasi dari semua sudut pandang.

Sayangnya, mayoritas milenial cenderung malas untuk menvalidasi kebenaran informasi yang diterima. Mereka cenderung menerimanya hanya dari satu sumber, terutama media sosial.

Media sosial memiliki kredibilitas informasi yang sulit untuk diukur. Fenomena ini tidak jarang dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk menyebarkan paham maupun informasi (hoaks/berita bohong) yang dapat mengancam solidaritas berbangsa dan bernegara.

Sebagai contoh, ‘peperangan istilah’ (liberal dan radikal) yang sering dimunculkan intelektual Barat, khususnya melalui media sosial.

Akhir-akhir ini, istilah “moderat” menjadi kata yang bertendensi mengangkat satu kelompok tertentu dan menjatuhkan kelompok yang lain. Tanpa disadari, istilah moderat sering digunakan untuk mengategorikan orang-orang yang bertindak dan berpikir secara liberal dalam beragama dan tidak anti-Barat (anti-kapitalisme).

Sedangkan orang-orang yang berseberangan dengan itu disebut radikal. Paradigma ini seolah dijadikan antagonis moderat yang menolak ideologi kapitalisme-sekuler, anti -demokrasi, dan tidak mau berkompromi dengan Barat.

Tulisan ini tidak bermaksud membahas ‘peperangan istilah’ di atas, namun lebih menitikberatkan pada bagaimana semestinya milenial berperilaku dalam menyikapi arus informasi yang makin tak terkendali.

Milenial seharusnya mampu merepresentasikan dirinya sebagai makhluk yang terus berupaya memperbaiki diri, senantiasa menambah keilmuan dan kebajikan, tidak berlebihan dalam segala hal, dan fokus berupaya menebarkan kebaikan dan kebermanfaatan. Inilah yang penulis sebut milenial semesta (milenial rahmatan lil’alamin).

Generasi Milenial

Neil Howe dan William Strauss mendefiniskan generasi milenial adalah orang-orang yang terlahir pada tahun 1982 hingga kira-kira dua puluh tahun setelahnya.

Sebenarnya, di berbagai literatur belum ditemukan kesepakatan kapan generasi ini dimulai. Namun, hampir semua pendapat setuju bahwa generasi milenial—kadang disebut generasi Y—adalah sekelompok orang yang lahir setelah Generasi X—orang yang lahir pada kisaran tahun 1980-2000an. Dengan demikian, milenial adalah generasi muda yang berusia 19-39 pada tahun ini.

Generasi milenial lahir di era perkembangan teknologi. Intermet berperan besar dalam keberlangsungan hidup mereka sehingga televisi bukanlah prioritas untuk mendapatkan informasi. Generasi milenial lebih suka memperoleh informasi dari ponsel, dengan mencarinya ke Google atau perbincangan pada forum-forum yang diikuti supaya tetap up to date.

Milenial umumnya ‘merasa’ wajib memiliki media sosial sebagai wadah berkomunikasi dan berekspresi. Kebanyakan dari mereka kurang suka membaca secara konvensional. Mereka lebih menyukai melihat gambar apalagi jika menarik dan berwarna. Jika pun hobi membaca, mereka lebih memilih membaca online (e-book) agar tidak repot membawa buku.

Sebagian besar milenial cenderung mengalami ‘ketergantungan’ terhadap teknologi, informasi, dan komunikasi. Kecenderungan ini membuat mereka lebih mudah terpapar isu-isu yang beredar di dunia elektronik, khususnya media sosial.

Apalagi, saat ini fenomena hoaks (berita bohong) sudah tidak asing lagi, bahkan kerap menyulut perpecahan di antara sesama. Jelas, kondisi ini dapat memperburuk stabilitas keamanan bernegara.

Perilaku Milenial Semesta

Pertama, membangun budaya check and recheck (tabayyun) terhadap informasi apa pun yang diterima. Hal ini dibutuhkan untuk mengonfirmasi kebenaran suatu informasi.

Terlebih di era teknologi yang serba canggih, informasi dapat dengan mudah ditemukan dimana saja—koran, TV, media sosial, dan sebagainya—yang umumnya memiliki tingkat kebenaran yang masih perlu diuji. Budaya check and recheck harus dilakukan oleh si penyebar informasi maupun yang menerima agar tidak terjadi dampak buruk yang tak diinginkan.

Kedua, menghindari menuduh tanpa bukti. Budaya takfiri dan tudingan wahabi yang sedang viral saat ini dapat dikategorikan sebagai “fitnah” jika tidak disertai adanya bukti-bukti nyata.

Fitnah adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Ia tidak hanya merusak seseorang, tetapi juga merusak masyarakat sehingga tidak mengherankan jika disebut lebih kejam daripada pembunuhan.

Pembunuhan hanya memisahkan ruh seseorang dari jasadnya, setelah itu selesai. Sedangkan fitnah dapat merubah akhlak, akidah, bahkan agama seseorang. Tidak hanya itu, akibat dari fitnah dapat berdampak turun-temurun ke generasi berikutnya.

Ketiga, bijak dan kritis dalam bersosial media. Sejatinya setiap orang membutuhkan informasi untuk keberlangsungan hidupnya. Di antara penyebabnya adalah untuk meningkatkan wawasan, menambah edukasi, dan bermasyarakat.

Kondisi ini menuntut pengguna sosial media untuk bijak dan berpola pikir kritis agar mampu menyaring informasi—mana yang positif dan membuang informasi mana yang tidak layak untuk dikonsumsi.

Milenial semesta perlu memikirkan manfaat dan keburukan yang ditimbulkan media sosial. Sebaiknya media sosial hanya digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat, seperti menambah pertemanan, mencari informasi, berbisnis, dan menebar kebaikan (berdakwah).

Kemudahan yang ada hendaknya tak hanya sekadar disyukuri dan dinikmati, karena dapat berdampak positif atau malah sebaliknya, tergantung pelakon yang berperan.

Kutipan www.qureta.com

Leave a Reply