Buku berjudul “Biografi Gus Dur; The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid” adalah buku yang ditulis oleh Greg Barton seorang berkebangsaan Australia. Dr. Greg Barton seorang senior lecturer di Deakin University Australia yang sangat aktif melakukan studi tentang Islam di Indonesia.
Pada tahun 1989 dia tinggal di Jakarta dan berkenalan dengan Gus Dur untuk pertama kalinya. Dari pertemuan yang hangat dan menyenangkan itu Greg akhirnya menjadi sahabat Gus Dur hingga sisa hidupnya. Tak jarang Gus Dur mengajak mahasiswa ini menemaninya dalam berbagai tugas kenegaraan ketika menjadi presiden. Hubungan antar personal inilah yang menjadi sumber informasi dari buku biografi Gus Dur.
The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid ini dibagi menjadi lima bagian. Bagian satu ke bagian berikutnya merupakan fase perjalanan hidup seorang Gus Dur dari kecil hingga saat ia menjabat sebagai pimpinan tertinggi Indonesia (Presiden).Gus Dur merupakan tokoh panutan yang sangat dihormati oleh banyak kalangan karena pengabdiannya kepada masyarakat, demokrasi, dan Islam toleran.
A. Riwayat Sang Intelektual
Sebagai seorang anak dari seorang kiai besar yang sekaligus pendiri organisasi Nahdlatul Ulama, Gus Dur tidak dapat dipisahkan dari lingkungan ayah dan kakeknya yakni pesantren. Pesantren dalam lingkup Nahdlatul Ulama merupakan unsur penting dalam sendi kehidupan organisasi ini.
Ada beberapa orang yang berpengaruh dalam membentuk sosok Gus Dur di lingkungan pesantren. Mereka adalah kakek-kakek Gus Dur, Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Bisri Syansuri, dan Kiai Wahab Chasbullah yang merupakan keponakan dari kakeknya Kiai Hasyim Asy’ari. Selain itu tentu dari kedua orang tuanya yakni Kiai Wahid Hasyim dan Nyai Solichah. Kakek-kakek Gus Dur adalah keturunan kiai-kiai besar NU, baik dari pihak ayah maupun Ibu.
Pendidikan Gus Dur sepenuhnya bersifat sekular. Namun, tentu saja ia telah mempelajari bahasa Arab ketika kecil dan mempunyai cukup pengetahuan untuk membaca Al-Qur’an. Setelah beranjak dewasa, ia mulai belajar Bahasa Arab secara sistematis.
Gus Dur juga dikenal menguasai beberapa bahasa asing. Bahasa Inggris, Prancis, Arab, Jerman, dan lainnya dikuasai secara baik.Secara garis besar buku ini juga menjelaskan kehidupan Gus Dur saat studi di Timur Tengah. Ada tiga kota besar yang mempengaruhi arus intelektualisme Gus Dur, tiga kota itu adalah Kairo, Baghdad, dan Eropa.
Di Kairo Gus Dur justru ‘gagal’ dalam studinya, ini dikarenakan lebih pada kekecewaan Gus Dur pada Al-Azhar yang menurutnya tidak memberikan pendidikan yang baik macam Barat. Di Al-Azhar ini kemudian ia merasakan kekecewaan yang begitu besar, karena baginya Al-Azhar tidak ada bedanya dengan pesantren di Indonesia, karena itulah ia tidak ingin menghabiskan waktunya dengan mempelajari apa yang telah dipelajarinya bertahun-tahun di pesantren.
Tak lama kemudian Gus Dur dikeluarkan dari universitas ini karena sering membolos. Membolosnya Gus Dur lebih sering ia gunakan membaca di perpustakan dan menonton pertandingan bola dan film India. Ketika ia mendapatkan kesempatan untuk belajar di Baghdad, ia merasakan menemukan lingkungan yang dimaksud. Di Baghdad baginya lebih kosmopolitan dengan menghadirkan sistem pembelajaran yang lebih terbuka, pun dengan koleksi perpustakaan yang lebih beragam koleksi bukunya. Di sinilah ia banyak berkenalan dengan pemikiran dan filsafat Barat.
Meski di Baghdad ia harus taat dan harus kooperatif dengan kampus. Sebab aturan di sini lebih disiplin dan ketat bagi mahasiswanya. Baghdad menjadi tempat yang paling nyaman baginya terbukti hampir empat tahun ia habiskan waktunya di sana.
Sementara itu, dalam sela-sela kuliahnya iapun meminang Nuriyah. Pernikahan ini pun berlangsung tetapi Gus Dur tidak hadir secara langsung dan diwakilkan kakeknya Kiai Bisri Syamsuri. Setelah menikah dan lulus di Baghdad Gus Dur memiliki cita-cita melanjutkan pendidikannya ke Eropa dengan harapan dapat membawa Nuriyah tinggal bersamanya di sana. Akan tetapi, harapan itu pupus setelah ijazah keluaran Baghdad tidak diakui di Eropa.
B. Islam dan Liberalisme
Ketika Gus Dur meninggalkan Jombang untuk belajar ke luar negeri, ia adalah seorang pemuda yang tengah bergulat dengan masalah bagaimana Islam bisa mengadakan perubahan. Menjelang masa dewasanya, ia pernah terpukau oleh kelompok Islamis radikal. Tujuh tahun
kemudian ia kembali ke tanah air sebagai seorang yang penuh komitmen terhadap pemahaman liberal mengenai Islam.
Pengaruh yang membentuk pemikiran liberalisme ini, pertama adalah karena keluarganya sendiri. Di dalam lingkungan keluarga ia dididik untuk bersikap terbuka dan selalu mempertanyakan sesuatu secara intelektual. Kedua, ia dibesarkan di dalam dunia sufistik Islam tradisional Indonesia. Ketiga, ia dipengaruhi oleh orientasi budaya masyarakat Indonesia modern yang mengarah pada pluralisme dan egalitarianisme.
Gus Dur yang di kalangan pesantren dikenal sebagai seorang kiai justru dalam hal pemikiran dan gagasan bisa terbilang liberal dalam pandangan sebagian Muslim Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari pemaparan Greg dalam bagian ketiga buku ini. Bagaimana sosok Gus Dur mati-matian membela demokrasi dengan membentuk forum-forum yang pro demokrasi dan terus terjun ke akar rumput sembari membela dan menolak penindasan-penindasan yang dilakukan negara kepada masyarakat.
Gus Dur pun sangat terbuka dengan aliran pemikiran dan menjunjung kebebasan beragama. Karena itulah ia sering melakukan dialog antar iman dan membela hak-hak kaum minoritas yang dikebiri. Ia sendiri tetap memakai landasan demokrasi dan konstitusi dalam menyuarakan kebebasan berpendapat dan berkeyakinan.
C. Menerjang Batas
Gus Dur adalah sosok yang mendobrak batas untuk keterbukaan dan kebebasan. Ia kemudian menjadi simbol kebangkitan bagi anak-anak muda NU dan Muslim umumnya dalam berpikir terbuka dan bebas. Karena itulah kehadiran Gus Dur dalam kancah pergerakan masa Orba menjadi sangat penting dan simbolik. Gus Dur menjadi simbol perlawanan bagi Soeharto, yang selama ini orang takut menghadapinya. Namun di sisi lain juga ada orang yang mengkritiknya.
Salah satu alasan utama mengapa orang mengkritik kepemimpinan Gus Dur dalam organisasi adalah bahwa ia sering kali meletakkan organisasi dalam hubungan yang bertubrukan dengan rezim Soeharto (hlm : 248). Pada bagian terakhir atau kelima, adalah lanjutan dari bagian keempat. Pada bagian ini masih menceritakan soal politik dan pergerakan menentang Soeharto dan saat ia menjabat menjadi presiden.
Pada bagian akhir ini Greg menjelaskan situasi sulit Gus Dur saat berhadap-hadapan dengan Soeharto. Pasalnya berhadapan dengan rezim adalah satu “kekonyolan” yang mengantar pada kesakitan. Dan itu disadari betul oleh Gus Dur, intimidasi, ancaman, boikot serta kampanye anti-Gus Dur dibuat untuk menjatuhkan dan melemahkan Gus Dur.
Namun sayang, semua itu gagal dan tidak berhasil melenyapkan Gus Dur. Justru hal itu membuat Gus Dur semakin dewasa dalam berhadapan dengan rezim. Tak hanya itu, orang yang dekat dengan Gus Dur seperti Megawati juga memberikan perlakuan yang sama.
Saat situasi politik memanas, kekacauan hampir terjadi dimana-mana. Pasca Timor-timor, Poso meledak. Sementara kerusuhan atas nama agamapun juga terjadi di Situbondo. Partai PDI-pun tepecah dan terjadi tragedi yang menewaskan banyak orang.
Saat situasi itu terjadi, posisi Gus Dur menjadi sangat berat. Sebagai seorang yang konsisten membela kebebasan dan perdamaian Gus Dur tetap turun ke akar rumput untuk menyerukan perdamaian dan toleransi. Saat ia menjabat, yang tak lebih dari dua tahun itu, Gus Dur mengalami pasang surut kehidupan yang luar biasa. Sikapnya yang bebas, santai, dan cuek menjadi keuntungan dan kerugian sekaligus. Karena hal itulah banyak lawan politiknya kemudian menyerangnya. Manuver politik lawan begitu kuat, dan Gus Dur hanya seorang diri, dan pada akhirnya ia harus dilengserkan dari kursi kepresidenan.
Terhadap tuduhan bahwa Gus Dur telah mulai bersikap otoriter, suatu alasan kuat dapat digunakan untuk menentang gugatan tersebut, yakni bahwa kelemahan politik Gus Dur disebabkan oleh keidakmampuannya untuk bernegosiasi dengan keras dan mencapai kesepakatan dengan musuh-musuh politiknya (hlm : 491).
Dalam menyusun buku biografi ini Barton membaginya dalam beberapa bagian yang disusun secara kronologis historis dari sebagian perjalanan hidup Gus Dur. Dan ia batasi hingga akhir tahun 2001, yakni saat masa lengser dari kursi kepresidenan RI.
Sedikit kekurangan buku ini, karena merupakan buku terjemahan maka banyak ditemukan kosakata salah ketik. Dengan demikian pembaca harus teliti untuk menentukan maksud kata tersebut. Dari sisi penulisan seringkali setiap sub pembahasan yang membahas pokok yang sama terpisah di bagian-bagian yang berbeda.
Buku ini sangat tepat untuk menggambarkan Gus Dur yang memiliki pandangan besar sebagai seorang negarawan, ulama, dan cendekiawan. Beliau seorang manusia yang memandang sesamanya sebagai seorang manusia juga. Sebagaimana kebaikan-kebaikan yang sudah dilakukan, beliau memberikan keteladanan sikap kemanusiaan atas banyaknya tragedi di Indonesia. Ada banyak yang bisa kita pelajari mengenai sosok Gus Dur melalui buku ini.
By: Miftahul Huda