SUNDA EMPIRE DAN IMAJINASI TENTANG INDONESIA

SUNDA EMPIRE DAN IMAJINASI TENTANG INDONESIA

oleh Afdhal Kusumanegara Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN SUSKA RIAU

Sejumlah negara harus mendaftar ulang di Bandung sebelum 15 Agustus 2020. Jika tidak, mereka akan tetap memiliki utang di Bank Dunia. Rusia dan Korea Utara termasuk di dalamnya. Semua berada di bawah kendali Sunda Empire. Termasuk United Nations (UN) yang kita kenal PBB dan North Atlantic Treaty Organization (NATO), semua lahir di Bandung.

Konsep tentang pemerintahan dunia yang berpusat di Bandung hanyalah satu dari sekian banyak cita-cita besar Sunda Empire. Menempatkan manusia-manusia di wilayah Indonesia sebagai manusia paling berkuasa di dunia. Menjadikan wilayah ini sebagai pusat peradaban. Jika ditelusuri dalam jangka waktu yang sama, Keraton Agung Sejagat di Purwokerto sebenarnya memiliki konsep serupa, yakni mencoba mewarisi kemegahan masa lalu yang terputus. Sama dengan Kerajaan Warteg Bahagia di Depok, juga Keraton Djipang di Blora dan cabang baru Kerajaan Majapahit di Bali.

Indonesia sebagai Komunitas Terbayang

Sebenarnya kita akan menemukan semangat yang sama dari Kesultanan Demak, Kesultanan Gowa, Kesultanan Siak, Kerajaan Mataram, Majapahit, Sriwijaya, sampai ke Kutai Kertanegara dan sebagainya dan seterusnya. Semuanya lahir dari keinginan bersatu dan membentuk sebuah perkumpulan. Bisa jadi karena senasib seperburuan, satu bahasa, atau satu keturunan.

Sampai akhirnya Indonesia datang dan merangkul semua raja dan sultan itu. Kerajaan-kerajaan itu melebur menjadi simbol budaya, adat-kesenian, bahasa daerah, dan sistem sosial masyarakat. Indonesia dengan bahasa Indonesianya kemudian menjadi satu-satunya ‘kerajaan’ yang diakui di wilayah Nusantara; menjadi nasion. Adapun yang tersisa dan tidak bisa diganggugugat adalah budaya, agama, dan bahasa daerahnya.

Benedict Anderson, seorang indonesianis berkebangsaan Irlandia, pernah menjelaskan konsep nasion itu dalam bukunya Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang. Pertama terbit tahun 1983 dan menjadi buku yang dikutip oleh banyak ilmuwan jika hendak menulis tentang nasionalisme. Anderson mengajukan konsep nasion sebagai sebuah komunitas politis dan dibayangkan terbatas karena hanya merupakan persaudaraan imajiner.

Bagaimanapun teguhnya kita menyatakan diri sebagai suatu kesatuan, tetap saja individu atau kelompok-kelompok di dalamnya tidak pernah berinteraksi secara langsung dan massif. Seperti apakah ceritanya, orang-orang Aceh yang berdiam di ujung barat Indonesia, lalu menjadi bersaudara dengan orang-orang Asmat, Bugis, Dayak, Flores, Jawa, dsb. kalau bukan sebagai sebuah imajinasi belaka?

Dalam konteks Indonesia, maka entitas-entitas pembentuk persaudaraan imajiner itu— termasuk agama-agama—yang ada di wilayah Indonesia adalah nyata dan merupakan sebuah kepastian, sedangkan negara Indonesia itu sendiri hanyalah hasil imajinasi dari berbagai entitas tersebut. Masyarakat suku dan agama disebut sebagai masyarakat riil dan masyarakat Indonesia disebut masyarakat imajiner. Kita tidak bisa mengatakan “saya keluar dari suku Sunda atau mungkin tidak memiliki agama”, tetapi kita bisa saja mengatakan “saya tidak lagi menjadi warga negara Indonesia” alias berpindah kewarganegaraan.

Menggugat Anderson

Turunan dari konsep riil-imajiner ini menempatkan nasionalisme sebagai sebuah perasaan belaka; dari perasaan bersatu dan berdaulat. Hal ini sebenarnya tidak juga cukup untuk menggambarkan nasionalisme itu sendiri. Nasionalisme berasal dari kata “nasion”; suatu bangsa. Jadi lebih kepada satu entitas yang mandiri, bukan sekadar perekatan dari yang sendiri-sendiri.

Sebuah gerakan atau hubungan yang hanya berlandaskan pada perasaan, tidak bisa memiliki kekuatan sosial yang tetap. Seperti dirumuskan Schafersman dalam An Introduction to Science-nya bahwa emosi bukan bukti, perasaan bukan fakta, dan pandangan subjektif bukanlah pandangan subtantif. Oleh karena itu, jika nasion dan nasionalisme hanya dipahami sebagai perpanjangan dari emosi menyatukan diri, maka Indonesia tidak bisa menjadi bukti, bukan juga sebagai fakta. Jikapun hanya dilihat dari satu sisi kelompok saja, maka Indonesia menjadi subjektif.

Dalam kacamata filsafat bahasa, kata “kita” tidak bisa hadir jika tidak ada 2 kata sebelumnya, yakni “aku” dan “kamu”. Indonesia adalah kita. Jika “aku” atau “kamu” terpisah atau bahkan tidak ada salah satunya, maka “kita” sebagai Indonesia tidak ada. “Kita” adalah satu yang ada. Menyangkal kenyataan “kita” sama saja dengan mengabaikan kehadiran orang lain, yang juga berarti sama menyangkal Indonesia.

Keluar dari Indonesia memang mudah dan bisa, sebagaimana mudah dan bisanya keluar dari bentuk “kita”. Begitupun sebaliknya, keluar dari suku masing-masing tidak mudah bahkan memang tidak bisa, sebagaimana tidak mudah dan tidak bisanya keluar dari ke-akuan dan ke-kamu-an itu sendiri. Tapi apakah setelah itu “kita” masih ada? Pada realitasnya, “aku” dan “kamu” bisa ada dan bersama. Itulah kita yang ada.

Maka persaudaraan imajiner yang dirumuskan Anderson tidak bisa sepenuhnya memenuhi fakta dari “kita” karena ia menjadi suatu kesatuan makna dan realitas yang utuh. Jika hanya berpegang pada ke-aku-an dan ke-kamu-an tadi, maka hanya akan menumbuhsuburkan benih individualisme. Ujung-ujungnya menjadi tunas primordialisme.

Primordialisme dalam beberapa kasus akan terlihat menakutkan sekaligus menggembirakan. Sebagai contoh dalam sejarah Dinasti Ming, jika seseorang memiliki aksen yang berbeda pada masa itu, maka dia akan diberi harga kepala yang cukup tinggi. Contoh kecil ini menunjukkan bahwa semangat kedaerahan bisa jadi berakibat fatal sekaligus mempunyai pengaruh yang sangat besar pada sebuah peradaban. Maka di sisi lain, rasa kedaerahan kadangkala menempatkan kita dalam posisi dilematis. Apalagi yang akan dipakai untuk mempertahankan budaya Indonesia jika bukan dari semangat kebudayaan-kedaerahan yang dianut? Negara Indonesia juga berasal karena budaya-budaya daerah yang masih eksis sampai sekarang.

Posriil-imajiner

Maka diperlukan konsep progresif untuk mengakomodasi keberadaan suku, agama, dan kelompok lain sebagai akar rumput kemudian Indonesia sebagai nasion. Jika konsep riilimajiner menganggap eksistensi yang nyata berhenti pada suku, maka posriil-imajiner menempatkan nasion sebagai eksistensi yang utuh dan yang akhir. Posriil-imajiner menolak konsep imajinasi yang disematkan pada nasion Indonesia.

Konsep posriil-imajiner hadir, bukan berarti melupakan identitas suku dan daerah masing-masing, tapi menunjukkan bahwa setelah Indonesia mengalami proses peng-ada-an karena terdiri dari rangkaian suku-suku dan entitas lainnya, maka ia kemudian bertransformasi menjadi riil, karena berubah menjadi satu. Satu berarti ada realitas. Bukan imajinasi atau khayalan.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 pasal 25 ayat 2 menegaskan bahwa Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional berfungsi sebagai lambang kebanggaan nasional, jati diri bangsa, sarana pemersatu berbagai kelompok etnik, dan sarana komunikasi antardaerah dan antar budaya daerah. Frasa yang perlu digarisbawahi adalah ‘jati diri bangsa’. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia mempunyai sebuah ‘kedirian’ yang tidak bisa disangkal.

Penyebab kronis dari anggapan bahwa Indonesia hanyalah bayangan belaka adalah munculnya sebuah pamafhuman; wajar jika ada petinggi-petinggi negara yang main-main dalam urusan negara, karena masih menganggap bahwa Indonesia ini hanyalah imajinasi, bukan sesuatu yang ada dan harus dipertaruhkan.

Dikutip dari buku The Love Story of Bung Karno: Jalan Cinta Sang Presiden, Ir. Soekarno pernah berkata, “Aku ditakdirkan menjadi pemimpin dan sekarang menjadi Presiden Indonesia. Aku mau mengorbankan kesukuan Jawaku, untuk membuktikan kesungguhan keindonesiaanku.” Dari pernyataan itu, Soekarno melihat Indonesia sebagai sebuah kesungguhan, bukan sesuatu yang bisa dimain-mainkan. Jadi suku-suku, agamaagama, dan kelompok-kelompok lain memang pasti, tapi Indonesia juga pasti. Bukan imajinasi.

Selanjutnya mari bersyukur telah hadir Sunda Empire yang akan mengendalikan seluruh pemerintahan dan kerajaan yang ada di dunia saat ini. Mari berharap bahwa orangorang yang ada di Indonesia memang adalah orang-orang berjiwa besar yang ingin menciptakan pusat peradaban dan perdamaian dunia. Mari berimajinasi. ***

Leave a Reply