TALKSHOW ISAIS UIN SUSKA RIAU DI RADIO SUSKA 107,9 FM BERSAMA AHMAD MAS’ARI, MA.

TALKSHOW ISAIS UIN SUSKA RIAU DI RADIO SUSKA 107,9 FM BERSAMA AHMAD MAS’ARI, MA.

Sistem Khilafah, Utopis kah??

Definisi Khilafah menurut HTI Khilafah adalah sistem pemerintahan yang wilayah kekuasaannya tidak terbatas pada satu negara, melainkan banyak negara di dunia, yang berada di bawah satu kepemimpinan dengan dasar hukumnya adalah syariat Islam.

Dasar Hukum Kewajiban Mendirikan Khilafah

Menurut HTI (dan juga kelompok pro khilafah), kekhilafahan Islam seperti pada masa Khulafaur Rasyidin akan kembali tegak sekali lagi. Salah satunya adalah hadis yang menggambarkan bentuk dan tahapan kekuasaan yang akan terjadi sepeninggal beliau sampai hari kiamat secara urut. Beliau bersabda:

Artinya

Periode kenabian akan berlangsung pada kalian dalam beberapa tahun, kemudian Allah mengangkatnya. Setelah itu datang periode khilafah aala minhaj nubuwwah (kekhilafahan sesuai manhaj kenabian), selama beberapa masa hingga Allah mengangkatnya. Kemudian datang periode mulkan aadhdhan (penguasa-penguasa yang menggigit) selama beberapa masa. Selanjutnya datang periode mulkan jabbriyyan (penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak) dalam beberapa masa hingga waktu yang ditentukan Allah. Setelah itu akan terulang kembali periode khilafah ‘ala minhaj nubuwwah. Kemudian Nabi Muhammad saw diam.

(HR Ahmad).

Tinjauan Aspek Sejarah

  1. Proses pergantian kepemimipinan dari Abu Bakar ke Ali

Pasca wafatnya Rasulullah Saw. Proses pengangkatan Abu Bakar al-Shiddiq menjadi Khalifah dilakukan di dalam satu musyawarah di Saqifah Bani Saidah (sebuah aula di kota Madinah). Pertemuan tersebut diadakan dikarenakan saat itu kaum Muslimin, baik anshar ataupun muhajirin berkeyakinan bahwa Rasulullah tidak pernah menunjuk seseorang sebagai penggantinya. Singkat cerita, Abu Bakar terpilih berdasarkan suara mayoritas peserta rapat ketika itu. Intinya, Abu Bakar terpilih secara demokratis melalui proses perdebatan yang cukup alot.

Setelah Abu Bakar wafat, maka Umar bin Khttab-lah yang menjadi pemimpin umat Islam berikutnya. Umar bin Khatthab diangkat sebagai khalifah melalui penunjukan yang dilakukan khalifah Abu Bakar setelah mendapatkan persetujuan dari para sahabat besar. Hal itu dilakukan Abu Bakar guna menghindari pertikaian politik antara umat Islam sendiri. Beliau khawatir kalau pengangkatan itu dilakukan melalui proses pemilihan seperti pada masanya, maka situasinya akan menjadi keruh, karena kemungkinan. Terdapat banyak kepentingan yang ada di antara mereka yang membuat negara menjadi tidak stabil, sehingga pelaksanaan pembangunan dan pengembangan Islam akan terhambat.

Selanjutnya proses terpilihnya Usman bin Affan. Ketika Umar dalam keadaan sakit, beliau memanggil enam pemuka setiap suku yang ada. Keenam pemuka suku tersebut yaitu Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan, Thalhah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin Auf. Umar menyuruh mereka bermusyawarah secara internal untuk mencari pengganti dirinya setelah wafat nanti. Singkat cerita, Usman terpilih sebagai khalifah setelah Umar melalui musyawarah tersebut. Dalam era modern, sistem ini sekarang dikenal dengan istilah sistem formatur.

Selanjutnya, proses terpilihnya Ali bin Abi Thalib menggantikan Usman sebagai khalifah. Sebagaimana kita ketahui bahwa Usman bin Affan terbunuh pada malam Jum’at 18 Dzulhijjah tahun 35 H. Sebelum Usman dimakamkan, kaum Muslimin ketika itu menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti Usman bin Affan. Dengan demikian dapat kita pahami bahwa proses peralihan kepemimpinan dari Usman ke Ali adalah melalui proses kudeta.

Dari kronologi yang telah diterangkan di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Islam tidak pernah menetapkan satu-satunya model sistem pemelihan kepala pemerintahan secara defenitif, namun hanya diserahkan sepenuhnya kepada kesepakatan mayoritas sebuah negara yang diatur melalui konstitusinya masing-masing.

  1. Perpecahan internal umat Islam itu karena persoalan politik
  2. Jalannya pemerintahan masing-masing khalifah
  • Pertarungan Bani Umayyah dan Bani Hasyim.
  • Nepotiseme
  • Memang pada akhir kepemimpinan Utsman, para gubernur yang diangkat tersebut bertindak sewenang-wenang terutama di bidang ekonomi. Hidup mewah orang Umayyah dan keluarga usman diprotes, sikap protes salah satunya dilakukan oleh Abu dzar al-Ghifari. (M. Abdul Karim).
  • Pemberontakan, akhirnya Usman yang nota bene sahabat Nabi, menantu Nabi, yang dijamin masuk surga.
  • Jenazahnya terpaksa “bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan.” Ketika mayat itu disemayamkan, tak ada orang yang menyalatinya. Jasad orangtua berumur 83 tahun itu bahkan diludahi dan salah satu persendiannya dipatahkan. Karena tak dapat dikuburkan di pemakaman Islam, khalifah ke-3 itu dimakamkan di Hisy Kaukab, wilayah pekuburan Yahudi. Tak diketahui dengan pasti mengapa semua kekejian itu terjadi kepada seorang yang oleh Nabi sendiri telah dijamin akan masuk surga. (Al-Thabari)
  • Fouda mengutip kitab al-Thabaqat al-Kubra karya sejarah Ibnu Sa’ad yang menyebutkan bahwa khalifah itu agaknya bukan seorang bebas dari keserakahan. Tatkala Usman terbunuh, dalam brankasnya terdapat 30.500.000 dirham dan 100.000 dinar.
  • Pada masa Ali bin Abi Thalib, terjadi perang saudara; perang jamal dan perang shiffin, karena perebutan kekuasaan
  • Muawwiyah berusaha mengambil kekuasaan dari Ali dengan trik dan intri yang licik melalui peristiwa tahkim. Amru bin Ash menipulasi hasil kesepakatannya dengan Abu Musa al-‘Asy’ari.
  1. Berakhirnya khilafah pada masa Ali bin Abi Thalib, karena setelah itu pemerintahan diambil alih oleh Muawwiyah dan merubahnya dengan sistem monarki absolut, tidak khilafah lagi yang mekanismenya diserahkan kepada rakyat.
  2. Tidak pas mengidentikkan khilafah Islamiyah itu dengan kejayaan Turki Usmani, karena Turki Usmani juga bukan sistem khilafah, melainkan monarki absolut.
  3. Dalam konteks sekarang, apakah sistem seperti ini dianggap ideal??

Konteks Indonesia, Kenapa harus ber-Pancasila?

  • Dalam masyarakat yang majemuk, perlu adanya aturan yang berisikan nilai-nilai etika dan pesan moral untuk dijadikan pedoman bersama baik secara pribadi maupun kelompok, agar tidak terjadi benturan di masyarakat. Realitas keberagaman ini menjadi landasan bagi Indonesia, yang kemudian secara eksplisit menjadikan Pancasila sebagai lambang negara yang berdiri di atas semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
  • Indonesia memang sudah berhasil terbentuk sebagai sebuah negara, tapi belum sebagai bangsa, karena sebuah bangsa terbentuk atas dasar kesamaan, baik karena kesamaan suku, agama, dan lain-lain. Instrumen yang bisa menyatukan semua perbedaan ini adalah Pancasila. Pancasila merupakan hasil kompromi dari Founding Fathers kita untuk mengakomodasi semua keragaman yang ada.
  • Kita jangan seolah-olah hidup di negeri impian sendiri, seakan menafikan ada jutaan lain warga negara yang memiliki kedudukan hukum dan hak yang sama, di mana mereka memiliki pandangan dan keyakinan berbeda dengan kita.

Pancasila Toghut?

  • Ber-Pancasila, bukan Tak Taat Agama
  • Tidak ada satu sila yang bertentangan dengan ruh atau spirit yang dibawa oleh ajaran Islam, dan juga agama lain selain Islam. Dari persoalan yang sifatnya vertikal sampai persoalan yang sifatnya horizontal semuanya terakomodasi di dalam Pancasila.

Pemerintah Membubarkan HTI • Pemerintah berkewajiban menjaga keutuhan tiap jengkal NKRI dari hal-hal yang berpotensi merusaknya. • Ormas atau kelompok manapun yang akan melakukan rongrongan terhadap Pancasila harus ditindak tegas. Negara tidak boleh kalah oleh kelompok intoleran, dan negara harus bisa memastikan hukum ditegakkan dan keberagaman Indonesia dijaga.

ISAIS UIN SUSKA RIAU Menggelar Diskusi Publik dengan tema “Jilbab dalam Polemik”

ISAIS UIN SUSKA RIAU Menggelar Diskusi Publik dengan tema “Jilbab dalam Polemik”

Jilbab dalam Polemik adalah tema yang sangat menarik untuk diulas pada diskusi publik kali ini. Hal ini dilatarbelakangi oleh banyaknya persepsi mengenai jilbab itu sendiri. Pemateri yang kaya akan intelektual dihadirkan oleh ISAIS, yaitu Dr. Nurhasanah Bakhtiar, M.Ag, Dr. Riswani, M.Ed, serta Dr. Sukma Erni, M.Pd. yang memaparkan jilbab dari berbagai sisi.

Diskusi publik ini dilaksanakan pada hari Jum’at, 14 Februari 2020 mulai pukul 09.00 s/d 12.00 di depan ruang ISAIS (Gedung Islamic Center Lt 1) bersama seorang moderator yaitu  Dr. Yasnel, M.Ag. Sesuai dengan tema kali ini tentunya banyak wanita yang dominan sebagai peserta, namun ternyata banyak pertanyaan justeru datang dari kaum laki-laki. Sangat hangat diskusi pada pagi ini.

Wacana jilbab di Indonesia tidak pernah lepas dari kondisi sosial dan politik yang membentuk model konsumsi atau penggunaan jilbab di kalangan perempuan muslim. Maka wajar jika pada satu era jumlah pemakainya sedikit tapi di masa yang lain terlihat membludak. Banyak persoalan yang kian menghantui para pengguna jilbab dan yang tidak menggunakan jilbab.

Hingga hari ini, polemik tentang jilbab masih hangat dikalangan akademisi. Perdebatan itu selalu muncul pada setiap era. Sehingga model dan cara pemakaian jilbab akan selalu berbeda dan berubah sesuai daerah maupun zamannya.

 

SUNDA EMPIRE DAN IMAJINASI TENTANG INDONESIA

SUNDA EMPIRE DAN IMAJINASI TENTANG INDONESIA

oleh Afdhal Kusumanegara Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN SUSKA RIAU

Sejumlah negara harus mendaftar ulang di Bandung sebelum 15 Agustus 2020. Jika tidak, mereka akan tetap memiliki utang di Bank Dunia. Rusia dan Korea Utara termasuk di dalamnya. Semua berada di bawah kendali Sunda Empire. Termasuk United Nations (UN) yang kita kenal PBB dan North Atlantic Treaty Organization (NATO), semua lahir di Bandung.

Konsep tentang pemerintahan dunia yang berpusat di Bandung hanyalah satu dari sekian banyak cita-cita besar Sunda Empire. Menempatkan manusia-manusia di wilayah Indonesia sebagai manusia paling berkuasa di dunia. Menjadikan wilayah ini sebagai pusat peradaban. Jika ditelusuri dalam jangka waktu yang sama, Keraton Agung Sejagat di Purwokerto sebenarnya memiliki konsep serupa, yakni mencoba mewarisi kemegahan masa lalu yang terputus. Sama dengan Kerajaan Warteg Bahagia di Depok, juga Keraton Djipang di Blora dan cabang baru Kerajaan Majapahit di Bali.

Indonesia sebagai Komunitas Terbayang

Sebenarnya kita akan menemukan semangat yang sama dari Kesultanan Demak, Kesultanan Gowa, Kesultanan Siak, Kerajaan Mataram, Majapahit, Sriwijaya, sampai ke Kutai Kertanegara dan sebagainya dan seterusnya. Semuanya lahir dari keinginan bersatu dan membentuk sebuah perkumpulan. Bisa jadi karena senasib seperburuan, satu bahasa, atau satu keturunan.

Sampai akhirnya Indonesia datang dan merangkul semua raja dan sultan itu. Kerajaan-kerajaan itu melebur menjadi simbol budaya, adat-kesenian, bahasa daerah, dan sistem sosial masyarakat. Indonesia dengan bahasa Indonesianya kemudian menjadi satu-satunya ‘kerajaan’ yang diakui di wilayah Nusantara; menjadi nasion. Adapun yang tersisa dan tidak bisa diganggugugat adalah budaya, agama, dan bahasa daerahnya.

Benedict Anderson, seorang indonesianis berkebangsaan Irlandia, pernah menjelaskan konsep nasion itu dalam bukunya Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang. Pertama terbit tahun 1983 dan menjadi buku yang dikutip oleh banyak ilmuwan jika hendak menulis tentang nasionalisme. Anderson mengajukan konsep nasion sebagai sebuah komunitas politis dan dibayangkan terbatas karena hanya merupakan persaudaraan imajiner.

Bagaimanapun teguhnya kita menyatakan diri sebagai suatu kesatuan, tetap saja individu atau kelompok-kelompok di dalamnya tidak pernah berinteraksi secara langsung dan massif. Seperti apakah ceritanya, orang-orang Aceh yang berdiam di ujung barat Indonesia, lalu menjadi bersaudara dengan orang-orang Asmat, Bugis, Dayak, Flores, Jawa, dsb. kalau bukan sebagai sebuah imajinasi belaka?

Dalam konteks Indonesia, maka entitas-entitas pembentuk persaudaraan imajiner itu— termasuk agama-agama—yang ada di wilayah Indonesia adalah nyata dan merupakan sebuah kepastian, sedangkan negara Indonesia itu sendiri hanyalah hasil imajinasi dari berbagai entitas tersebut. Masyarakat suku dan agama disebut sebagai masyarakat riil dan masyarakat Indonesia disebut masyarakat imajiner. Kita tidak bisa mengatakan “saya keluar dari suku Sunda atau mungkin tidak memiliki agama”, tetapi kita bisa saja mengatakan “saya tidak lagi menjadi warga negara Indonesia” alias berpindah kewarganegaraan.

Menggugat Anderson

Turunan dari konsep riil-imajiner ini menempatkan nasionalisme sebagai sebuah perasaan belaka; dari perasaan bersatu dan berdaulat. Hal ini sebenarnya tidak juga cukup untuk menggambarkan nasionalisme itu sendiri. Nasionalisme berasal dari kata “nasion”; suatu bangsa. Jadi lebih kepada satu entitas yang mandiri, bukan sekadar perekatan dari yang sendiri-sendiri.

Sebuah gerakan atau hubungan yang hanya berlandaskan pada perasaan, tidak bisa memiliki kekuatan sosial yang tetap. Seperti dirumuskan Schafersman dalam An Introduction to Science-nya bahwa emosi bukan bukti, perasaan bukan fakta, dan pandangan subjektif bukanlah pandangan subtantif. Oleh karena itu, jika nasion dan nasionalisme hanya dipahami sebagai perpanjangan dari emosi menyatukan diri, maka Indonesia tidak bisa menjadi bukti, bukan juga sebagai fakta. Jikapun hanya dilihat dari satu sisi kelompok saja, maka Indonesia menjadi subjektif.

Dalam kacamata filsafat bahasa, kata “kita” tidak bisa hadir jika tidak ada 2 kata sebelumnya, yakni “aku” dan “kamu”. Indonesia adalah kita. Jika “aku” atau “kamu” terpisah atau bahkan tidak ada salah satunya, maka “kita” sebagai Indonesia tidak ada. “Kita” adalah satu yang ada. Menyangkal kenyataan “kita” sama saja dengan mengabaikan kehadiran orang lain, yang juga berarti sama menyangkal Indonesia.

Keluar dari Indonesia memang mudah dan bisa, sebagaimana mudah dan bisanya keluar dari bentuk “kita”. Begitupun sebaliknya, keluar dari suku masing-masing tidak mudah bahkan memang tidak bisa, sebagaimana tidak mudah dan tidak bisanya keluar dari ke-akuan dan ke-kamu-an itu sendiri. Tapi apakah setelah itu “kita” masih ada? Pada realitasnya, “aku” dan “kamu” bisa ada dan bersama. Itulah kita yang ada.

Maka persaudaraan imajiner yang dirumuskan Anderson tidak bisa sepenuhnya memenuhi fakta dari “kita” karena ia menjadi suatu kesatuan makna dan realitas yang utuh. Jika hanya berpegang pada ke-aku-an dan ke-kamu-an tadi, maka hanya akan menumbuhsuburkan benih individualisme. Ujung-ujungnya menjadi tunas primordialisme.

Primordialisme dalam beberapa kasus akan terlihat menakutkan sekaligus menggembirakan. Sebagai contoh dalam sejarah Dinasti Ming, jika seseorang memiliki aksen yang berbeda pada masa itu, maka dia akan diberi harga kepala yang cukup tinggi. Contoh kecil ini menunjukkan bahwa semangat kedaerahan bisa jadi berakibat fatal sekaligus mempunyai pengaruh yang sangat besar pada sebuah peradaban. Maka di sisi lain, rasa kedaerahan kadangkala menempatkan kita dalam posisi dilematis. Apalagi yang akan dipakai untuk mempertahankan budaya Indonesia jika bukan dari semangat kebudayaan-kedaerahan yang dianut? Negara Indonesia juga berasal karena budaya-budaya daerah yang masih eksis sampai sekarang.

Posriil-imajiner

Maka diperlukan konsep progresif untuk mengakomodasi keberadaan suku, agama, dan kelompok lain sebagai akar rumput kemudian Indonesia sebagai nasion. Jika konsep riilimajiner menganggap eksistensi yang nyata berhenti pada suku, maka posriil-imajiner menempatkan nasion sebagai eksistensi yang utuh dan yang akhir. Posriil-imajiner menolak konsep imajinasi yang disematkan pada nasion Indonesia.

Konsep posriil-imajiner hadir, bukan berarti melupakan identitas suku dan daerah masing-masing, tapi menunjukkan bahwa setelah Indonesia mengalami proses peng-ada-an karena terdiri dari rangkaian suku-suku dan entitas lainnya, maka ia kemudian bertransformasi menjadi riil, karena berubah menjadi satu. Satu berarti ada realitas. Bukan imajinasi atau khayalan.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 pasal 25 ayat 2 menegaskan bahwa Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional berfungsi sebagai lambang kebanggaan nasional, jati diri bangsa, sarana pemersatu berbagai kelompok etnik, dan sarana komunikasi antardaerah dan antar budaya daerah. Frasa yang perlu digarisbawahi adalah ‘jati diri bangsa’. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia mempunyai sebuah ‘kedirian’ yang tidak bisa disangkal.

Penyebab kronis dari anggapan bahwa Indonesia hanyalah bayangan belaka adalah munculnya sebuah pamafhuman; wajar jika ada petinggi-petinggi negara yang main-main dalam urusan negara, karena masih menganggap bahwa Indonesia ini hanyalah imajinasi, bukan sesuatu yang ada dan harus dipertaruhkan.

Dikutip dari buku The Love Story of Bung Karno: Jalan Cinta Sang Presiden, Ir. Soekarno pernah berkata, “Aku ditakdirkan menjadi pemimpin dan sekarang menjadi Presiden Indonesia. Aku mau mengorbankan kesukuan Jawaku, untuk membuktikan kesungguhan keindonesiaanku.” Dari pernyataan itu, Soekarno melihat Indonesia sebagai sebuah kesungguhan, bukan sesuatu yang bisa dimain-mainkan. Jadi suku-suku, agamaagama, dan kelompok-kelompok lain memang pasti, tapi Indonesia juga pasti. Bukan imajinasi.

Selanjutnya mari bersyukur telah hadir Sunda Empire yang akan mengendalikan seluruh pemerintahan dan kerajaan yang ada di dunia saat ini. Mari berharap bahwa orangorang yang ada di Indonesia memang adalah orang-orang berjiwa besar yang ingin menciptakan pusat peradaban dan perdamaian dunia. Mari berimajinasi. ***

TALKSHOW ISAIS UIN SUSKA RIAU DI RADIO SUSKA 107,9 FM BERSAMA IMAM HANAFI, MA.

TALKSHOW ISAIS UIN SUSKA RIAU DI RADIO SUSKA 107,9 FM BERSAMA IMAM HANAFI, MA.

Talkshow ISAIS UIN SUSKA RIAU hari ini bersama sekretaris ISAIS, yaitu Imam Hanafi, MA. Talkshow di radio suska 107,9 FM diadakan pada kamis, 13 Februari 2020 seperti biasanya pukul 10.00 s/d 11.00 WIB. Obrolan pagi ini dengan topik “Kembali kepada Qur’an dan Sunnah, Mungkinkah?”. Materi ini diulas secara detail dan menarik tentunya.

Dalam diskusi pada hari jumat tanggal 24 Januari 2020 di ISAIS yang lalu, salah seorang peserta diskusi memberikan catatan penting terkait dengan pelaksanaan moderasi beragama yang sedang didiskusikan. Dalam catatannya, ia menyatakan bahwa tolak ukur atau indicator implementasi moderasi beragama seharusnya adalah mengacu kepada Alquran dan Sunnah. Tanpa menyandarkan diri pada kedua sumber hukum Islam tersebut, maka moderasi beragama akan keluar dari Islam. “Bukankah dalam setiap beribadah, kita dituntut dan diharuskan untuk mengikuti apa yang sudah digariskan oleh Allah swt dalam Al-Quran dan apa yang sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw melalui riwayat-riwayatnya? Begitu lah kira-kira pernyataan keras dari pertanyaannya.

Pertanyaan ini sesungguhnya bukan hal yang baru dalam konteks kajian Islam di Indonesia atau dalam Islam sendiri. Karena, sejak dulu kita sering mendengar jargon kembali ke Alquran dan Sunnah. Jika anda mau ber-Islam secara benar, maka kembalilah kepada Alquran dan Sunnah. Demikian kira-kira anjuran mulia itu.

Dalam Alquran sendiri, memang Allah telah menyebutkan dengan tegas bahwa “Fa in tanaaza’tum fii syai’in farudduuhu ilallah wa rasuulih“, apabila kalian semua berselisih tentang sesuatu hal, maka kembalikanlah kepada petunjuk Allah dan Rasulnya. Atau Hadits Nabi yang menyebutkan “Aku tinggalkan kepada kalian dua pusaka yang kalau kalian berpegang teguh kepadanya kalian tak akan tersesat, yaitu kitab Allah dan sunnah Rasulullah

Ketika Nabi Muhammad masih segar bugar, masih menerima wahyu dan menyampaikan risalah, maka semua orang bisa bertanya langsung kepada beliau. Semua persoalan selesai, ketika Nabi ada. Kalaupun Nabi tidak bisa menjawab, Nabi Muhammad langsung bertanya kepada Allah, turun wahyu. Selesai. Namun, ketika Nabi wafat, kita tidak dapat lagi langsung bertanya kepada beliau.

Persoalannya kemudian adalah kepada siapa kita harus menanyakan sesuatu yang hari ini kita pesrselisihkan? Apakah kita harus “menelan mentah-mentah” apa yang terjadi pada masa nabi untuk kondisi kita pada saat ini? Atau kita cari orang yang memiliki otoritas ke-Islaman, dan memintanya untuk menjelaskan? Lantas bagaimanakah cara menyatakan bahwa apa yang disampaikannya itu benar-benar sudah sesuai dengan Alquran dan sunnah tersebut? Kapan sebuah pemahaman yang kita berikan atas Alquran dan Sunnah ini, benar-benar seusai dengan apa yang dikehendai oleh Alquran dan Sunnah itu sendiri?

Banyak pertanyaan saya kira terkait dengan hal itu. Makanya ada yang “aneh” dalam jargon kembali kepada Alquran dan Sunnah ini. Bagaimanapun Alquran dan Sunnah adalah teks. Karena ia teks, maka ia dengan sendirinya tidak bisa bicara. Ia akan berbicara ketika ada yang membaca dan menafsirkannya. Nah, ketika orang membaca atau memahami Alqur’an, maka pada dasarnya “otak” si pembaca lah yang berbicara. Si pembaca secang menafsirkan Alquran.

Secara historis, kondisi itu sudah pernah disampaikan oleh Ali bin Abi Thalib. Sebagaimana disebutkan dalam tarikh Ath Thabari, bahwa pada suatu hari sekelompok kaum Khawarij mendatangi Ali bin Abi Thalib. Mereka protes dan mengkritik Ali, karena Ali dianggap menyelesaikan suatu perkara dengan hukum buatan manusia, bukan hukum Allah.

Melihat hal itu Ali kemudian meletakkan sebuah mushaf Alquran di depan orang khawarij tersebut, seraya berkata “Hai Alquran, bicaralah!”. Prilaku Ali ini tentu menuai kebingungan di kalangan Khawarij, “Hai Ali, kamu gila ya?” begitu teriak mereka. “Mana mungkin Al Quran bisa berbicara sendiri?”. Mendengar hal tersebut, lalu Ali, “Wa inna haadzal quraan, khattun mastuurun baina daffatayini laa yanthiq, innamaa yatakallamu bihii ar rijaal” (Sesungguhnya Alquran ini hanyalah tulisan yang diapit dua sampul, tak dapat berbicara, yang berbicara adalah pembacanya).

Oleh karena itu, point penting dalam konteks ini adalah bahwa Ali bin Abi Thalib ingin menegaskan dan menunjukkan jika Alquran itu hanyalah teks biasa dan tidak mungkin bisa bicara sendiri. Alquran akan hidup, jika dibaca dan dipahami. Pembacaan dan pemahaman atas Alquran inilah yang disebut dengan tafsir. Karena ia pemahaman orang, maka ia menjadi tidak mutlak kebenarannya. Orang bisa berbeda-beda dalam membaca dan memahami Alquran.

Perbedaan dalam memahami Alquran ini bisa dipengaruhi oleh banyak factor. Bisa factor pendidikan; factor social budaya; factor psikologi; dan lain sebagainya, tergantung pada kondisi yang terjadi pada diri si Pembaca. Maka jangan heran, jika pembacaan satu orang dengan yang lain atas satu ayat atau satu teks, akan berbeda satu sama lainnya.

Pada tataran ini, bukan Alquran atau sunnahnya yang lemah atau salah, melainkan karena pemahamannya yang beragam. Wallahu A’lam

Imam Hanafi adalah Sekretaris Institute for Southeast Asian Islamic Studies (ISAIS) UIN Suska Riau

ISAIS UIN SUSKA RIAU Menggelar Diskusi Kesembilan “Membaca Ulang Sejarah Islam Klasik” (Satu Semester Bersama Prof. Dr. H. Munzir Hitami, M.A.)

ISAIS UIN SUSKA RIAU Menggelar Diskusi Kesembilan “Membaca Ulang Sejarah Islam Klasik” (Satu Semester Bersama Prof. Dr. H. Munzir Hitami, M.A.)

Khalifah Umayyah (Suksesi dan Kontroversi) menjadi topik diskusi intelektual kali ini dalam agenda Membaca Ulang Sejarah Islam Klasik (Satu Semester Bersama Prof. Dr. H. Munzir Hitami, MA). Diskusi intelektual ini mendatangkan narasumber yang luar biasa yaitu Parluhutan Siregar, M.Hum. Diskusi Intelektual yang dilaksanakan pada hari Rabu, 12 Februari 2020 ini seperti biasa bertempat  di depan ruang ISAIS (Gedung Islamic Center Lt 1) yang diarahkan oleh Dr. Yasnel, M.Ag sebagai moderator.

Pemateri mencoba memaparkan secara seimbang dengan membahas sisi suksesi diiringi sisi lain juga mengulas kontroversinya. Bagi seorang akademisi dan seorang sejarah kita harus mengulas fakta baik sisi positifnya maupun sisi negatifnya. Fakta yang terjadi di dalam sejarah tidak boleh disembunyikan, sedangkan interpretasinya tergantung generasi selanjutnya. Hal ini bukan berarti kita mencela maupun menjelekkan sahabat nabi, akan tetapi dengan tujuan untuk mengambil pelajaran bagi kita menjadi lebih baik kedepannya.

Tidak ada kata terlambat dalam melakukan kebaikan dan kita diharuskan untuk selalu berubah menjadi lebih baik lagi. Hal ini terbukti dengan mu’awiyah masuk Islam setelah fathul mekkah yang justeru menjadi sosok yang memperjuangkan Islam. Tidak dapat dipungkiri Mu’awiyah bin Abi Sofyan memiliki kemampuan politik dan militer yang mampu menuju masa gemilang. Perpindahan ibu kota juga terjadi pada masa ini.

Adapun beberapa kontroversi yang terjadi seperti perubahan sistem dari musyawarah ke monarki, memperlebar munculnya aliran teologi (Syi’i, Mu’awiyah, Khawarij), Ali versus Mu’awiyah dan Bani Umaiyah Versus Syi’ah. Pada masa pemimpin mu’awiyah menguasai hampir separuh dunia yang amat luas melebihi Bizantium. Bani Umayyah memimpin dengan masa jabatan 750 – 1250

Sisi-sisi positif harus digali dan dipelajari untuk menjadi tauladan di kehidupan mendatang. Karena sisi kelam politik itu pasti ada dan tidak dapat dipungkiri. Tugas kita untuk tetap mempelajari sejarah dan mengambil hikmah.

BEDAH BUKU “PEMIKIRAN POLITIK RAJA ALI HAJI: PERSPEKTIF ETIS DAN SUFISFIK” karya Alimuddin Hassan Palawa

BEDAH BUKU “PEMIKIRAN POLITIK RAJA ALI HAJI: PERSPEKTIF ETIS DAN SUFISFIK” karya Alimuddin Hassan Palawa

Kali ini ISAIS UIN SUSKA RIAU Mengadakan bedah buku “Pemikiran Politik Raja Ali Haji: Perspektif Etis dan Sufisfik”. Mendatangkan pembahas yang sangat luar biasa yaitu  Datuk Seri H. Al-Azhar (ketua umum majelis kerapatan adat lembaga adat melayu Riau) sebagai pembedah dan beberapa sebagai pembahas, yaitu: Dr. Dra Ellya Roza, MA., Dr. Hasbullah S.Ag. M.Si serta Dr. Jarir Amrun, MA.

Bedah buku dilaksanakan pada hari Jum’at, 07 Februari 2020 bertempat di depan depan ruang ISAIS (Gedung Islamic Center Lt 1). Kegiatan kali ini sedikit berbeda dari biasanya. Hal ini dikarenakan para dosen dan mahasiswa berlomba untuk menghadiri acara demi menjadi 30 orang beruntung dan bisa memiliki buku secara gratis. Kegiatan dimulai pukul 09.00 s/d 12.00

Alimuddin Hassan Palawa adalah seorang penulis yang berhasil menerbitkan buku keren ini. Beliau berhasil mengupas tuntas mengenai Raja Ali Haji yang tertuang dalam bukunya. Raja Ali Haji merupakan tokoh yang menjadi panutan khususnya untuk masyarakat Riau. Pentingnya figur beliau harus diketahui oleh khalayak dan diperkenalkan kepada generasi penerus baik di daerah Riau maupun di luar daerah.

Raja Ali Haji adalah seorang tokoh yang melihat masa lampau dengan kritis dan sikapnya yang bijak sebagaimana dibentangkan secara komprehensif oleh penulis dalam bukunya. Terurai dengan baik mengenai asal akar pemahaman pemikiran politik Raja Ali Haji.

Masa Raja Ali Haji penuh pergolakan, dia menyaksikan bagaimana perlawanan kerajaan tempat dia bermukim dan juga Kerajaan Siak menghadapi Belanda dan Inggris sehingga terpecah belah. Di sinilah Raja Ali Haji menghasilkan tulisan-tulisan yang memberi penguatan bagi umat Islam, baik dari sisi akidah, akhlak, fiqh, dan lainnya, termasuk membangun kesantunan dalam berpolitik di kalangan raja saat itu.

Juga dijelaskan  dalam pandangan politik Raja Ali Haji seyogianya hukum yang berlaku dalam pemerintahan kerajaan adalah hukum Islam, di samping hasil ijtihad yang tidak bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi (nash Al-Qur’an dan al-Sunnah.

Buku yang diterbitkan oleh Rajawali Press, Depok ini terdiri dari 672 halaman yang menggugah pembaca karena gaya penulisan yang logis dan komunikatif. Terlebih buku ini memiliki referensi 605 buku. Sangat menarik dengan wawasan yang luas penulis mengurai seorang tokoh yang multi talenta. Nilai-nilai etis, sufisfik, sejarah, sosial dan budaya tercakup di dalamnya.

Alimuddin Hassan Palawa berhasil menerbitkan cetakan pertamanya pada Januari 2020. Segera miliki buku yang sangat menarik ini 🙂