“KEBERAGAMAN MENYATUKAN BANGSA”

“KEBERAGAMAN MENYATUKAN BANGSA”

Indonesia adalah salah satu negara yang sangat unik, hal ini terlihat dari banyaknya multikultural yang ada pada indonesia, dari sabang hingga marauke.  Keanekaragaman memiliki arti sebagai cara, proses atau pembuatan yang menjadikan kebudayaan yang ada semakin banyak dan semakin berkembang. Keanekaragaman yang dimiliki oleh Indonesia diikat dalam prinsip persatuan dan kesatuan bangsa yang juga dikenal dengan semboyannya yaitu “Bhineka Tunggal Ika” yang memiliki arti meskipun indonesia berbeda-beda tetapi tetap satu kesatuan.  Sebagai negara yang memiliki keragaman , Indonesia sendiri terdiri dari berbagai pulau, suku, budaya, agama,  dan bahasa dengan jumlah yang sangat besar.

Negara Indonesia juga dikenal dengan sebagai Negara kepulauan , Sejauh ini jumlah pulau yang tercatat dan diketahui berjumlah 13.667 pulau , dengan pulau yang berpenghuni sekitar 6000 pulau dengan jumlah penduduk diatas 200 juta jiwa yang memiliki lebih dari 1.128 suku bangsa yang bermukim diseluruh wilayah yang tersebasar di Indonesia. Dari banyaknya perbedaan yang dimiliki oleh Indonesia hal teresbut bukanlah menjadi penghalang bersatunya Indonesia . Salah satu modal pemersatu bangsa yang dimiliki oleh indonesia adalah bahasa indonesia itu sediri . dengan adanya bahasa indonesia menjadikan peluang untuk mengembangkan budaya yang beraneka ragam di Indonesia. Penggunaan bahasa indonesia hanyalah sebagai alat untuk berkomunikasi antar suku. Hal ini tidak bermaksud unutuk menghilangkan bahasa daerah yng dimiliki oleh setiap suku tetapi untuk mempermudah seseorang mengenal dan merespon lingkungan sekitar.

Keberagaman budaya yang dimiliki bangsa indonesia sangat banyak dan bervariasi, lengkap dan bahkan sangat unik. Dalam bidang seni saja indonesia sangat berlimpah karya , mulai dari seni tari, seni sastra, seni pertunjukan, seni suara dan seni-seni lainnya. Nila-nilai dan norma-norma yang dumiliki masyarakat Indonesia merupakan salah satu kekuatan yang benar-benar harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Dari segi geografis, antara bagian barat, tengah dan timur memiliki jenis flaora dan fauna yang juga berbeda-beda. Bahkan perbedaan dan keunikan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sangat terlihat mulai kuliner, alat musik tradisional, tarian tradisional, rumah adat, pakaian adat dan senjata tradisionalnya serta masih banyak lagi.  Tidak jarang karena keunikannya negara indonesia menarik perhatian bagi bangsa lain untuk mengunjungi , mencoba bahkan mempelajari kebudayaan-kebudayaan lokal yang berada di Indonesia.

Persatuan yang berada ditengah perbedaan menjadi ciri khas dan keunikan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Keragaman budaya di Indonesia seharusnya menjadikan potensi yang besar dalam mewujudkan berbagai tantangan yang pada saat ini. Banyak kita lihat kebudayaan lokal yang mulai melemah karena masuknya pengaruh kebudayaan baru yang umumnya berasal dari luar. Hal ini dikhawatirkan akan dapat menurunkan rasa kebangsaan nasional yang dimiliki oleh masyarakatnya. Sudah sepatutnya keberagaman kebudayaan yang dimiliki Indonesia menjadi keunggulan dan modal membangun bangsa Indonesia yang lebih maju lagi. Dengan banyaknya keberagaman yang dimiliki oleh bangsa indonesia, hal ini juga menjadikan negara Indonesia rawan dengan berbagai konflik dan perpecahan. Sebenarnya hal ini, meyadarkan bahwa pada dasarnya , memepersatukan suatu keberagaman tidaklah mudah tanpa didukung oleh kesadaran masyarakat itu sendiri.  Peran masyarakat benra-benar sangat diperlukan dalam menghindari konfil dan perpecahan agar kesatuan yang dimiliki indonesia tetap terjaga. Permasalahan yang dihadapi dalam keberagaman budaya di indonesia dengan berbagai latar belakang suku bangsa, ras, agama, bahasa, golongan politik, adat istiadat dan lain sebagainya benar-benar menjadikan interkasi kehidupan masyarakat Indonesia mnjadi rawan akan konflik dan bayang-bayang disintegrasi sosial. Dari segi kekayaan Indonesia yang beragam jugam menjadikan sumber kekhawatiran , karena bisa saja diambil dan diakui oleh negara lain. Konflik lain juga muncul dari perbedaan adat istiadat yang dimiliki kelombpok masyarakat yang berbeda budaya dibandingkan dengan masyarakat yang memiliki kebudayaan yang sama. Salah satu dampak yang paling sering terlihat adalah munculnya perselisihan antar suku, hal ini biasanya muncul karena kesalahpahaman mengenai nilai-nilai budaya yang dianut oleh masing-masing suku dan dapat menyebabkan melemahnya ketahanan budaya nasional.

Karena hal ini peran segala lapisan masyarakat benar-benar sangat diperlukan, kemuan yang sangat kuat dalam mempertahankan dan menjaga bangsa Indonesia juga harus ditenamkan dalam diri setiap anak bangsa. Sehingga antar individu dapat melangkah menuju pola hubungan sosial yng bersifat toleran dan saling mau hidup berdampingan antara satu dengan yang lainnya  dengan perbedaan-perbadaan yang ada. Hal ini merupaka salah satu wujud dari tujuan semua lapisan masyarakat  mulai dari kerukunan individu antar individu, individu antar kelompok, kelompok antar kelompok , politik, ekonomi , sosial budaya maupun yang mencakup pada kerukanan masyarakat dan pemerintahan. Masyarakat juga perlu mengingat akan semboyan bangsa yaitu “Bhineka Tunggal Ika” yang menjadikan kita semunya menjadi satu kesatuan tanpa memandang perbedaan. Karena pada dasarnya Indonesia tetap satu yaitu negara yang berasal dari bahasa dan tanah air yang sama , yaitu bahasa Indonesia dan tanah air Indonesia.

by: Tria Novanni

“MENEGUHKAN KEBERAGAMAN DALAM NEGERIKU”

“MENEGUHKAN KEBERAGAMAN DALAM NEGERIKU”

Kegeberagaman merupakan salah satu dari banyak hal kekayaan yang dimiliki oleh beberapa negara. Contohnya saja negara Indonesia, yang mempunyai keberagaman yang berbeda-beda yang dilihat dari segi suku, agama, ras, dan bahasa. Keberadaan keberagaman yang memungkinkan mempersatukan semua aspek kehidupan bangsa di Indonesia. Indonesia, dengan keunikannya mampu membuatnya berbeda dengan negara lain, dilihat dari segi keragaman kebudayaannya setiap daerah itu berbeda-beda dengan ciri khasnya masing-masing. Sumatera Utara dengan salah satu tradisinya “Lompat Batu” yang mengisyaratkan apakah seorang pemuda itu sudah dewasa dan memenuhi syarat menikah atau belum. Sumatera Barat, dengan “Rumah Gadang” ciri khas dan keindahan rumah adatnya jarang ditemukan atau bahkan tidak ada di tempat lain. Di samping itu, Indonesia masih memiliki sejuta keindahan lainnya, yang menjadi tujuan utama untuk berlibur oleh beberapa wisatawan mancanegara, hal ini tidak lain karena keunikan yang dimilikinya. Negara yang terdiri dari berbagai macam suku dan ada istiadatnya yang kental, tak jarang masih jadi salah satu tempat belajar dan menggali ilmu untuk beberapa orang. Negara dengan ke kayaan akan sumber daya alam dan sumber daya manusia dari sabang sampai merauke menjadi ciri khas nya sejak dulu dan telah diakui akan keindahannya.

Akan tetapi, acap kali keberagaman itu untuk segelintir orang menjadikannya sebagai boomerang perbedaan yang mencolok bagi Indonesia yang seharusnya menjadi hal yang sangat luar biasa dan dibanggakan serta patut untuk disyukuri, justru menjadi sumber konflik yang berkepanjangan. Karena menganggap keberagaman itu bisa menjadi tantangan bagi masyarakatnya yang memiliki perbedaan yang tak lepas kendali. Contohnya sendiri bahwa dengan keberagaman itu dianggap awal dari perbedaan, seperti  pada prinsip, politik, agama, bahkan suku yang merupakan langganan permasalahan di Indonesia yang tidak bisa dielakkan lagi. Rasa menghormati dan rasa akan kesetaraan itu sudah pudar dan mulai hilang dan bahkan mengancam akan keutuhan negara Indonesia.

Sedangkan dalam sejarah mencatat bahwa proses perjuangan Indonesia untuk merdeka itu merupakan kerjasama antar rakyatnya yang saling bahu-membahu dalam melawan penjajah, berjuang bersama tanpa adanya diskriminasi semua bersatu untuk Indonesia merdeka. Semua sama dan semuanya rakyat Indonesia. Saya teringat dengan semboyan negara Indonesia “ Bhinneka Tunggal Ika” berbeda-beda tetapi tetap satu. Salah satu simbol negara Indonesia untuk sebagian orang justru tidak mengindahkannya dengan tidak menjungjung tinggi nilai-nilai dari simbolitas semboyan ini dan menganggapnya seolah-olah hanya berlaku pada masanya, dan sekarang hanya lambang atau formalitas semata jika dilihat kenyataannya yang menyakitkan hati para pendahulu sebelumnya. Sehingga negara dengan catatan jumlah penduduknya kurang lebih 200 juta jiwa, seringkali dihadapkan dengan permaslahan majemuk, utamanya permasalahan yang menyangkut kelompok.

Kasus beberapa bulan belakangan ini, yang hangat diperbincangkan dan tak jarang di dengar tentang konflik antar negara Indonesia itu sendiri, umumnya masalah yang menyinggung kelompok. Mengingat Kita adalah Negara yang berbentuk Kesatuan, yang terdiri dari beragam suku, agama, ras, dan bahasa atau yang lebih sering kita kenal dengan singkatan SARA, tidak hanya suku-bangsa termasuk  juga kebudayaan tiap daerah yang bermacam-macam. Membuat Negara yang majemuk ini tak dapat dihindarkan dari berbagai perbedaan yang ada.

Seperti yang dilansir dari beberapa situs web, beberapa konflik di Indonesia sendiri tak bisa diabaikan lagi karena banyaknya suku yang beradu dengan yang lainnya. Adapun konflik yang paling memuncak di Indonesia seperti: Konflik antar suku Madura dan suku Dayak, perang antar suku di Papua dan yang belum lama ini konflik antar Papua dan Masyarakat Surabaya.  Dari konflik tersebut  banyak kerugian yang ditimbulkannya, baik itu kerugian yang berbentuk materi maupun non-materi dan  tak jarang pula memakan korban dengan jumlah yang tak sedikit, diakibatkan keegoisan individualnya dengan mengabaikan sikap persaudaraan sebagai rakyat Indonesia yang seharusnya menjadi pemersatu bangsa itu sendiri.

Konflik yang terjadipun akibatnya tidak hanya bagi yang bersangkutan saja, secara langsung berimbas kepada yang lain. Karena dengan kejadian tersebut, untuk kedepannya peristiwa itu akan tercatat dalam sejarah yang mungkin sebagian golongan atau kelompok tidak akan melupakannya, dan berimbas ke generasi selanjutnya.  Mungkin banyaknya kasus seperti ini menjadi tamparan keras kepada kita rakyat Indonesia untuk kedepannya berbuat seperti apa. Karena  Keberagaman itu di junjung bukan di pancung, keberagaman itu di lestarikan bukan di hindarkan dan keberagaman itu pemersatu bukan pemecah!!!! Ketika keberagaman itu di indahkan, selanjutnya keberagaman itu akan tumbuh baik dan menjadi penguat bangsa.

Selain itu, peran pemerintah disini sangat diharapkan, sikap cepat, tegas, dan keadilannya dalam bertindak dan menangani setiap permasalahan, dengan tidak mengesampingkan hak-hak bagi yang lain. Pemerintah harusnya lebih bersifat peka dan mempu bertindak dengan cekat serta tepat, sehingga dalam penyelesaiannya nanti tidak menjadi yang namanya salah sasaran. Diharapkan mampu menyelesaikan suatu tugas dengan cepat dan menuntaskannya dengan benar, karena salah satu kelemahan dari pemerintah adalah acuh tak acuh dan ketidakjelasannya dalam memutuskan suatu hal membuat setiap masalah yang ada bukannya berkurang melainkan memperkeruh dengan melarut-larutkannya. Pemerintah sering kali lalai dengan kasus  yang dianggap mudah dan remeh seperti ini padahal berakibat fatal dan buruk yang akan ditimbulkannya kedepan.

Ketika suatu tempat yang di dalamnya terdapat sebagian orang yang muncul sebagai pemecah dengan menyebarkan fitnah serta mengadu domba dan dibiarkan begitu saja tanpa adanya tindakan,  maka yang lain akan terpengaruh. Karena kunci untuk membangun suatu negara yang maju dan terdepan digambarkan dari keadaan rakyatnya sendiri, ketika suatu masyarakat hancur karena terpecah maka akibat yang paling buruk yang terjadi adalah kehancuran negara itu sendiri. Oleh karenanya, Pemerintah diharapkan sebagai tempat pemecahan berbagai masalah, yang memberikan solusi dan pemersatu bagi  rakyatnya. Diharapkan mampu melawan dan membrantas oknum-oknum jahat tersebut dan mengembalikan arti keberagaman yang sebenarnya kepada rakyat Indonesia, bahwa kebergaman itu sejatinya indah.

Sebagai generasi penerus bangsa selayaknya kita menjunjung tinggi keberagaman itu sebagai suatu hal yang harus dijaga dan di lestarikan sehingga dapat diwarisi ke generasi berikutnya, menjadikannya sebagai pemersatu bangsa dengan menghargai hak-hak tiap individu atau kelompok dengan menghilangkan sikap keegoisan setiap pribadi maupun golongan. Karena keberagaman itu pemersatu bukan penghancur!!!

Sebagai negara dengan keberagaman yang ada mungkin tidak mudah dalam kehidupan sosial nya, karena banyak dari keberagaman untuk sebagian orang atau kelompok susah untuk menerima atau bahkan menolaknya. Berbagai masalah mungkin pasti timbul, karena yang namanya keberagaman tidak sedikit  banyak pasti ada perbedaan, jadi sikap kita selaku rakyat Indonesia hendaknya menggap keberagaman itu sebagai ke kayaan Indonesia yang menjadi ciri khasnya, dengan menanamkan sikap toleran dan rasa persaudaraan pada setiap diri maupun kelompok. Perbedaan yang ada pasti jadi hal yang menarik dan indah karena menggambarkan akan keluasan negara dengan  kekayaan yang ada, mungkin tanpa adanya  perbedaan kita tidak tahu yang namanya benar dan salah, mana yang harus dilakukan dan tidak, dan dengan perbedaan juga akan menambah wawasan, layaknya tidak seperti katak dalam tempurung, yang bingung ketika keluar dari tempatnya dan tenggelam di wilayah orang lain.

Mengedepankan persatuan menghilangkan permusuhan, mencintai perdamaian membenci pertikaian, menanamkan toleransi mengubur konspirasi. Layaknya “pohon”, menjadikan diri bermanfaat bagi orang lain, khususnya bagi bangsa Indonesia tercinta. Dan semoga menjadi negeri yang baldatul at-ththoyyibatun wa rabbul al-ghafuur….

by: Nur Asiah Simatupang, Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN SUSKA RIAU

“MENGGUGAT KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA”

“MENGGUGAT KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA”

“Kekerasan agama”, bukankah kata – kata tersebut sudah tak asing lagi terdengar? Yang beberapa waktu lalu sempat mencuat menjadi perbincangan hangat. Kemudian muncul pertanyaan, apakah agama megajarkan tindak kekerasan terhadap para penganutnya? Tentu saja umumnya kita sontak mengatakan tidak, akan tetapi kenapa masih saja  terjadi tindak kekerasan yang mengatas namakan agama?

Sejatinya seluruh agama yang ada, tak pernah mengajarkan para penganutnya melakukan tindak kekerasan. Tindakan kekerasan ini sangat dicela di agama manapun. Pada dasarnya dalam doktrin ke agamaan mengajarkan kebaikan dan kedamaian kepada penganutnya. Akan tetapi pada kenyataanya berbeda dengan yang telah di ajarkan oleh agama, munculnya tindak kekerasan yang mengatas namakan agama.

Tindak kekerasan yang mengatas namakan agama tersebut jelas –jelas sudah mencabut hak untuk memeluk agama secara bebas. Hal ini dapat dilakukan oleh orang  atau kelompok tertentu dengan melakukan tindak kekerasan terhadap minoritas atau berujung pada terorisme. Masih segar dalam ingatan kita tentang ISIS sebagai organisasi yang berkedok agama (Islam), muslim minoritas Rohingya di Myanmar dan Uighur di Cina serta beberapa kasus pembongkaran rumah ibadah di tanah air yang berujung kekerasan.

Cerita sedih lainnya adalah konflik di Ambon dan Poso yang menewaskan ratusan nyawa, aksi bom Bali, kisah tragis pengeboman gereja, drama peperangan antara kelompok agama tertentu, aksi kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah, dan berbagai aliran kepercayaan yang dianggap sesat dalam kacamata Islam. Ironi tersebut hadir secara berturut-turut di Indonesia. Keberagaman budaya dan agama hingga pertalian keduanya seakan menginginkan tumbal untuk bisa duduk bersama dalam satu meja. Dan yang menjadi tumbal adalah pemeluk agama sendiri.

Kenapa hal tersebut tetap terjadi di Indonesia? Padahal sudah sangat jelas dalam pembukaan UUD 1945 bahwa negara telah menjamin kebebasan beragama. Meskipun di Indonesia telah di jamin negara mengenai kebebasan beragama, terkadang masih dijumpai beberapa kasus – kasus kekerasan. Ini jelas menimbulkan tanda tanya besar mengapa bisa terjadi padahal semua agama itu damai dan secara hukum sudah di atur oleh negara. Tampaknya sikap intoleransi sangat memiliki andil besar dalam kasus ini, dengan tidak memberikan kebebasan beragama terhadap orang lain.

Sikap toleransi sudah seharusnya menjadi gaya masyarakat Indonesia. Indonesia seperti yang telah kita tahu memiliki masyarakat yang beraneka ragam, sesuai dengan semboyan Negara yaitu bhineka tunggal ika. Dengan menjadi intoleransi yang garis keras apalagi memancing dan  melakukan kekerasan mengatas namakan agama seolah – olah agama menghalalkan hal tersebut. Sebenarnya bukan agama yang salah, melainkan pemahaman seseorang tersebut terhadap agamanya. Gagapnya masyarakat dalam menghadapi keanekaragaman mengarahkan mereka melakukan sikap toleransi.

Jika sikap intoleransi dibiarkan terus menerus yang sejatinya adalah merusak dasar yang telah di ajarkan agama yang sangat merugikan bahkan tak jarang berujung pada kekerasan. Hal yang perlu dilakukan adalah mengubah sikap masyarakat agar dapat menerima kemajemukan yang ada. Jika masyarakat tersebut mengaku beragama maka ia tidak akan menjadi pemicu terjadinya kekerasan dalam beragama apalagi mengatasnamakan membela keyakinan yang dianutnya.

Bagaimanapun juga, agama memiliki idealisme terhadap suatu tatanan kehidupan manusia yang penuh keteraturan dan perdamaian dengan berbagai ajarannya mengenai cinta kasih, persaudaraan, anti kekerasan, dan sebagainya. Peranan agama sangat menentukan dalam setiap kehidupan dan tanpa agama manusia tidak akan dapat hidup sempurna. Agama sebagai sistem keyakinan dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan manusia dan menjadi pendorong atau penggerak serta pengontrol tindakan-tindakan para penganutnya agar tidak menyimpang dari norma-norma kehidupan. Tidak satupun agama dapat menerima konsep kekerasan sebagai suatu prinsip tindakan. Kekerasan mengandaikan pemaksaan kehendak terhadap orang lain dan berarti melanggar kebebasan manusia. Secara normatif  agama menentang kekerasan, namun demikian meminjam istilah Wilson yang melihat agama dalam berbagai dimensi yaitu religious thinking, religious practices dan religious institutions, agama bukan hanya menyangkut pemikiran keagamaan atau perilaku keagamaan, tetapi terkait pula dengan lembaga keagamaan yang sangat rentan dengan  transformasi sosio budaya.

Dengan demikian, maka Agama pada hakikatnya refleksi manusia menyikapi dunia sekitarnya. Ia menyadari alam tidak muncul dengan sendirinya dan kehidupannya tidak sematamata mengikuti naluri. Tetapi mesti ada “sesuatu” yang melebihi segala sesuatu yang  dapat diandalkan dan ditaati agar kehidupan terjaga dan mengarah pada kebaikan. Agama menjadi kata benda untuk menunjukkan suatu system kepercayaan yang dianut sekelompok orang, seperti agama Yahudi, Kristen, Islam, agama Hindu dan sebagainya.

by: Reza Wijayani Ervian adalah Mahasiswi Bahasa Inggris Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Suska Riau

“UTOPIA KHILAFAH ISLAM DI INDONESIA”

“UTOPIA KHILAFAH ISLAM DI INDONESIA”

Isu khilafah Islam mulai mengemuka secara massif, setelah era reformasi terjadi di Negara Indonesia. Kran kebebasan yang muncul seiring dengan reformasi, memungkinkan bagi para pengusung Khilafah Islamiyah untuk menyuarakannya. Lebih-lebih menjelang Pilpres 2019 yang lalu, isu khilafah ramai dibicarakan. Adanya kelompok-kelompok konservatif – seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) – yang mendukung Prabowo membantu kubu Jokowi-Ma’ruf untuk menggunakan isu ini dalam diskursus Pilpres 2019.

Tren asumsi yang mendukung khilafah juga memang sedang meningkat di Indonesia, terutama di kalangan muda. Hasil survei Alvara menunjukkan bahwa satu dari lima siswa di Indonesia memiliki pandangan yang pro terhadap khilafah.

Selain itu, terdapat 18 kelompok ekstrem di Indonesia juga pernah memberikan baiat terhadap pemimpin ISIS Abu Bakar Al-Bagdadhi. Rohan Gunaratna dari Rajaratnam School of International Studies (RSIS) menjelaskan bahwa kelompok-kelompok ini mempelajari Islam di Timur Tengah.

Meskipun terdapat pandangan-pandangan pro khilafah di Indonesia, apakah mungkin khilafah benar-benar dapat menggantikan ideologi Pancasila?

            Khilafah adalah sistem kepemimpinan bagi seluruh kaum Muslimin di dunia untuk menegakkan syariat Islam, dan mengembangkan dakwah Islam ke segenap penjuru dunia. Dalam system khilafah, umat Islam di penjuru dunia terikat dalam satu kesatuan kekhilafahan yang dipimpin oleh seorang khalifah. Dalam kekhilafahan ini seorang khalifah adalah seorang imam bagi seluruh kaum muslim di dunia. Artinya, akan terjadi peleburan beberapa negera dalam satu kekuasaan, yaitu Negara Islam.

Jika itu terjadi mungkinkah? Apakah mungkin Malaysia, Brunai, Thailand, singapura bersatu membentuk satu Negara dengan satu bendera Islam? Rasanya akan sangat sulit untuk dilakukan. Selain masing-masing Negara sudah memiliki konsep dan bentuk Negara yang sudah jelas, mereka juga memiliki batas teritori yang independen, yang tidak mungkin dapat dipengaruhi oleh Negara lainnya.

Pancasila Ideologi Final

Indonesia adalah negara demokrasi dengan pancasila sebagai ideologi negaranya. Pancasila adalah hasil kompromi yang dilakukan oleh para pendiri bangsa ini dalam merumuskan sistem negara Indonesia. Perdebatan tentang upaya membenturkan Islam politik dengan negara, selalu berujung pada jalan buntu.

Berbagai tantangan dan rintangan telah dilalui oleh Pancasila dalam perjalanannya sepanjang sejarah berdirinya Republik ini. Namun Pancasila telah menunjukkan kesaktiannya dengan tetap tegak dan tegar sampai hari ini. Dan bahkan kita sangat bersyukur bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia ini masih tetap aman dan damai berkat masih teguhnya Pancasila sebagai satu-satunya Ideologi Negara Indonesia.

Dalam usianya hari ini, Pancasila dan melihat dinamika kehidupan berbangsa saat ini ada usaha-usaha dari sebagian kecil masyarakat kita yang hendak menggeser, mengenyampingkan bahkan mau mengganti Pancasila sebagai ideologi negara dengan ideologi lainnya yang belum pernah teruji dan bahkan ideologi yang telah gagal dibelahan bumi dan sejarah yang lain. Jelas upaya mengganti Ideologi Pancasila dengan ideologi lain harus kita tolak dan wajib kita lawan. Setiap warga bangsa wajib menjaga dan merawat komitmen kebangsaan kita yang sudah menjadi kesepakatan bersama sejak awal Indonesia ini didirikan dalam bingkai NKRI.

Pancasila sebagai ideologi negara sudah final, tidak bisa diganggu gugat. Sejarah telah membuktikan bahwa Pancasila adalah ideologi yang terbaik untuk saat ini dan yang akan datang karena dengan Pancasila ini seluruh anak bangsa dengan berbagai suku, bahasa dan agama dapat hidup dalam satu bangunan negara bangsa Indonesia dengan rukun dan bersatu, bermusyawarah, bergotongroyong satu sama lain sebagaimana terkandung dalam kelima butir-butir sila Pancasila.

Adalah kewajiban kita bersama untuk menjaga dan merawat Pancasila dari rongrongan kelompok atau golongan yang berusaha mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi lain yang tidak sesuai dengan kesejatian bangsa Indonesia. Pancasila sudah terbukti menjadi perekat dan pemersatu bangsa yang bhineka ini dalam naungan NKRI dari Sabang sampai Merauke, dari Mianggas sampai Pulau Rote.

Berdasarkan hal tersebut, maka bisa dilihat bahwa gerakan HTI dan aktivis pro khilafah yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara khilafah pasti susah. Karena masyarakat Indonesia telah mempunyai konsepsi Pancasila sebagai landasan ideologi bangsa. Selain itu, mereka juga akan berhadapan dengan dua sayap besar organisasi politik Islam besar seperti NU dan Muhammadiyah yang mempunyai jasa besar di Indonesia dan bekerja keras agar umat Islam menjadi umat yang moderat dan taat kepada Pancasila.

Jika dilihat berdasarkan sejarah khilafah juga HTI dan aktivis pro khilafah terkesan abu-abu ingin membentuk Indonesia berdasarkan Khilafah di periode yang mana? Jika yang pertama, sudah ada sistem demokrasi di Indonesia. Sementara periode kedua akan susah diterima di Indonesia, karena sudah terbukti bahwa sistem kerajaan tidak mampu untuk menyatukan bangsa. Jadi sudah jelas kedua periode khilafah tersebut sangat berbeda walaupun sama-sama berbasis agama Islam.

Jadi sangat tidak mungkin konsep khilafah diterapkan di Indonesia, karena landasan Pancasila dan slogan NKRI sudah mendarah daging di Indonesia. Pancasila juga dapat merangkul keutuhan NKRI karena sistem politiknya yang menjadikan negara berdasarkan pada kesamaan bangsa dan sejarah bukan karena kesamaan agama.

Jadi, marilah kita membuka mata. Karena untuk membenahi Indonesia bukan dengan mengganti konsep ideologinya melainkan dengan membangun mental dan pola fikir rakyatnya. Jika hal tersebut sudah bisa dilakukan maka cita-cita Indonesia yang damai dan sejahtera bukan tidak mungkin akan segera terwujud.

by: Alviandre Prabowo adalah Mahasiswa Bahasa Inggris Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Suska Riau

MEMILIH “JALAN TENGAH” DALAM KERAGAMAN INDONESIA

MEMILIH “JALAN TENGAH” DALAM KERAGAMAN INDONESIA

Hingga saat ini, Indonesia sangat dikenal sebagai negara yang memiliki kebudayaan beranekaragam (multicultural). Hal ini, tentunya menjadi ciri khas Indonesia yang majemuk (Plural). Kemajemukan Indonesia ini, tidak boleh dibiarkan begitu saja, akan tetapi harus kita rawat dan kita pertahankan.

Dalam sebuah masyarakat yang majmuk, dihadapkan pada dua persoalan penting; karena keragaman yang dimilikinya bisa jadi akan menjadi “integrating force” yang mengikat kemasyarakatan, namun dapat juga menjadi penyebab terjadinya konflik atau benturan antar  budaya,  antar  suku, ras, etnik dan agama yang ada di Indonesia.

Konflik-konflik itu, misalnya mengatasnamakan suku, ras dan agama. Beberapa konflik yang kita ketahui adalah konflik Ambon, Poso, Dayak- Madura dan lainnya. Sehingga semua konflik itu selalu merenggut nyawa dan kerugian harta benda.

Konflik-konflik tersebut, pada dasarnya juga tidak lepas dari gejolak politik yang tidak stabil dan ekonomi yang tidak menentu. Dimana kontrol pemerintahan pada saat itu tidak lagi mampu melihat persoalan daerah. Misalnya, sistem demokrasi secara langsung dan sistem otonomi daerah telah memberikan ruang yang begitu terbuka bagi warga Negara untuk menyuarakan haknya. Sehingga memunculkan kebebasan berekspresi tanpa batas. Tentunya ekspresi yang tanpa batas ini akan memicu lahirnya konflik. Sebagaimana kita lihat dalam kasus pilkada yang ada didaerah ketika ada pasangan yang dirugikan. Maka para pendukungnya melakukan demontrasi yang berujung pada perusakan. Padahal seharusnya disampaikan secara damai dan santun dengan mengedepankan dialog yang beretika.

Dalam masyarakat yang multikultural seperti Indonesia ini perlu adanya pemahaman sikap yang baik agar tidak terjadi konflik dan benturan. Sikap yang dimaksud ialah dalam memahami keragaman itu sendiri, seperti sikap keberagamaan yang ekslusif yang hanya mengakui kebenaran dan keselamatan secara sepihak (merasa benar sendiri), tentu dapat menimbulkan gesekan antar kelompok agama, suku, ras dan etnik. Banyak konflik keagamaan yang terjadi di Indonesia, salah satunya konflik di Ambon umumnya dipicu adanya sikap keberagamaan yang ekslusif, serta adanya kontestasi antar kelompok agama dalam meraih dukungan umat yang tidak dilandasi sikap toleran, karena masing-masing menggunakan kekuatannya untuk menang sehingga memicu konflik yang dapat memakan korban jiwa.

 

Memilih Jalan Tengah

Fenomena yang hangat di Indonesia beberapa tahun ini ialah menggaungkan moderasi beragama. Kontek beragama yang moderat, atau cara ber-Islam dengan “jalan tengah”, yang inklusif atau sikap beragama yang terbuka, yang sering disebut sikap moderasi beragama. Moderasi itu artinya moderat, lawan dari ekstrem, atau berlebihan dalam menyikapi perbedaan dan keragaman.

Kata moderat dalam bahasa Arab dikenal dengan al-wasathiyah sebagaimana terekam dari QS.al-Baqarah [2] : 143. Kata al-Wasath bermakana terbaik dan paling sempurna. Dalam hadis yang juga disebutkan bahwa sebaik-baik persoalan adalah yang berada di  tengah-tengah. Dalam melihat dan menyelesaikan satu persoalan, Islam moderat mencoba melakukan pendekatan kompromi dan berada di  tengah – tengah, dalam menyikapi sebuah perbedaan, baik perbedaan agama ataupun mazhab, Islam moderat mengedepankan sikap toleransi, saling menghargai, dengan tetap meyakini kebenaran keyakinan masing-masing agama dan mazhab, sehingga semua dapat menerima keputusan dengan kepala dingin, tanpa harus terlibat dalam aksi yang anarkis. (Darlis 2017)

Dengan demikian moderasi beragama merupakan sebuah jalan tengah di tengah keberagaman agama di Indonesia. Moderasi merupakan budaya Nusantara yang berjalan  seiring, dan tidak saling menegasikan antara agama dan kearifan lokal (local wisdom). Tidak saling mempertentangkan namun mencari penyelesaian dengan toleran.

Dalam kontek beragama, memahami teks agama saat ini terjadi kecenderungan terpolarisasinya pemeluk agama dalam dua kutub ekstrem. Satu kutub terlalu mendewakan teks tanpa menghiraukan sama sekali kemampuan akal/ nalar. Teks Kitab Suci dipahami lalu kemudian diamalkan tanpa memahami konteks. Beberapa kalangan menyebut kutub ini sebagai golongan konservatif. Kutub ekstrem yang lain, sebaliknya, yang sering disebut kelompok liberal, terlalu mendewakan akal pikiran sehingga mengabaikan teks itu sendiri. Jadi terlalu liberal dalam memahami nilainilai  ajaran agama juga sama ekstremnya. Moderat dalam pemikiran Islam adalah mengedepankan sikap toleran dalam  perbedaan. Keterbukaan menerima keberagamaan (inklusivisme). Baik beragam dalam mazhab maupun beragam dalam beragama. Perbedaan tidak menghalangi  untuk menjalin kerja sama, dengan asas kemanusiaan  (Darlis, 2017).

Untuk itu dengan meyakini agama Islam yang paling benar, tidak berarti harus melecehkan agama orang lain. Sehingga akan terjadilah persaudaraan dan persatuan antar agama, sebagaimana yang pernah terjadi di Madinah di bawah komando Rasulullah SAW. Moderasi harus dipahami ditumbuhkembangkan sebagai komitmen bersama untuk menjaga keseimbangan yang paripurna, di mana setiap warga masyarakat, apapun suku, etnis, budaya, agama, dan pilihan politiknya mau saling mendengarkan satu sama lain serta saling belajar melatih kemampuan mengelola dan mengatasi perbedaan di Indonesia.

Oleh karena itu moderasi beragama sangat erat terkait dengan menjaga kebersamaan dan kedamaian  dengan memiliki sikap “tenggang rasa” untuk saling memahami keragaman dan menjaga perbedaan. Seruan untuk menggaungkan moderasi beragama di Indonesia untuk mengambil jalan tengah perlu tindakan serius baik secara perkataan dan perbuatan untuk kita semua. Agar tidak terjadi peristiwa yang baru beberapa bulan terjadi di Slandia baru penembakan 50 jemaah shalat jum’at.

 

Muhammad Syaprul adalah Mahasiswa Fakultas Tarbiyah UIN Suska Riau

“AGAMA PEMICU KEKERASAN”

“AGAMA PEMICU KEKERASAN”

Melihat keindahan dalam perbedaan itu sangat penting. Momok yang mengerikan selalu menghantui keanekaragaman Indonesia saat ini, -terlebih masalah kepercayaan–. Agama dijadikan kambinghitam dalam memperkeruh setiap keadaan. Satu persatu konflik menyebar tanpa henti untuk menyerang bangsa dari berbagai golongan. Adu domba perihal agama dan pemerintahan mulai merajalela.

Agama sangat berperan dalam memicu kekerasan. Berdasarkan historis, terbukti dengan terjadinya perang saudara diantara umat Islam, -salah satunya perang Jamal–. Pada awal kekhalifan Ali bin Abi Thalib tepatnya pada tahun 36 H, perang jamal terjadi. Kaum muslimin bercucuran darah, banyak sekali yang tewas terbunuh. Demikianlah yang terjadi, apabila peperangan telah berkecamuk maka tidak ada seorang pun yang dapat menghentikannya.

Tidak hanya perang antar umat Islam, bahkan perang beda agama pun terjadi, -contohnya perang salib–. Berlangsung selama kurang lebih 2 abad, yaitu pada tahun 1095-1291. Lagi-lagi pemicunya adalah agama dengan faktor lain perihal politik, sosial dan ekonomi. Peperangan ini sudah pasti merusak hubungan Islam dan Kristen dalam segala bidang.

Hingga saat ini, kekerasan beragama kian meningkat seiring berkembangnya zaman. Pada tahun 2018 lalu, terjadi serentetan kasus kekerasan beragama. Penyerangan tempat ibadah kembali terjadi. Kali ini, masjid Baiturrahim tepatnya di Tuban, Jawa Timur diserang sekolompok orang. Peristiwa ini terjadi hari selasa, 13 Februari pukul 01.00 WIB. Dalam proses pemeriksaan, pelaku kepolisian menemukan buku-buku ilmu sufi dan buku makrifat. Tidak disangka buku yang dimilikinya tersebut tak sesuai dengan amalannya. Ilmu tersebut menyimpang, agama hanya dijadikan jubbah kekerasan.

Agama yang pada hakikatnya mendambakan penganut yang hidup penuh kedamaian, kenyamanan, keamanan, kasih sayang, tolong-menolong serta toleransi, justeru malah berbalik arah menjadi pemicu kekerasan. Charles Kimball, yaitu seorang Guru Besar Studi Agama di Universitas Wake Forest, Amerika Serikat, menuliskan dalam bukunya, Kala Agama Jadi Bencana perihal faktor-faktor yang dapat menyeret dan membawa agama sebagai sumber masalah.

Charles Kimball, memberikan penjelasan bahwa pemahaman seseorang terhadap agama sangat mempengaruhi tindakan yang mereka kerjakan sebagaimana dikatakan, “Struktur dan doktrin keagamaan dapat digunakan nyaris seperti senjata. Kita akan melihat contoh-contoh orang yang diperbudak oleh gagasan atau begitu jauh berbuat untuk melindungi institusi agama dari ancaman yang mereka duga. Jika institusi dan ajaran agama tidak luwes dan tidak memiliki sistem check and balance, hal itu sungguh mempunyai kesempatan untuk tumbuh menjadi bagin terbesar dari masalah

Dalam bukunya, Kimball mengulas secara detail dan sangat jelas bahwa agama akan menjadi kekuatan destruktif dan menimbulkan banyak masalah, sebagaimana halnya kalangan penganut agama melakukan lima hal yaitu: Pertama, bila suatu agama mengklaim kebenaran agamanya sebagai kebenaran yang mutlak dan satu-satunya. Kedua, kepatuhan atau ketaatan buta kepada pemimpin agama. Ketiga, kegandrungan akan zaman ideal baik di masa silam maupun di masa yang akan datang dan direalisasikan dalam bentuk gerakan keagamaan. Kempat, tujuan yang membenarkan segala cara untuk meraihnya. Kelima, bilang perang suci dijadikan norma dan etika sehingga meniadakan komunitas beragama laiannya.

Setiap teks maupun buku atau kitab sangat memprioritaskan interpretasi dari seorang pembaca. Penulis akan terpisah jati dirinya ketika tulisan tersebut telah beredar dan diaca banyak orang dari berbagai sudut pandang. Tulisan intelektual yang biasa saja akan memiliki interpretasi yang berbeda. Apalagi alqur’an dan hadits, -terdapat banyak penafsiran yang berbeda–.

Makna tulisan mungkin saja berubah berdasarkan siapa pembacanya dan bagaimana karakter pembacanya. Jika pembaca tidak bertanggungjawab dan penuh kebencian, maka hasil bacaan dan tafsirnya pun akan menjustifikasi dan mendorong intoleransi.

Jika seseorang memiliki interpretasi fundamentalistik terhadap teks agama kemudian melihat eksistensi orang lain sebagai ancaman dan lawan yang harus disingkirkan maka interpretasinya akan melahirkan sikap-sikap diskriminatif, provokatif hingga destruktif. Salah dalam menafsirkan mengakibatkan salah tindakan. Hal ini sangat berbahaya dan mampu menghancurkan bangsa nantinya

Kekerasan beragama dapat diminimalisir dengan orasi perdamain, diskusi intelektual, kajian-kajian bersama ahli agama serta memperbanyak membaca tafsir-tafsir agama berdasarkan sumber yang jelas. Maka perlahan persaingan beda agama mulai memudar. Agama akan kembali kepada fitrahnya sebagai petunjuk bukan pemicu kekerasan.

Sehingga konsekuensinya setiap umat beragama memiliki kewajiban untuk mengakui sekaligus menghormati agama lain, tanpa perlu meninggikan atau merendahkan suatu agama. Mengingat pluralitas agama merupakan realitas sosial yang nyata, maka sikap keagamaan yang perlu dibangun selanjutnya adalah prinsip kebebasan dalam memeluk suatu agama.

Menurut pandangan Nurcholish Madjid (1992:195) Piagam Madinah merupakan dokumen politik resmi pertama yang meletakkan prinsip kebebasan beragama. Bahkan sesungguhnya Nabi juga membuat perjanjian tersendiri yang menjamin kebebasan dan keamanan umat Kristen di mana saja, sepanjang masa.

Semoga kekerasan lekas surut, dan kedamaian secepatnya menghampiri 🙂

By: Nurhayati Nupus, Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN SUSKA RIAU