MEMILIH “JALAN TENGAH” DALAM KERAGAMAN INDONESIA

MEMILIH “JALAN TENGAH” DALAM KERAGAMAN INDONESIA

Hingga saat ini, Indonesia sangat dikenal sebagai negara yang memiliki kebudayaan beranekaragam (multicultural). Hal ini, tentunya menjadi ciri khas Indonesia yang majemuk (Plural). Kemajemukan Indonesia ini, tidak boleh dibiarkan begitu saja, akan tetapi harus kita rawat dan kita pertahankan.

Dalam sebuah masyarakat yang majmuk, dihadapkan pada dua persoalan penting; karena keragaman yang dimilikinya bisa jadi akan menjadi “integrating force” yang mengikat kemasyarakatan, namun dapat juga menjadi penyebab terjadinya konflik atau benturan antar  budaya,  antar  suku, ras, etnik dan agama yang ada di Indonesia.

Konflik-konflik itu, misalnya mengatasnamakan suku, ras dan agama. Beberapa konflik yang kita ketahui adalah konflik Ambon, Poso, Dayak- Madura dan lainnya. Sehingga semua konflik itu selalu merenggut nyawa dan kerugian harta benda.

Konflik-konflik tersebut, pada dasarnya juga tidak lepas dari gejolak politik yang tidak stabil dan ekonomi yang tidak menentu. Dimana kontrol pemerintahan pada saat itu tidak lagi mampu melihat persoalan daerah. Misalnya, sistem demokrasi secara langsung dan sistem otonomi daerah telah memberikan ruang yang begitu terbuka bagi warga Negara untuk menyuarakan haknya. Sehingga memunculkan kebebasan berekspresi tanpa batas. Tentunya ekspresi yang tanpa batas ini akan memicu lahirnya konflik. Sebagaimana kita lihat dalam kasus pilkada yang ada didaerah ketika ada pasangan yang dirugikan. Maka para pendukungnya melakukan demontrasi yang berujung pada perusakan. Padahal seharusnya disampaikan secara damai dan santun dengan mengedepankan dialog yang beretika.

Dalam masyarakat yang multikultural seperti Indonesia ini perlu adanya pemahaman sikap yang baik agar tidak terjadi konflik dan benturan. Sikap yang dimaksud ialah dalam memahami keragaman itu sendiri, seperti sikap keberagamaan yang ekslusif yang hanya mengakui kebenaran dan keselamatan secara sepihak (merasa benar sendiri), tentu dapat menimbulkan gesekan antar kelompok agama, suku, ras dan etnik. Banyak konflik keagamaan yang terjadi di Indonesia, salah satunya konflik di Ambon umumnya dipicu adanya sikap keberagamaan yang ekslusif, serta adanya kontestasi antar kelompok agama dalam meraih dukungan umat yang tidak dilandasi sikap toleran, karena masing-masing menggunakan kekuatannya untuk menang sehingga memicu konflik yang dapat memakan korban jiwa.

 

Memilih Jalan Tengah

Fenomena yang hangat di Indonesia beberapa tahun ini ialah menggaungkan moderasi beragama. Kontek beragama yang moderat, atau cara ber-Islam dengan “jalan tengah”, yang inklusif atau sikap beragama yang terbuka, yang sering disebut sikap moderasi beragama. Moderasi itu artinya moderat, lawan dari ekstrem, atau berlebihan dalam menyikapi perbedaan dan keragaman.

Kata moderat dalam bahasa Arab dikenal dengan al-wasathiyah sebagaimana terekam dari QS.al-Baqarah [2] : 143. Kata al-Wasath bermakana terbaik dan paling sempurna. Dalam hadis yang juga disebutkan bahwa sebaik-baik persoalan adalah yang berada di  tengah-tengah. Dalam melihat dan menyelesaikan satu persoalan, Islam moderat mencoba melakukan pendekatan kompromi dan berada di  tengah – tengah, dalam menyikapi sebuah perbedaan, baik perbedaan agama ataupun mazhab, Islam moderat mengedepankan sikap toleransi, saling menghargai, dengan tetap meyakini kebenaran keyakinan masing-masing agama dan mazhab, sehingga semua dapat menerima keputusan dengan kepala dingin, tanpa harus terlibat dalam aksi yang anarkis. (Darlis 2017)

Dengan demikian moderasi beragama merupakan sebuah jalan tengah di tengah keberagaman agama di Indonesia. Moderasi merupakan budaya Nusantara yang berjalan  seiring, dan tidak saling menegasikan antara agama dan kearifan lokal (local wisdom). Tidak saling mempertentangkan namun mencari penyelesaian dengan toleran.

Dalam kontek beragama, memahami teks agama saat ini terjadi kecenderungan terpolarisasinya pemeluk agama dalam dua kutub ekstrem. Satu kutub terlalu mendewakan teks tanpa menghiraukan sama sekali kemampuan akal/ nalar. Teks Kitab Suci dipahami lalu kemudian diamalkan tanpa memahami konteks. Beberapa kalangan menyebut kutub ini sebagai golongan konservatif. Kutub ekstrem yang lain, sebaliknya, yang sering disebut kelompok liberal, terlalu mendewakan akal pikiran sehingga mengabaikan teks itu sendiri. Jadi terlalu liberal dalam memahami nilainilai  ajaran agama juga sama ekstremnya. Moderat dalam pemikiran Islam adalah mengedepankan sikap toleran dalam  perbedaan. Keterbukaan menerima keberagamaan (inklusivisme). Baik beragam dalam mazhab maupun beragam dalam beragama. Perbedaan tidak menghalangi  untuk menjalin kerja sama, dengan asas kemanusiaan  (Darlis, 2017).

Untuk itu dengan meyakini agama Islam yang paling benar, tidak berarti harus melecehkan agama orang lain. Sehingga akan terjadilah persaudaraan dan persatuan antar agama, sebagaimana yang pernah terjadi di Madinah di bawah komando Rasulullah SAW. Moderasi harus dipahami ditumbuhkembangkan sebagai komitmen bersama untuk menjaga keseimbangan yang paripurna, di mana setiap warga masyarakat, apapun suku, etnis, budaya, agama, dan pilihan politiknya mau saling mendengarkan satu sama lain serta saling belajar melatih kemampuan mengelola dan mengatasi perbedaan di Indonesia.

Oleh karena itu moderasi beragama sangat erat terkait dengan menjaga kebersamaan dan kedamaian  dengan memiliki sikap “tenggang rasa” untuk saling memahami keragaman dan menjaga perbedaan. Seruan untuk menggaungkan moderasi beragama di Indonesia untuk mengambil jalan tengah perlu tindakan serius baik secara perkataan dan perbuatan untuk kita semua. Agar tidak terjadi peristiwa yang baru beberapa bulan terjadi di Slandia baru penembakan 50 jemaah shalat jum’at.

 

Muhammad Syaprul adalah Mahasiswa Fakultas Tarbiyah UIN Suska Riau

Leave a Reply