“AGAMA PEMICU KEKERASAN”

“AGAMA PEMICU KEKERASAN”

Melihat keindahan dalam perbedaan itu sangat penting. Momok yang mengerikan selalu menghantui keanekaragaman Indonesia saat ini, -terlebih masalah kepercayaan–. Agama dijadikan kambinghitam dalam memperkeruh setiap keadaan. Satu persatu konflik menyebar tanpa henti untuk menyerang bangsa dari berbagai golongan. Adu domba perihal agama dan pemerintahan mulai merajalela.

Agama sangat berperan dalam memicu kekerasan. Berdasarkan historis, terbukti dengan terjadinya perang saudara diantara umat Islam, -salah satunya perang Jamal–. Pada awal kekhalifan Ali bin Abi Thalib tepatnya pada tahun 36 H, perang jamal terjadi. Kaum muslimin bercucuran darah, banyak sekali yang tewas terbunuh. Demikianlah yang terjadi, apabila peperangan telah berkecamuk maka tidak ada seorang pun yang dapat menghentikannya.

Tidak hanya perang antar umat Islam, bahkan perang beda agama pun terjadi, -contohnya perang salib–. Berlangsung selama kurang lebih 2 abad, yaitu pada tahun 1095-1291. Lagi-lagi pemicunya adalah agama dengan faktor lain perihal politik, sosial dan ekonomi. Peperangan ini sudah pasti merusak hubungan Islam dan Kristen dalam segala bidang.

Hingga saat ini, kekerasan beragama kian meningkat seiring berkembangnya zaman. Pada tahun 2018 lalu, terjadi serentetan kasus kekerasan beragama. Penyerangan tempat ibadah kembali terjadi. Kali ini, masjid Baiturrahim tepatnya di Tuban, Jawa Timur diserang sekolompok orang. Peristiwa ini terjadi hari selasa, 13 Februari pukul 01.00 WIB. Dalam proses pemeriksaan, pelaku kepolisian menemukan buku-buku ilmu sufi dan buku makrifat. Tidak disangka buku yang dimilikinya tersebut tak sesuai dengan amalannya. Ilmu tersebut menyimpang, agama hanya dijadikan jubbah kekerasan.

Agama yang pada hakikatnya mendambakan penganut yang hidup penuh kedamaian, kenyamanan, keamanan, kasih sayang, tolong-menolong serta toleransi, justeru malah berbalik arah menjadi pemicu kekerasan. Charles Kimball, yaitu seorang Guru Besar Studi Agama di Universitas Wake Forest, Amerika Serikat, menuliskan dalam bukunya, Kala Agama Jadi Bencana perihal faktor-faktor yang dapat menyeret dan membawa agama sebagai sumber masalah.

Charles Kimball, memberikan penjelasan bahwa pemahaman seseorang terhadap agama sangat mempengaruhi tindakan yang mereka kerjakan sebagaimana dikatakan, “Struktur dan doktrin keagamaan dapat digunakan nyaris seperti senjata. Kita akan melihat contoh-contoh orang yang diperbudak oleh gagasan atau begitu jauh berbuat untuk melindungi institusi agama dari ancaman yang mereka duga. Jika institusi dan ajaran agama tidak luwes dan tidak memiliki sistem check and balance, hal itu sungguh mempunyai kesempatan untuk tumbuh menjadi bagin terbesar dari masalah

Dalam bukunya, Kimball mengulas secara detail dan sangat jelas bahwa agama akan menjadi kekuatan destruktif dan menimbulkan banyak masalah, sebagaimana halnya kalangan penganut agama melakukan lima hal yaitu: Pertama, bila suatu agama mengklaim kebenaran agamanya sebagai kebenaran yang mutlak dan satu-satunya. Kedua, kepatuhan atau ketaatan buta kepada pemimpin agama. Ketiga, kegandrungan akan zaman ideal baik di masa silam maupun di masa yang akan datang dan direalisasikan dalam bentuk gerakan keagamaan. Kempat, tujuan yang membenarkan segala cara untuk meraihnya. Kelima, bilang perang suci dijadikan norma dan etika sehingga meniadakan komunitas beragama laiannya.

Setiap teks maupun buku atau kitab sangat memprioritaskan interpretasi dari seorang pembaca. Penulis akan terpisah jati dirinya ketika tulisan tersebut telah beredar dan diaca banyak orang dari berbagai sudut pandang. Tulisan intelektual yang biasa saja akan memiliki interpretasi yang berbeda. Apalagi alqur’an dan hadits, -terdapat banyak penafsiran yang berbeda–.

Makna tulisan mungkin saja berubah berdasarkan siapa pembacanya dan bagaimana karakter pembacanya. Jika pembaca tidak bertanggungjawab dan penuh kebencian, maka hasil bacaan dan tafsirnya pun akan menjustifikasi dan mendorong intoleransi.

Jika seseorang memiliki interpretasi fundamentalistik terhadap teks agama kemudian melihat eksistensi orang lain sebagai ancaman dan lawan yang harus disingkirkan maka interpretasinya akan melahirkan sikap-sikap diskriminatif, provokatif hingga destruktif. Salah dalam menafsirkan mengakibatkan salah tindakan. Hal ini sangat berbahaya dan mampu menghancurkan bangsa nantinya

Kekerasan beragama dapat diminimalisir dengan orasi perdamain, diskusi intelektual, kajian-kajian bersama ahli agama serta memperbanyak membaca tafsir-tafsir agama berdasarkan sumber yang jelas. Maka perlahan persaingan beda agama mulai memudar. Agama akan kembali kepada fitrahnya sebagai petunjuk bukan pemicu kekerasan.

Sehingga konsekuensinya setiap umat beragama memiliki kewajiban untuk mengakui sekaligus menghormati agama lain, tanpa perlu meninggikan atau merendahkan suatu agama. Mengingat pluralitas agama merupakan realitas sosial yang nyata, maka sikap keagamaan yang perlu dibangun selanjutnya adalah prinsip kebebasan dalam memeluk suatu agama.

Menurut pandangan Nurcholish Madjid (1992:195) Piagam Madinah merupakan dokumen politik resmi pertama yang meletakkan prinsip kebebasan beragama. Bahkan sesungguhnya Nabi juga membuat perjanjian tersendiri yang menjamin kebebasan dan keamanan umat Kristen di mana saja, sepanjang masa.

Semoga kekerasan lekas surut, dan kedamaian secepatnya menghampiri 🙂

By: Nurhayati Nupus, Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN SUSKA RIAU

Leave a Reply