22. KONTEKSTUALITAS HADIS: Kepemimpinan Wanita Dalam Islam

22. KONTEKSTUALITAS HADIS: Kepemimpinan Wanita Dalam Islam

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

 

“Lan yufliha qawmun wallau amrahumu imra`ata”

(“Tidak akan sukses suatu kaum (masyarakat) yang menyerahkan (untuk memipin) urusan mereka kepada wanita.”(Hadis dari Abu Bakra, riwayat al-Bukhari, al-Tirmidzi, al-Nasa`i).

———————————–

Dalam memahami sebuah nash, apakah itu al-Qur’an ataupun Hadis, kerap kali seseorang hanya mengedepankan pemahaman tekstual (harfiah)nya. Termasuk dalam memahami Hadis Rasul Allah tentang kepemimpinan wanita, sebagaimana dikutip di atas. Sehingga, dengan cara pemahaman seperti itu, berdasarkan hadis tersebut, sebagaian besar (jumhur) ulama berpendapat bahwa pengangkatan seorang wanita menjadi kepala negara (presiden), hakim pengaadilan, dan beberapa jabatan yang setara dengan itu tidak dapat dibenarkan, terlarang dalam Islam.

Padahal, untuk menemukan pemahaman yang lebih mendekati kebenaran sejatinya atau lebih sempurna, perlu pula dipertimbangkan pemahaman secara kontekstual. Artinya, perlu dikaji terlebih dahulu keadaan historis yang sedang berkembang pada saat itu. Dengan kata lain pempertimbangkan sebab khususnya ketika nash al-Qur’an itu diturunkan (asbab al-nuzul) ataupun ketika Hadis diturunkan disabdakan (asbab al-urud).

Oleh karena itu, dewasa ini, menurut Jaluluddin Rahmat, untuk menguji keabsahan dan validitas suatu hadis harus dilalakukan kritik sanad, siapa yang mengucapkan hadis pertama kali. Begitu pula, harus dilakukan kritik matan, bagaimana teks hadis itu, apakah tidak bertentangan dengan al-Qur’an; apakah tidak bertentangan dengan akal sehat; dan apakah tidak bertentangan dengan kemaslahatan ummat; serta apakah tidak bertentangan dengan fakta historis. Disamping itu, perlu pula dilakukan kritik historis, kapan, dimana dan mengapa hadis tersebut disabdakan Nabi. Maka kritik-kritik demikian itu harus pula diterapkan pada hadis tentang kepemimpinan wanita.

Hadis tentang kepemimpin wanita tersebut terdapat dalam kitab Shahih Bukhari, yaitu kumpulan hadis yang diklasifikasikan oleh al-Bukhari sebagai otentik setelah melalui proses seleksi yang sangat ketat. Karya al-Bukhari menjadi rujukan yang paling otoritatif dan dihormati, tentunya setelah al-Qur’an itu sendiri, oleh dunia Islam sepanjang 12 abad. Karena terdapat dalam Shahih Bukhari, maka hadis yang dikutip di atas menjadi dalil andalan bagi mereka yang ingin mengucilkan peranan wanita dalam lapangan politik dan pemerintahan (kepemimpinan). Hadis ini sedemikian pentingnya, sehingga hampir-hampir tidak mungkin untuk mendiskusikan persoalan hak-hak politik kaum wanita tanpa mengacu kepadanya.

 Latar Belakang Sejarah Hadis

Menurut al-Bukhari, kemungkinan Abu Bakra [wafat sekitar 671 M] yang pernah mendengar hadis itu Rasul Allah. Menurutnya, Rasul Allah saw. mengatakan hadis itu setelah mengatahui dari sahabatnya bahwa telah terjadi suksesi di kerajaan Persia. “Ketika Kisrah Persia wafat, Rasul Allah saw., terdorong oleh rasa ingin tahu tentang kabar itu, bertanya: “Dan siapa yang telah menggatikannya sebagai pemimpin?” Jawabannya adalah: “Mereka telah menyerahkan kekuasaan kepada putrinya.” Saat itulah, menurut Bakra, Rasul Allah mengemukakan pendapatnya tentang kepemimpin wanita itu, lalu bersabda: “Lan yufliha qaumun wallau amrahumu imra`atan” (Tidak akan sukses suatu kaum [masyarakat] yang menyerahkan [untuk memipin] urusan mereka kepada wanita.”

Pada tahun 628 M. sewaktu berkobar peperangan berkepanjangan antara bangsa Romawi dan bangsa Persia, Kaisar Romawi, Heraklius, menginvansi wilayah Persia, menduduki Ctesphon, yang terletak sangat dekat dengan ibukota Sassanid, dan Khusru Pavis, raja Persia, terbunuh. Barangkali kejadian inilah yang disinggung oleh Abu Bakra. Sebenarnya, setelah kematian Khusru Pavis, ia digantikan oleh putranya, Syairawi menjadi raja. Baru setelah raja Syairawi meninggal terdapat periode kekacauan yang berlangsung antara tahun 629-632 M, karena putra-putra raja Syairawi berebut kekuasaan. Dalam perebutan kekuasaan itu kedua putra raja tewas, sebagai gantinya naiklah putrinya, Buwaran binti Syairawih menjadi ratu kerajaan Persia.

Mungkinkah insiden ini yang memyebabkan Rasul Allah saw. mengucapkan hadis yang menentang kepemimpinan seorang wanita tersebut? Al-Bukhari tidak melacak sejauh itu, ia hanya melaporkan kata-kata Abu Bakra, yakni matan hadis itu sendiri, dan rujukan mengenai seorang wanita yang menjadi penguasa bangsa Persia.

Lalu, apa pertimbangan dan latar belakanga historisnya, sehingga Rasul Allah, lewat hadis ini, meragukan kepemimpinan seorang wanita? Jawabannya, karena pada waktu itu derajat wanita dalam masyarakat pada umumnya berada di bawah superioritas kaum lelaki. Wanita sama sekali tidak pernah diberikan kepercayaan untuk ikut serta, termasuk di Persia sebelumnya, untuk mengurus kepentingan masyarakat umum, terlebih lagi dalam masalah pemerintahan.

Pada masa itu, hanya kaum lelakilah yang memiliki kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin. Menurut tradisi yang berlangsung di Kerajaan Persia yang diangkat sebagai pemimpin hanyalah laki-laki.Sedangkan wanitanya tidak mempunyai tempat dan kesempatan untuk menjadi pemimpin. Sehingga dengan pengangkatan wanita menjadi Ratu di kerajaan Persia menyalahi tradisi tersebut. Apalagi kondisi situasi politik pada masa itu di Persia dalam kekacauan.

Dalam pada itu, ketika pasukan-pasukan Persia telah dipaksa mundur dan luas wilayahnya semakin menyempit, sebenarnya masih ada kemungkinan untuk menyerahkan kepemimpin negara kepada seorang Jendral yang piawai yang memungkinkan dapat mengendalikan sistuasi. Tetapi sistem politik yang tidak mengenal musyawarah telah menjadikan rakyat dan negara sebagai harta warisan yang diterimakan kepada seseorang wanita muda yang tidak tahu apa-apa. Hal itulah yang menandakan dan terbaca oleh Rsul Allah sw bahwa negeri Persaa sedang menuju kehancurannnya.

Dalam kondisi seperti itu, termasuk di Persia, maka Rsul Allah yang memiliki kearifan tinggi menyatakan hadis tersebut. Sebab bagaimana mungkin pemimpin wanita akan sukses dalam pemerintahannya kalau ia sama sekali tidak mempunyai kecakapan dan wibawa dalam memerintah. Bukankah salah satu syarat untuk menjadi seorang pemimpin harus memiliki kecakapan dan wibawa, sementara wanita pada waktu itu tidak memiliki persyaratan tersebut.

Seandainya sistem pemerintahan di Persia berdasarkan musawarah, dan seandainya wanita yang menduduki singgasana kepemimpinan mereka seperti Ratu Bilqis yang memerintah negeri Saba`; dan seandainya orang-orang Persia itu membiarkan kendali urusan militer di tangan para jendralnya yang berpengalaman, siscaya komentar Rasul Allah saw. berbeda dengan yang ada sekarang.

Dalam sejarah, penghargaan masyarakat kepada kaum wanita semakin meningkat dalam banyak hal. Kaum wanita diberikan kedudukan yang sama dengan kaum lelaki. Al-Qur’an sendiri memberikan peluang yang sama kepada kaum wanita dan kaum lelaki dalam berbagai hal. Untuk itu, pada dewasa ini, ketika wanita sudah memiliki kecakapan dan kewibawaan untuk memimpin, maka tidak salah (atau dapat dibenarkan) kalau wanita dipilih dan diangkat sebagai pemimpin. Dengan demikian, terhadap hadis di atas harus dipahami secara kontekstual, sebab kandungan petunjuknya bersifat temporal.

Disini perlu dipertanyakan, kenapa Abu Bakra terdorong menggali ingatan dan berusaha keras mengingat kembali perkataan Rasul Allah yang pernah beliau ucapkan sekitar 25 tahun silam? Rincian pertama yang harus dicatat, dan ini tidak mungkin diabaikan, bahwa Abu Bakra meriwayatkan hadis ini pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib [memerintah 656-661] ketika merebut kembali kota Basrah, setelah mengalahkan A’isyah [istri Nabi, hidup sekitar 614-678 M] dalam Perang Unta (Jamal). Pada saat itu, keadaan A’isyah yang terlibat dalam perang keadaannya sangat kritis, dan secara politik ia telah kalah: 13.000 pendukungnya gugur di medan pertempuran.

Ditinjau dari segi momen historis pengungkapan hadis ini, secara tidak langsung Abu Bakra memberikan pembenaran terhadap hadis  ini atas keterlibatan wanita, dalam hal ini Aisyah, dalam persolan-persoalan politik dan pemerintahan. Artinya, dari kenyataan historis ini semakin memberikan legitimasi bahwa wanita memang tidak layak berperan dalam bidang politik dan pemerintahan.

 Kritik Sanat Hadis

Apabila konteks historis sebuah hadis telah jelas, evaluasi secara kritis terhadap hadis tersebet bisa dilakukan dengan kaidah-kaidah metodologis yang telah didifinisikan oleh para ulama sebagai dasar-dasar verifikasi. Menurut Imam Malik, tidak memadai bahwa sesorang yang pernah hidup bersama Rasul Allah serta-merta dapat dijadikan sumber hadis. Akan tetapi, diperlukan juga pertimbangan-pertimbangan lain, sehingga memungkin untuk dikatakan: “orang-orang pelupa harus diabaikan.” Bagaimana mungkin mereka bisa dianggap sebagai sumber pengetahuan (hadis), jika mereka tidak memiliki kapasistas intelektual yang diperlukan?

Namun, kelemehan ingatan dan kapasitas intelektual bukan hanya satu-satunya kriteria untuk mengevalusasi perawi hadis. Kriteria yang penting justru adalah moral. Imam Malik menyatakan: “Ada beberapa orang yang saya tolak sebagai perawi hadis, bukan karena mereka berbohong dalam perannya sebagai seorang berilmu dengan menyampaikan hadis-hadis palsu yang tidak pernah dikatan oleh Rasul Allah saw. Akan tetapi, semata-mata karena saya melihat mereka berbohong dalam hubungan dengan sesamanya, dalam hubungannya sehari-hari yang tidak berkaitan dengan ilmu keagamaan.”

Jika kaidah ini diterapkan kepada Abu Bakra, dengan segera ia bisa disingkirkan, karena salah satu biografinya menyebutkan bahwa ia pernah dihukum cambuk oleh Khlaifah Umar Ibn Kahttab [memerintah 634-644] karena memberikan kesaksian palsu. Ini berkaitan dengan kasus yang sangat serus yang dilaksanakan Umar, menyangkut tuduhan zina. Hukuman mati bagi pezina hanya bisa diterapkan jika terdapat empat orang saksi mata yang melihat perbuatan zina itu dengan mata kepala sendiri dan pada saat yang bersamaan. Jika hanya terdapat tiga orang yang melihat tertuduh in flagrante delicto (tertangkap basah), kesaksiaan mereka tidak absah. Sementara itu, saksi yang memfitnah seseorang dengan menuduhnya melakukan tindakan kriminal zinah akan dikenakkah hukuman dera (cambuk) karena memberikan kesaksian palsu.

Kemudian, apa yang terjadi dalam kasus Abu Bakra? Ia menjadi salah seorang dari empat saksi mata yang datang menghadap Umar untuk secara resmi membuat tuduhan zinah terhadap seseorang Sahabat dan politikus terkemuka, Mughirah bin Syu’bah [w. 670]. Keempat saksi mata menyatakan kesaksian mereka di hadapan Umar, bahwa mereka melihat al-Mughirah bin Syu’bah melakukan perzinahan. Umar mulai memeriksanya, dan ternyata satu dari empat orang saksi mata itu mengaku bahwa ia tidak terlalu yakin dengan segala sesuatu yang dilihatnya. Keragu-raguan salah satu sakasi ini, menyebabkan yang lainnya didera karena memfitnah, termasuk Abu Bakra.

Kalau seseorang mengikuti prinsip-prinsip mazhab Maliki, kedudukan Abu Bakra sebagai sumber hadis harus ditolak oleh setiap Muslim pengikut Maliki yang baik dan berpengetahuan. Oleh karena itu, sikap ulama fiqh pada abad-abad pertama, terhadap hadis misoginistik (kebencian pada wanita), yang sekarang disampaikan secara suci serta tak terbantahkan. Meskipun hadis ini dinilai sahih oleh al-Bukhari dan lainnya, ternyata ia banyak diperdebatakan. Kaum fuqaha tidak sepakat terhadap pemakaian hadis tersebut bertalian dengan masalah wanita dan politik.

Tidak diragukan lagi, banyak yang menggunakan hadis ini sebagai argumen untuk menggusur kaum wanita dari proses pengambilan keputusan. Namun banyak pula yang lainnya, yang menyimpulkan bahwa argumen tersebut sama seklai meragukan dan tidak berdasar. Al-Tabari adalah salah satu dari para otoritas religius yang menentang argumen itu, karena tidak cukup mendapat alasan untuk merampas kemampuan pengambilan keputusan dari kaum wanita, dan tak ada alasan untuk melakukan pembenaran atas mengucilan mereka dari kegiatan politik. Begitu pula, tidak ada alasan yang kuat untuk tidak membolehkan seorang wanita menjadi pemimpin.

Kritik Matan Hadis

Ditinjau dari segi matannya, hadis ini tidak sejalan dengan al-Qur’an. Maka ketika sebuah hadis bertentangan dengan al-Qur’an, tentu saja al-Qur’an yang harus diterima. Karena dalam sistem sumber hukum Islam, al-Qur’an adalah sumber Islam yang pertama, sedangkan al-Hadis adalah sumber hukum Islam kedua. Memang di dalam al-Qur’an ada ayat: “ Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi wanita, disebabkan Allah telah melebihkan sebagian dari mereka atas sebagian yang lain, dan juga kerena kaum lekai-laki menafkahkan sebagian harta mereka.”

Ayat tersebut sekilas memberikan pengertian bahwa wanita tidak boleh menjadi pemimpin atas lekai-laki dalam bidang apapun. Pemahaman semacam ini tentu saja tidak dapat diterima, karena siapapun yang membaca kelanjutan ayat tersebut akan mengerti bahwa kepemimpinan yang dimaksud dalam ayat itu adalah kepemimpinan seorang laki-laki di dalam rumahnya dan diantara kelaurganya.

Sebelum mengungkapakan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakra tersebut, dapat dipastikan bahwa Rasul Allah saw. telah membacakan surah al-Naml di depan umum ketika beliau masih berada di Mekkah. Rsul Allh saw. tentu saya tidak lupa kalau beliau telah menceritakan kepada mereka (sahabatnya) tentang Bilqis, ratu negeri Saba` yang telah mimpin rakyatanya menuju kesusksesan dengan kecerdasan, kearifan dan kewibawaannya. Sungguh mustahil bahwa Rasul Allah  saw. akan membuat suatu keputusan dalam sebuah hadis beliau, yang jelas-jelas bertentangan dengan isi wahyu yang telah diturunkan kepadaanya.

Kerajaan ratu Bilqis meliputi daerah yang amat luas, sebagimana dilukiskan oleh burung Hud-hud: “Aku telah menjumpai seeorang wanita yang memerintah mereka dan dia dianugrahi segala sesuatu serta memilki singgasana yang besar…” [al-Naml: 23]. Ketika Nabi Sulaiman mengiriminya surat agar memeluk agama Islam, serta melarangnya bersipat angkuh dan keras kepala, Ratu Bilqis tidak segara menjawabnya. Ia bermusyawarah dengan para pembesar kerajaan. Mereka segera mendukungnya dalam keputusan apapun yang akan diambilnya. Kata mereka: “Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan juga keberanian yang besar. Namun keputusan berada di tangan anda, maka pertimbangkanlah apa yang akan anda perintahkan.” [al-Naml:33]

Wanita yang bijak itu tidaklah terkelabui oleh kekuatan ataupun kepatuhan bangsanya kepadanya. Ia berkata: ”Sebaiknya kita uji Sulaiman ini terlebih dahulu agar kita mengetahi, apakah ia seorang diktator yang selalu mengejar kekuasaan dan kekayaan ataukah ia seorang nabi yang menyeru kepada keimanan dan misi yang dibawanya?” Pada saat ia berjumpa dangan Nabi Sulaiman, Ratu Bilqis tetap menunjukkan kecerdasan dan kearifannya dalam menyelidiki segala segi kehidupan Sulaiman, apa yang dikehendakinya dan apa yang akan dilakukannya. Sehinggga jelas baginya bahwa Sulaiman memang benar-benar seorang nabi yang saleh.

Ratu Bilqis pun teringat akan surat Nabi Sulaiman yang dikirimkan kepadanya: “Sesungguhnya surat itu dari Sulaiman dan sesungguhnya ia (ditulis) dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Jangalah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.” [al-Naml:30-31].

Kemudian Bilqis memutuskan untuk menanggalkan kemusyrikannya dan memeluk agama Allah seraya beraka: “… Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan kini aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam.” [al-Naml”44].Apakah gagal kaum yang menyerahkan urusan negara mereka kepada seorang wanita, seperti Ratu Bilqis?Makanya, hadis seperti itu tidak selayaknya dipahami secara harfiah, tetapi harus ditafsirkan demi menghilangkan kontardiksi antara ayat al-Qur’an dan Hadis tersebut. Juga demi menghilangkan kontradiksi antara Hadis dan fakta histories.

Mā Tawfiq wa al-Hidayah illā bi Allāh, Wa Allāh  a‘lam bi al-Ṣawāb

 *Alimuddin Hassan Palawa
(Direktur &Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UINSuska Riau).
21. Raja Ali Haji: Pahlawan Nasional Lewat Kalam

21. Raja Ali Haji: Pahlawan Nasional Lewat Kalam

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

“Segala pekerjaan pedang itu boleh dibuat dengan kalam adapun pekerjaan kalam itu tiada boleh dibuat dengan pedang dan beberapa ribu dan laksa pedang yang sudah terhunus dengan segores kalam  jadi tersarung.” (Raja Ali Haji, “Bustan al-Kātibīn”)

———-

Perjuangan yang diupayakan oleh Pemerintah Kota Tanjung Pinang khususnya dan Masyarakat (Kepulauan)  Riau umumnya untuk mengusulkan pengangtkatan Raja Ali Haji sebagai Pahlawan Nasional telah membuahkan hasil setelah ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2004. Kini Raja Ali Haji telah mengikuti jejak kakeknya, Raja Haji dan dua tokoh pejuang Melayu lainnya, Tuanku Tambusai dan Sultan Syarif Qasim II yang sebelumnya  telah diangkat menjadi Pahlawan Nasional dari Negeri Lancang Kuning, Bumi Melayu-Riau.

Akan tetapi, dibandingkan dengan tiga pahlawan nasional sebelumnya, pengangkatan Raja Ali Haji memiliki makna yang berbeda, yaitu diangkat lewat “kalam” bukan karena “pedang”. Jasa Raja Ali Haji kepada bangsanya adalah lewat kalamnya, sebagaimana ia gaungkan dalam Gurindam Duabelas-nya, “Hendaklah berjasa kepada sebangsa”. Begitu pula pemerintah yang mengusulkan Raja Ali Haji sebagai Pahlawan Nasional telah “menyicil” untuk menjadi “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya”. Begitu pula, pemerintah berupaya untuk mengamalkan himbauan Raja Ali Haji, “Jika hendak mengenal orang berbangsa, lihat pada budi bahasa”.

Makanya, ketika membaca tentang pengusulan Raja Ali Haji jadi pahlawan nacional oleh pemerintah kota Tanjung Pinang kepada pemerintah pusat (29 Maret 2004), saya bergumam: “gagasan cerdas sekaligus unik dan menarik”. Disebut cerdas karena gagasan ini menggeser untuk tidak mengatakan  “menyalahi”, defenisi konvesional term pahlawan. Selama ini, term pahlawan didefinisikan sebagai sosok-figur yang gagah berani dan/atau berjasa dalam membela dan mempertahankan negara dari serangan musuh/penjajah (dari luar). Artinya, defenisi semacam ini stressing point-nya lebih pada perjuangan fisik (jihad) serta beroreintasi pada “kekuatan pedang”. Sebaliknya, gagasan pengusulan Raja Ali Haji jadi pahlawan nasional  membuat definisi pahlawan bergesar dan lebih menitik-beratkan  pada perjuangan secara non-fisik (ijtihad) serta beroreintasi pada “kekuatan kalam”.

Kelanjutan dari di atas, disebut “sekaligus unik” karena, sepanjang pengetahuan penulis, selama ini penganugrahan gelar pahlawan nacional kepada seseorang melulu dengan pertimbangan jasa besarnya dalam “kekuatan pedang.” Sebaliknya, lagi-lagi, sejauh yang penulis ketahui, penganugrahan gelar pahlawan nacional kepada seseorang dengan pertimbangan jasa agungnya dalam “kekuatan kalam” tidak/belum pernah ada. Dan tambah  pula, keunikan itu jatuh pada anak jati diri figur intelektual lMelayu-Riau, Raja Ali Haji.

Disebut “menarik” karena dewasa ini defenisi konvensional term pahlawan dengan “kekuatan pedang” semakin menyempit ruangnya karena musuh yang akan dihadapi oleh negara/bangsa bukan lagi serangan musuh dari luar secara fisik. Maka kalau definisi ini dipertahankan dalam konteks kekinian dan, niscaya lambat-laun akan kehilangan relevansi dan salah-salah bisa out to date.

Sebaliknya, definisi alternatif term pahlawan dengan “kekuatan kalam” untuk kurun waktu mendatang akan semakin meluas ruangnya karena musuh yang akan dihadapi adalah penetrasi budaya dari luar yang sangat mungkin bertentangan dengan budaya luhur Melayu kita. Maka definisi term pahlawan semacam ini di masa-masa mendatang niscaya akan semakin relevan dan up to date.  Artinya, dalam menghadapi musuh yang disebut belakangan ini tidak bisa dilawan dengan “kekuatan pedang”, tetapi harus dihadapi dengan “kekuatan kalam”.  

Lewat dengan “kekuatan kalam”  itulah Raja Ali Haji memainkan peran yang sangat signifikan semasa hidupnya. Keterlibatannya dalam masyarakat di kerajaan Melayu-Riau memang terlihat sangat intens, misalnya terlihat dari pesannya yang arif untuk senantiasa mencermati dan menyesiasati gejala-gejala keruntuhan yang sedang mengancam masyarakat di kerajaan Melayu Riau pada abad ke-19. Makanya, Raja Ali Haji selalu memposisikan dirinya berperan sebagai “moral guardian” dan “the spiritual patronge of Malay World”, yaitu sebagai penjaga dan melindung moralitas-spritual komunitas bangsanya.

Kemudian, menurut Raja Ali Haji, ancaman tersebut berasal dari dua penjuru: pertama, dari dalam, berasal dari perselisihan di kalangan orang-orang Melayu yang dapat menimbulkan perang suadara antara mereka. Kedua, ancaman dari luar, berasal dari agresi Belanda dan budaya Barat yang tidak sesuai dengan ajaran agama dan adat-budaya Melayu. (Tradisi Johor-Riau, 1987:  xvi-xvii). Dari point kedua ini Raja Ali Haji kembali menekankan ancaman dari luar berupa panetrasi budaya Barat untuk konteks dewasanya ini yang perlu mendapat perhatian.

Untuk point pesan internalnya, Raja Ali Haji semasa hidupnya acap kali  memperingatkan agar masyarakat Melayu dapat mengekang hawa nafsu, dan seyogyanya merenungkan akibat yang ditimbulkan dari perselisihan diantara mereka itu. Karenanya, ia tidak bosan-bosannya untuk menganjurkan agar masyarakat selalu memperhatian rasa malu (rendah hati), memuliakan ilmu (pengetahuan), dan mengutamakan akal (nalar).  Karena tanpa memiliki sifat dan sikap seperti itu, menurutnya, adalah pangkal awal dari keruntuhan negeri (Kitab Pengetahuan Bahasa).

Begitu pula, untuk point pesan eksternalnya,  Raja Ali Haji semasa hidupnya sudah merasakan bahwa masuknya kebudayaan Barat dan nilai-nilai yang tidak Islami, jelas menimbulkan tantangan bagi masyarakat Melayu. Peran untuk mengelaminir dan melakukan filterisasi inilah yang selalu diwanti-wantikannya. Ia meyakini bahwa perubahan terhadap adat-budaya tradisional akan berakibat kerusakan pada masyarakat serta mempercepat pengikisan nilai-nilai lama yang luhur.  Pengikisan nilai-nilai luhur itu telah mulai tampak, misalnya masuknya budaya Barat yang tidak sesuai dengan budaya Melayu Riau melalui Singapura turut mempercepat proses pengikisan nilai luhur tersebut, termasuk di bidang bahasa. 

Raja Ali Haji menyakani bahwa perhatian sungguh-sungguh terhadap tata bahasa adalah penting guna memperoleh ucapan yang tepat dan ungkapan yang halus. Karenanya,  Raja Ali Haji, sebagai seorang ahli bahasa dan budaya, mengambil peran sebagai pembina bahasa dan pemelihara budaya. Dalam memelihara budaya, terlebih dahulu yang dibenahi adalah infrastruktur kebudayaan itu sendiri. Maka, ia mendahulukan perbaikan bahasa Melayu dengan menulis buku tata bahasa, Bustanul al-Katibin (ditulistahun 1857) dan digunakan dengan sukses pada sekolah-sekolah di Johor dan Singapura.

Raja Ali Haji memperlihatkan gagasannya mengenai makna penting bahasa dalam tradisi Islam. Dan pada waktu yang bersamaan ia mengungkapkan pemikirannya tentang hubungan yang jalin-berkelindan antara bahasa dan moralitas(Putten, “On Sex, Drug, and Good Manner”, 418).bahasa dan pesan ilmu agama, seperti ia maktupkan dalam “Muqaddimah” Bustān al-Kātibīn: “Adab dan sopan itu daripada tutur kata juga asalnya, kemudian barulah kepada kelakuan. apabila berkehendak kepada menuntut ilmu dan berkata-kata yang beradab dan sopan, tidak dapat tidak  mengetahuilah dahulu ilmu yang dua iaitu ilmu wa l-kalam…”. Kalimat Raja Ali Haji ini berlanjut dengan kalimat yang dikutip di awal tulisan ini.

Dua tahun menjelang, figur pemikir Melayu ini, melengkapinya dengan menulis kamus bahasa Melayu, Kitab Pengetahuan Bahasa dimaksudkan guna membimbing mereka yang berkeinginan menambah pengetahuan bahasa, agama dan prilaku yang benar.  (U.U. Hamidi, 1988: 63).  Dengan kata lain, Raja Ali Haji memberikan uraian materi panjang terhadap sejumlah kata tertentu karena ia mengharapakan agar kata itu dapat dipahami secara tepat dan benar, sekaligus memberikan pengajaran terhadap adat-istiadat, nilai-nalai moral dan agama bagi masyarakat pembacanya. (Putten dan Al-Azhar, Di Dalam Berkekalan Persahabatan, 109; Andaya dan  Matheson, “Islamic Thought and Malay Tradition”, 113).

Upaya Raja Ali Haji untuk memberikan makna dan penjelasan secara mufassar dalam Kitab Pengetahuan Bahasa menjadi relevan dengan tuntutan zamannya. Dalam pandangannya, kalau penggunaan bahasa Melayu tidak dijelaskan dengan baik dan jelas, cepat atau lambat, masyarakat Melayu akan salah dalam penggunaan bahasanya. Pada waktu hidupnya saja, ia sudah melihat ada kecenderungan keliru dalam penggunaan bahasa Melayu, dan ini tentu saja disesalkan Raja Ali Haji, misalnya meniru bahasa Inggris dan Belanda. Pengabaian bahasa Melayu berarti pengabaian tradisi dan adat istiadat yang telah tertanam dalam masyarakat, sehingga tak terelakkan akan menghancurkan susunan dunia dan kerajaan. (Andaya dan Matheson, “Islamic Thought and Malay Tradition”, 122).

Dengan kedua karyanya dalam bidang bahasa dan budaya ini,  Bustān al-Kātibīn dan Kitab Pengetahuan Bahasa pada “Festival Istiqlal” di depan Simposium, “Islam dan Kebudayaan Indonesia: Dulu, Kini dan Esok”, Abdul Hadi W.M. menyebut Raja Ali Haji adalah bapakTata Bahasa Melayu modern. Malah tidak salah/tidak berlebihan kalau melihat perjuangan dalam membina bahasa ia digelari “Raja Ali Haji Sebagai Bapak Bahasa Indonesia”, sebagaimana tertera dalam judul buku yang mengiringi penganugerahan Pahlawan Nasional kepadanya.

Lewat kedua karya ini, memberikan petunjuk bagaimana sikap  Raja Ali Haji dalam menghargai bahasa dan budaya.Karena menurutnya, “jika hendak mengenal orang berbangsa; lihat kepada budi dan bahasa. ”Sekaligus ini merupakan bukti keinginannya untuk membantu masyarakat yang ingin hidup saleh dan bersikap sesuai dengan tradisi-budaya Melayu. Karenannya, Hasan Junus menjadi benar ketika menjuluki Raja Ali Haji Budayawan di Gerbang Abad XX, sebagimana tertera dalam buku monumentalnya.

Upaya Raja Ali Haji dan “lingkaranya”, meminjam istilah Al Azhar, serta generasi-generasi berikutnya dalam memelihara dan membina bahasa Melayu Riau telah melapangkan jalan terbentuknya bahasa nasional, bahasa Indonesia. Menurut U.U. Hamidi, upaya Raja Ali Haji dalam membina dan memelihara bahasa Melayu Riau ini,  “bagaikan mengapak dan menarah, sehingga akhirnya mempunyai bentuk dan dasar yang baik. Konteks ini penaring dan penting untuk mengutip pernyataan Muhammad Hatta:

“Pada permulaan abad 20 ini bahasa Indonesia belum dikenal. Yang dikenal sebagai lingua franca ialah bahasa Melayu Riau. Orang Belanda menyebutnya Riouw Meleisch. Ada yang menyebutkan berasal dari logat sebuah pulau kecil yang bernama Pulau Penyengat dalam lingkungan pulau Riau.”(Kutipan ini semula terambil dari Mohammad Hatta, “Dari Bahasa Melayu ke Bahasa Indonesia, dalam Pelangi (Kenangan 70 Tahun Sutan Takdir Alisjahbana (Jakarta: Akademi Jakarta TIM, 1979; Lihat, Hasan Junus dan Tim Penulis, Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji Sebagai Bapak Bahasa Indonesia (Pekanbaru: UNRI Press, 2004: 71).

Upaya pengembangan bahasa Melayu menjadi bahasa tulis, menurut Nurcholish Madjid, “terjadi dengan menggunakan fasilitas huruf Arab yang dengan sendirinya sudah merupakan bagian dari kekayaan atau rujukan kultural sebuah kekuasaan Islam. Bahasa Melayu dengan huruf Jawi itu kemudian menyebar ke seluruh Nusantara, dan dengan terlebih dahulu menjadi pola utama kebudayaan di daerah-daerah pesisir Selat Malaka, baik sisi Sumatera maupun sisi Semenanjung.”

Belakangan, selama rentang abad ke-19 bahasa Melayu sebagai bahasa sastra dan bahasa tulis dengan fasilitas huruf Arab-Jawi semakin berkembang yang  menurut Nurcholis Madjid, puncaknya terwujud  di Riau, dan Pulau Penyengat sebagai Pusat denyut nadinya di bawah binaan intelektual Muslim Melayu-Riau, Raja Ali Haji dan generasinya.

Kemudian, setelah bahasa Melayu itu menjadi bahasa kebangsaaan (bahasa Indonesia) maka upaya pembinaan bahasa  itu hanyalah bagaikan mengetam.” Dengan begitu, tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa tanpa upaya “pengetaman”  Raja Ali Haji dan “lingkarannya”  itu, maka “Sumpah Pemuda” boleh jadi tidak/belum  diikrarkan tahun 1928. Atau setidak-tidaknya, bahasa Indonesia belum menjadi bahasa kebangsaan, lantaran generasi bangsa saat ini baru pada tahap “mengapak”, dan belum sampai pada tahap “mengetam”. 

Maka kalau melihat perjuangan Raja Ali Haji dalam membina bahasa dan/atau membela budaya Melayu pada khususnya, dan membela kebenaran pada umumnya lawat “kekuatan kalam”, sangatlah tepat kalau anugerah gelar Pahlawan Nasional disandangnya. Dan sekurang-kurangnya, dengan penganugrahan gelar Pahlawan Nasional ini, bangsa ini membayar kesalahannya, tidak lagi –meminjam ungkapan U.U. Hamidi– “hilang jasa kapak oleh jasa ketam”.

Dengan melihat peran Raja Ali Haji dalam bidang bahasa dan budaya, penulis ingin mengutip ungkapan Hasan Junus yang, meskipun secara langsung tidak ditujukan kepada figur penyair-intelektual Alam Melayu ini, tetapi sangat tepat dan jitu untuk menggambarkan sosok dan peran Raja Ali Haji dalam masyarakatnya:

“Seorang cendikiawan senantiasa bergelut dengan idea-idea, lalu menuntun masyarakat ketempat yang sesuai dengan konsep “bahasa” dan kebudayaan Melayu yang mencakup arti akal dan budi pekerti. Tanpa lidah yang fasih ia akan mendapatkan kesulitan menjelaskan gagasan yang hendak ditawarkannya secara jernih dan berkesan. Tanpa hati yang bersih, jangan-jangan masyarakat yang dituntunya itu dapat terbawa kearah kerusakan dan keruntuhan.”(Hasan Junus,  Raja Ali Haji Budayawan, 106-107).

Dengan lidah fasih-resonansif, diiringi dengan kalan tajam-produktif; akal cerdas mengajari dalam balutan hati suci-jernih mengilhami, Raja Ali Haji menuntun, dan sekaligus menjadi teladan masyarakatnya menuju jalan yang “lurus” selaras dengan ajaran agama dan adat/budaya Melayu yang luhur dan agung. Jalan benar dan lurus telah ditapaki dan ditunjuki langsung oleh Raja Ali Haji ini tidak saja berlaku bagi generasi pada masa dan setelahnya, tetapi tetap relevan hingga kini. Bahkan apa yang telah diupayakan Raja Ali Haji semasa hidupnya tetap memiliki resonansi mundial sampai di masa sekarang. Tegasnya, ungkapan jitu dari  Abdul Hadi W. M., bahwa Raja Ali Haji, “… bukan sekedar produk dari zamannya, tetapi adalah hati nurani dan suri tauladan utama bagi bangsanya.” (Abdul Hadi W. M., “Raja Ali Haji: Ulil Albab…”, 283).

Akhirnya, dalam melihat aktifitas intelaktualnya, agaknya, Raja Ali Haji setuju dengan pendapat imam al-Ghazali bahwa “kalam lebih berkuasa dari pada seribu pedang”. Dengan redaksi yang kreatif dan elaboratif, di dalam Muqaddimah Bustan al-Katibun, Raja Ali Haji bertutur dengan indahnya, sebagaimana dikutip di awal tulisan ini. Maka tepatlah kalau Raja Ali Haji kita juluki “Pahlawan Nasional Sebagai Bapak Bahasa Indonesia LewatKalam”.

 Mā Tawfiq illā bi Allāh,

Wa Allāh  a‘lam bi al-Ṣawāb

 

*Alimuddin Hassan Palawa,
(Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies]
UIN Suska Riau).
20. TRANSMISI FILSAFAT HELLENISME (4): Penerjemahan Pada Masa Dinasti Abbasyiah di Baghdad

20. TRANSMISI FILSAFAT HELLENISME (4): Penerjemahan Pada Masa Dinasti Abbasyiah di Baghdad

Oleh Alimuddin Hassan*

 

Kecenderungan praktis dan pragmatis penerjemahan karya tertentu, seperti ilmu astrologi dan kedokteran, sebagaimana disebutkan sebelumnya,bukanlah semata-mata monopoli pemerintahan Dinasti Umayyah. Akan  tetapi,kenyataan ini juga berlaku pada pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Bahkan kecenderungan pada astrologi yang, sepertinya “irrasional”, misalnya mempercayai gerak-gerak dan posisi bintang juga menjadi kecenderungan sejumlah khalifah pada masa Dinasti Abbasyiah.

Demi keperluan apa yang disebut di atas, maka pada masa khalifah Harun al-Rasyid, oleh karenanya, sejumlah buku-buku tentang astrologi diterjemahkan, misalanya naskah Quadripasrtituskarya Ptolemi. Harun al-Rasyid dan sejumlah khalifah Dinasti Abbasyah selalu meminta pandangan para astrolog untuk memabaca “masa depan” kekuasaan mereka. (C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, 2002: 38). Khalifah al-Ma’mun sendiri yang terkenal kental rasionalismenya juga menggunakan jasa advis astrologi dalam mengambil keputusan strategis,sebagaimana penuturan Majid Fakhri:

“Pergolakan politik yang menyebabkan jatuhnya Bani Umayyah dan naiknya Dinasti Abbasyiah sebagai penggantinya menyakinkan di kalangan Dinasti Abbasyiah bahwa rahasia nasib manusia dan jatuh-bangunnya kerajaan berlaku dengan pasti menurut perhintungan bintang, dan hanya orang-orang  bijaklah yang mempu memahaminya. Dari sinilah bermula muncul hasrat yang kuat untuk memahami dan menerjemahkan karya-karya kuna berkenaan dengan astrologi.Bahkan khalifah-khalifah yang sangat rasional sekalipun, seperti al-Ma’mun tidak luput dari ketergantungan pada perhitungan bintang-bintang tersebut.Ia tidak saja mengangkat seorang astrolog sebagai pembantunya, tetapi ia juga tidak dapat melakukan gerakan militer dan kebijakan politik yang penting tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan astrolog tersebut.” (Lihat, Majid Fakhri, A History of Islamic Philosophy: 8).

Dari kutipan di atas, selain ilmu kedokteran, nyata betul bahwa ilmu astrologi memiliki arti peting, khususnya dalam menjalankan roda pemerintahan dan kekuasaan. Arti penting ilmu astrologi di sini seiring dengan kecendrungan dan godaan universal bagi penguasa untuk tetap mempertahan kekuasaan (wa mulkun la yablâ). Karenanya, sebagaimana disebutkan Majid Fakhry di atas, kehadiran astrolog-astrolog di lingkungan  istana menjadi sangat diperlukan oleh khalifah –termasuk khalifah seperti al-Ma’mun– untuk memberikan “nasehat” dalam rangka mengambil keputusan-keputusan penting yang menentukan nasib dirinya dan menyangkut eksistensi kekhalifahan Dinasti Abbasyiah secara keseluruhan.

Pada masa Bani Umayyah penerjemahan warisan ilmu dan filsafat Hellensime masih bersifat individual-personal dan/ataubelum merupakan sebuah gerakan. Sementara pada era pemerintahan Dinasti Abbasyiah, khususnya periode-periode awal, dan terlebih-lebih pada masa pemerintahan al-Ma’mun,penerjemahan sudah bersifat kolektif-komunal dengan melibatkan banyak ilmuan dan penerjemah. Dengan kata lain, penerjemahan pada masa Disnati Umayyah tidak lebih sebuah proyek kecil.  Sebaliknya pada masa Dinsati Abbasyiah penerjemahan sudah merupakan suatu proyek besar-besaran. (Chales M. Santon, Higher Learning in Islam: 65).

Lebih lanjut, upaya penerjemahan tersebut merupakan sebuah gerakan yang terpadu dan sistematis serta langsung di bawah patronase penguasa. Di bawah perlindungan para khalifah Dinasti Abbaysiah, khususnya pada masa pemerintahan al-Mansur, al-Rasyid dan al-Ma’mun dapat dikatakan puncak aktifitas penerjemahan. Aktivitas penerjemahanpada masa Dinasti Abbasyiah berlangsung sekitar 100 tahun, yaitu antara tahun 750 hingga 850.

Adalah khalifah al-Mansur yang memulai gerakan penerjemahan secara gencar pada masa awal Dinasti Abbasyiah. Kesan umum yang dapat diperoleh mengenai al-Manshur bahwa ia berminat sekali pada karya-karya ilmiah dan filosofis. Untuk itu, ia memberikan dukungan dan perlindungan pada kegiatan penerjemahan. Meskipun demikian, berhubungan dengan langkanya para ahli dan sarjana serta karena masih kurangnya bahan-bahan ilmiah dan filasafat Hellemisme-Yunani yang dapat diperolah, sehingga proses penerjemahan pada masanya tidak mendapat kemajuan sesuai harapankanya. (Majid Fakhri, A History of Islamic Philosophy: 19).

Ada riwayat yang menyebutkan bahwa ketika al-Manshur bertahun-tahun menderita sakit, ia meminta untuk mendatangkan dokter dariJundisapur.Reputasi Jurjis Bukhtyshu’ sebagai dokter  sangat mumpuni itu terdengar oleh khalifah.  Oleh karenaya, ia meminta agar dokter Kristen terkenal itu dijemput untuk datang ke istananya. Keberhasilan menyembuhkan penyakit khalifah al-Mansur, kemudian Jurjis bin Bakhtaisyu’ diangkat menjadi kepala tim dokter istana, hingga wafanya al-Mansur.

Akan tetapi, setelah lanjut usia Jurjis kembali lagi ke Jundisapur dan kedudukanya digantikan oleh keturunanya (anaknya), Gabrel Bakhtyshu’. Anakanya iniberkhidmat pada masa khalifah al-Mahdi, di si samping ia juga berkerja di istana wazir Ja’far al-Barmaki dan, bahkan hingga masa khalifah al-Makmun, nantinya.Belakangan, keturunan keluarga ini menjadi keluarga medis paling penting dalam dunia Muslim. Dan anggota keluarganya terus-menerus menjadi dokter terkemuka hingga akhir abad ke-11 M). (Lihat, Phillip K. Hitti,  History of the Arab, 309; Ahmad Fuad al-Ahwani,  Filsafat Islam: 43).

Sebelum kepindahan Jurjis Bakhtyisu’ di Baghdad, ia selama beberapa lama menjadi kepala rumah sakit dan pusat medis di Kota Jundisapur. Belakangan, keturunan-keturuanan dan mahasiswa-mahasiswaJurjis Bakhtyisu’ di Jundisapur melawatdan berdomisili Baghdad. Mereka secara langsung telah membuat organik antara perguruan dan pusat medisdi Jundisapur dan di Baghdad. Dengan kata, kepindahan Jurjis Bakhtyisy’, keturunan dan mahasiswa tersebut dapat dikatakan merupakan awal proses  mengalihkan pusat medis dari Jundisapur ke Baghdad.(Lihat, Seyyed Hossen Nasr, Nasr, Science and Civilization in Islam, 193; Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, 43; Philip K. Hitti, History of the Arab, 309; Frans Rosenthal, The Classical Heritage in Islam: 1975: 6). 

Sementara penerjemahan sedang berlangsung, disadari oleh para  sarjana dan ahli penerjemah itu bahwa sedemikian besar dan kayanya warisan filsafat dan ilmu pengetahuan Hellenisme-Yunani yang harus diupayakan penerjemahannya. Maka di antara mereka mengusulkan kepada khalifah al-Ma’mun untuk mengorganisir aktifitas penerjemahan dalam skala lebih luas dan intensif. (W. Montgemory Watt,  Islamic Philosophy and Theology, Chicago: Edinburgh University Press, 1962: 41).

Pada masa Dinasti Abbaysiah warisan Yunani-Hellenisme yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Syiriah yang dilakukan oleh orang Kristen Nestorian dan pagan dari Mesopotamia tersedia cukup melimpah. Selain itu, lewat penaklukan di daerah-daerah perbatasan Byzantium, manuskrip-manuskrip tambahan adalah merupakan bagian dari  kekayaan dibawa pulang ke Baghdad. Didorong oleh hasrat  begitu kuat untuk mempelajari warisan pengetahuan Hellenisme-Yunani, para khalifah disebut  sebelumnya, bila tidak memperolah naskah-naskah dengan cara penaklukan, maka mereka membelinya dari musuh mereka, khusunya naskah-naskah dari Byzantium di Konstantinopel. (Chales M. Santon, Higher Learning in Islam: 65).

Kemudian, penerjemahan menemui momentumnya ketika  al-Ma’mun mengambil kebijakan untuk mendirikan Bayt al-Hikmah (“Gedung Hikmah”). PendirianBayt al-Hikmahitu sendiri dimaksud dengan tiga fungsi  kombinasi, yaitu lembaga penerjemahan, akademi dan perpustakaan. Artinya, dengan tiga peran ini menjadikan lembaga Bayt Hikmahbenar-benar penyokong  kota Baghdad sebagai marcusuar ilmu pengetahuan dan filsafat di dunia. Disebut-sebut bahwa Bayt Hikmah merupakan lembaga pendidikan yang terpenting artinya  setelah Musium Iskandaria  didirikan  pada pertengahan pertama abad ke-3 SM (Phillip K. Hitti,  History of the Arab, 310).

Untuk menyediakan dan melengkapi kepustakaan Bayt al-Hikmah yang baru didirikan itu dengan karya-karya ilmiah dan filsafat, al-Makmun mengirim utusan ke Byzintium untuk mencari dan memperoleh buku-buku “pelajaran kuno”. Kemudian buku-buku tersebut diserahkan kepada sekelompok sarjana untuk diterjemahkan. Termasuk dalam kelompok ini terdapat sejumlah nama sangat terkenal, seperti Yahya bin Musawayh (guru Hunain ibn Ishak) –sebelumnya juga mengabdi kepada khalifah al-Mansur dan Harun– diangkat al-Ma’mun sebagai Direktur Bayt al-Hikmah segera setelah didirikannya. Bersama dengan beberapa penerjemah terkenal lainnya, seperti al-Hajjaj bin Muthar, Yahya bin Bithriq dan Salim, sekaligus disebut-sebut sebagai pengurus Bayt al-Hikmah. (Majid Fakhri, A History of Islamic Philosophy: 24).

Pada saat itu,Bayt al-Hikmah selain sebagai pusat penerjemahan juga dipergunakan sebagai tempat untuk mempelajari sekaligus menyebarkan teologi, kususnya teologi Mua’tazilah, dan filsafat secara umum. Pimpinan lembaga ini, misalnya  mengundang sejumlah ilmuan dan sarjana dari berbagai daerah untuk berdebat dan berdiskusi di antara mereka dalam semua lapangan ilmu pengetahuan, khususnya menyangkut tentang agama, teologi dan filsafat serta ilmu-ilmu kealaman.(Charles M. Santnton, Highere Learning in Islam: 75).

Khalifah al-Mak’mun sendiri sebagai sebagai penganut teologi rasional Mu’tazilah disebut-sebut terlibat secara intens dalam diskusi-diskusi. Al-Ma’mun menguasi berbagai pemikiran dalam filsafat yang menjadi perdebat dalam diskusi-diskusi. Bahkan di antara sedikit khalifah dalam Islam, al-Ma’mun juga menulis beberapa karya terkait masalah-masalah filsafat yang muskil. ((C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, 2002: 38)

Dari sekian banyak penerjemah pada masa itu yang paling terbesar dan berjasa adalah Hunain ibn Ishak (Johannitus Onan, sebagaimana ia dikenal di Barat pada abad pertengahan). Hunain bukan saja sebagai seorang penerjemahan yang pandai dan lihai, tetapi ia juga salah seorang di antara  dokter-dokter  masyhur pada zamanya. Lebih jauh, bagaimana peran tokoh ini dalam proses aktivitas penerjemahan, Nasr memaparkan:

“Dibantu oleh kemanakannya, Hubaisy dan anaknya Ishak, Hunain sering menerjemahkan teks dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Syiria dan menyerahkan penerjemahan dari bahasa Syiriah ke bahasa Arab yang dilakukan oleh mahasiswa dan khususnya Hubaisy. Pada waktu itu, ia memeriksa terjemahan akhir dan membandingkannya dengan teks Yunani aslinya. Kadang-kadang ia menerjemahkan langsung dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab.”

Lebih lanjut, Nasr memamarkan prihal Hunain ibn Ishak: “Dengan cara begitu, Hunain dan perguruannya membuat banyak terjemahan bagus, termasuk 95 karya Galen ke bahasa Syiriah dan 99 buah ke bahasa Arab. Pada masa itu memang masih ada penerjemah masyhur lainnya, tetapi tidak seorangpun dari tokoh-tokoh tersebut yang dapat menandingi Hunain. Keahlian Hunain sebagai penerjemah dan juga sekaligus sebagai dokter, membuatnya pantas dipandang sebagai seorang di antara tokoh-tokoh utama sejarah medis Islam.” (Lihat, Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam: 195).

Dalam pandangan para ilmuan berbahasa Arab menyebutkan bahwa terjemahan dilakukan pada masa-masa awal dari segi gramatika terkadang janggal dan sulit dimengerti. Karenanya, Hunain dan timnya berupaya untuk menerjemahkan ulang (Michael M. Stanton, Higher Learning in Islam: 66-67).  Sebagian hasil terjemahan masa awal banyak bersifat harfiah dan tidak akurat. Untuk itu, perlu direvisi guna menangkap makna lebih tepat dan akurat.  Akan tetapi, biasanya terjemahan semacam ini terjadi pada karya terjemahan dari versi bahasa Syiria, dan bukan pada karya terjemahan langsung dari bahasa asilnya, Yunani (Watt, Islamic Philosophy and Theology, 82). 

Penerjemahan dilakukan oleh Hunain Ibn Ishak beserta timnya menandai tahap  penerjemahan yang sangat menentukan. Begitu pula timbulnya perhatian baru dalam tingkat kecermatan dan keseksamaan yang baik, mengharuskan untuk menerjemahkan kembali naskah-naskah ilmiah dan filsafat yang telah dilakukan sebelumnya. (Majid Fakhri,  A History of Islamic Philosophy: 25). Untuk kepiawaian dan keahlian itu Hunain ibn Ishak digaji sebesar 500 dirham perbulan. Begitu pula, al-Ma’mun  membayar para penerjemah dalam bentuk emas seberat buku ia  diterjemahkan. (Phillip K. Hitti, History of the Arab: 113). 

Dalam proses dan kesemarkan penerjemahan pada masa Dinasti Abbasyiah, penerjemahan tidak saja dilakukan oleh khalifah secara resmi. Akan tetapi, di kalangan masyarakat tertentu timbul kesadaran untuk berpartisipasi aktif dalam proses penerjemahan tersebut. Keluarga Banu Musa misalnya, diriwayatkan menyumbang banyak uang dalam proses penerjemahan naskah-naskah warisan Yunani-Hellenisme. Banu Musa, sebagaimana para khalifah Dinasti Abbasyiah, mengutus orang-orang ke Bizantium untuk membeli naskah-naskah Yunani-Hellenisme seberapapun harganya, dan mengupah para sarjana untuk menerjemahkannya.

Demikian berkembangnya penerjemahan pada era Dinasti Abbasyiah, khususnya pada masa al-Ma’mun dengan Bayt al-Hikmah-nya. Sedemikian rupa maraknya penerjemahan era ini, sehingga jumlah karya-karya Yunani hasil terjemahan dalam bahasa Arab begitu luar biasa, dan sangat melimpah. Pada akhir abad kesembilan hampir semua karya yang diketahui dari musium-musium Hellenistik telah tersedia bagi ilmuan-ilmuan Muslim dalam bahasa Arab.

Dari kondisi seperti itu, kota Baghdad benar-benar menjadi mercusuar ilmu pengatahun dan pusat peradaban anak manusia selama berabad-abad lamanya. Dari situasi kondusif seperti itulah pada tahun-tahun berikutnya dunia Islam melahirkan sedemikian banyak filosuf dan ilmuan diseluruh bidang keilmuan. Dunia Islam telah berhasil melahirkan “karya” mencengangkan Dunia Barat yang pada waktu itu baru belajar mengeja namanya.

Wa Allāh a‘lam bi al-awāb

Mā tawfīq wa al-Hidāyah illā  bi Allāh

 

*Alimuddin Hassan Palawa,
(Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies]
UIN Suska Riau).
19. TRANSMISI FILSAFAT HELLENISME (3): Dinasti Umayyah dan Arab Bahasa Resmi Negara

19. TRANSMISI FILSAFAT HELLENISME (3): Dinasti Umayyah dan Arab Bahasa Resmi Negara

Oleh Alimuddin Hassan

 

Pada mulanya arus utama pemikiran Yunani-Hellenisme masuk  ke dunia Islam bukannya melalui manuskrip dan sumber-sumber asli dari Yunani-Hellenisme itu sendiri. Akan tetapi, masuknya pemikiran tersebut melalui hasil terjemahan dilakukan oleh ilmuan dan serjana Kristen, Yahudi, Persia kedalam bahasa Syiria. (Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam,63). Meskipun belakangan,tentu saja ada banyak juga manuskrip-manuskrip berbahasa Yunani langsung  diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Untuk keperluan penerjemahan warisan Yunani_Hellenismekedunia Islam pada periode-periode berikutnya tidak terlalu berarti kalau pemerintahan Islam pada masa Dinasti Umayyah tidak menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara. Upaya mengganti bahasa dari bahasa Persia, Yunani dan Syiria kepada bahasa Arab ini terjadi menjelang akhir abad ketujuh (MajidFakhri, A History of Islamic Philosophy: 17). Dengan kebijakan ini, penerjemaham dan pengembangan ilmu dan filsafat di dunia Islam menjadi lebih semarak, dan kelak mencapai puncak keemasannya pada masa Dinasti Abbasyiah.

Begitu pula urutannyabila kita surut ke belakang, upaya Dinasti Umayyah untuk menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara, dan pada gilirannya menjadi bahasa ilmu pengetahuan dalam penerjemahan, sepertinya sulit tercapai sekiranya ‘Ali bin Abi Thalib –kira-kira 20 tahun sepeninggalan Rasul Allah– tidak menganjurkan agar umat Islam mempelajari sastra arab pada umumnya. Dan lebih spesifik Ali bin Abi Thalib memerintahkan para ahli bahasa untuk meletakkan kaidah-kaidah bahasa Arab. Ali bin Abi Thalib berpandangan bahwa masyarakat memerlukan ilmu tersebut karena bermamfaat dalam mengelaborasi pengetahuan dan pemahaman agama umat Islama.

Walaupun pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib disebukkan dengan sejumlah peperangan, tetapi ia dan generasinya tidak menjadikan aral untuk tidak membentuk kaidah-kaidah dalam  membina bahasa Arab. Artinya, tanpa upaya “mengapak”, dan bahkan sekaligus “mengetam” yang dilakukan oleh ahli-ahli bahasa Arab  atas anjuran Ali bin Abi Thalib, maka upaya untuk menjadi bahasa Arab sebagai bahasa resmi, pada gilirannya menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa ilmu dan agama, khususnya dalam kepentingan penerjemahan, kemungkinan besar  akan mengalami kendala dan keterlambatan.

Selain itu, pada masa pemeritahan Dinasti Umayyah sejumlah khalifahnya memuliakan kedudukan ilmu-ilmu sastra, meninggikan kedudukan para penyair dan ahli-ahli agama. Dengan demikian, pada akhir kekuasaan Dinasti Umayyah bermuculanlah sejumlah ulama dari berbagai bidang keilmuan. Dalam bidang fiqh yang melahirkan berbagai macam mazhab, misalnya empat empat mazhab yang paling masyhur, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.

Begitu pula, pada masa Dinasti Umayyah muncul perdebatan-perdebatan teologis, sehingga melahirkan ilmu kalam dengan derivasi alirannya masing-masing. Dalam perdebatan teologis ini berkembanglah paham Qadariyah,  Jabariah dan Murji’ah. Dan dalam  ilmu kalam  itu tersebutlah aliran-aliran pemikiran, seperti Asy’ariyah, Maturidiyah dan Mu’tazilah.

Dalam perdebatan-perdebatan teologis tersebut, terutama  aliran kalam Mu’tazilah mengambil metode filsafat Yunani-Hellenisme yang rasional. Dengan begitu mendorong orang-orang Mu’tazilah untuk mempelajari filsafat warisan dari Yunani-Hellenisme. Pada gilirannya kencenderungan pada ilmu dan metode rasional tersebut turut pula  mendorong dimulainya upaya penerjemahan pada akhir abad pertama Hijriyah. (Lihat, Syaikh Muhammad Abduh, Islam Ilmu Pengetahauan,  dan Masyarakat Madani, 2005: 143-144.

Meskipun pergantian bahasa itu awalnya lebih dimaksudkan untuk kepentingan politik dan administratif. Namun, tidak ayal lagi, belakangan sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan dan kesemarakan upaya-upaya penerjemahan warisan Yunani-Hellenisme baik langsung (dari bahasa Yunani) ataupun tidak langsung (lewat bahasa Syiria) ke dalam bahasa Arab. Pergantian berbagai bahasa tersebut dengan bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara menandai usaha pertama pemerintahan Islam untuk menunjukkan keunggulan literer mereka, sebagaimana halnya keunggulan militer dan politik mereka  atas bangsa-bangsa yang ditaklukannya selama ini.

Sulit untuk dipastikan apa motivasi dan latar belakang pergantian bahasa tersebut. Akan tetapi, ada keterangan (dan inipun hanya disinyalir) bahwa pergantian bahasa asing ke dalam bahasa Arab, apakah disebabkan oleh rasa iri atau bukan umat Islam terhadap monopoli yang dipertahankan orang-orang non-Islam (terutama umat Kristen dan Yahudi) sebagai pegawai-pegawai khalifah. Namun, yang pasti dari segi pertimbangan praktis pun pergantian itu merupakan suatu keniscayaan. (Majid Fakhri, A History of Islamic Philosophy, 17).

Tanpa kebijaksanaan menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi, sepertinya sulit untuk mengharapkan penerjemahan dalam bahasa Arab yang “melimpah” sebagaimana terjadi pada masa Dinasti Abbasyiah, dan persisinya pada era pemerintahan khalifah al-Ma’mun. Begitupun, sekiranya bahasa Arab tidak dijadikan sebagai bahasa “tunggal”, dan penerjemahan itu tidak “terkonsentrasi” kedalam bahasa Arab, maka besar kemungkinan sarjana-sarjana dan ahli penerjemah dengan latar belakang beragam (bahasa dan agama) besar kemungkinan akan menerjemahkan warisan Yunani-Hellenisme tersebut tidak dalam bahasa Arab, tetapi dalam bahasa lain sesuai dengan kecenderungan mereka masing-masing.

Belakangan, dengan kebijakan menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara, menurut George Sarton, bahasa Arab benar-banar memainkan peran yang sangat penting dan utama. Dengan begitu, bahasa Arab menjadi bahasa ilmu pengetahuan internasional, dan sulit untuk mencari tandingannya. Kenyataan ini diungkapkan oleh Mehdi Nekosteen:

 “Bahasa Arab merupakan bahasa sains internasional, sedemikian hebatnya sehingga tidak akan dapati ditandingi oleh bahasa lain kecuali bahasa Yunani, dan itu pun tidak akan pernah dapat terulang sampai kapan pun. Bahasa Arab bukan merupakan bahasa satu kaum, satu bangsa, tetapi merupakan bahasa dari beberapa kaum, bangsa dan agama.”(Mehdi Nakosteen, Konstribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, viii).

Pada periode awal, masa dinasti Umayyah, kegiatan penerjemahan dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan praktis dan kecenderungan-kecenderungan pragmatis. Misalnya, pada masa ini penerjemahan hanya dilakukan pada bidang tertentu, yaitu bidang kedokteran dan astrologi (astronomi). Kedua bidang ini memang mempunyai nilai praktis (untuk keperluan sehari-hari) dan nilai prgamatis (untuk tujuan-tujuan tertentu) dalam hidup ini, khususnya bagi khalifah dalam mempertahankan kekuasannya.

Sementara warisan pemikiran Yunani bersifat abstrak dan filosofis baru dilakukan pada berkembangan dekade berikutnya. Kecenderungan praktis dan pragmatis itu pada tahap dini  dapat dilihat pada pribadi Khalid bin Yasid  –putra (kedua) mahkota Umayyah urung menjadi khalifah. Menurut Ibn al-Nadim, sebagaimana dikutip Majid Fakhry, atas kegagalan Khalid bin Yasin jadi khalifah, ia beralih mempelajari kimia, astrologi dan kedokteran.

Pada masa khalifah Marwan (683-685) penerjemahan karya ahli kedokteran Monofosit Iskandariah dan ahli kedokteran Yahudi diterjemahkan. Karya-karya bidang kedokteran ini memperoleh reputasi yang sangat tinggi di kalangan orang-orang Syiriah. Dan tidak pelaak lagi, kedua karya ini merupakan terjemahan dalam bidang kedokteran yang paling dini ke dalam bahasa Arab. (MajidFakhri, A History of IslamicPhilosophy, 17).

Kendatipun bersentuhan dengan tradisi filsafat dan teologi Hellenisme, Bani Umayyah tetap tidak begitu berminat untuk mamajukan kajian filsafat dan teologi. Demi mempertahan kekuasaan, Bani Umayyah menyebarkan suatu doktrin simplistis yang memberi jastifikasi  dan  legalisasi bagi stabilatas dan kelanggengan kekuasaannya. Bani  Umayyah membuat tafsir teologis tunggal bahwa hak atas pemerintahan dan kekuasaan adalah berasal dari Tuhan.

Bani Umayyah sepertinya enggan untuk memperkenalkan sistem hukum agama yang akan mengurangi dan merongrong kekuasaan mereka. Bani Umayyah juga tidak begitu tertarik untuk menafsirkan al-Qur’an dan al-Sunnah yang merumitkan bagi dirinya. Khalifah Dinasti Muawiyyah memandang kalau hal itu dilakukan kemungkinan menjadi ancaman bagi kekuasannya. (Chales M. Stanton, Higher Learning in Islam, 64).

Setelah penaklukan Demaskus dan pembangunannya sebagai ibukota propinsi Syiria (dan kemudian menjadi ibukota pemeritahan Bani Umayyah) telah terjadi interaksi antara budaya Arab denganYunani-Hellenisme yang ada di kota ini. Karenanya, selama abad ketujuh, pemerintahan Bani Umayyah mengandalkan komunitas ilmuan dan sarjana dari kota-kota tetangga, Nisbis, khususnya untuk mendapatkan dokter.

Dokter-dokter beragama Kristen secara bergantian menjadi langganan istana selama pemerintahan Bani Umayyah. Di samping sebagai dokter biasanya mereka juga berperan sebagai penasehat bagi penguasa. Sadarakanpentingilmuitu secara praktis dan pragmatisbeberapa di antara   kepada sarjana Kristen tersebut untuk menerjemahkan karya-karya kedokteran dari bahasa Syiria kedalam bahasa Arab. Kegiatan ini terjadi sejak tahun 638; dan sekaligus menandai awal penerjemahan warisan Yunani tentang karya-karya kedokteran di masa Dinasti Umayyah.

Seperti disebutkan di atas kecenderungan awal begitu kuat untuk menerjemahan karya-karya kedokteran demi pertimbangan praktis dan pragmatis. Ini dapat dipahami bahwa kedokteran berkaitan dengan sehat-kehidupan dan sakit-kematian seseorang. Seorang penguasa, apalagi untuk terus dapat bertahan di kursi/tampuk kekuasaannya, maka yang paling ditakuti adalah “sakit”. Untuk tetap sehat diperlukan dokter yang terus dapat mengontrol bagaimana kesehatan sang penguasa (tanpa bermaksud menafikan kekuasaan/kehendak Tuhan tentang ajal seseorang).

Begitu juga dalam bidang astrologi (astronomi) penerjemahan dilakukan lantaran adanya doktrin dari agama-agama Timur yang menganggap bintang-bintang ebagai alat untuk mengurai alam suprnatural. Gerakan bintang-bintang tersebut dapat digunakan untuk menafsirkan bagaimana kehendak Tuhan. Karenanya, timbul hasrat kuat untuk mengetahui astrologi (“posisi dan gerak bintang”). Sikap pandang ini sekaligus mendorong usaha penerjemahan bidang ilmu tersebut pada pemerintahan Bani Umayyah. (Charles M. Santon,  HigherLearning in Islam: 64).

Ada yang menyebutkan –sebagai sebuah cacatan—bahwa terdapat perbedaan signifikan antara astrologi dan astronomi sebagai sebuah disiplin keilmuan. Kalau yang disebut pertama cenderung mengandung unsur-unsur ramalan, sepintas tidak mencerminkan unsur ilmiah padanya, dan sulit dipertanggungjawabkan sebagai sebuah disiplin keilmu-pengetaahuan. Sehingga astrologi lebih banyak dipergunakan pada awal-awal perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam.

Sebaliknya, term keilmuan astronomi yang dipergunakan belakangan, merupakan disiplin ilmu yang relatif  “bersih”  dari unsur ramalan dan mitos-mitos. Begitu pula, ilmu astronomi dengan sendirinya lebih dapat dipertanggungjawabkan dari segi keilmiahnnya. Sehingga dewasa ini kita lebih sering menggunakan term astronomi ketimbang kata astrologi.

Transmisi warisan ilmu dan filsafat dari Yunani-Hellenismelewat aktifitas penerjemahan ke dunia Islam pada masa Dinasti Umayyah memang masih pada tarap awal. Dan dapat dikatakan bahw aktifitas penerjemahan pada masa ini masih bersifat perorangan, dan belum bersifat massif; atau belum menjadi proyek besar. Akan tetapi, Dinasti Umayyah telah memberikan dua konstribusi yang sangat berarti bagi pengembangan aktitifitas penerjemahan pada masa Dinasti Abbasyah, kelak.

Pertama, bahwa Dinasti Umayyah telah menunjukkan minat kuat pada warisan intelektual Hellenisme, khususnya ilmu astrologi dan kedokteran. Kedua, bahwa Dinasti Umayyah telah menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara, sekaligus menjadikan bahasa Arab sebagai satu-satunya bahasa dalam pengembagan ilmu dan agama, termasuk dalam aktifitas dalam penerjemahan.

Kedua, sumbangsih Dinasti Umayyah tersebut sangat berarti dalam “melicinkan” jalan penerjemahan yang akan ditempuh oleh Dinasti Abbasyiah. Tanpa peran Dinasti Umayyah itu, khususnya telah menjadikan bahasa Arab sebagai satu-satunya bahasa yang dipergunakan oleh negara, maka niscaya penerjemahan pada masa Abbasyiah akan mengalami keterlabatan. Bahkan boleh jadi kita sama sekali tidak pernah menyaksikan maraknya penerjemahan, dan sekaligus urung menjadikan kota Baghdad sebagai pusat marcusuar ilmu dan peradaban manusia.

Wa Allāh a‘lam bi al-awāb

Mā tawfīq wa al-Hidāyah illā bi Allāh

 

Alimuddin Hassan Palawa,
(Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau)

PENGUMUMAN LOMBA VIDEO NARASI PERDAMAIAN “Persatuan diatas Keberagaman”

Lomba Video Narasi yang diselenggarakan oleh Institute for Southeast Asian Islamic Studies pada 01 Agustus  2020 Hingga 20 September 2020 diikuti oleh 13 peserta yang sangat luar biasa. Pada hari ini telah masuk pada pengumuman hasil. Kami sangat mengapresiasi seluruh peserta yang berpartisipasi karena  telah bersusah payah mendedikasikan diri lewat narasi-narasi hebatnya serta tekhnik-tekhnik yang sangat baik dalam pembuatan Video. 

Berikut Hasil Keputusan dari perdebatan panjang dari para Juri lewat berita acara yang ditanda tangani:

  

Maka dengan sangat berbangga hati Kami berikan Selamat kepada Para Pemenang semoga kedepannya tetap mengkampanyekan perdamaian dimanapuin berada dan selalu aktif menghasilkan karya-karya yang lebih baik lagi untuk Indonesia yang lebih baik. dan kepada peserta yang belum beruntung, kami harap agar tidak berkecil hati tetap semangat dan selalu berusaha menjadi yang terbaik. 

Demikian dari kami, kurang dan lebihnya kami minta maaf. 

Wassalam. 

Pekanbaru, 02 Oktober 2020

Hormat Kami, 

Direktur ISAIS

(Dr. Alimuddin Hassan)

18. TRANSMISI FILSAFAT HELLENISME (2): Dari Yunani – Iskandaria-Syiria-Jundisapur ke Islam

18. TRANSMISI FILSAFAT HELLENISME (2): Dari Yunani – Iskandaria-Syiria-Jundisapur ke Islam

Oleh: Alimuddin Hassan Palawa,

Jauh sebelum datangnya agama Islam,  daerah-daerah (kota-kota), seperti Iskandaria (Mesir), Demaskus, Antioka dan Ephesus (Syiria), Harran (Mesopotamia dan Jundisapur) sudah sangat dikenal. Kota-kota tersebut secara berganti-gantian telah menjadi pusat pengembangan filsafat dan ilmu pengetahuan Hellenisme warisan dari Yunani kuno selama berabad-abad. Kota Iskandaria pada abad ketiga SM. merupakan kota pertama penyemaian serta sekaligus menjadi pusat dan marcusuar filsafat dan ilmu pengetahuan warisan Yunani kuno.

Kota Iskandaria atau sering pula disebut dengan ejaan “Aleksandaria” didirikan oleh Iskandar Agung –murid filosuf  “guru pertama”, Aristoteles– dari Macedonia. Nama kota ini diambil dari nama pendirinya, Iskandar Agung (Alexander the Great).  Iskandar Agung tidak saja mengharagai ilmu pengetahuan dan filsafat serta agama-agama berbagai bangsa, malah ia juga menganjurkan para tentaranya untuk kawin dengan wanita-wanita Persia dan India. Berkat jiwa ketebukaannya itu kota yang didirikannya segera menjadi pusat ilmu pengetahuan bagi peradaban umat manusia. (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: xxvi).

Dalam kondisi seperti inilah kota Iskandaria menjadi titik pertemuan Hellenisme dengan pengaruh dari Timur dan Mesir kuno. Kota Iskandaria memiliki kekayaan terpenting dan paling berharga, yaitu perpustakaan. Perpusataan ini dipenuhi jenis buku-buku ilmiah dari berbagai disiplin dan cabang ilmu pengetahuan yang ada pada saat itu. Dalam perpustakaan ini untuk pertama kalinya umat manusia mengumpulkan dengan penuh kesungguhan dan sistematis pengetahuan apapun tentang dunia ini (Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: xxvi).

Sementara itu kegiatan keilmuan di kota Iskandaria pada umumnya, dan perpustakaan Iskandaria pada khususnya sangat semarak. Dari kegiatan itu, misalnya, muncul konsep tantang “cosmos”   dalam bahasa Yunani berarti “harmonis”, kebalikan dari “chaos” artinya “kekacauan”. Dan mereka menyebut alam raya ini “cosmos” karena, menurut mereka, alam raya dalam keserasian. Dari kajian tersebut melahirkan sejumlah ilmuan dan ahli  dengan hasil penemuannya masing-masing, seperti diungkapkan oleh Carl Sagan, sebagaimana dikutip oleh Nurcholish Madjid:

“Kemudian Iskandaria tampil banyak ahli ilmu pengetahuan yang lain, seperti Hipparchus yang mencoba membuat peta konstelasi bintang-bintang dan mengukur tingkat cahaya bintang-bintang itu; lalu Euclidus, penemu sebenarnya ilmu ukur atau geometri; kemudian Dionysius, yang meneliti organ-organ suara manusia dan meletakkan teori tentang bahasa; Herophlius, ahli ilmu faal atau fisologi yang menegaskan bahwa organ berpikir manusia bukanlah jantung seperti saat itu diyakini, melainkan otak; Heron, penemu rangkaian roda gigi dan mesin uap kuna, pengarang buku Automata, sebuah buku pertama tentang robot; Apollonius, yang meletakkan teori tentang bentuk-bentuk melengkung seperti elips, parabola dan hiperbola; Archimedes, genius mekanik yang terbesar sebelum Leonardo de Vinci; Ptolemy, seorang yang meskipun teorinya tentang alam raya ternyata salah (geosentris) namun semangat keilmuannya banyak memberi ilham.” (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, xxvi-xxvi).

Kesemarakan pengkajian ilmu pengetahuan di kota Iskandaria pada abad keempat berada dibawah “bayang-bayang kegelapan” karena di kalangan Gereja Kristen sedang melakukan konsolidasi diri dan berusaha untuk mengikis budaya dan pengaruh paganisme. Beberapa ilmuan dicurigai dan diawasai, dan bahkan pada akhirnya, di antara mereka ada yang dibunuh. Salah satu korbannya, misalanya ialah seorang wanita bernama Hypetia yang, tidak saja pintar (ahli matematika dan astronomi) tetapi juga teramat cantiknya, dibunuh dengan sangat sadis dan menyedihkan; lalu dibakar bersama perpustakaan yang dimilikinya pada tahun 415.

Hypetia dilahirkan pada 370 Masehi. Carl Sagan menuturkan, sebagaimana dikutip oleh Nurcholish Madjid, bahwa wanita ini menolak semua lamaran dari lak-laki kerena ia ingin mengabdikan dirinya dan mencurahkan perhatinnya sepenuhnya kepada ilmu pengetahuan. Tetapi cita-cita dan hasrat muliannya itu tidak dapat berlanjut karena pada usia 45 tahun ia dicegat oleh segerombolan kaum fanatik Kristen dalam perjalanan ke perpustakaan. Dia diturunkan dari kereta kudanya, lalu dibunuh dengan cara mengelupasi dagingnya dari tulangnya kemudian dibakar bersama apa yang dia miliki. (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, xxviii).

Tidak lama sesudah itu, perpustakaan Iskandaria yang hebat itu pun juga tidak luput dari sikap picik dan fanatisme agama. Dan atas perintah Uskup Agung Iskandaria, perpustakaan Iskandaria yang hebat itu dibakar habis berserta isinya. Dengan peristiwa itu, menarik sekali menyimak pengandaian Carl  Sagan, berikut ini:

“… kalau saja perpustakaan Iskandaria tidak menjadi korban fanatisme agama, tradisi keilmuannya terus berlanjut, maka barangkali Eistein sudah tampil lima abad yang lalu. Atau mungkin  malah seorang Einstein  tidak (perlu)  pernah ada, sebab perkembangan ilmu pengetahuan  integral dan menyeluruh sudah terjadi. Dan mungkin pada abad dua puluh Masehi ini, sedikit saja orang yang tinggal di bumi  karena sebagian besar  telah menjelajah dan mengoloni bintang-bintang dan telah beranak pinak sampai milyaran jiwa!” (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, xxx).

Awalnya warisan Yunani kuno datang dari Iskandaria –belakangan tidak kondusif lagi– lalu pindah ke Antioka dan dari sana ke Nisbis, Endessa (Ruha) dan Harran yang dibawa oleh orang-orang Nasrani aliran Monophysit dan Nestorian. Aliran Monophysit  ini berpendirian dengan mempercayai  konsep ketuhanan “trinitas”,  Tuhan (Bapak), Yesus (Anak) dan Ruh al-Qudus; dengan kata lain Lahut, Nasut dan Kalimah. Baginya ketiga unsur ketuhanan tersebut  tetap eksis (dan tetap berbeda satu dengan yang lainnya),  meskipun ketiga unsur tersebut menyatu dalam satu wujud, yaitu wujud Yesus. Kepercayan Monophysit ini  merupakan kepercayaan resmi bagi gereja, bahkan hingga dewasa ini. (Lihat, T.J. De Boer, The History of Philosophy in Islam, 11-12; Ahmad Amin, Fajr al-Islam, 125; bandingkan dengan Mohd. Sulaiman Yasin,  Pengantar Filsafat Islam (Kuala Lumpur: Dewan bahasa dan Pustaka, 1984), 229-230).

Adapaun aliran Nestorian tidak mengakui konsep ‘trinitas”. Baginya, Yesus adalah manusia yang juga sama dengan rasul-rasul terdahulu. Aliran ini  menekankan kemanusiaan Yesus dan menyatakan bahwa Yesus hanya saluran untuk menyampaikan kekuatan Ilahi, Ruh Kudus kepada umat manusia. Mislanya, aliran ini juga menolak gelar-gelar Maria sebagai “Ibu dari Tuhan”. Karena pendirian semacam itu aliran Nestorian menjadi bulan-bulanan bagi penguasa gerejani. Untuk menjaga keselamatanya mereka terpaksa hijrah kemana-mana. (Lihat, T.J. Fe Boer, The History of Philosophy in Islam, 11-12; lihat juga, Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam the Classical Periode, A.D. 700-1300 (Rawman & Littlefield Publishers, Inc., 1990), 54).

Aliran Nasrani yang disebut terakhir ini sangat berjasa dalam menyebarkan filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani. Mereka sanga berperan dan bearjasa, khusus sebagai penerjemah dari bahasa Yunani ke bahasa Syiria. Mereka tersebar diberbagai negeri (kota) ke arah Timur hingga Persia. (Lihat, Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam: 30-31). Akan tetapi, hingga abad keenam Masehi kota Iskandaria tetap menjadi marcusuar filsafat dan ilmu pengetahuan (Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam: 36).

Penyebaran warisan dari Yunani kuna hingga keberbagai negeri (kota) disebabkan beberapa faktor. Pertama, selama abad pertama kelahirannya, agama  Kristen mendapat perlakuan yang tidak baik dan adil serta tidak diterima oleh penguasa kekaisaran Romawi. Bahkan hingga tiga abad kelahirannya, agama Kristen terlibat dalam perseteruan dengan filsafat Yunani (dengan filosuf pagan) dan kota Iskandaria menjadi pentas pertarungan itu (Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, 38).

Atas peristiwa itu, karenanya, secara umum banyak umat Kristen   yang meninggalkan kota Iskandaria. Bahkan umat Kristen aliran Nestorian khususnya juga dikejar-kejar karena pendirian keimanan mereka berbeda dengan paham resmi dianut oleh gereja dan negara. Di samping itu, juga disebab oleh penganiayaan tentara Kristen Byzantium yang menaklukan Iskandaria, sehingga mereka memindahkan sekolah-sekolahnya dari Iskandaria ke Antioka dan kemudian ke Harran, yaitu wilayah sebelah selatan Endessa dan dekat Nisbis. (Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam: 54-55).

Kedua, faktor lain yang menyebabkan penyebaran filsafat dan ilmu pengetahuan keberbagai negeri (kota), yaitu karena sikap benci kaisar Romawi terhadap warisan dari Yunani kuno tersebut. Puncak dari sikap semacam itu, misalnya ketika kaisar Justianus (tahun 529),  atas nama (pemahaman sempit) agama dan demi pertimbangan ekonomis, menutup musium Athena (pelanjut dari filsafat Athena) yang telah beroperasi selama satu mellenium. Kaisar yang tidak tahu menghargai arti penting filsafat dan ilmu itu, tidak saja  menutup musium itu tetapi juga menghancurkan apa yang terdapat dalamnya.

Sementara itu, ia juga menyatakan bahwa filosof dan ilmuan-ilmuan pagan tidak dibenarkan mengajar di perguruan-perguruan di Athena.  Sebelumnya pun gaji mereka sebagai tenaga pengajar tidak dibayarnya (Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam, 54-55). Pada urutannya, para filosuf dan ilmuan pagan tersebut diusir dari perguruan-perguruan di Athena. (Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam: 39).

Setelah agama Kristen mengalami kemenagan melawan  paganisme,  kemudian Kaisar Yustianus melarang pengajaran-pengajaran filsafat di Athena. Kaisar juga melakukan tekan-tekanan terhadap filosuf dan ilmuan, sehingga banyak di antara mereka yang lari (diusirari sejumlah filosuf dan ilmuan). Dari sejumlah filosud dan ilmuan yang melarikan diri itu tujuh orang (beraliran Neo-Platonisme) di antaranya lari ke Jundisapur (Persia). Di sana mereka diterima dengan baik oleh Kaisar Anusyirwan, dimuliakan serta ditempatkan  pada kedudukan terhormat.

Belakangan di antara filosuf dan ilmuantersebut ada yang masuk agama Kristen itu,  kemudian menulis buku tentang Neo-Platonisme dengan diberi corak kekristenan, seperti karya Deynesus, mengaku murid Paulus. Dalam bukunya ia menerangkan rahasia-rahasia ketuhanan dan tingkatan alam malaikat. Pada akhirnya, karyanya ini menjadi bagian dari ajaran dasar agama Kristen. Lihat,  T.J. De Boer, The History of Philosophy in Islam: 14; Ahmad Amin, Fajr al-Islam: 129).

Akhirnya para filosuf berpindah ke Byzantium, kemudian ke Mesopotamia utara dan belakangan di Jundisapur. Di kota yang disebut belakangan ini para filosuf dan ilmua pagan bergabung dengan ilmuan-ilmuan Kristen Nestorian. Mereka bersatu dalam alam intelektual bebas yang menghargai kajian-kajian terhadap filsafat dan sains, tanpa mendapatkan halangan–halangan doktrinal. (Charles Michael Stanton,  Higher Learning in Islam, 54-55).

Sementara itu, sebelum kedatangan para filosuf dan ilmuan dari Athena, kota Jundisapur sejak tahun 260 (abad ketiga) mulai menjadi pusat kajian fislafat dan ilmu (khususnya ilmu kedokteran) Yunani.  Kota Yundisapur berasal dari nama pedirinya, yaitu panglima Persia bernana Sabur. Panglima perang Persia ini memimpin perang melawan serbuan tentara dari Romawi pada abad ketiga. Dalam pertempuran dahsyat tersebut tentara Persia di bawah pimpinan panglima Sabur mampu mengalahkan tentara Romawi, dan mereka dijadikan tawanan perang.

Untuk menampung tawanan perang yang jumlahnya jukup banyak tersebut, Panglima Sabur kemudian memindahkan mereka ke sebuah tempat dekat Tustur, sebuah kota  di Arabistan (Iran). Tempat itu kemudian dinamainya Jundisapur, artinya “pemusatan pasukan Sabur”. Dan dalam tawanan tersebut banyak terdapat ilmuan dari berbagai disiplin keilmuan yang belakangan mengembangkan kota Jundiasapur sebagai pusat ilmu. (Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam:  39).

Kondisi ke arah pengembangan Jundisapur kota peradaban ditopang oleh banyaknya serjana-serjana (arsitektur dan kedokteran) yang turut menjadi  tawanan perang. Kemudian lambat laun Jundisapur menjadi kota metropolis, pusat sains  yang dipelajari dalam bahasa Yunani dan Sangsekerta, dan kemudian dalam bahasa Syiria. Dalam kota Jundisapur didirikan perguruan-perguruan menurut model perguruan di Iskandaria dan Antioka. Dan di perguruan ini diajarkan ilmu kedoteran, metematika, astronomi dan logika.

Kebanyakan teks pelajaran  dari bahasa Yunani itu diterjemahkan dalam bahasa Syiria. Di samping itu, dimasukkan juga unsur-unsur sains dari India dan Persia sendiri. Perguruan-perguruan ini berlanjut sampai jauh setelah dinasti Abbasyiah berdiri. Pada saatnya, perguruan-perguruan itu merupakan lembaga dan sumber penting filsafat dan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam, khususnya kota Baghdad. (Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam: 31).

Prihal hubungan antara kota Baghdad dan kota Jundisapur, Majid Fakhri menyatakan: “Kala itu, perguruan Jundisapur dengan fakultas kedokteran, akademi dan observatoriumnya mencapai puncak ketenarannya dan tetap berkembang dengan subur di saat kota Baghdad didirikan oleh khalifah Abbasyiah pada tahun 727. Mengingat Jundispur berdekatan dengan kota Baghdad maka hubungan secara politis dengan khalifah Abbasyiah sangat dekat. Akibatnya, dari perguruan inilah perkembangan ilmiah dan intelektual merambah ke seluruh kekuasaan Muslim. Sejak dini dalam pemerintahan Islam, Jundisapur telah menyumbang kepada khalifah di Baghdad sejumlah dokter-dokter istana, misalnya sejumlah Nestorian, seperti keluarga Bakhtisyu’ yang masyhur, mengabdi kepada khalifah dengan setia selama lebih dua abad. (Lihat, Majid Fakhri,  A History of Islamic Philosophy: 15).

Perlu dipertegas bahwa dalam “pengembaraan” filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani kuna dari Iskandaria hingga ke Jundisapur, peranan serjana-sejarna Kristen (khususnya orang-orang Nestorian) tidak bisa dipandang remeh. Begitu pula, peran dan kedudukan orang-orang Syiria beserta bahasanya sangat signifikan. Orang-orang Kristen Nestorian dan orang-orang Syiriah telah berperan sebagai “hamzah washal” (penghubung) bagi transmisi dan peralihan filsafat Hellenisme  ke dunia Islam.

Meskipun demikan, figur-figur  era ini “hanya” berperan sebagai “hamza washal”, lantaran mereka semata-mata berperan sebagai penerjemah. Sebab sedikit sekali di antara mereka yang itu terlibat dalam melakukan pembaharuan terhadap pemikiran Hellenisme-Yunani kuno tersebut. Kalaupun mereka melakukan pembaharuan pemikiran, hanya pada masalah-masalah yang tidak sesuai dengan sistem keimanan mereka (khususnya ajaran Kristen), sehingga ia berusaha untuk mengalihkan Plato, misalnya, menjadi seorang pendeta Timur.

Penekanan arti  peran dan kedudukan penting orang-orang Syiria-Nostorian  “sebagai “hamza washal”, karena agaknya, tanpa peran mereka tersebut hampir dapat dipastikan bahwa sarjana Islam akan banyak kehilangan warisan dari Filsafat Hellenisme-Yunani. Upaya penerjemahan dilakukan sarjana Kristen dan orang-orang Syiria dari bahasa Yunani ke bahasa Syiria itu sangat penting dan berarti pada masa itu. Upaya penerjemahan dari bahasa Yunani ke bahasa Syiriah sangat mempermudah penerjemahan baik dari bahasa Yunani langsung, terutama dari bahasa Syiria ke bahasa Arab yang akan dilakukan pada masa pemerintahan Bani Abbsyiah Islam, khususnya pada masa pemerintahan al-Ma’mun dengan lembaga Bayt al-Hikmah. (Lihat, Ahmad Amin: Fajr al-Islam, 173).

Wa Allāh a‘lam bi al-awāb,

Mā tawfīq wa al-Hidāyah illā bi Allāh.

(Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies]UIN Suska Riau)