47 PERSEBATIAN MELAYU-BUGIS (2): Asal Mula Keterlibatan Dalam Kerajaan Johor-Riau

47 PERSEBATIAN MELAYU-BUGIS (2): Asal Mula Keterlibatan Dalam Kerajaan Johor-Riau

Oleh Alimuddin Hassan Palawa

 

Terbunuhnya Sultan Mahmud Syah IIyang kejam dan sadis pada 1699 menandai berakhirnya keturunan dinasti Parameswara (Kerajaan Malaka) di kerajaan Johor. Sultan Mahmud II dibunuh oleh Megat Seri Rama, seorang panglima kerajaan Melayu-Johor. Di saat Megat Seri Rama melaksanakan tugas kerajaan untuk membasmi lanun, istrinya yang sedang hamil, mengidam menginginkan buah nangka dengan mengambil seulas buah nangka untuk dihidangkan buat sultan, tentu sebelumnya lewat persetujuan penghulu kerajaan. Mengetahui hal itu, sultan sangat marah dan memerintahkan untuk membunuh dengan membelah perutnya (yang sedang hamil). Karena perlakuan sultan yang sadis tersebut, suaminya, Megat Seri Rama sangat marah dan akan menuntut balas.

Dengan mendapat persetujuan dari Bandahara, Tun Habib — yang berambisi dinobatkan menggantikan sultan, di samping memang ia mendapat dukungan dari sebagian pembesar kerajaan– dan beberapa orang di kalangan kerajaan tidak senang dengan sikap sultan yang sadis. Akhirnya, Megat Seri Rama membunuh sultan sekembalinya dari shalat Jum’at. Namun, sebelum sultan tewas, ia sempat menyarangkan kerisnya ke tubuh Megat Seri Rama, dan keduanya pun meninggal. Kisah terbunuhnya Sultan Mahmud diungkapkan dalam Tuḥfat al-Nafīs, 10; Raja Ali Haji, The Precous Gift (Tuḥfat al-Nafīs ), terj. Anotasioleh Virginia Matheson dan Barbara W. Andaya (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1982), 9; Raja Ali Haji, Silsilah Melayu dan Bugis dan Sekalian Raja-rajanya(Johor Baharu, 1954), 13; R.J. Wilkinson, “Mahmud II dan Abdul Jalil III, 1685-1720 A.D.”, dalam JMBRAS, Vol. 9, Part 1 (1931), 28-34; Leonard Y. Andaya, The Kindom of Johor, 1642-1728: Economic and Political Developments (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1975); 186-187; Tennas Effendi dan Nahar Effendi, Lintasan Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura (Pekanbaru: BPKD Riau, t.t.), 13-15.

Dengan terbunuhnya Sultan Mahmud II (1699), tanpa meninggalkan keturunan, menandai berakhirnya garis geniologis dinasti kerajaan Malaka-Johor.Kekuasaan dinasti ini berawal pada memerintah di kerajaan Melaka, berawal dari Sri Tri Buana yang, konon, adalah salah satu pangeran yang muncul di Bukit Si Guntung (Palembang). Ketika dinasti ini berpindah ke semenanjung Malaya adalah Parameswara (1390-1414) salah seorang tiga dari serangkai penguasa pertama Kerajaan Melaka. Sementara lainnya adalah Megat Iskandar Syah (1414-1412) dan Sri Maharaja (1424-1414).Ketiganya merupakan penguasa peletak dasar bagi kokohnya kerajaan Malaka. Sedangkan disebut belakangan adalah penguasa kerajaan Melaka pertama memeluk agama Islam dengan gelar Sultan Muhammad Syah. Lihat, Barbara W. Andayadan Leonard Y. Andaya, History of Malaysia (London: Macmillan, 1982), 76-78; bandingkan Wang Gungwu, “The First Ruler of Malacca”, dalam JMBRAS, Vol. XLI (1968), 22.

Berdasarkan adat, apabila keturunan raja sudah putus, turunan Bendahara menggantikannya. Dengan begitu, naiklah Bendahara Sri Maharaja Tun Habib Abdul Jalil pada waktu itu menjadi sultan dengan memakai gelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah.Sebutan “Habib” pada awal namnya sama dengan sebutan “sayyid”. Sebutan “Habib” dipergunakan kerena ia merupakan keturunan (cicit) seorang Arab Hadramaut, yaitu Sayyid al-Idris yang semasa hidupnya menetap di kerajaan Aceh. D.G.E. Hall, A History of South-East Asia (London: Macmillan & Co Ltd, 1964), 328; Tengku Lukman Sinar, “Kepahlawanan Yang Dipertuan Muda Riau Raja Haji Fisabilillah Marhom Ketapang”, dalam Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji Fisabilillah Dalam Perang Riau Melawan Belanda (1782-1784) (Pekanbaru: Pemda Tk. I Riau, 1989), 135.

Akan tetapi, belakangan Raja Kecil tampil mengklaim dirinya putra Sultan Mahnud II sebagai keturuan langsung dan pewaris sah tahta Kerajaan Malaka-Johor. Mengenai figur Raja Kecil secara lebih lengkap, lihat Muhammad Yusoff Hashim (penyelenggara), Hikayat Siak, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajar Malaysia, 1985). Begitu pula, Raja Kecil dan peranannya dalam sejarah kerajaan Johor telah banyak dibahas, misalnya Leonard Andaya telah menulis buku dan sejumlah artikel tentang dia. Lihat, Leonard Y. Andaya, The Kindom of Johor, 1642-1728(Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1975), 250-314; Artikelanya, “Raja Kechil and the Minangkabau Conquest of Johor in 1718”, JMBRAS, Vol. 45, Part 2 (1972), 51-75; lihatjuga, Timothy P. Barnard, Raja Kecil dan Mitos Pengabsahannya, terj. Aladindan Al Azhar (Pekanbaru: PPM-UIR, 1994); R. Roolvink, “The Variant Vertions of the Malay Annals”, Bijdragen tot de Taal- Land en Volkenkunde (BKI), Deel 123, (1967): 301-324; belakangan dengan artikel R. Roolvink ini diterbitkan dalam C.C. Brown, (terj.), Sejarah Melayu, Malay Annals (Kuala Lumpur: Oxford University Press), 1970.

Taufik Abdullah, “The Formation of a Political Tradition in the Malay World” dalam Anthony Reid, The Making of an Islamic Discourse in Souteast Asia (Monash University, 1993), 52-53; M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Medern 1200-2004 (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001), 158-159. Sebelum terbunuh 1699, Sultan Mahmud II mempunyai seorang gundik bernama Enchik Phong sedang hamil. Khawatir kalau gundik sultan ini juga menjadi sasaran pembalasan, maka pihak keluarganya membawa Enchik Phong ke Singapura, lalu diungsikan ke Jambi dan pada akhirnya ditempatkan di istana Pagaruyung. Di istana inilah akhirnya gundik sultan tersebut melahirkan. Anak yang masih kecil itu, oleh ibunya, dititipkan dan dibesarkan di lingkungan kerajaan (istana) Pagaruyung yang belakangan diberinama Raja Kecil. Setelah dewasa, raja Pagaruyung memberitahukan kepadanya bahwa ia adalah anak Sultan Mahmud II yang terbunuh. Dengan begitu, RajaKecik –mengaku sebagai turunan dari Sultan Mahmud II– merasa kalau ia merupakan pewaris sah dari kerajaan Melayu Johor. Lihat, Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 13-14.

Dalam mewujudkan keinginannya mewarisi tahta kerajaan Johor, Raja Kecil menyusun kekuatan di Siak untuk melakukan invasi militer.Ada sumber yang menyebutkan bahwa awalnya Raja Kecil meminta bantuan dari opu-opu Bugis –yang pada abad ke-18 menunjukkan kuasanya di perairan barat Nusantara– untuk menyerang Johor. Raja Kecik menjanjikan, kalau Johor dapat ditaklukkan, Daeng Parani akan dilantik menjadi Yang Dipetuan Muda Johor. Akan tetapi, Daeng Parani kurang berkenan, seperti diungkapan Tuḥfat al-Nafīs: “Syahdan di dalam tengah bersiap-siap itu, maka adalah opu-opu anak raja Bugis pun tiba ke Bengkalis datang daripada mengembara, maka berjumpa ia dengan Raja Kecil. Maka Raja Kecik pun mengajak opu-opu itu melanggar Johor.Makaupu-upuitu pun berfikir, maka tiadalah berkebetulan dengan timu-timunya. Maka tiadaia mahu, lalu dialihkan hendak ke Langkat, hendak mufakat dengan Bugis di Langkat. Maka tiada jadi bantu-membantu itu.”Lihat, Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs (FajarBakti, 1982), 56; Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 42; Lihatjuga, R.O. Winstedt, “A History of Selangor”, dalam JMBRAS, Vol. 12, Part 3 (1932). Sebaliknya, Hikayat Siak menyebutkan bahwa sebelum menyerang Johor, Raja Kecil bertemu denga nopu-opu Bugis dan sepakat untuk menyerang Johor. Menurut Muhammad Yusoff Hashim, Raja Ali Haji, ketika mengutip Hikayat Siak sebagai sumber-rujukannya, telah mengubah dan memanipulasi, sehingga tertera dalam Tuḥfat al-Nafīs bahwa kesepakatan/pembicaraan untuk menyerang Johor tidak pernah terjadi di antara mereka. Lihat, Muhammad Yusouf Hashim, Hikayat Siak, 63 dan 124-125.

Dengan mendapat bantuan dari orang-orang Minangkabau dan orang-orang (suku) Laut, Raja Kecil berhasil menganeksasi Johor (pusat pemerintah kerajaan Melayu Johor). Pertama, dalam merebut dan menguasai Johor, Raja Kecil mendapat sokongan dan dukungan dari raja Pagaruyung, Minangkabau. Dari bantuan Raja Pagaruyung inilah Raja Kecil mendaptkan “Cap Kuasa” yang dapat dijadikan sebagai legitimasi kekuasaan untuk memerintah orang-orang Minangkabau yang ada di pesisir laut timur Sumatra. Misalnya, Tuḥfat al-Nafīs, menyebutkan:, “Maka lalulah diberi satu cap kuasa boleh memerintah anak Minangkabau di Pasisir Laut, konon. … Maka baharu ia mengeluarkan namanya dan kuasanya dan capnya. Maka lalu mengikuti segala anak Minangkabau yang Bengkalis.Lihat, Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 56-7; Leonard Y. Andaya, “Raja Kechil and the Minangkabau Conquest of Johor in 1718”, 51-75;

Kedua, dengan tanpa bantuan dari opu-opu Bugis Raja Kecil berhasil menaklukkan Johor dengan mendapat sokongan dari orang-orang Minangkabau dan Orang Laut.Orang Laut sebelum abad ke-17 menunjukkan kesetiaan penuh dan mempunyai peran penting dalam kerajaan Johor.Ketika Raja Kecil mengklaim dirinya sebagai pewaris keturunan Sultan Mahmud II, Orang Laut mendukunya karena mereka takut ditimpa “daulat” Sultan Mahmud II. Misalnya, Tuḥfat al-Nafīs menuturkan, “Syhadan adapun Raja Kecil setelah mustaid kelangkapannya, maka ia pun menyuruh ke Kuala Johor, dan ke Singapura, akan seorang menterinya pandai memujuk dan menipu-nipu memasukkan kepada hati rakyat dengan perkataan mengatakan ini sebenar-benarnya anak Marhum Mangkat Dijulang. Sekarang ini adalah ia hendak ke Johor, hendak mengambil pusakanya menjadi raja. Maka barangsiapa rakyat yang tiada mau mengikut, nanti ditimpa daulat Marhum Mangkat Dijulangitu,…” Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 56-57.

Pengaruh Orang Laut dalam kerajaan begitu besar karena jumlah mereka sangat banyak mencapai 6.500 orang serdadu. Ada dua peranan yang dimainkan oleh Orang Laut, yaitu sebagai pendayung dan pejuang dalam angkatan perang pemerintahan Johor; dan sebagai pengawal selat Malaka dan Singapura. Pemerintah kerajaan Johor sangat menghargai peran khusus Orang Laut ini dalam menggalakkan para pedangan mendatangi pelabuhan-pelabuhan Johor dan segaligus menghambat para pesaing ekonomi kerajaan, khususnya Belanda. Tugas yang dilaksanakan oleh Orang Laut dalam kerajaan Johor dalam kurun abad ke-17 dan pada awal abad ke-18 adalah sama dengan tugas yang mereka lakukan pada zaman Sriwijaya-Palembang pada abad ke-7 hingga abad ke-14. Mereka menjaga perairan selat Malaka pada masa itu menjadi urat nadi perdagangan dunia yang paling ramai dengan melindungi atau menyerang kapal-kapal yang melintasi perairan tersebut. Lihat, Leonard Y. Andaya, The Kingdom of Johor, 49-52

Akhirnya, Raja Kecil mengembalikan kedudukan semula Sultan Abdul Jalil Riayat Syah menjadi Bendahara. Sewaktu Raja Kecil berhasil menduduki pusat kerajaan, Sultan Abdul Jalil Riayat Syah meninggalkan kota Johor dan mengungsi pada suatu tempat. Dari sana Sultan meminta tanggapan dari para menteri-menterinya dan pembesar kerajaan yang masih setia kepadanya, “Apakah kita menyerang Raja Kecil di Johor atau menyerahkan diri kepadanya?” Para menteri dan pembesar kerajaan sepakat dan mengatakan, “sebaiknya sultan menyerahkan diri.” Ketika sultan tiba kembali di Johor, ia diperlakukan dangan baik oleh Raja Kecil, seraya berkata, “Ayahnda hendak saya jadikan bendahara semula.” Tidak lama setelah itu, Raja Kecil pun bertunangan dengan putri sulung sultan, bernama Tengku Tengah.

Namun, pertunangan itu tidak berlajut kepada jenjang perkawinan, lantaran Raja Kecil lebih tertarik dengan putri bungsu Bendahara yang baru pertama kali dilihatnya, bernama Tengku Kamariyah –pertama kali dilihat oleh Raja Kecil sewaktu Sultan beserta keluarganya berkunjung di kediaman Raja Kecil dalam rangka silaturrahmi pada saat hari lebaran Idul Fitri. Akhirnya, Raja Kecil mengawini putri bungsu Bendahara, Tengku Kamariyah. Atas perlakuan-perlakuan Raja Kecil tersebut –menurunkan kembali menjadi Bendahara dan pembatalan sepihak perkawinan salah seorang anaknya dan mengawini yang lainnya– Abdul Jalili tidak dapat berbuat banyak, selain terpaksa harus menyetujui kehendak Raja Kecil karena Abdul Jalil berada pada posisi lemah, tidak berdaya dan pada pihak yang kalah. (Lihat,Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 50; Timothy P. Barnard, “Taman Penghiburan: Entertainment and the Riau Elite in the Late 19 th Century”, dalam JMRAS, LXVII, Part 2 (Desember 1994),19. Lihat, Matheson, Tuḥfat al-Nafīs, Sejarah Melayu-Islam (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991), 189; bandingkan, Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 58).

Dalam kondisi kerajaan seperti itu, secara faktual agaknya kerajaan Melayu Johor mempunyai dua orang penguasa. Akibatnya, di tengah-tengah masyarakat terjadi perpecahan antara pengikut Raja Kecil dan Abdul Jalil. Karenanya, tidak lama berselang Abdul Jalil meninggalkan pusat pemerintahan Johor menuju dan tinggal di Terangganau selama tiga tahun sebelum akhirnya ia dan keluarganya beserta pengikutnya tinggal di Kuala Pahang guna menghimpun dan membangun pusat kekuatan. Sementara itu, Raja Kecil meninggalkan pusat pemerintahan kerajaan di Johor, sebelumnya bertitah kepada menteri-menterinya, “Ini negeri celaka, baiklah kita pindah ke Riau.” Mulai saat itu Raja Kecik membangun pusat pemerintahnnya di Riau, dan kerajaan ini secara resmi bernama Kerajaan Johor-Riau.

Ketika mengetahui aktivitas Sultan Abdul Jalil di Kuala Pahang, Raja Kecil memerintahkan Laksamana Sekam untuk menyampaikan pesannya, seperti tutur Laksamana, “Ampun tuanku, baiklah silahkan ke Riau karena pesan paduka ananda silahkan ayah ke Raiu. Maka pada kira-kira patik baik juga berangkat ke Riau….” Setelah itu, Sultan Abdul Jalil menjawab, “Jika sudah pikiran Laksamana balik kita ke Riau, maka ke Riaulah kita.” Namun tidak lama berselang, datang lagi utusan Raja Kecil membawa surat untuk Laksamana, berbunyi: “Janganlah Sultan Abdul Jalil dibawa ke Riau lagi, bunuhlah sekali, kita tahukan matinya saja.” Atas perintah Raja Kecil, akhirnya Laksamana pun membunuh Sultan Abdul Jalil, sementara keluarga (putra-putrinya) terselamatkan dari peristiwa itu. (Lihat, Virginia Matheson, Tuḥfat al-Nafīs, Sejarah Melayu-Islam, 178, 196-197; Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 67).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh

Alimuddin Hassan Palawa,
Direktur & Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies) UIN Suska Riau.
46  PERSEBATIAN MELAYU-BUGIS (1): Pertautan Silsilah Bangsawan Melayu dan Bugis

46 PERSEBATIAN MELAYU-BUGIS (1): Pertautan Silsilah Bangsawan Melayu dan Bugis

Oleh Alimuddin Hassan Palawa

 

Bersempena Milad ke-44 Kerukunan Keluarga Sulawesi-Selatan (KKSS), Pengurus KKSS Provonsi Riau, insya Allah, akan menaja acara Webinar bertajuk “Persebatian Bugis Melayu di Bumi Lancang Kuning”. Dalam acara ini, panitia menghadirkan narasumber ahli dalam bidangnya, yaitu (1) Prof. H. Suwardi Mohammad Samin, dan (2) Prof. Dr. Mukhlis PaEni, MA. Kedua narasumber ini sangat otoritatif untuk memberikaan pencerahan diseputar persebatian Meluyu dan Bugis di Kerajaan Melayu Johor-Riau. Narasumber pertama Prof. Suwardi dapat disebut sebagai pembicara “internal” yang memahami betul sejarah dunia Melayu secara umum, dan sejarah Riau secara khusus. Sementara narasumber kedua Prof. Mukhlis dapat dikatakan sebagai pembicara “eksternal” yang banyak menggeluti dengan pelakukan penelitian tentang keberadaan dan kiprah orang-orang Bugis di Dunia Melayu di masa-masa silam.

Webinar dalam rangka Milad ke-44 kehadiran KKSS tersebut, khususnya di Bumi Lancang Kuning memiliki urgensi dan arti penting dengan beberapa pemaknaan atas kehadiran dan eksistensi leluhur Bugis. Pertama, dari seminar ini dapat dimaknai sebagai “napak tilas” atas kehadiran leluhur Bugis dalam mengambil peran yang sangat penting dan menentukan di Kerajaan Johor-Riau sepanjang abad ke- 18 dan 19. Kedua, dari seminar ini dapat dipetik pelajaran sejarah bahwa persebatian bangsawan Melayu dan Bugis harus terus dipupuk dan dilestarikan dalam dalam keikutsertaan membangun Bumi Lancang Kuning dewasa ini. Ketiga, dari seminar ini dapat memberikan pengajaran bahwa leluhur Bugis benar-benar mewujudkan motto hidup yang baik, “Dimana Bumi dipijik, di situ langit dijunjung tinggi.”

Artinya, leluhur bugis mengajarkan bahwa konsep “hijrah” (mallekke dapureng) di mana tempat asal (Sulawesi Selatan) benar-benar ditinggalkan. Dan sekaligus di mana tempat baru (Johor-Riau) benar-benar “ditinggali” tanpa pernah berpikir mau balik lagi ke “Tanah Ugi”. Kalau pun mereka “mattanaugi” (mengunjungi “Tanah Bugis) itu hanya sekedar mau menapak-tilisi kampung lelulur mereka, dan sembari bersilaturrahim dengan keluaraga yang ada di sana. Prinsipnya sudah mendarah-daging bahwa hidup dan matiku hanya untuk, dari dan di “Tanah Bare’”, Bumi Lancng Kuning, Riau.

Persebatian berasal dari kata dasar “bati” yang arti etimolginya: sesuai, selaras, senyawa, bersatu-padu dan sangatmesra. Dengandemikian, kata “sebatian” berarti perpaduan dua atau lebih menjadi satu. Jadi, kata “persebatian” bermakna “Proses persatu-paduan antara dua orang atau lebih untuk menjalin keselarasan hubungan yang sangat akrab dan mesra.” Lihat, Teuku Iskandar, Kamus Dewan (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1970), 79; Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988: 84).

Pertautan silsilah keturunan (geneologi) dan awal persebatian bangsawan Melayu-Bugis di Kerajaan Johor-Riau dapat ditelusuri dari diri Raja Haji, YDM Riau IV (1777-1784), pahlawan legendaris Melayu-Riau yang gugur di Teluk Ketapang dalam perang melawan penjajah Belanda dengan gelar “fīsabīl Allāh”. (Tentang figur, prestasi dan kepahlawanan serta perlawan Raja Haji, kakek Raja Ali Haji,terhadap penjajahan Belanda, lihat Rustam S. Abrur, dkk., Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah Dalam Perang Melawan Belanda (Pekabaru: Pemda Riau, 1988); W.E. Maxell, “Raja Haji”, JSBRAS, 81 (1890), 173-224; dan Reinout Vos, “The Broken Balance the Origins of the War Between Riau and the VOC in 1783-1784”, dalam G. J. Schutte (ed.), State and Trade in the Indonesian Archipelago (Leiden: KITLV Press, 1994), 115-139).

Disebut sebagai awal pertautan keturunan dan persebatian bangsawan Melayu-Bugis mengingat Raja Haji tersebut, tidak lagi dipandang sebagai orang “Bugis jati/totok”. Mengingat Raj Haji –kakek Raja Ali Haji, intelektuan dan pujangga Melayu Riau– ini terlahir dari pasangan bangsawan Melayu dan Bugis, yaitu ayahnya adalah keturunan Bugis dan ibunyaadalah keturunan Melayu. Ayah Raja Haji adalah Daeng Cella’merupakan anak keempat dari lima orang bersaudara keturunan bangsawan Bugis, putra-putra Opu Tendri Borong Daeng Rilekka dari kerajaan Luwu’, Sulawesi Selatan.(Catatan tambahan, Raja Ali Haji sendiri mengungkapkan sosok leluhurnya, Daeng Cella’, seperti tulisnya, “… yang tersangat baik parasnya memberi gairah hati perempuan2 memandangnya, demikian-lah kata yang empunya cherita.” (Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 36-37; Virginia Matheson, Tuḥfat al-Nafīs, Sejarah Melayu-Islam, 1991: 181-182 dan 215).

Dan adapun ibu Raja Haji adalah Tengku Madak berasal dari keturunan bangsawan Melayu teras paling atas di kerajaan Johor-Riau, yaitu adik kandung Sultan Sulaiman (1722-1760) (Lihat, Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 10-11 dan 18). Tersebab dari keturunan Melayu dan Bugis, sehingga Raja Haji tidak lagi bergelar kebangsawanan Bugis, yaitu “daeng”, sebagaimana lazimnya seorang berketurunan Bugis, seperti ayahnya, Daeng Cella’ atau paman-pamannya, yaitu Daeng Parani, Daeng Manambung, Daeng Marewa dan Daeng Kamase, lima orang bangsawan Bugis, tetapi bergelar bangsawan ”raja”. Maka Raja Haji adalah orang pertama dari keturunan Melayu-Bugis yang mempergunakan gelar bangsawan “raja”, dan belakangan diteruskan oleh generasi-generasinya. (Lihat, Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 28 dan 304; Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, ed.Virginia Matheson (Kuala Lumpur: FajarBakti, 1982), 36 dan 302; HasanJunus, Raja Ali Haji Budayawan di Gerbang Abad XX (Pekanbaru: UIR-Pess, 1988), 63; A. Samad Ahmad (peny.), Kerajaan Riau-Lingga (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajar Malaysia, 1985), 80-81).

Keturunan orang Bugis di kerajaan Johor-Riau-Lingga berbeda dengan keturunan orang Bugis dari asal daerahnya, Sulawesi Selatan dan sejumlah daerah-daerah migrasi lainnya yang tetap mempertahankan gelar kebangsawanannya, seperti “andi” dan/atau “daeng”. Kehadiran orang-orang Bugis dan keterlibatan keturunannya dalam kekuasaan dan pemerintahan di Kerajaan Johor-Riau-Lingga memiliki sejarah unik. Selain itu, keberadaannya yang dominan sebagai YDM Riau secara turun-temurun pada awalnya tidak jarang menimbulkan kecemburuan dan resistensi dari pihak puak Melayu.

Dalam mengelaminir resistensi tersebut dan percepatan persebatian Melayu dan Bugis di kerajaan Johor-Riau-Lingga, mereka melakukan hubungan perkawinan. Bagi pihak keturunan bangsawan Bugis yang telah menikah dengan kalangan bangsawan Melayu dalam kehidupan keluarga dan masyarakatnya lebih mempergunakan bahasa, budaya, dan adat-istiadat Melayu ketimbang bahasa, budaya dan adat-istiadat luhur mereka (Bugis) dari Sulawesi-Selatan. Karenanya, dapat dimengerti kalau keturunan keempat dari Raja Haji, misalnya sudah tidak dapat berbahasa Bugis dengan baik dan tepat.

Bahkan penggunaan gelar “raja” bagi keturunan bangsawan Melayu-Bugis, dapat diduga “sengaja diciptakan” guna menghilangkan kesenjangan dan perbedaan serta sekaligus upaya penyatuan dan persebatian di kalangan mereka. Sehingga gelar kebangsawanan “raja” tersebut berlaku secara eksklusif dan hanya boleh disandang oleh keturunan Melayu-Bugis yang berawal dari keturunan Raja Haji. Mengenai asal-mula penggunaan gelar “raja dan gelar-gelar lainnya bagi komunitas di Kerajaan Riau-Lingga.

Sebutan gelar “Tengku” berasal dari istilah (bahasa) Aceh, yaitu dari kata Teuku. Kata “Teuku” berasal dari “ta” dan “engku” karena, menurut Raja Ali Haji, “ikhfahkan nun kepada kaf, maka berbunyi “nga” menjadi “tengku”. Berawal pada masa Sultan Abdul Jalil bin Bendahara Tun Habib yang beristrikan putri (keturunan) Aceh bernama Encik Nusamah. Ketika Encik Nusamah melahirkan putranya, orang-orang pada waktu itu menyarankan agar memanggil dengan gelar “Teuku” demi mengikuti nama raja-raja Aceh dan agar gelar keturunan dari pihak ibunya (keturunan bangsawan Aceh) tidak hilang.

Belakangan, ketika datang di kerajaan Johor-Riau dan bercampur-baur dengan orang Melayu, orang-orang Bugis terasa berat dilidahnya (kesulitan) untuk menyebut “Teuku”. Dengan secara keliru mereka menyebutnya menjadi “Tengku”. Kemudian orang-orang Melayu dengan maksud nada mengolok-ngolong (mengejek) orang-orang Bugis, mereka ikut-ikutan menyebut “Tengku”.

Akhirnya, orang-orang Bugis tidak senang dengan olok-olokan itu, karenanya, mereka memanggil orang terhormat di kalangan mereka dengan sebutan “Raja” atau “Engku”. Sehingga, pada masa itu seolah-olah ada perbedaan penyebutan gelar bagi masing-masing keturunan orang-orang Bugis dan Melayu, misalnya seolah-olah sebutan/gelar “Tun”, “Tengku”, “Encik Wan” khusus dipergunakan untuk sebutan keturunan raja-raja Melayu, sedangkan sebutan/gelar “Raja”, “Engku”, “Encik Engku”, khusus dipergunakan untuk sebutan raja-raja keturunan Melayu-Bugis dari Raja Haji. Lihat Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 278-281; lihat juga, A. Samad Ahmad (peny.), Kerajaan Riau-Lingga, 80-81.

Pada umumnya, sejarah peleburan keturunan bangsawan Melayu dan Bugis di kerajaan Johor-Riau terdapat dalam dua karya sejarah Raja Ali Haji, Silsilah Melayu dan Bugis dan Sekalian Raja-rajanya dan Tuḥfat al-Nafīs. Khusus untuk geonologi Melayu dan Bugis yang, pada mulanya, tercatat secara detail dan seksama dalam karya sejarahnya, Silsilah Melayu dan Bugis. Kemudian, geneologi Melayu dan Bugis itu dituangkannya kembali, dan menjadi bagian terpenting pada halaman-halaman pertama dalam karya sejarah monumentalnya, Tuḥfat al-Nafīs yang pada bagian ini, kalau menurut Ismail Hussein, sebagaian besar diambil Raja Ali Haji dari Hikayat Negeri Johor. (E.U. Kratz, Segi-Segi Karangan Melayu Tradisional, 2004: 11).

Menurut Hashim, karya sejarah disebut pertama di atas (Silsilah Melayu dan Bugis dan Sekalian Raja-rajanya)berkenaan dengan catatan sejarah tentang aktivitas bangasawan Bugis di kerajaan Johor sejak pertemuan mereka dengan orang Melayu-Johor pada 1700 dan berlanjut sampai 1740-an. Sedangkan karya sejarah disebut belakangan (Tuḥfat al-Nafīs) mengawali kisahnya tentang garis keturunan dan aktivitas orang-orang Bugis hingga akhir abad ke-19. (Muhammad Yusoff Hashim, The Malay Sultan of  Malacca, 1992, 24).

Ada dua jenis silsilah keturunan dipaparkan Raja Ali Haji yang saling bertaut dan dirajut satu dengan lainnya. Pertama, silsilah dan persebatian keturunan Yang Dipertuan Besar (Sultan) dari kalangan bangsawan Melayu yang berkedudukan di Lingga. Kedua, silsilah keturunan Yang Dipertuan Muda (YDM) dari kalangan bangsawan Bugis yang berkedudukan di Pulau Penyengat. (Mengenai silisilah tersebut selengkapnya, lihat, Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 8-33).

Pengungkapan kedua silsilah Melayu dan Bugis yang dipaparkan Raja Ali Haji baik pada Silsilah Melayu dan Bugis maupun Tuḥfat al-Nafīs penting untuk memberikan gambaran persebatian dan penyatuan kedua puak yang berbeda tersebut. Bahkan untuk memberikan legitimasi keberadaan peran dan fungsi orang-orang Bugis dan keturunannnya dalam struktur kekuasaan dan pemerintahan di kerajaan Johor-Riau-Lingga, agaknya, menurut Putten, menjadi ”kunci motivasi bagi penyusunan kedua karya Raja Ali Haji yang sangat terkenal…” itu. (Lihat, Jan van der Putten, A Malay of Bugis Ancestry: Haji Ibrahim’s Strategy of Survival,” dalam Contesting Malayness: Malay Identity Across Boundaries, ed. Timothy, J. Barnard (Singapore: Singapore University Press, t.t), 121; lihat juga, tulisan yang sama Putten, “A Malay of Bugis Ancestry: Haji Ibrahim’s Strategy of Survival,” dalam Journal of Southeast Asia Studies, vol. 32, no. 3 (Oktober 2001), 343).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh

Alimuddin Hassan Palawa,
Direktur & Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies) UIN Suska Riau.