24. POLIGAMI: Pemikiran Rasional Islam Modernis

24. POLIGAMI: Pemikiran Rasional Islam Modernis

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

 

Pada semua bangsa-bangsa di masa kuna, poligami dipandang sebagai suatu kebiasaan yang dapat dibenarkan. Lebih dari itu, poligami –karena dilakukan oleh raja-raja [keturunan dewa-dewa yang berkuasa di bumi] melambangkan ketuhanan– dipandang oleh orang banyak sebagai pebuatan suci. Seiring dengan ini, perempuan pada masa pra-Islam tidak mempunyai harkat dan martabat kemanusiaan. Dengan kata lain, perempuan tidak lebih hanya sebagai barang komoditas yang diperjual-belikan. Praktek poligami yang tak terbatas itu terjadi pada berbagai bangsa.

Pada bangsa Babilonia Mesir, tradisi poligami dilakukan tanpa batas jumlah perempuan yang dinikahi oleh pria bani Israil sebelum masa Nabi Musa a.s. di Mesir, dan dilanjutkan oleh orang-orang Ibrani. Meskipun belakangan Talmud di Yerussalem membatasi jumlah tersebut menurut kemampuan pria (suami) dalam memelihara istri-istrinya dengan baik.

Meskipun para rabi menasehatkan supaya beristri tidak lebih dari empat tetapi tetap saja ada beberapa kelompok menentang pembatasan tersebut. Di Persia, agama yang mereka anut memberikan penghargaan dan hadiah kepada pria yang mempunyai istri banyak. Di Indiadengan sistim kastanya, seorang Brahmana sebagai berkasta tinggi [bahkan hingga dewasa ini] boleh mengawini perempuan-perempuan sebanyak ia suka dan mampu.

Sementra di Yunani, khususnya di Athena –suatu bangsa yang diklaim paling beradab dan mempunyai peradaban tinggi di antara bangsa-bangsa kuna– wanita tidak lebih seperti hewan yang diperdagangkan. Dan seorang pria di Athena diperkenankan untuk mengawini berapapun perempuan ia kehendaki. Praktek poligami semacam ini tetap berlanjut hingga kehadiran agama Kristen yang membenci perkawinan secara umum (baca: pelarangan perkawinan terhadap pemimpin agama). (Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, 222-226).

Ketika Nabi Muhammad saw. datang poligami didapatinya dipraktekkan oleh sumua orang, tidak saja oleh kaumnya, tetapi juga oleh orang-orang dari negeri-negeri tetangga. Pada masa tersebut praktek poligami mendapat bentuknya pada titik nadir yang paling rendah, meskipun agama Kristen telah berusaha untuk memperbaiki keadaan ini, tetapi tetap tidak berhasil. Dalam kondisi seperti itu Nabi Muhammad saw. melakukan pembaharuan dengan memberikan kepada perempuan hak-hak yang sebelumnya tidak pernah dimilikinya.

Perempuan diberikan kedudukan dan derajat sema dengan pria dalam segela aspek kehidupan. Misalnya, al-Qur’an menyebutkan: “Mereka mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya secara patut, akan tetapi kaum pria mempunyai satu tingkat lebih tinggi dari kaum perempuan.”(Q.s. al-Baqarah [2]: 228). Meskipun ayat ini menggariskan bahwa “pria mempunyai satu tingkat lebih tinggi dari perempuan”, tetapi Islam pada bagian lainnya, mengajarkan agar pria dan perempuan tetap setara, maka Allah menetapkan kewajiban bagi pria untuk memberikan mahar kepada perempuan.

Lebih jauh, agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw., menurut Ameer Ali, juga untuk mengendalikan poligami dengan membatasi perkawinan dalam masa yang sama. Anjuran poligami ini diiringi dengan peringatan dan peraturuan agar kaum pria berlaku seadil-adilnya: “Perlu dicatat bahwa ayat al-Qur’an yang membolehkan kawin empat sekaligus, segera diiringi oleh kalimat yang membatasi arti kelimat sebelumnya, sehingga kandungannya menjadi normal dan patut.

Adapun ayat dimaksud bunyinya demikian: “Kamu boleh mengawini perempuan-perempuan yang kamu senangi dua, tiga, atau empat”; tidak boleh lebih dari itu. Baris-baris ayat ini seterusnya berbunyi, “ tetapi jika kamu kuatir tidak dapat berlaku adil dan benar terhadap semuanya, maka kamu harus mengawini seorang saja.” (Q.s, al-Nisa [4]: 3).

Betapa pentingnya pengecualian ini, terutama arti kata “adil” (adl) dalam ayat al-Qur’an ini, sehingga benar-benar menjadi perhatian yang besar bagi pemikir-pemikir dalam dunia Islam. Adil bukan semata-semata berarti persamaan perlakuan dalam hal tempat kediaman, sandang dan keperluan rumah tangga lainnnya. Akan tetapi, juga berarti tidak membeda-bedakan sama sekali dalam hal cinta, kasih-sayang dan kehormatan. Mengingat keadilan secara mutlak tidak dapat diwujudkan dalam soal perasaan, ajaran ayat al-Qur’an ini sebenarnya sama dengan larangan.(Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam: 227-229).

Pada bagian akhir kutipan diatas, nyata sekali, menurut Ameer Ali, sebagimana ditegaskan oleh al-Qur’an bahwa “kamu tidak akan mampu berlaku adil kepada istri-istrimu:“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.s. al-Nisa [4]: 129).

Pemahaman jitu dari ayat di atas karenanya, menurut Fazlur Rahman, sama dengan pemikiran Ameer Ali, kawinilah satu orang saja, sekiranya kamu tidak mau/mampu berlaku tidak adil. Artinya, kalau kita beristri lebih dari satu, berat dugaan kalau suami akan belaku aniaya terhadap istri-istri yang dimiliki. Kemudian ia menyimpulkan bahwa ayat ini sama saja artinya dengan pelarangan atas poligami. (Lihat, Fazlur Rahman, Islam:340). Beginilah cara pemikir pembaharuan Islam –yang terusir dari negerinya, Pakistan– dalam memahami ayat poligami. Dan tentu saja, pemikiran Fazlur Rahman ini pasti banyak yang orang menolak dan menentangnya, sebagaimana pemikirannya yang lain dalam memaknai noktah-noktah agama.

Pada ayat Q.s, al-Nisa [4]: 3, sebagaimana yang dikutip oleh Amer Ali di atas, acap kali dijadikan landasan normatif untuk melakukan poligami. Padahal dalam memahami ayat itu dengan baik dan benar, mestilah dihubungkan dengan dua ayat sebelumnya. Begitu pula asbāb al-nuzūl (sebab-sebab) diturunkan ayat ini juga tidak boleh diabaikan.

Para ahli tafsir sepakat bahwa sebab-sebab turunnya ayat ini berkenaan dengan perbuatan para wali yang tidak adil terhadap anak yatim berada dalam perlindungan mereka. Misalnya, Rasyid Ridha mengungkapkan, bahwa ada beberapa peristiwa yang menjadi sebab turunnya ayat ini, sebagiamna diriwayarkan oleh Bukhari, Muslim, Nasa’i dan Bayhaqi dari Urwah ibn Zubair:

“Dia bertanya kepada bibinya, Aisyah r.a. tentang sebab turunnya ayat ini. Lalu Aisyah menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan anak-anak yatim yang berada dalam pemeliharaan walinya. Kemudian walinya itu tertarik akan kecantikan dan harta anak yatim itu dan mengawininya, tetapi tanpa mahar.” Riwayat lainnya, juga dari Aisyah r.a., “ Bahawa ayat ini turun berkenaan dengan seorang laki-laki yang mempunyai banyak istri, lalu ketika hartanya habis dan ia tidak sanggup lagi menafkahi semua istrinya yang banyak itu, ia berkeinginan mengawaini anak yatim yang berada dalam perwaliannya dengan harapan dapat mengambil hartanya untuk membiaya kebutuhan istri-istri lainnya.”

Ayat-ayat tersebut, menurut Abu Ja’far, sebagaimana dikutip oleh Rasyid Ridha, mengandung peringatan keras kepada manusia supaya bersikap hati-hati dan berbuat adil, baik terhadap anak yatim (perempuan) maupun kepada perempuan (umumnya). Karenanya, janganlah mengawini anak yatim jika takut terjerumus dalam berbuat aniaya dan dosa. Sekiranya takut berbuat aniaya dan dosa maka kawinilah perempuan lainnya yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Tetapi kalaupun takut berbuat tidak adil dan dosa maka kawinilah seorang saja, atau boleh mengawini budak-budak yang dimiliki. (Lihat, Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Jilid IV: 344-346).

Ketika hubungan ayat sebelum atau sesudah dan asbab al-nuzul sebagai kedua cara memahami ayat itu diabaikan, niscaya pemahaman terhadapa ayat tersebut menjadi tidak integratif dan a historis (melenceng dari konteks waktu ayat diturunkan). Konsekwensinya pememahaman yang demikian itu akan menjadi salah dan menyimpang dari makna ayat yang sesungguhnya.

Kalau dilihat “sekilas mata” terdapat kontradiksi antara idealitas “sprit” Islam tentang perkawinan monogami dengan realitas “lahiri” perkawinan Rasul Allah yang poligami. Pandangan “sekilas mata” inilah dipergunakan oleh non-Islam untuk melontarkan celaan kepada Rasul Allah saw. Pandangan semacan ini, menurut Ameer Ali, karena para pencela tersebut tidak mengatahui persoalan sebenarnya atau kurang jujur untuk mengakui dan menghargainya.

Padahal kalau “ditatap lama” masalahnya akan menjadi: “Kalau saja orang mengetahui sejarah lebih baik dan lebih tepat dalam memberikan penilaian terhadap kenyataan-kenyataan itu, maka orang tentu akan melihat bahwa Rasulullah bukanlah seorang jalang yang memperturutkan hawa nafsunya, tetapi seorang yang memberikan pengorbanan yang tidak ringan, walau ia dalam kemiskinan… menerima beban untuk menolong wanita-wanita yang dinikahinya, Kami percaya bahwa analisa yang teliti memandang motif-motif perkawinan tersebut dari perspektif kemanusian akan mempelihatkan kepalsuan dan ketidakadilan tuduhan-tuduhan dilontar kepada “manusia Arab yang mulia” itu.” (Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam:232)

Agaknya Ameer Ali “disibukkan” melakukan pembelaan dari berbagai tuduhan atas praktek poligami yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. dengan jalan mempreteli motif-motif dan latar belakang dari kesuluruhan perkawinan Rasul Allah saw dengan sebelas orang istri-istrinya. Untuk membuktikan bahwaRasul Allah saw bukan seorang yang “jalang dan haus seks”, misalnya Ameer Ali mengungkapakan perkawinan pertama Nabi (diusia 25 tahun) dengan Khadijah (diusia 40 tauhan). Perkawinan pertama Nabi ini berlangsung selama dua puluh lima tahun; dan berakhir dengan wafatnya Khadijah. Selama kawin dengan khadijah, Nabi Muhammad saw. tidak ada mengawini wanita lain (monogami), meskipun masyarakat umum sangat membenarkan sekiranya Rsul Allah melakukannnya.(Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, 232-233).

Perkawinan Nabi saw. dengan sejumlah istrinya, selain yang pertama dengan Khadijah, bukanlah perkawinan yang “wajar atau normal.”Disebut tidak wajar dan normal kerena Rasul Allah saw. melakakukan perkawinan tidak dilatarbelangi oleh cinta erotis (hubb al-shahawât), tetapi lebih pada kasih sayang (mawaddah). Perkawinan Rasul Allah semacan ini tidak menekankan pada hubungan kepuasaan jasmâni (biologis), tetapi melompat kepada hubungan kepuasaan nafsâni (psikologis).

Berbeda dengan perkawinan wajar dan normal yang menekankan pada hubungan kepuasan biologis yang bermaksud untuk saling memberikan “kenyamanan” (rekreatif) dan bertujuan mendaptkan keturunan (reproduktif). Karenannya, perkawinan Nabi Muhammad saw. selain yang pertama dengan Khadijah, kalau ditelusuri lebih seksama satu persatu mempunyai motif dan latarbelakang kemanusian universal, dan demi kepentingan dakwah (syiar) bagi agama baru yang dibawanya.

Motif dan latar belakang perkawinan Nabi Muhammad saw. seperti ini, mislanya sangat jelas pada perkawainan keduanya dengan Sa‘udah. Istri Rasul Allah ini adalah janda sahabat bernama Sakran ibn Amar yang meninggal dalam pengungsian ketika melarikan diri ke Habsyi dan meninggalkan istri dalam kesengsaraan. Satu-satunya cara untuk menolong wanita-janda malang ini, karena kemurahan hatinya dan pertimbangan rasa kemanusiaan, Nabi Muhammad saw. melamarnya menjadi istrinya. Saudah menerima lamaran Rasul Allah, dia sudah berusia lanjut dan tidak punya lagi keinginan biologis kepada pria, dengan harapan akan dibangkitkan di surga bersama dengan istri-istri Rasul Allah yang lainnya.

Perkawinan ketiganya dengan ‘Aisyah, dari segi fisik-biologis, ia merupakan satu-satunya istri Nabi saw. yang berusia muda dan perawan. Perkawinanya dengan Nabi itupun lebih disebabkan karena hasrat ayahnya, Abu Bakr al-Shiddiq yang ingin memperteguh jalinan hubungan persahabatannya dengan Rasul Allah. Dan perkawinan keempat Rasul Allah saw dengan Hafsah, seorang wanita janda ditinggal wafat suaminya yang gugur syahid dalam peperangan Badr. Karena sifat keras yang diturunkan dari ayahnya, Umar bin Khattab, sejak suaminya wafat dia tidak kawin-kawin.

Melihat anaknya yang terus-menerus dalam kondisi menjanda buat Umar bin Khattab malu sendiri. Untuk itu ia menawarkan anaknya kepada sahabatnya, Abu Bakr, dan ketika Abu Bakr menolak ia menawarkan kepada Usman bin Affan, tetapi sahabat yang disebut belakangan ini juga menolak ajakannya untuk kawin dengan anaknya. Penolakan kedua sehabat itu, tidak saja semakin membuat Umar malu, tetapi sekaligus ia merasa terhina. Dalam kondisi malu dan terhina itu ia mengahadap Rasul Allah untuk mengadukan persoalan yang dihadapinya dengan penuh emosi. Dengan sifat empatinya, Rasul Allah menenangkan Umar bin Khattab dengan memutuskan akan menikahi putrinya.

Begitupula dengan istri-istri Rasul Allah saw. berikutnya, seperti Hindun Ummi Salmah, Ummi Habbah dan Zaynab Umm al-Masākīn. Tiga istri Nabi ini adalah wanita-wanita janda ditinggal pelindungnya (suami mereka) dalam menegakkan syiar agama Islam. Sedangkan perkawinan Rasul Allah saw. berikutnya jelas untuk memberikan pertolongan kemanusiaan dan pertimbangan lainnya.

Rasul Allah menikahi Zaynab yang merupakan janda dicerai Zaid, anak angkat nabi, atas perintah Allah. Kemudian, Jawairiyah adalah tawanan yang dimerdekakan Rasul Allah, dan dia meminta agar Rasul Allah mengawininya. Selanjutnya, Safiah wanita Jahudi menjadi tawanan dan dimerdekakan Nabi Muhaammad saw., dan dijadikan istri atas permintaannya sendiri. Sementar Maimunah, wanita tua yang miskin berusia lebih lima puluh tahun, dikawini Rasul Allah untuk memberikannya nafkah. (Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, 235).

Karena dari istri-istri Rasul Allah, selain Aisyah, merupakan wanita-wanita yang rata-rata sudah berusia, janda dan mempunyai anak. Dan dari istri-istrinya selain Khadijah, tidak lagi dikarunia anak. Jadi dari data-data ini jelaslah bahwa alasan Rasul Allah berpoligami sangat jauh dari hasrat memenuhi kepuasaan biologis, seperti dituduhkan kepadanya.

Biarpun nyata-nyata melakukan poligami, tetapi Nabi Muhammad saw. mewanti-wanti untuk tidak melakukan praktek poligami. Karena dalam perkawainan yang “wajar” poligami pada hakekatnya mengandung unsur yang dapat menyakiti hati wanita. Misalnya, Nabi Muhammad saw. sendiri menolak tawaran untuk mengawini wanita cantik lantaran khawatir akan menyakiti hati wanita tersebut.

Keperibadian Rasul Allah yang peka terhadap perasaan wanita ini digambarkan dalam sebuah hadis. Suatu ketika Amrah binti Abdurrahman berkata: Rasul Allah ditanya, “Ya Rasul Allah, mengapa engkau tidak menikahi perempuan-perempuan dari kalangan Anshar yang beberapa di antara mereka terkenal cantik-cantik?” Rasul Allah menjawab, “mereka perempuan-perempuan yang memiliki rasa cemburu yang besar dan tidak akan bersabar untuk dimadu. Aku mempunyai bebarapa istri, dan aku tidak suka menyakiti hati kaum perempuan berkenaan dengan hal itu.”

Begitu juga, Rasul Allah saw. tidak mengizinkan menantunya, Ali bin Abi Thalib, untuk memadu putri kesayangannya, Fatimah al-Zahrah dengan wanita lain. Dalam riwayat dinukilkan dari al-Mizwar ibn Makhraman, bahwa ia telah mendengar Rasulullah berpidato di atas mimbar: “Sesunggunya anak-anak Hisyam ibn Mugirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan putrinya dengan Ali bin Abi Thalib.

Rasul Allah bersabda: “Ketahuhilah, bahwa aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, kecuali jika Ali bersedia menceraikan putriku, dan menikahi anak mereka. Sesunggguhnya Fatimah adalah bagian dari diriku. Barangsiapa membahagiakannya berarti ia membahagiakanku; sebaliknya barangsiapa menyakitinya berarti ia menyakitiku.”(Al-Bukhari, “Kitab al-Nikah”, Shahih al-Bukhari, Hadis ke- 4829; Shahih Muslim hadis ke- 4482; Sunan al-Turmudzi, hadis ke-3802).

Pada hal-hal tertentu dalam perkembangan sosial, terkadang poligami merupakan suatu yang tak terhindarkan dan dengan sendirinya dibenarkan. Peperangan misalnya, pada masa lampau, dapat mengurangi populasi pria dan kelebihan populasi wanita, sehingga poligami merupakan tuntutan masyarakat tersebut. Begitu pula, pada masyarakat belum maju dan tidak mempergunakan rasionalitasnya semacam memadai serta dalam kondisi tertentu akan memandang poligami suatu yang terpuji.(Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, 222).

Ajaran dibawa oleh Nabi Muhammad saw. berlaku untuk semua golongan dan untuk setiap masa, seperti diakui Ameer Ali, maka poligami bukanlah kejahatan harus disesalkan. Pada bagian lain Ameer Ali menyebutkan boleh jadi orang akan mengatakan bahwa tidak perlu sama sekali Rasul Allah melaksanakan dan memperkenalkan kebiasan buruk poligami itu. Seharusnya Nabi saw. melarangnya sama sekali, sebagaimana Nabi Isa a.s. telah melarangnya secara absolut.

Namun, kebiasaan poligami, seperti juga yang lainnya, tidaklah mutlak keburukannya. Menurutnya, buruk adalah suatu istilah yang relatif. Suatu perbuatan yang awalnya boleh jadi baik dan sesuai dengan konsepsi-konsepsi moral dalam suatu masyarakat dan dalam waktu tertentu; tetapi dengan perkembangan pemikiran pada diri seseorang dan perubahan nilai dalam masyarakat yang semula dianggap baik dapat berubah menjadi buruk dan sekaligus dapat dilarang penerapannya.

Kalau meminjam istilah Nurcholish Madjid, disinilah letak diferensiasi antara al-khair dan ma’ruf. Keduanya dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan “kebaikan”. Namun kedua kata tersebut tidak berkonotasi sama. Kalau istilah disebut pertama (al-khair) adalah kebaikan universal-normatif, suatu kebaikan pada tataran yang paling tinggi, dan kerenanya berlaku untuk segala ruang dan waktu. Sebaliknya, yang disebut belakangan (ma’ruf), adalah kebenaran yang diakui benar yang bersifat relatif-operasional, berlaku hanya dalam suatu ruang dan waktu tertentu. (Lihat, Nurcholish Madjid, “Metodologi dan Orientasi Studi Islam Masa Depan”, dalam Jurnal Jauhar, Volume 1, No. 1, Desember 2000: 5)

Namun, dewasa ini, menurut Ameer Ali, semakin manusia mempergunakan rasionalitasnya dan semakian maju peradaban yang dimilikinnya akan lebih mudah memahami akibat negatif poligami dan arti pelarangannya semakin mudah dipahami. Pada gilirannya, bagi kelompok ini dengan mudah sepakat bahwa poligami bertentangan dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.

Ameer Ali, misalnya menyebutkan bahwa dalam pandangan Mu’tazilah yang rasionalis sangat menentang sistem perkawinan poligami, dan mereka adalah termasuk kalangan menganut monogami yang taat. Menurut Mu’tazilah perkawinan dimakanai sebagai “persatuan untuk seumur hidup antara pria dan perempuan dengan menjauhkan yang lainnya.”(Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam: 229 dan 232).[Sebagai catatan kecil: Untuk itu, dewasa ini, mungkin mahar lebih baik diganti dengan komitmen seperti: “hidup bersatu, dan hanya boleh dipisahkan oleh kematian”].

Karena terobsesi oleh sistem monogami, Ameer Ali berharap, “sangatlah kita harapkan bahwa tidak lama lagi ada sidang umum dewan ulama Islam yang mengeluarkan pernyataan mengikat bahwa poligami, seperti juga perbudakan, dinyatakan bertentangan dengan hukum Islam.”(Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, 323).Akan tetapi, harapannya ini akan tinggal sebagai harapan yang utopis dan malah mungkin absurd. Karena satu hal mungkin dilupakan Ameer Ali bahwa ulama tidak mungkin dapat bersatu, tentu dalam konteks pengharaman poligami.

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb,
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

*Alimuddin Hassan Palawa,
(Direktur &Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies]UIN Suska Riau).

Leave a Reply