25. PANDANGAN SEKS RAJA ALI HAJI: Dalam Syair Hukum Nikah dan  Kitab Pengetahun Bahasa

25. PANDANGAN SEKS RAJA ALI HAJI: Dalam Syair Hukum Nikah dan Kitab Pengetahun Bahasa

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

 

Syair Hukum Nikah, karya Raja Ali Haji, menurut U.U. Hamidi, paling tidak memberikan dua sisi penting. Pertama, secara umum memberikan pedoman dalam menjalani hubungan kehidupan berumahtangga. Kedua, secara khusus memberikan petunjuk dalam membangun hubungan kehidupan harmonis antara suami dan istri dlam “berumah-ranjang”. (U.U. Hamidi, et.all., Syair Suluh Pegawai (Hukum Nikah) Karangan Raja Ali Haji: 11).

Terkait dengan yang kedua ini, menurut U.U. Hamidi, keistimewaan Syair Hukum Nikah terletak dari keberanian pengarangnya untuk mengungkapkan hubungan seksual antara suami istri. Hubungan dimakasudkan ini, terutama pada saat ketika suami mendekati istrinya pada malam pertama. Pengarang memberikan cara dan teknik berhubungan badan lewat bahasa puitis yang indah, sehingga tidak terkesan vulgar dan porno. Bahasa “emotif” ini merupakan kelebihan dan kepiawaian Raja Ali Haji, menurutJamal D. Rahman (Majalah Horizon, edisi Maret 2010) dalam menuangkan pikiran dan perasaannya dalam bentuk syair.

Raja Ali Haji tampaknya berasumsi, bahwa lewat paparan bahasa puitis yang indah dapat memberikan bimbingan pendidikan seksual bagi remaja dan calon pengantin yang akan hidup berumah tangga. Pelukisan seperti dalam bentuk syair itu dirasa penting oleh Raja Ali Haji karena persoalan pendidikan seks, di kalangan “orang timur” dan dunia Melayu pada khususnya tidak pernah diberikan secara terbuka apalagi vulgar, tetapi diberikan secara halus dan berupa kiasan. (U.U. Hamidi, et.all., Syair Suluh Pegawai (Hukum Nikah): 11-12). Malah tidak jarang ada pandangan bahwa pendidikan seks tabu diberikan kepada anak didik atau masyarakat.

Di tangan Raja Ali Haji, hubungan seksual terlukis dalam baris-baris syair yang sangat menawan dan indah. Dan tentu saja syair tersebut berasaskan pada ajaran agama: al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw., misalnya ketika ia menuturkan:

Apabila sudah naik ke rumah
Istrimu itu boleh dijamah
Akan tetapi hendaklah hemah
Akan sunnat Nabi al-Rahmah.

Hendaklah tuan bermain-main
Bukalah kubah bertudung kain
Cintapun jangan kepada yang lain
Daripada lubang main mahin.

Kata “ma’īn mahīn” di akhir kutipan sayir di atas berasal dari al-Qur’an yang dimaskudkan Raja Ali Hai alat kelamin wanita (vagina istri) sebagai tempat keluarnya air yang hina: “thumma ja‘alnā naslahu min sulālatin min māin mahīn” (Kemudian dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (Q.s. al-Sajadah [32]: 8).

Selanjutnya, berdasarkan hadis Nabi Muhammad saw., “Janganlah seseorang di antara kamu menggauli istrinya seperti binatang buas (yang menerkam mangsanya). Sebagai permulaan bagi persetubuhan, seharusya ada suatu “utusan” antara kamu dan dia. Para sahabat bertanya: “Utusan macam apakah ya Rasulullah?” Nabi saw. menjawab: “Ciuman-ciuman dan (tuturkan) kata-kata manis.”

Dalam hadis lainnya, Rasul Allah bersabda: “Idha jama‘a aḥadukum ahlahu falā yatajarradanna mujarrada al-‘iyrayni falyuqaddim al-talḍḍuf wa al-taqbīl”(Jika seorang di antara kalian hendak menggauli istrinya, maka janganlah melakukannya bak dua ekor unta atau keledai. Hendaklah memulainya dengan belaian kata-kata (rayuan) dan ciuman (HR. Ibn Majah).

Sebagaimana dibancanya dalam Iḥyā‘Ulūm al-Dīn karya Imam al-Ghazālī, Raja Ali Haji menganjurkan agar terlebih dahulu melakukan “pemanasan” (fore play) sebelum melakukan penyatuan genital (bersenggama), misalnya bercanda-gurau sembari bujuk-cumbu dan peluk-cium. Selain itu, Raja Ali Haji juga menyarankan, khususnya kepada lelaki (suami), agar melakukan hubungan badan dengan penuh kesabaran dan tidak tergopoh-gopoh demi memuaskan dahaga seksual masing-masing, khususnya buat istri. Dengan begitu, diharpakan, kata Raja Ali Haji, “agar mendapat lezat yang akbar” bersama-sama. Dengan untaian kata-kata puitis Raja Ali Haji mengubah syair tentang hubungan intim suami-istri dalam Syair Hukum Nikah:

Apabila hendak mengerjakan
Gurau dan canda tuan dahulukan
Peluk dan cium hendak banyakkan
Pujuk dan cumbu pula sertakan.

Bermain itu hendaklah sabar
Dicelah tanjung dua sebembar
Janganlah pula gopoh dan ghubar
Agar mendapat lezat yang akbar.

Ke atas ke bawah cuba dulu dahulu
Kanan dan kiri bertalu-talu
Apabila berdiri roma dan bulu
Tatkala itu hilanglah malu.

Dapatkan lezat tiada terhingga
Keduanya sama memuaskan dahaga
Keuntungan tiada ternilai harga
Laut yang dalam sudah diduga.

Dari deratan kata-kata puitis di atas, Raja Ali Haji dengan nyata sekali memberikan gambaran dan pengajaran hubungan seks (seksiologi) begitu indah. Apa yang dipaparkan di atas tentang pandangan seks Raja Ali Haji terambil dalam Syair Hukum Nikah. Sementara pandangan seks Raja Ali Haji berikut ini dikutip dari karyanya, Kitab Pengetahuan Bahasa.

Pada bagian-bagiantertentu dalam tulisan lainya, pandangan seks Raja Ali Haji, selain dari Syair Hukum Nikah, dapat pulakita temukan dalam karyanya, Kitab Pengetahuan Bahasa. Pandangan seks Raja Ali Haji dalam Kitab Pengetahuan Bahasa harus dipahami dalam rangka untuk memberikan “pengajaran”, dan sekaligus “penghiburan” serta untuk melanggengkan/ melestarikan suatu kata Melayu tertentu.Dalam karyanya ini Raja Ali Haji ada kalanya mempergunakan kata-kata/bahasa-bahasa yang vulgar dan cenderung porno untuk memaparkan soal seks.

Kecenderungan bahasa-bahasa vulgar semacam itu terdapat Kitab Pengetahuan Bahasa dalam bentuk syairnya, misalnya ketika Raja Ali Haji mengekspresikan kata “tarak”. Raja Ali Haji memberikan penjelesan tambahan kata “tarak” sebagai contoh dalam bentuk syair. Dalam syair ini ia menceritakan seorang Shaykh Lebai dengan memiliki karekter bejat yang menodai hampir semua wanita yang belajar kepadanya. Di samping itu ada seorang anak muda “berakal tetapi dajjal” berpura-pura ingin pula belajar, sehingg menyamar menjadi perempuan dengan nama Siti Lukluk.

Kemudian, Siti Lukluk dapat tinggal di rumah Shaykh Lebai, dan satu kamar dengan tiga orang anak gadisnya. Dalam perbincangan “keemapat gadis” itu (Siti Lukluk dan ketiga anak gadis Lebai) mengajukan masing-masing keinginan, tetapi Siti Lukluk menginginkan agar alat “kelaminnya” berubah (dari perempuan menjadi lelaki). Selanjutnya, Raja Ali Haji menuturkan dengan nada rada porno dan fulgar, seperti kata Lukluk:

Minta kita yang berpatutuan
Kita minta menjadi jantan
Boleh tahu kita piantan
Apakah ia itu perbuatakan

Akan anak lebai bertiga
Mendengrkan Lukluk yang empunya reka
Hati di dalam sangatlah suka
Marilah kita ayuhai kaka

Keempatnya mengambil air sembahyang
Minta doa ia malam dan siang
Kira-kira tujuh hari sudah berbayang
Lukluk berkata ayuhai kak yang

Kami sudah jadi bertukar
tempat nonok keluar zakar
Anak dara apabila mendengar
ketiganya pun datang berkelebar.

Serta dekat membuka kain
Zakar Lukluk dipermain-main
Katanya kuasa Rabbil alamin
dengan sebentar jadi berlain.

Katanya apa gunanya ada
kata Lukluk entahlah adinda
Berkata pula saudara yang muda
Kami terlihat kepada ayahanda.

Tatkala masa bulan purnama
Dengan mak bersama-sama
Dicocok benda ke lubang lama
Mak pun kembang bulu roma.

Rupa-rupanya mak kesedapan benar
Benda itu empunya honar
Katanya Lukluk coba beredar
Kepada aku kenankan sebentar.

Lukluk bangkit sambil menjimak
Sambil bertanya apa rasanya lemak
Jawabnya kuat-kuat janganlah tamak
Sedapnya seperti sayur kurmak.

Saudara yang tua ingin terlalu
Katanya berhentilah adik dahulu
Hendak kurasa pisang berbulu
Jikalau baik inginlah selalu.

Lukluk perpaling kepada yang tua
Diberinya pula sekali dua
Yang bungsu berkata sambil tertawa
Sayapun tidak mau kecewa.

Lukluk berpaling kepada yang akhir
Dikerjakan pula memecahkan bikir
Di luar kelambu di dalam tabir
Tempatpun penuh bercucuran air.

Sudah selesai ketiganya
Berkabar pula kepada tolannya
Masing-masing ingin hendak merasa
Zakar didapat di dalam taraknya.
—–

Begitu pula dalam Kitab Pengetahuan Bahasa, ketika mengurai kata entri “Ayok” dengan segala direvasinya, seperti “Berayok”; “Mengayok”; “Diayok” “Ayoklah”; “Terayok”; dan “Berayok-ayokan”, Raja Ali Haji mengatakan, meskipun ia sendiri mengakui terpaksa untuk mengatakannya, “perkataan kalimat mencarut, tetapi kalau ditinggalkan hilang pulalah satu bahasa.” Karena kata “ayok” itu adalah ungkapan mencarut, menurut Raja Ali Haji, kurang patut untuk dibahasakan secara nyata (sarīḥ), tetapi sepatutnya disebutkan secara kiasan (kināyah).

Meskipun demikian, agar satu bahasa itu tidak hilang, dengan terpaksa Raja Ali Haji menguraikan makna yang terkandung dalam kata “ayok”, berikut ini: “Syahdan adapun arti ayok itu fiil seseorang laki-laki memasukkan zakarnya kepada faraj perempuan karena berkehendak sedap. Sebab syahwat basyariah adalah perempuan itu berbaring terlentang dan laki-laki duduk bertinggung dan paha perempuan itu ternaik kepada paha laki-laki. Maka apabila masuk zakar laki-laki itu maka menggerakkanlah ia akan punggungnya supaya keluar masuk zakarnya di dalam faraj perempuan itu. Maka perempuan itupun merasa juga nikmat yakni sedap.”

“Dan terkadang pula perempuan menggerakkanlah punggungnya karena hendak memberikan nikmat kepada laki-laki pula. Maka digerakkannya punggungnya itu ke kiri dan ke kanan. Atau karena ia hendak mengenakkan dengan kuat-kuat tepi farajnya itu digesek oleh zakar itu, demikianlah halnya. Dan terkadang ada pula yang baring menyerinding dan ada pula yang mendatangi daripada pihak belakangnya. Dan terkadang ada pula laki-laki itu berdiri dan perempuan itu berbaring pada suatu tempat. Dan masing-masing halnya mana-mana kesukaan antara keduanya. Adapun hingganya yaitu apabila laki-laki itu sudah anzal maninya, maka berhentilah ia. Atau dinantikannya perempuan itu anzal, maka yaitu yang terlebih baik.” (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa: 53-55).

Ketika ia mengurai sebuah kata entri “Amput”, ia mengatakan ini adalah bahasa mencarut dan lebih kasar dari kata “ayuk”. Kata ini, menurut Raja Ali Haji, kebanyakan diucapakan untuk mengekspresikan ketika seseorang sedang marah besar. Ia menyebutkan bahwa kata ini terpaksa dimuat dalam kamusnya demi membedakan dengan bahasa yang lainnya, dan kalau hanya “dimisalkan” kurang terang/jelas makna yang dikandungnya. Untuk itu, Raja Ali Haji mengingatkan, “inilah bahasa yang amat kasar… siapa yang membaca tentang ini hendaklah jangan dibaca dengan lidah, tetapi hendaklah dibaca dengan hati.” (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa: 76).

Selain itu, penjelasan dan uraian tentang kata “tembam”, menurut Raja Ali Haji, lebih masyhur dipergunakan untuk menjelaskan “bentuk dan sifat” alat kelamin perempuan. Untuk kata “tembam” Raja Ali Haji memberikan uraian, “…. Kemaluannya itu lebar dagingnya tebal sebelah atas, jadi tinggilah tampaknya. Tulangnya jika dirasa dengan tangan jauh ke dalam dan pada tepi lubangnya itu tebal juga dagingnya dan jadilah bangun kemaluannya itu lebar bentuknya tinggi sebelah atasanya dan jika tampak dari sebelah hadapan seolah-olah rupanya binatang belangkas yang melekap sesuatu.”

Raja Ali Haji menambah penjelasannya, pada ghalibnya kebanyakan orang Melayu menyukai alat kelamin perempuan yang tembam karena lebih mudah membangitkan gairah seksual laki-laki yang lemah syahwat. Akan tetapi, Raja Ali Haji menambahkan dengan nada mengingatkan, “Hai segala tuan-tuan mendengar tentang bicara ini jangalah salah sangka takwil karena jika tiada kuterangkan begini jika membaca logat Melayu yang bukannya bahasa darinya masih tiada putus pengetahuannya terkadang bertanya pula selalu-selalu….” (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa: 270).

Raja Ali Haji memberikan pengertian kata “Jangak” dengan panjang lebar dari berbagai jenis sifat, sikap dan perbuatan tidak baik. Khusus berkaitan dengan perempuan, menurut Raja Ali Haji, dikatakan “jangak” berawal dari perbuatannya suka bersolek secara berlebih-lebihan dengan maksud merebut perhatian laki-laki.

Raja Ali Haji menambahkan, “Adalah matanya lekat memandang laki-laki itu, dan suka ia duduk kepada pintu-pintu rumah atau tingkap-tingkap sekira-kira tampak dilihat orang laki-laki pura-puralah ia membuat pekerjaan di situ. Akan tetapi bekerja itu selalu sahaja mengerling kepada laki-laki yang tampak dengan dia itu dan jika ada laki-laki, hampir-hampir dengan dia bercakap-cakap, maka membuat pula ia pura-pura terlepas kain di hadapan laki-laki itu tampaklah susunya dan terkadang jika ia duduk ada laki-laki di belakangnya pura-pura pula ia melepaskan kainnya sebelah punggung ke tikar, jadi tampaklah punggungnya terputih dan lekuk-lekuk sebelah bawah punggung itu tampaklah dilihat laki-laki itu kemudian ia pura-pura terkejut menutup punggungnya lekas-lekas.”

Kemudian, cerita wanita “jangak” berlanjut, ketika gairah seksual laki-laki itu bangkit dan ingin berhubungan seks dengan wanita itu, sangatlah gampang mendapatkannya. Sedemikian gampangnya, kata Raja Ali Haji, sehingga laki-laki tidak perlu mengeluarkan “biaya”, bahkan kalau perempuan itu menghendakinya, terkadang ia yang mengeluarkan “biaya” untuk laki-laki yang mau melayaninya. Selanjutnya, Raja Ali Haji menutup entri “jangak” ini dengan kalimat, “Syahdan tidaklah ia sunyi daripada menaruh kehendak sedia saja lepas seorang-seorang pula, dilawannya berkehendak maka perempuan itulah bernama jangak adanya.” (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 296).

Kalau membaca karya Raja Ali Haji baik syair maupun prosa yang bernada fulgar dan forno tentang seks, mungkin seseorang terkesan bahwa pengarangnya terobsesi oleh naluri dan libido seksual. Akan tetapi, ketika merujuk kepada entri-entri yang ada di dalam Kitab Pengetahuan Bahasa secara komprehensif, menurut Jan van der Putten, kita harus menahan anggapan dan pemikiran kita semacam itu terhadap Raja Ali Haji, sebab masalah seksual hanyalah sejumlah kecil “kata-kepala” ditulisnya dalam Kitab Pengetahuan Bahasa. Justru entri-entri yang terdapat dalam Kitab Pengetahuan Bahasa, sebagian besar adalah entri kata yang mendefinisikan dan menjelasakan tentang perbuatan baik dan aturan etika-moral sesuai dengan tuntunan agama dan adat istiadat. (Putten, “On Sex, Drug, and Good Manner: Raja Ali Haji as Lexicographer”, JSAS, Vol. 33, No. 3, (2002): 426).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb,
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

*Alimuddin Hassan Palawa,
(Direktur &Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau).

Leave a Reply