49 PERSEBATIAN MELAYU-BUGIS (4): Era Kejayaan Kerajaan Johor-Riau dan Perang Riau

49 PERSEBATIAN MELAYU-BUGIS (4): Era Kejayaan Kerajaan Johor-Riau dan Perang Riau

Oleh Alimuddin Hassan Palawa

 

Setelah meletakkan dasar pemerintahan politik dalam negeri, Sultan Sulaiman dan YDM I Kerjaan Johor-Riau (1722-1728) Daeng Marewa melakukan hubungan politik dan perdagangan dunia luar. Pada gilirannya secara berangsur-angsur kerajaan Melayu Riau mulai ramai dikunjungi orang dari berbagai daerah dan bangsa, misalnya dari Cina, Siam India dan Arab. Keadaan ini semakin bertambah maju ketika Daeng Cellak memangku jabatan YDM II Kerajaan Johor-Riau (1728-1745). Pada masa pemerintahannya, sebagaimana disebutkan Raja Ali Haji dalam Tuḥfat al-Nafīs, Daeng Cellak membangun perkebunan gambir yang menjadi salah satu komoditi penting perdagangan bagi pendapatan ekonomi kerajaan.(Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 97).

Daeng Cellak juga mengembangan pertambangan timah di daerah Selangor, dan belakangan kebijakan ini diteruskan Daeng Kamboja YDM III (1748-1764) Melayu Riau.Perdagangan timah ini pernah menjadi penyebab peperangan pada masa pemerintahan YDM III Daeng Kamboja dengan kompeni Belanda, karena Daeng Kamboja menjual timah kepada Inggris secara bebas dan besar-besaran. Sedangkan hak monopoli perdagangan timah, menurut perjanjian Linggi, berada di tangan kompeni Belanda. Lihat, Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 98; lihat juga, Rustam S. Abrur, Sejarah Perjuangan Raja Haji, 94.

Pada masa ini kerajaan Melayu Riau menjadi pusat perdagangan, dan pelabuhannya menjadi transito antara barat dan timur. Kapal-kapal dari berbagai penjuru dunia berlabuh di pelabuhan kerajaan Melayu Riau. Dengan begitu, semakin memberikan peluang penarikan cukai yang sangat besar jumlahnya bagi keuntungan pemasukan pendapatan kerajaan. Kondisi ini tampak jelas diuraikan Raja Ali Haji dalam Tuḥfat al-Nafīs:

“Syahdan kata sahibul hikayat pada masa inilah negeri Riau itu ramai serta makmurnya dan segala dagangpun banyaklah datang dari negeri Jawa dan kapal dari Benggala membawa apium dan lain-lain dagangan, dan segala perahu dagang di Kuala Riau pun penohlah daripada kapal dan kichi… segala perahu-perahu rantau berchuchuk ikatan bersambung dan mendarat, demikianlah. Kemudian pada masa Yang Dipertuan Muda Daeng Kamboja rosaklah sebentar, kemudian baik pula semula hingga Yang Dipertuan Muda Raja Haji, makin ramailah. (lihat, Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs,97).

Di samping itu, kerjaaan Melayu Riau memegang hegemoni dalam bidang politik dan militer (armada tempur) yang tangguh serta disegani di daerah perairan Nusantara belahan barat. Kenyataan ini terlihat, misalnya ketika menjadi kelana –sebagai pembantu YDM III Daeng Kamboja– selama kurang lebih tiga dasawarsa, Raja Haji menyusun angkatan laut dan mengorganisir kekuatan militer serta menjalin hubungan diplomatik dalam perjalanan ekspedisinya di wilayah kawasan kerajaan-kerajaan tetangga, yaitu Selangor, Perak, Kedah Indragiri, Jambi, Bangka, Palembang, Mempawah dan Pontianak. (Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 97).

Dalam ekspedisi keberbagai daerah Raja Haji memainkan peran penting. Di Kedah, misalnya Raja Haji menjadi penengah ketika di sana terjadi perebutan tahta kekuasaan. Di Selangor ia terlibat perang dengan penjajah Belanda dan mengukuhkan saudaranya, Raja Lumu menjadi sultan. Di Asahan ia mengikat tali hubungan dengan memperistri putri raja. Ia berkunjung ke Jambi atas undangan raja Jambi. Dari kerajaan ini Raja Haji diberi gelar Sutawijaya setelah memperistri putri raja Jambi.

Setelah dari Jambi ia pergi ke Indragiri untuk membantu mengembalikan kekuasaan raja Indrigiri dari kekuasaan raja Bayan, dan pada akhirnya menjadi menantu raja setempat dengan memperistri putrinya, Raja Halimah. Di daerah ini atas izin raja ia membuka dua buah negeri, kuala Cinaku dan Pekan Lais. Tidak lama berselang, ia kembali berkunjung ke Mempawah dan Pontianak. Disini ia membantu Pangeran Syarif Abdurrahman dalam perang pengalahkan Penembahan Senggau, dan pada akhirnya menobatkan Pangeran Syarif Abdrurrahman menjadi raja di Pontianak. Atas jasanya itu Raja Haji mendapat kehormatan dan istana dari Pangeran Sharif Abdurrahman.(Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 133 dan 153; Matheson, Tuḥfat al-Nafīs, Sejarah Melayu-Islam, 376-384; Rustam S. Abrur, Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabililah, 30).

Pada masa pengembaraannya sebagai kelana, Raja Haji banyak sekali mendapat gelar disandangkan oleh penjajah Belanda kepadanya, misalanya ia dijuluki “pengembara yang merugikan”, “pemimpin kharismatik yang gemar berperang”, “pahlawan Skandinavia kuno yang tindakannya akan didendangkan orang dalam syair dan lagu”, ”pejuang ternama yang diingini oleh setiap raja berada dipihaknya”, dan “petualang yang kegagahannya menjadi cerita dan legenda”. (Lihat, Rustam S. Abrur, Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, 30-31).

Ketika berada di Pontianak, Raja Haji mendapat kabar bahwa YDM III Daeng Kamboja telah mengkat, maka ia bergegas pulang ke Riau. Setelah sampai di Riau, Raja Haji dilantik menjadi YDM IV Riau pada 1777. Meskipun masa pemerintahan Raja Haji sebagai YDM IV Riau ini berlangsung singkat, hanya sekitar tujuh tahun, tetapi pada masanya Kerajaan Johor-Riau-Lingga mencapai kegemilangan dan kejayaan dalam bidang ekonomi-perdagangan dan politik-militer.

Keadaan kerajaan Johor-Riau pada masa Raja Haji ini dipaparkan Raja Ali Haji dalam Tuḥfat al-Nafīs bahwa Kerajaan Johor Riau-Lingga menjadi makmur. Kemakmuran ini disebabkan di antaranya banyaknya mendapatkan pemasukan kerajaan dari cukai. Dari dana itu pula Raja Haji membangun armada tempurnya yang sangat disegani di perairan barat Nusantara.Selain itu, pada masa ini kondisi politik kerjaaan demikian stabil, aman dan makmurnya, harga-harga barang dan komuditas menjadi murah, dan para pedagang mendapatkan untung karena ramainya pembeli. (Virginia Matheson (ed.), Tuḥfat al-Nafīs Sejarah Melayu Islam, 197).

Masyarakat Pulau Penyengat memandang bahwa pada abad ke-19 merupakan masa keemasan Pulau Penyegat.Pada waktu itu, masyarakat pulau ini boleh dikatakan hidup dengan sejahtera dan tidak terdapat orang miskin. Pada masa itu jumlah penduduk di Pulau Penyengat diperkirakan mencapai sekitar 9.000 jiwa, sedangkan di Tanjung Pinang dan Daik-Lingga masing-masing hanya sekitar 4.000 jiwa. Sumber pendapatan masyarakat Pulau Penyengat susah untuk diidentifikasi, tapi beberapa raja Pulau Penyengat mempunyai properti di Singapura, mempunyai pertambangan di kepulauan Riau dan menekuni bisnis yang sangat menguntungkan. Bandingkan, misalnya dengan jumlah penduduk kota Surabaya pada masa pemerintahan Sultan Agung yang berjumlah 60.000 jiwa. (Lihat, Virginia Matheson, “Pulau Penyengat: Nineteenth Century”, 159; Barbara W. Andaya, “From Rum to Tokyo: The Search for Anticolonial Allies by the Rules of Riau 1899-1914, dalam Indonesia, no. 24, (1977), 217; Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru (Jakarta: Gramedia, 1985), 137; Hasan Junus, Raja Ali Haji Budayawan, 9).

Dari hasil ekonomi dan perdagangan tersebut Raja Haji membangun istana di Pulau Malam Dewa beserta “kota-kota yang indah-indah yang bertatah dengan pinggan dan piring dan satu pula dindingnya cermin, yang disebut memancarkan sinarnya bila diterpa sinar matahari.” Juga disebutkan bahwa perhiasan istana dibuat dari emas dan perak, sedangkan “pinggan mangkuk dan cawan kahwa dan teh diperbuat dari negeri cina…” Di samping itu, ia juga membangun istana yang indah untuk Yang Dipertuan Muda Besar, Sultan Mahmud di sungai Galang Besar. Dari penjelasan ini tergambar jelas bagaimana kedikjayaan politik dan kejayaan ekonomi kerajaan Johor Riau di era Raja Haji. (Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 187; Virginia Matheson, Tuḥfat al-Nafīs, Sejarah Melayu Islam, 196-197.)

Kerajaan Melayu Johor-Riau memegang hegemoni dalam pemerintahan politik-militer dan ekonomi-perdagangan pada paroh kedua abad ke-18 di bawah pemerintahan Yang Dipertuan Muda (YDM) IV Melayu-Riau, Raja Haji (1777-1784), kakek Raja Ali Haji, sehingga mengantarkan negeri ini kepada kejayaan dan kemakmuran. Kemakmuran itu membaut suasana kondusif untuk menyemai bibit ilmu dan pemahaman keagamaan serta pengalaman spritual. Akan tetapi, hegemoni politik-militer kerajaan Melayu-Riau berakhir –dan ekonomi-perdagangan turut (pula) surut– setelah terjadi peperangan antara Belanda dan kerajaan Johor-Riau di bawah pimpinan YDM IV Riau Raja Haji.

Dalam Tuḥfat al-Nafīs Raja Ali Haji menuturkan bahwa casus belli terjadinya perang Riau antara Raja Haji dengan kompeni Belanda, karena pihak Belanda melanggar perjanjian yang telah disepakati bersama dengan pihak Raja Haji. Terdapat versi lain yang menyebutkan penyebab perang Riau, yang menurut pengakuan Raja Ali Haji, sumbernya ia peroleh dari “Sirah Lingga dan Riau” karangan Engku Busu. Sirah karangan Engku Busu menyebutkan bahwa Raja Kecil Tun Dalam Yang Dipertuan Trengganau sepakat dengan Kapten Class mengatur siasat untuk memancing kemarahan orang Riau. Mereka sepakat, Kapten Class akan membuat kerusahan di Kuala Riau agar orang-orang Riau marah kepada Belanda, dan Raja Kecil Tun Dalam akan menyerahkan, sebagai imbalan seorang wanita cantik cina yang baru masuk Islam, Jamilah namanya, sebagai imbalannya. Akhirnya, Jamilah hamil di tangan Kapten Class. (Lihat, Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 196-197).

Dalam perjanjian antara meraka disebutkan bahwa musuh orang Belanda adalah juga musuh kerajaan Melayu Riau. Namun ketika terjadi penangkapan kapal Inggris bernama “Betsy” memuat candu di pelabuhan Bayan, dalam kawasan teluk Riau, Raja Haji menginformasikan kepada pihak Belanda di Malaka. Akan tetapi, dua belas hari kemudian, Mathurin Barbaron datang ke Riau untuk membawa kapal tersebut ke Malaka tanpa sepengetahuan Raja Haji.

Kemudian candu tersebut dijual dengan harga yang sangat mahal di Batavia. Dan Raja Haji tidak mendapatkan hasil dari penjualan itu yang, kalau menurut perjanjian, seharusnya pihaknya juga mendapat separuh dari hasil penjualan candu tersebut. Dengan begitu, Raja Haji merasa dikhianati dan dirugikan serta kehormatannya merasa sudah diinjak-injak oleh Belanda. Karenanya, ia mengembalikan surat perjanjian dan dipandangnya sudah tidak berlaku lagi. Atas sikap tegas Raja Haji ini disikapi pihak Belanda dengan mempersiapkan angkatan perang untuk menyerang kerajaan Melayu-Riau. (Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 196-207; Rustam S. Abrur, Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, 58-59; Hasan Junus, Raja Ali Haji Budayawan, 134; Lihat juga, Reinout Vos, “The Broken Balance the Origins of the War Between Riau and the VOC in 1783-1784”, dalam State and Trade in the Indonesian Archipelago, ed. G. J. Schutte (Leiden: KITLV Press, 1994), 115-139).

Belanda mengirim pernyataan perang kepada Raja Haji pada 18 Juni 1783 ketika kapal-kapal Belanda tiba di perairan Riau di bawah pimpinan Toger Abo. Tiga hari berselang, pada 23 Juni 1783, Raja Haji menjawab pernyataan perang tersebut. Dengan kekuatan perang di bawah komandonya langsung, Raja Haji memulai perang babak pertama dengan menyerang 13 kapal Belanda yang terdiri dari 1500 orang personil. Dalam pertempuran ini, pihak tentara Belanda merasa kewalahan menghadapi pasukan Raja Haji, danolehkarenanya, pihak Belanda mengirim bantuan dari Batavia untuk meneruskan peperangan. Pimpinan angkatan perang Belanda kali ini dipegang oleh Arnoldus Lemker di atas kapal komando “Malaka’s Welvaren”.

Merasa kembali terdesak pihak Belanda menawarkan perundingan, tetapi tawaran tersebut ditapik oleh Raja Haji. Dengan ditolaknya tawaran itu Belanda melancarkan serangan besar-besaran 6 Januari 1784. Namun dalam pertempuran yang berkecamuk, malang bagi pihak Belanda, Kapal komando “Malaka’s Walvaren” mampu diledakkan pasukan Raja Haji. Dan kapal-kapal angkatan perang Belanda masih tersisa lainnya mundur dan kembali berlabuh di Malaka. Sehingga peperangan babak pertama ini kemenangan ada pada pihak Raja Haji. (Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 196-207; Rustam S. Abrur, Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, 66;Hasan Junus, Raja Ali Haji: Budayawan, 134).

Kemudian, peperangan babak kedua berlangsung pada 13 Februari 1784 ditandai dengan mendaratnya pasukan Raja Haji di Teluk Katapang, Melaka. Kemudian perang dilanjutkan dengan mengikutsertakan orang dari Selangor dan Rembau. Dengan kekuatan penuh yang dimiliki itu, Raja Haji mempu merebut kembali kubu-kubu yang selama ini dikuasai oleh Belanda, misalnya di Semabuk, Bunga Raya, Bandar Hilir dan Bukit Cina.

Menyadari kondisinya yang semakin terpojok, pihak Belanda di Malaka kembali menghubungi Gubernur Jederal Belanda di Batavia agar mengirimkan bantuan pasukan dan peralatan perang. Maka dikerahkan pasukan secara besar-besaran yang baru datang dari negeri Belanda dibawah panglima yang tidak asing lagi, Laksamana Jacob Pieter van Braam. Penambahan kekuatan dari Batavia ini tidak tanggung-tanggung terdiri dari: 6 buah kapal perang dengan 2130 personil pasukan, dan 326 buah meriam. Armada perang ini pada mulanya akandipersiapkan untuk dikirim ke Maluku karena di Ternate juga terjadi pemberontakan terhadap Peta Alam yang menjadi vasal VOC. (Lihat, Rustam S. Abrur, et.al., Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, 71).

Pada awal 1784 Sultan Mahmud datang ke Teluk Ketapang menemui YDM Raja Haji. Pada kesempatan inilah, di hadapan Sultan Mahmud, Raja Haji sudah siap untuk mendapatkan “faḍīlah shahīd”. Pada 20 Mei 1784 kapal-kapal perang di bawah komando J. P. van Braam tiba di Melaka dan berlabuh di Teluk Katapang. Sekitar setengah bulan kemudian, persisnya, 18 Juni 1784 pasukan Belanda mendarat.

Kemudian terjadilah pertempuran habis-habisan di antara kedua belah pihak. Pada peperangan babak pertama pimpinan perang Belanda yang tewas, maka pada peperangan babak kedua ini pimpinan perang Riau, Raja Haji sendiri menemui ajalnya di jalan Allah di teluk Ketapang pada tanggal 18 Juni 1784. Raja Haji wafat dijalan Allah (fī sabīl Allāh) demi memperjuangkan kedaulatan kerajaan dan membela marwah negerinya, serta mempertahankan kebenaran agama diyakininya, maka sepeninggalannya ia dikenal dengan nama Raja Haji Fisabilillah. (Mengenai perang Riau, lihat, Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 196-207; bandingan dengan Rustam S. Abrur, Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, 55-76 dan 87-124 ; lihat pula, Hasan Junus, Raja Ali Haji Budayawan, 134. Barbara W. Andaya dan Leonard Y. Andaya, History of Malaysia, 79; E. Netscher, Belanda Di Johor dan Siak 1602-1865, terj. Wan Ghalib, dkk. dariDe Nederlandeers in Djohor en Siak 1602 tot 1865 (Yayasan Arkeologi dan Sejarah ”Bina Pustaka”, 2002), 295; W.E. Maxwell, “Raja Haji”, dalam Journal of Straits Branch of the Royal Asiatic Society), No. 81 (1890), 188-224).

Gambaran tentang kepahlawanan dan keberanian Raja Haji terlihat, misalnya menjelang ajalnya sebelum beberapa peluru bersarang di dadanya, ia berdiri di samping mariam memimpin dan memberi semangat pasukan dengan sebilah badik di tangan kanannya, dan sebuah kitab Dalāyl al-Khayrāt di tangan kirinya. (Lihat, Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 207; E. Netscher, Belanda Di Johor dan Siak, 329). Sedangkan mengenai kemenangan perang pertama Raja Haji melawan Belanda, Tengku Lucman Sinar menyimpulkan:

“Sebenarnya patut dicatat bahwa inilah suatu peristiwa perang pertama di Asia Timur, di mana armada salah satu adi kuasa maritim terkuat di Eropa dikalahkan oleh armada perahu imperium kerajaan Johor-Riau di perairan Asia.” (Lihat, Rustam S. Abrur, et.al., Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, xxii).Akan tetapi, kedahsyatan perang di bawah pimpinan Raja Haji ini belum tercatat dalam penulisan sejarah nasional Indonesia. Begitu pula, usulan pengangkatan Raja Haji sebagai pahlawan nasional harus menunggu waktu yang cukup lama untuk kemudian dikukuhkan oleh pemerintahan pusat. Padahal, perlawanan perang Riau di bawah pimpin Raja Haji itu sangat merepotkan pihak Belanda, dan kepahlawanan Raja Haji sendiri tidak kalah heroiknya, misalnya dengan kepahlawanan Imam Banjol, Pangeran Dipanegoro dan Sultan Hasanuddin yang masyhur itu.

Dan mengenai tokoh kepahlawanan Raja Haji dengan baik dapat dilihat lebih lanjut dari hasil seminar, “Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah”, yang kemudian diterbitkan oleh Pemda Tingkat I Riau; sebagaimana dikutip sebelumnya.Ketokohan dan kepahlawanan Raja Haji sendiri dalam menentang kolonialisme Belanda baru belakangan diakui oleh pemerintah Indonesia dengan diangkatnya sebagai pahlawan nasional. Akan tetapi, pemberian gelar oleh pemerintah pusat baru diberikan kepadanya setelah menunggu waktu yang cukup lama sejak diusulkannya oleh pemerintah daerah Provinsi Riau tahun 1988.

Kesimpulan utama dari Seminar “Sejarah Pejuangan Kepahlawanan Raja Haji Fisabilillah” diselenggarakan pada 26-28 Mei 1988di Tanjung Pinang, adalah merekomendasikan pengangkatan Raja Haji sebagai Pahlawan Nasional. Kesimpulan ini diambil berdasarkanfakta-fakta sejarah di sempaikan pakar yang otoritatif. Tim Pengkaji dan Penulisan Seminar, terdiri dari: Suwardi MS, Drs. M. Daud Kadir, Hasan Junus, Ismail Kadir, R. Hamzah Yunus, Eddy Mawuntu, Abubakar Matrang, Drs. Auni M. Nur, Drs. S. Fauzul, Drs. Nyat Kadir, dan H. Mukhsin Khalaidi. Narasumber pada seminar itu dan masing-masing judul makalahnya adalah (diurut sesuai dengan ‘Daftar Isi” buku Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah): 1)Tengku Lucman Sinar, SH., “Kepahlawan Yamtuan Muda Raja Haji Fisabilillah Marhom Teluk Katapang”; 2) Prof. Dr. S. Budhisantoso, “Peranan dan Tradisi Sejarah Kepahlawanan Raja Haji Fisabilillah”; 3)Abdurrachman Surjomiharjo, “Kesadaran Sejarah, Pahlawan dan Integrasi Nasional”; 4) Taufik Abdullah – Makalah: Abad 18 Di Selat Malaka dan Raja haji yang Terlupakan”; 5) Tanu Suherly, “Konsep politik dan Strategi Raja haji Yang Dipertuan Mudaa IV Kerajaan Melayu Riau (Sebuah Tnjauan)”; 6) A.B. Lapian, “Riau dan Pelayaran di Perairan Selat Malaka Pada Abad XVIII”; 7) Dra. Ar. D. Kemalawati, “Peranan Raja Haji dalam Perjuangan Melawan Penjajah Belanda di Riau”; 8) Prof. Dr. Ibrahim Alfian, “Gema Perang Fisabilillah Raja Haji”; 9) Hamid Abdullah, “Melacak Perjuangan Raja Haji”; dan 10) Rustam S. Abrus, “Raja Haji Fisabilillah Memimpin Rakyat Riau Dalam Perang Melawan Kolonialisme Belanda (1782-1782)”. Lihat, Rustam S. Abrur, et.al., Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, (Pekanbaru: Pemda Raiu, 1988).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh

Alimuddin Hassan Palawa,
Direktur & Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies) UIN Suska Riau.

Leave a Reply