MERAWAT PANCASILA MERAWAT ISLAM

MERAWAT PANCASILA MERAWAT ISLAM

Oleh: Fadila Khusnun

 

Sejak awal republik ini berdiri, perdebatan tentang dasar negara serta bentuk negara, sudah mencuat. Wacana untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Khilafah (Baca: berlandaskan syariat Islam) bukanlah ihwal baru. Serupa dengan diskursus menjadikan Indonesia sebagai negara sekuler. Setelah melalui perdebatan dan renungan panjang, dengan kearifan serta kebijaksanaan para pendiri bangsa ini, kemudian sepakat untuk menjadikan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai dasar negara Indonesia.

Namun pada perjalananya, pada saat sidang Konstituante tahun 1959, faksi Islam kembali memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Akhirnya, memaksa Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit, kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara Indonesia. Di era Orde Baru, di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, beliau menegaskan kembali bahwa hanya Pancasila dan UUD 1945 yang menjadi dasar negara bagi bangsa ini, bukan Islam, sekularisme, apalagi komunisme. Ketika Orde Baru tumbang, masyarakat bebas bersuara, dinamika perdebatan dan dialektika wacana mengenai hal ini menguap kembali ke permukaan, seiring dengan menguatnya isu radikalisme berbasis agama.

Trend radikalisme berbasis agama, saat ini merambah ke kampus-kampus serta pelajar Indonesia. Di lingkup akademis inilah paham-paham yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 tumbuh subur. Hal ini tidak bisa dilihat secara kasat mata, tapi dampaknya terasa. Pelajar dan mahasiswa dipupuk dengan ideologi Indonesia mesti menjadi negara Islam, perang dibolehkan melawan musuh Islam, dan kafir bagi kaum yang tidak mendukung syariat Islam (Hassanuddin Ali, 2019).

Mengembalikan tujuh kata yang dihilangkan dari Piagam Jakarta (Jakarta Charter), “berkewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” kembali diembuskan sebagai napas perjuangan mereka. Alasan-alasan seperti Islam sebagai mayoritas tidak mendapatkan haknya secara penuh serta Islam sebagai solusi di segala lini, khususnya atas permasalahan yang terjadi di Indonesia, dijadikan spirit untuk mengganti dasar negara dan bentuk negara menjadi negara Islam. Bagi mereka, agama—dalam hal ini Islam dan negara sejatinya merupakan integralistik yang tidak dapat dipisahkan. Semestinya, ini menjadi alarm wake up call bagi kita: the ideology of the nation is under attack.

Jika ditilik ke belakang, secara historikal, umat Islam sendiri mulai hidup bernegara sejak Nabi saw. hijrah ke Yatsrib (saat ini Madinah). Di Madinah, suatu komunitas bangsa dengan cita-cita bersama membangun negara berlandaskan kehidupan yang majemuk terlahir. Kemajemukan itu dibuktikan dengan adanya kaum muslim dan non muslim, kaum Muhajirin pengikut Nabi dari Mekah dan kaum Anshar pengikut Nabi dari Madinah.

Setelah menetap di Madinah, Nabi merumuskan dan mengumumkan Piagam Madinah. Isi Piagam Madinah yang dinyatakan di antaranya, “Kaum Muslimin adalah umat bersatu utuh, mereka hidup berdampingan dengan dengan kelompok-kelompok masyarakat lain. Semua warga akan saling bahu membahu dalam menghadapi pihak lain yang melancarkan serangan terhadap Yatsrib (Madinah) dan Surat Perjanjian ini tidak mencegah (membela) orang yang berbuat aniaya dan dosa. Setiap orang dijamin keamanannya, baik sedang berada di Madinah mau pun sedang di luar Madinah, kecuali berbuat aniaya dan dosa.” Kandungan pokok Piagam Madinah tersebut mencerminkan sifat pluralisme sebagai suatu bangsa, bukan sebagai suatu negara berdasarkan agama tertentu (Dahlan, 2014). Piagam Madinah menjadi bukti bahwa sejak awal,peran Islam amat krusial dalam hal kenegaraan,dengan visi mempersatukan seluruh masyarakat dalam ikatan politik kenegaraan, bukan dalam ideologi agama Islam.

Prinsip hidup bernegara yang dibangun oleh Nabi, dipandang bersifat egaliter, inklusif, pluralis, dan aspiratif (Dahlan, 2014).  Hal ini dapat dilihat dari Perjanjian Hudaibiyah yang ketika itu Nabi mendengarkan aspirasi dari Suhail bin Amr, Seorang utusan Quraisy. Nabi meminta Ali bin Abi Thalib menulis “Dengan Nama Tuhan Maha Penyayang dan Maha Pengasih”, Suhail menyela bahwasannya dia tidak mengenal sifat Tuhan yang Maha Penyayang dan Maha Pengasih, kemudian ia meminta untuk diganti menjadi, “Dengan nama-Mu ya Tuhan”. Lalu, Nabi meminta Ali untuk menuliskan seperti apa yang diingini Suhail. Ketika Nabi meminta Ali menulis, “Berikut ini merupakan naskah perjanjian yang dicapai antara Muhammad utusan Allah dan Suhail bin Amr”, Suhail juga menyelanya dengan mengatakan bahwa, “Jika aku memercayai Beliau sebagai utusan Allah, maka aku tidak akan memusuhinya” dan ia meminta agar kata-kata “Muhammad utusan Allah itu dihapus menjadi Muhammad bin Abdullah”, yang hal ini kemudian menjadikan sahabat marah. Tetapi, sekali lagi Nabi meminta Ali untuk menulis seperti apa yang dikehendaki Suhail. Melalui prinsip hidup bernegara tersebut, Nabi mencapai kesepakatan dengan kaum Quraisy, sehingga Nabi dan para sahabatnya masih bisa menjalankan ibadah umrah di Makkah.

Sebagai satu negara yang berdiri di atas kemajemukan, mestinya kita bisa belajar dari hal tersebut. Para pendiri bangsa ini bukanlah orang-orang yang tidak berpikir panjang. Mereka memfinalkan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai sebuah negara, dengan dasar negara Pancasila dan UUD 1945 di tengah puspa ragam perbedaan bukanlah tanpa alasan. Pancasila merupakan bentuk kompromi para pendiri bangsa, tidak ada keberpihakan di dalamnya. Penghapusan tujuh kata dari Piagam Jakarta bukan pula tanpa alasan, para pendiri bangsa mendengar aspirasi masyarakat Timur, meski pun mereka sebagai minoritas.

Kalangan yang menginginkan Indonesia menjadi negara Islam, mungkin hendaknya diingatkan kembali. Barangkali, kalangan tersebut ialah kalangan ahistoris yang lupa proses dialektika sejarahnya, bahwa bangsa ini meraih kemerdekaannya bukan karena satu atau sekelompok gologan saja, namun dihasilkan dari keberhasilan banyak kelompok atau golongan yang berhasil mengubur egonya. Tak lagi membedakan agama, suku, dari mana mereka berasal serta hal yang bersifat primordial lainnya.

Pertentangan terhadap Pancasila dengan nilai Islam, semestinya memang tidak perlu. Pancasila ialah manifestasi dari bentuk negara Islami. Nilai-nilai dasar dalam Pancasila mengandung unsur-unsur keIslamian meski pun tidak tertulis secara gamblang, yang dijadikan acuan dalam bertindak sebagai bangsa yang berkeadaban. Sehingga, dari pada disibukkan dengan wacana mengganti dasar dan bentuk negara berlandaskan syariat Islam, alangkah lebih arif jika nilai-nilai Islam sendiri digunakan untuk merawat Pancasila.

Leave a Reply