Toleransi di Era Digital

Toleransi di Era Digital

By: Danang Esha M.

Indonesia merupakan negara yang beragama, ini biasa dilihat dari dasar Negara dan juga undang-undangnya. Sila pertama Pancasila, yaitu “Ketuhanan yang Maha Esa”, serta pasal 28E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakanan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama danber ibadat menurut agamanya..”Landasan tersebut sudah jelas, Indonesia adalah negara yang beragama dan berketuhanan. Ada 6 agama yang diakui di Indonesia mencerminkan keberagaman,keberagaman inilah yang terkadang menimbulkan pergesekan antar umat beragama.

Di Indonesia, Islam adalah agama mayoritas, umat Muslim di Indonesia adalah yang terbanyak di dunia, namun tak heran banyak juga yang Islam “KTP”. Maksudnya, ketika seseorang hanya di identitasnya saja Islam, namun prilakunya jauh dari itu. Sebagai mayoritas, beberapa oknum yang beragama Islam bertindak otoriter, contohnya salah satunya yaitu pemotongan nisan salib di pemakaman tepatnya di Yogyakarta pada akhir 2018. Berita tersebut dengan cepat viral melalui media sosial, misalnya Twitter. Contoh lainnya, pada bulan Februari tahun ini, beredar sebuah video berasaldari pemilikakun Twitter @beamerboyy_. Di dalam video tersebut, Nampak seorangpemuka agama non-Islam, membacakan surat pernyataan bahwa, agama tersebut tidak akan melakukan kegiatan keagamaan dalam waktu yang ditentukan, yang mana tempat ibadah mereka di lingkungan kaum Muslim. Di dalam video itu, pemuka agama mengatakan bahwa tidak ada paksaan dari pihak manapun, namun berdasarkan pengamatan penulis ketika melihat video tersebut, jelas beliau terpaksa melakukan itu dan mendapatkan intervensi dari masyaakat yang berbondong-bondong mengelilinginya. Meskipun begitu, sebagai umat Muslim, penulis mencoba berprasangka baik, semoga yang dikatakan beliau benar adanya.

Dari dua contoh di atas, sebagai negara yang beragama dan berketuhanan yang memiliki semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, seharusnya peristiwa tersebut tidak perlu terjadi.Ini sudah jelas di dalam Al-Quran, terjemahan Qs Al – An’am: 108, Allah berfirman:“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti  akan memaki Allah melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”.

Dari ayat di atas, kita sebagai kaum Muslim seharusnya bertoleransi dengan non-muslim, dengan cara tidak mencela mereka terhadap yang mereka lakukan saat berbadah.

Pada era digital ini dan juga kebebasan berpendapat, tak heran terkadang timbul perpecahan antar umat beragama.Ini bisa dilihat melalui Youtube, Twitter, dan media sosial lainnya. Ada juga beberapa oknum non-muslim yang sengaja memancing amarah umat Muslim, bahkanada pula perselisihan sesama Muslim, yang disebabkan oleh perbedaan pendapat, yang mana itu seharusnya pendapat saling menghormati, bukannya saling memaki. Dengan kecanggihan media sosial, bermunculanlah “hoax”yang mana menimbulkan perpecahan umat beragama. Hoax atau sebuah pernyataan yang bohong, yang digunakan segelintir masa untuk memecah suatu kelompok, dan hoax kini pun banyak dijumpai diberbagai berita, terutama di Facebook. Di sinilah banyak dijumpai berita-berita bohong yang bertujuan memecah kerukunan umat.

Sebagai pengguna media sosial yang bisa dibilang aktif, penulis telah memperhatikan pengguna-pengguna media sosial, terutama yang berada di Indonesia.Yang pertama, penggunaakun Twitter. Di jejaring media seperti ini, biasanya penggunanya berumur 15 tahunkeatas.Setiapujarankebencianataucandaanyang  menyangkut agama , pasti akan mendapatkan banyak respons. Dari sekian banyak candaan yang menyangkut agama, ketika Islam yang menjadi sumber candaan, maka banyak warganet yang turut berkomentar dengan nada pedas dan menyayangkan sikapsi pembuat candaan. Warganet yang tidak terima mengatakan bahwa agama bukan bahan untuk dibuat bercanda. Tetapi, di lain sisi banyakjuga yang memuji. Mereka yang mendukung terhadap candaan ini, biasanya menganggapi tubukanlah sesuatu yang berlebihan dan masih dalam batas kewajaran. Dalam kasus ini, penulis mengambil tempat sebagai warganet yang menentang candaan yang melibatkan agama. Ini sesuai dengan firman Allah Qs: At Taubah: 65-66 sebagai berikut terjemahannya.“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersendagurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakahdengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.Jika kami memaafkan sebagian dari kamu (karena telah tobat), niscaya Kami akan mengazab   golongan (yang lain) karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang (selalu) berbuat dosa”.

Berbeda dengan Twitter, usia pengguna Instagram mulai dari 10 tahun, yang mana pada usia tersebut jiwa anak-anaknya masih mendominasi, jadi ketika mereka mengirim konten atau berbalas komentar di Instagram, mereka belum memikirkan dampak yang akan ditimbulkan. Bisa saja perpecahan persatuan umat beragama rusak disebabkan oleh kiri mandarin anak-anak yang belum mengerti dampak yang akanciptakan. Seringkali, pengguna Instagram mengambil kiriman yang viral di Twittertanpa meyantumkan sumber. Ini membuat pengguna Twitter yang kirimannya diambil oleh pengguna Instagram merasa geram. Mereka menanggap pengguna Instagram tidak kreatif, karena hanya mampu mencuri atau mengambil konten dari Instagram.

Di sosial media YouTube juga banyak konten video yang mengujar kebencian, salahsatunya yaitu kanal Louis Budi Prasetyo. Di kanal tersebut, ada seorang pria non muslim, yang mencoba mempengaruhi umat muslim dengan cara mencari kesalahan-kesalahan yang dilakukan ulama. Salah satu videonya berjudul “Mengungkap kekeliruan Ustad Abdul Somad”. Memang di era sekarang ini kita bebas berpendapat namun tidak etis jika seseorang mencari-cari kesalahan orang lain, apalagi orang tersebut bukanlah termasuk golongan, jadi dia tidak tahu menahu tentang topic tersebut. Tujuannya hanya untuk mempengaruhi kaum muslim dan memecah umat beragama.

Akhir-akhir ini heboh tentang NU yang meminta agar non-muslim disebutkafir. Penulis mememukan berita ini di halaman Line Today , di dalam berita tersebut NU meminta agar sebutan kafir bagi non-muslim di Indonesia diganti menjadi muwathinun yang artinya warganegara. Jelas, ini ada yang mendukung dan menolak. Di kolom komentar nampak beberapa komentar, salah satunya dari Angel, “mau dibilang kafir atau apapun juga, iman kami kuat kok bedaamay glaen, jadi terserah situ simau manggil apa dosa juga masing-masing”. Dari sini jelas, bahwa penyebutan kafir di Indonesia masih kurang dipahami dengan baik. Kafir sendiri memiliki artiya itu menutup diri dari kebenaran, asal katanya dari bahasa Arab. Pada zaman nabi juga banyak yang kafir, seperti Abu Lahab, Abu Jahal, mereka orang Arab, tidak marah dipanggil kafir, karena mereka paham apa arti kafir tersebut. Berbeda dengan di Indonesia, arti kafir sendiri masih dianggap tabu dan memiliki nilai negatif. Jadi, penulis berharap agar ulama-ulama Indonesia makin gencar untuk memberi pemahaman bagi mereka yang salah paham akan arti tersebut. Karena di Al-Quran juga sudah jelas penyebutannya yaitu kafir, seperti salah satu surah di Al-Quran yaitu surah Al-Kafirun.

Diakhir penulis ingin menyampaikan bahwa setiap agama pasti mengajarkan tentang nilai-nilai kebaikan, tetapi mengapa kita sebagai umat beragama tidak bisa mengimplementasikannya dikehidupan sehari-hari atau bersosial media, malah saling menebar kebencian. Penulis ingin mengutip kata-kata dari Kim Phuc, beliau adalah korban selamat dari perang Vietnam, yang penulis lihat videonya di Twitter, beliau berkata bahwa “Jika setiap orang bisa belajar untuk hidup dengan cinta, harapan dan memaafkan, jika semua orang bisa melakukan itu, sudah jelas bahwa kita tidak memerlukan perang”.

Dari uraian di atas, penulis berharap agar masyarakat Indonesia makin rukun kedepannya, makin toleransi antar umat beragama di kehidupan sehari-hari maupun didunia maya menggunakan sosial media, jangan mau dipecah belah sebagai bangsa. Bhinneka Tunggal Ika! Kita satu, kita Indonesia!

Pentingnya Spritualitas dalam Pendidikan Kita

Pentingnya Spritualitas dalam Pendidikan Kita

By: Imam Hanafi, MA

Sekretaris ISAIS UIN Suska Riau

Baru-baru ini kita dihadapkan oleh drama pembusukan skandal perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia. Belum lagi selesai kasus ini, wajah negeri ini “ditangisi” oleh godaan nafsu segelintir artis Indonesia yang menawarkan kenikmatan duniawiyah. Belum lagi cerita-cerita busuk lainnya yang selalu menghias di media kita, baik elektronik maupun surat kabar, mulai dari perselingkuhan, korupsi, pemerkosaan, bahkan pembunuhan dengan sangat brutal.

Kondisi ini lah yang saat ini menggayut dan mengitari pendidikan anak-anak kita. Kita sering mengatakan bahwa kualitas pendidikan di negeri ini tergantung pada kualitas guru, kualitas media pembelajaran, kualitaskurikulum, dan seterusnya.

Kita lupa bahwa para pemimpin, penguasa, aparat keamanan, pejabat dan ulama di negeri ini adalah pihak-pihak yang memiliki peran strategis dalam membangun uswatun hasanah bagi anak-anak kita. Mereka ini adalah medium bagi para siswa untuk meniru dan mencontoh gaya hidupnya.

TimbalBalikPendidikandanBudayaPolitik

Institusi-institusi dan proses politik disuatu Negara, membawa dampak besar pada karakteristik pendidikannya. Juga akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku peserta didiknya. Jadi antara pendidikan dan budayapolitik itu mempunyai hubungan erat dan dinamis. Hubungan tersebut adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan peradaban manusia dan menjadi perhatian para ilmuan.

Misalnya sebagaimana yang dikemukakan oleh Rasyid (1994: 6), bahwa “kedudukan politik didalam Islam sama pentingnya dengan pendidikan tanpa otoritas politik, syariat Islam sulit bahkan mustahil untuk ditegakkan. Kekuasaan adalah sarana untuk mempertahankan syiar Islam. Pendidikan bergerak dalam usaha menyadarkan umat menjalankan syariat. Bila politik berfungsi mengayomi di ata, maka pendidikan harus melakukan pembenahan lewat arus bawah”.

Kutipan diatas menegaskan bahwa hubungan antara politik dan pendidikan dalam Islam tampak demikian erat. Perkembangan kegiatan-kegiatan kependidikan banyak dipengaruhi oleh para penguasa dan para penguasa memerlukan hubungan yang baik dengan institusi-institusi pendidikan untuk membenarkan dan mempertahankan kekuasaan mereka.

Persoalannya kemudian adalah ketika lembaga-lembaga di luar pendidikan tidak mampu memberikan nilai-nilai pendidikan.Sehingga, dekadensi moral yang terus saja muncul dikalangan anak-anak dan remaja saat ini, tidak lepas dari andil lembaga-lembaga diluar pendidikan, misalnya para aparatur Negara, para pemimpin politik, dan bahkan para ulama.

Moral generasi muda saat ini, dijejali oleh perilaku-perilaku kerakusan dan keserakahan. Kita terlalu sering mempertontonkan dihadapan anak-anak dan remaja kita, perilaku sadis, membantai, dan menginjak hak-hak orang lain.Aparat keamanan tidak bisa lagi diharapkan untuk menjaga ketenangan masyarakat bahkan aparat keamanan yang seharusnya menjadi panutan masyarakat, lebih memprihatinkan kondisinya (mudah disuap, banyak yang terlibat kasus judi, dan bahkan menjadi salah satu institusi Negara yang terkorup).

Bagaimana mungkin amanat UU NO 20/2003 tentang Sisdiknas yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah “menciptakan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Yuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab“ dapat terwujud? Jika mereka yang menjadi “corong” atau garda terdepan dalam mengawal dan melaksanakan UU tersebut, justru terlibat berbagai skandal yang menodai bangsa ini?.

Perlunya Spritualitas dalam Pendidikan

Pendidikan, khususnya pendidikan formal disekolah, tidaksajamerupakan tempat transfer pengetahuan (Tranfer of Knowlegde)tetapi juga sebagai tempat transfer nilai (Transfer of Value), nilai dalam hal ini sangat erat kaitannya dengan norma-norma dan segala sesuatu yang baik dimasyarakat.

Persoalannya kemudian adalah bagaimana mungkin seorang peserta didik mampu memperoleh sebuah nilai yang baik, jika konstruk sosial masyarakatnya justru memamerkan “kebusukan-sosial”?

Maka, sangatlah perlu kiranya saat ini kita berusaha melakukan upaya penjelajahan terhadap aspek spiritualitas dalam proses pendidikan anak kita. Meskipun tradisi spritualitas ini, sangat uneversal, yaitu semua agama memilikinya.

Penggunaan aspek spritual dalam proses pendidikan yang paling sederhana adalah bagaimana orang tua, guru dan lembaga-lembagadiluarpendidikan (tokoh masyarakat, Politikus, Ulama, Pemerintah) sungguh-sungguh mendoakan pada semua peserta didik di negeri kita ini.Sehingga, saya bisa membayangkan betapa indahnya jika para guru negeri ini, para pemimpin bangsa ini, bangun malam sembari menangis dihadapat Tuhannya demi kesuksesan dan pembentukan moral anak didiknya.

Proses ini saya kira sudah umum dilakukan oleh para Kyai di Pondok Pesantren. Sehingga memang moralitas di Pesantren lebih terbentuk. Karena ada nilai spritualitas dalam proses pendidikanya.

Wal hasil, tradisi spiritualitas dalam Islam memiliki khasanah pemikiran yang sangat kaya dalam pembentukan moral-spiritual seseorang. Sehingga meskipun seringkali spritualitas dimaknai sebagai falsafah hidup dengan kekuatan daya intuitifnya yang subyektif, namun dapat membangkitkan jiwa seseorang dari suatu anomali kejiwaan kepada pemenuhan hasrat spiritual yang berujung pada lahirnya kepribadian yang penuh dengan kearifan.Walla hu a’lam bi al-Showab.

DARI ISRA’ SPRITUAL KE MI’RAJ SOSIAL

DARI ISRA’ SPRITUAL KE MI’RAJ SOSIAL

By: Imam Hanafi, MA.

Sekretaris ISAIS UIN Suska Riau

Seandainya aku Muhammad yang di-Isra’ Mi’raj-kanitu, maka demi Allah aku tidak akan mau dikembalikan lagi kebumi.”

(Sir Muhammad Iqbal)

 

Salah satuperistiwa yang bersejarah dalam kehidupan Nabi Muhammad adalah peristiwaIsraMi’raj. Kenapa bersejarah? Karena ia merupakan milestone (tonggaksejarah) bagi kehidupan Nabi Muhammad sendiri dan seluruh umatnya. Milestone adalaha significant point in any progress of development, yang berarti bahwa peristiwa yang bermakna dan memberikan dampak bagi bergerak majunya ummat manusia atau masyarakat atau suatu bangsa dalam perkembangan atau pembangunannya.

Hal ini disebabkan oleh karena isra’ mi’raj  merupakan peristiwa atau momentum penting yang  memiliki makna perubahan bagi perubahan adab dan budaya ummat Islam, karena peristiwa tersebut mampu merobah pola pikir, pola sikap dan tindak umat Islam atau bangsa Arab pada saat itu. Salah satu pesan penting dalam peristiwa ini adalaha dan ya perintah untuk menunaikan salat lima waktu sehari semalam.

Umum dipahami bahwa IsraMi’raj terjadi pada periode akhir kenabian di Makkah sebelum Rasulullah hijrah keMadinah.Misalnya merujuk pendapat al-Allamah al-Manshurfuri, Isra Mi’raj terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke-10 kenabian Nabi Muhammad. Begitu juga pendapat al-Maududi dan mayoritas ulama, Isra Mi’raj terjadi pada tahun pertama sebelum hijrah, yaitu antara tahun 620-621 M. Meskipun demikian, tidak dipungkiri sebenarnya telah terjadi perbedaan dikalangan para ulma’ terkait dengan peristiwa ini. Misalnya Imam An-Nawawi dan Al Qurthubi  menyatakan bahwa perisitiwa tersebut terjadi lima tahun setelah Nabi Muhammad diutus sebagai rasul, bukan tahun ke-10.

Isra’ Spritual

Dalam beberapa literatur menyebutkan bahwa Isra dan Mik’raj adalah perjalanan Nabi Muhammad SAW. Dari Mekah keBait al-Maqdis (Palestina) kemudian naik keSidrat al-Muntaha serta kembali lagi keMekah dalam waktu sehari semalam. Dalam psikologi, persitiwa ini sebenarnya adalah peristiwa religious experience (pengalaman keagamaan) yang sangat luar biasa. Karena sifatnya yang luar biasa inilah, Isra Mi’raj menjadi dari bagian mukjizat Nabi yang tidak seorang pun mengalaminya, kecuali Nabi Muhammad SAW.

Sebagai sebuah pengamalan keagamaan, perjalanan yang dialamai Nabi Muhammad tersebut pada dasarnya merujuk pada dua perjalanan sekaligus, yaitu naik kelangit dan turun kembali kebumi.

Dalam tradisi sufi, peristiwa “naik kelangit” merupakan perjalanan spiritual yang tidak mudah. Seseorang jika ingin memperoleh pancaran cahaya tasawuf (ma’rifatullah) perlu menempuh tahapan spiritual (maqamatruhiyyah). Tahapan-tahapan spiritual seperti tobat, wara’, zuhud, faqr, sabar, tawakal dan syukur bisa digapai melalui bermacam-macam ibadah, mujahadah dan riyadhah serta menyerahkan segenap jiwa dan  raga sepenuhnya kepada Allah SWT. Ketika ia mampu meluruhkan atau melenyapkan sifat-sifat kebinatangan yang ada pada dirinya, seperti sombong, angkuh, kikir, serakah, dan lainnya, maka ia akan mengalami ahwal, yaitu keadaan pengalaman spiritual dalam mengintropeksi jiwa (muhasabah al-nafs). Suatu keadaan dimana ia mampu mendekat kehadirat Allah Swt.

Karena begitu susahnya manusia menuju ke Allah, maka sangat wajar ketika para sufi memberikan komentar “Muhammad telah naik, aku bersumpah, seandaikan aku yang mencapai tempat itu (baca; Sidrat al-Muntaha), aku takkan mau kembali lagi kebumi” seru Abdul Quddus dari Ganggoh. Dalam dunia sufi, merasakan kenikmatan bersama dengan Allah, merupakan puncak aktivitas spiritual manusia.

MeskipunNabi Muhammad sudah mencapai maqam tertinggi dalam dunia sufi, sebagaimana yang selalu di idam-idamkan para sufi dalam mistisisme Islam, namun Nabi Muhammad bukanlah “sufi” tipikal seperti itu. Muhammad SAW. Adalah seorang rasul yang –meminjam istilah filsuf penyair Dr. Sir Mohammad Iqbal- harus “menyiapkan diri kedalam kancah zaman”. Nabi Muhammad justru turun kebumi.

Menuju Mi’raj Sosial

Kembalinya NabiMuhammad SAW. Dari pengalaman keagamaan yang maha dasyat atau yang oleh oleh Gustav Jung sebut sebagai bagian dari arche type (pola dasar) bagi kehidupan umat Islam, maka umat Islam mesti menjadikan perjalanan spiritual tersebut sebagai upaya untuk mentransfer nilai-nilai kemanusiaan dalam dimensi yang lebih luas. Sejarah sacral  paranabi, termasuk Isra Mi’raj ini, menjadi apa yang oleh sosiologi Prancis terkemuka, Pierre Bourdieu disebut “akalpraktis” (senspratique), yaitu kemampuan yang mengendalikan umat Islam dalam kehidupan praktisnya. Bukan menjadi objek atau hasil pemikiran rasional. Sebagai “modal simbolis” (capital syimbolique), karena peristiaIsra Mi’raj dapat dijadikan modal simbolis untuk menjadikan sesorang menjadi besar dalam kehidupan sosialnya dan sebagai “peresapan dalam tubuh” (incoper incorporation), berarti peristiwa Isra’ Mi’raj dapat diolah menjadi modal simbolis untuk dikembangkan kedalam sikap atau gerak kehidupannya saat ini.

Dengan demikian, Mi’raj bukanlah titik    Muhammad  tersebut. Merasakan kenikmatan ruhani yang maha dahsyat,bukanlah tujuan dari perjalanan hidup dan risalahnya. Hal inilah yang membuat Nabi dan Sufi agak bertolak belakang. Jika dalam dunia Sufi memandang ekstase kenikmatan ruhani itu sebagai tujuan hidupnya, sementara  bagi Nabi, kenikmatan ruhani yaitu hanyalah sekedar menjadikannya sebuah rehat sejenak untuk mengambil kembali energi ruhani, mengisi ulang stamina jiwa. Sesudah itu dunia menantinya untuk berkarya bagi kemanusiaan.

Inilah karya kemanusian terbesar bagi Nabi Muhammad. Merelakan kenikmatan ruhaniyah demi kembali berjuang menyelamatkan kaum jahiliyah pada waktu itu. Dan memang Nabi Muhammad telah memperoleh mi’raj yang sangat istemewa, mi’raj ini dapat diperoleh kapan saja dan oleh siapa saja.Karena baginya,”Saat mi’raj seorang mukmin adalah shalat!”

Shalat, kata Sayyid Quthb, adalah hubungan langsung antara manusia yang fana dan kekuatan yang abadi.Ia adalah waktu yang telah dipilih untuk pertemuan setetes air yang terputusdengansumber yang takpernahkering. Iaadalahkunciperbendaharaan yang mencukupi, memuaskan, dan melimpah. Ia adalah pembebasan dari batas-batas realita bumi yang kecil menuju realita alam raya.

Namun begitu, shalat bukan saja dipandang sebagai karitas individual, tetapi juga menunjuk pada transformasi sosial. Shalat merupakan jalan yang paling manusiawi untuk mengubah sejarah kehidupan umat manusia kearah yang lebih berkeadapan (madinat). Sebab, dalam proses ini yang berlaku adalah pendampingan, bukan pemaksaan, begitu penjelasan Dr. Moeslim Abdurrahman.

Postulasi epistemologis shalat sebagai tonggak peradaban, secara gamblang telah dijelaskan oleh Ochen Idris Sirfefa, menurutnya hadits yang berbunyi “Al-sholatu ‘imadu al-din famanaqaamahufaqadaqaama al-diin” dapat diartikan secara luasyaitu, “Shalat itu tonggak perdaban, maka barang siapa yang mengerjakannya telah menegakan peradaban”. Maka, agama (sholat) dengan peradaban bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.

Shalat dengan begitu harus berdampak pada dimensi keadaban. Kadar ketakwaan sesorang dihadapan Tuhan bukanlah semata-mata ditentukan oleh rutinitas shalatan-sich, tapi juga sejauh mana implikasi shalat itu dalam aksi kemanusiaan secara universal.

Jika kita sekarang masih menyaksikan ketidakadilan, kemiskinan, kesenjangan sosial, korupsi, kelaparan, terror, pembunuhan, pemerkosaan, dan “patologi social” lainnya yang marak belakang ini, mungkin ada baiknya kita intripeksi diri (muhasabah al-nafs), sekaligus berbenah diri (reformasi), sudahkah kita shalat secara baik dan benar? Sudahkah kita mampu mengejawantahkan fungsi shalat di tengah krisis social belakangan ini?.

Padaara sinilah, bias dipahami bahwa IsraMi’raj dapat dijadikan sebagai kekuatan transformasi untuk perubahan social menuju format masyarakat yang adil, egaliter dan masyarakat yang madani. Wallahua’lam

Agama, Kekuasaan dan Seks

Agama, Kekuasaan dan Seks

By: Imam Hanafi, MA.

Sekretaris ISAIS UIN Suska Riau

Beberapa hari ini, kita disuguhi oleh berbagai berita yang telah mencabik-cabik kesadaran bagi mereka yang masih sadarakan harga diri kemanusiaannya. Betapa tidak, kasus demi kasus pemerkosaan yang melibatkan anak-anak dibawah umur, telah menjamur di negeri ini. Kasus terahir, yaitu kasus pemerkosaan dan pembunuhan atas Yuyun menunjukkan bahwa isu besar tentang kejahatan sosial masih minim diberi perhatian negara dan telah sampai pada titik mengkhawatirkan. Hal ini juga ditambah dengan data dari Komnas Perempuan, darikasuskekerasan terhadap perempuan, kekerasan seksual berada di peringkat kedua, dengan jumlah kasus mencapai 2.399 kasus (72%), pencabulan mencapai 601 kasus (18% dan sementara pelecehan seksual mencapai 166 kasus (5%).

Melihat gejala ini, apakah mungkin prediksi Michel Foucault, seorang filosofari Perancis,menjadi benar? Bahwa kekuasaan adalah seks dan seks adalah kekuasaan. Bahkan peradaban terbentuk dengan dua elemen ini. Menurutnya, dalam tubuh manusia terbentang wujud kekuasaan. Setiap gerak langkah tubuh manusia, mengisyaratkan seksualitas.

Dalam pandangan Foucault, seluruh sistem ekonomi, sosial dan politik dari suatu Negara, sangatberkaitaneratdenganseksualitas.Seksualitasini, berhubungan dengan jumlah populasi, berhubungan pula dengan kebebasan dan juga pernyataan politis seseorang. Sikap-sikap represif terhadap tubuh oleh Negara maupun individu, misalnya dalam bentuk control, telah menjadikan tubuh manusia menjadi objek yang dikendalikan dan dikuasai.

Tubuh manusia, kemudian menjadi obyek untuk dikendalikan dan dikuasai. Siapa saja yang memiliki kekuasaan, dapat melakukan “apa saja” atas tubuh manusia. Celakanya, perempuan yang lemah dan “ringkih”, selalu menjadi obyek kebrutalan kekuasaan. Penguasaan atas tubuh manusia ini, bisa saja dilakukan oleh mereka yang memang berkuasa dan mampu mengendalikan tubuh yang lainnya dengan uang dan kekuasaannya, tetapi bagi mereka yang tidak memiliki kekuasaan dan uang, maka yang dilakukan adalah sebagaimana kasus-kasus kekerasan seksual yang merebak di Negara kita saat ini.          Disini seks menjadi “liar”.Siapa saja boleh menikmati seks.

Sakralitas Seks

Setiap tubuh manusia, pada dasarnya memiliki relasi yang tidak bisa dirasionalisasikan oleh siapapun. Tubuh manusia pada saat itu mengalami sesuatu yang estetis, ada intensitas, keterlibatan emosi, rasa haru atau senang. Peristiwa ini menandai adanya kesucian pada setiap tubuh yang dimiliki oleh manusia. Inilah yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an bahwa laqadkhalaqna al-Insan fi ahsanitaqwim, sungguh kami ciptakan manusia itu dengan sebagus-bagusnya bentuk.

Keindahan tubuh manusia, dilengkapi dengan keunggulan akal budhi-nya, akan mampu menembus batas-batas ragawi tubuh itu sendiri. Sebagaimana para sufi yang mampu melakukan penjelajahan tubuhnya, dapat mencapai tingkat kesadaran spritualitas yang tinggi. Tubuh bagi mereka adalah citra mungil dari makro kosmos yang tak berhingga. Tubuh dengan begitu, dapat dilatih dalam mencapai ketentraman, bahkan ketentraman seksual. Ini yang sering digambarkan oleh hadits nabi bahwa jika tidak sanggup menahan seksualmu, maka berpuasalah.

Dengan berpuasa, tubuh menjadi terlatih untuk menahandiri dari kekuatan-kekuatan yang menyebabkan tubuh menjadi sengsara, termasuk gairah seksual. Dengan puasa, gairah seksualini, dengan sendirinya akan mengontrol tubuh untuk selalu berorientasi pada Tuhan. Karena sesungguhnya seks itu adalah rahasia seseorang dengan pasangan dan Tuhan yang mengkaruniakannya.

Seksualitas dengan begitu tidak hanya dipahami sebagai penerima dan pemberi kepuasan bagi tubuh, melainkan sebagai proses atau ritus pensucian, dan merupakan metode bagi tubuh manusia untuk menyerap berbagai energy dari jagat raya. Dan memang agama memandang seks merupakan sebuah aktifitas suci, ia merupakan medium regenerasi bagi kehidupan makhluk hidup berikutnya.

Dari sudut pandang ini, proses penciptaan (prokreasi) yang semula menjadi peran Tuhan sebagai al-Khaliq, MahaPencipta, sebagian melibatkan manusia. Karena proses prokreasi yang seharusnya berada pada wilayah absolut (mutlak) Tuhan, maka perlu prasyarat atau ritual-ritual tertentu yang suci bagi seks, dalam Islam proses ritual ini disebut dengan nikah (nikah).

Bahkan semua tradisi keagamaan apa pun, memandfang bahwa seks adalah sacral, suci, ada serangkaian ritual yang harus dipenuhi untuk melakukan …..mengharuskan seseorang.

Oleh karena itu, seks pada dasarnya adalah suci yang berada dibawah konstruksi yang di ridhai oleh Tuhan. Sehingga harus dilaksanakan oleh sepasang manusia; laki-laki dan perempuan, dalam sebuah pernikahan yang sah menurut agama. Jika seks dilakukan di luar koridor tersebut, maka kesucian aktivitas seks tidak berlaku lagi, bahkan menentang kontruksi Tuhan. Dan ini sungguh membahayakan bagi kehidupan manusia yang akan datang. Wallahua’lam bi al-Shawab.

Keberagaman dalam Beragama

Keberagaman dalam Beragama

By: Ikhsan Ramadhan

Indonesia adalah bukan negara yang tidak berlandaskan pada agama tertentu saja dan tidak juga negara yang memisahkan antara negara dan agama. Namun yang sebenarnya adalah negara pancasila yang justru berdiri untuk mengayomi keberagaman agama. Setiap warga diberi kebebasan dalam memeluk agamanya sesuai yang ia percayai.

 

Indonesia lahir atas perjuangan dan pengorbanan seluruh rakyat Indonesia dengan latar belakang yang berbeda. Meskipun agama menjadi hal yang bersifat pribadi, pemerintah memberikan pengakuan pada kehidupan beragama dan menetapkan 6 agama resmi di Indonesia dan tidak ada ruang bagi orang yang tidak mengimaninya. Sejak Indonesia lahir, kehidupan beragama memberikan warna tersendiri dan juga telah berkontribusi terhadap pembangunan, seperti penyelenggaraan kegiatan sosial dan juga pembangunan tempat ibadah. Kegiatan kegiata yang social yang mampu menyatukan weluruh umat dan dapat meredakan konflik antar agama. Bangunan tempat ibadah umat beragama bias menjadi daya Tarik tersendiri untuk menjadi tempat wisata.

 

Secara teori, agama dimaknai sebagai ajaran Tuhan yang tertera dalam kitab suci setiap agama, dan di imani oleh umatnya untuk sebagai pedoman hidup. Setiap agama mengajarkan umatnya tentang persaudaraan, kebaikan, persatuan, kerukunan, dan masih banyak lagi. Tapi yang terjadi sekarang adalah banyak terjadi kekerasaan dengan agama sebagai alasan. Orang yang memiliki agama berbeda dianggap bertentangan, kemudian menebar kebencian, bahkan diperangi. Agama bukanlah organisasi yang tujuannya untuk memperbanyak jumlah anggota, tapi bagaimana suatu agama tersebut mengajarkan kebaikan. Agama juga bukan hal dalam siapa yang paling banyak anggotanya, tapi bagaimana suatu a  gama tersebut menuntun umatnya ke jalan yang benar.

 

Secara garis besar ada beberapa sikap yang di anut oleh banyak orang, di antaranya adalah ekslusivisme dan inklusivisme. Sikap sikap ini diterima secara luas walaupun banyak perbedaan mengenai pendeskripsiannya. Istilah insklusivisme beragama merupkan prinsip dasar dalam keberagaman dalam beragama yang wajib di tegasi. Inklusivisme merujuk pada sikap menerima terhadap perbedaan, dalam hal ini yairu menerima berbedaan terhadap keberagaman agama. Disini masih dapat kita temui sikap toleransi beragama dimana masing masing agama memiliki standarisasinya. Setiap agama juga memiliki pandangan yang berbeda terhadap suatu hal.

 

Ada juga istilah eksklusivisme yang dalam artian sikap yang merasa paling benar, sampai sampai menganggap agama lain itu adalah ajaran sesat, sehingga terjebak dalam sifat relativisme dalam beragama. Namun, yang paling penting untuk dipahami adalah bahwa setiap umat beragama jangan sampai terjebak dalam sikap eksklusivisme yang mengklaim kebenaran sendiri. Sebagai orang islam kita harus bijak dalam bertindak terutama dalam hal hal yang diskriminatif. Toleransi harus dijujung karna toleransi merupakan ajaran islam. Mungkin boleh boleh saja kita mengklaim agama kita adalah agama yang paling benar, namun tidak dibenarkan sampai kita menyalahkan agama orang lain. Kita cukup menyampaikan kebenaran sesuai yang di ajarkan oleh agama kita tanpa harus menjelek jelekkan agama lain, karna setiap agama mengajarkan kita kebaikan dan kedamaian.

 

Sikap yang mengarah pda inklusivisme wajib di pertahankan. Tapi sekarang inklusivisme di anut oleh minoritas saja. Bahkan beberapa tokoh agama juga banyak yang tidak menganut sikap ini. Mereka justru menyebar kebencian dengan membandingkan dan menjelekkan antara agama satu dengan agama lain. Hal seperti ini dapat memicu konflik antar agama seperti yang pernah terjadi di beberapa daerah di Indonesia.

 

Walaupun agama yang kita anut berbeda, tetapi semuanya mengajarkan hal yang sama yaitu kebaikan. Sebaik baiknya orang beragama adalah orang yang menghargai dan menjaga satu sama lain. Jangan lupa dengan semboyan negara kita “Bhineka Tunggal Ika”. Berbeda beda tapi tetap satu. Disini lah Indonesia yang sesungguhnya, menghargai setiap perbedaan apapun itu termasuk dalam hal kepercayaan. Semoga penganut sikap inklusivisme untuk kedepannya semakin banyak dan tidak ada lagi sikap yang menyalahkan agama orang lain. Dengan ini maka perdamaian dan sikap toleransi antar beragama pun dapat terjalin. Bukankah kedamaian itu indah? Tentram rasanyaKetika melihat orang Kristen yang memberikan koran untuk alas sholat ketika hari raya. Orang Islam menjaga gereja ketika natal, begitu juga dengan agama agama yang lainnya.

Beragama dan Menjalin Keberagaman

Beragama dan Menjalin Keberagaman

By: Agus Nurwansyah

Indonesia adalah negara yang besar dengan keanekaragaman budaya, bahasa dan agamanya. Tercatat secara resmi ada enam agama yang diakui. Kehidupan beragama menarik untuk dibahas. Selain karena agama dapat menjadi sumber perdamaian, agama juga dapat menjadi sumber pertikaian. Ada banyak contoh kasus pertikaian yang mengatasnamakan agama, konflik antara Palestina dan Israel yang merebutkan the solomon tample yang telah melebar sampai bidang politik, hukum dan wilayah kekuasaan. Belum lagi, konflik antara Muslim dan Hindu di India yang berujung pada pembakaran Masjid. Di Myanmar, Muslim Rohingnya dibantai dan diusir dari kampung halamannya oleh Umat Budha Rakhine. Agama seolah menjadi legitimasi untuk melakukan kekerasan dan pertikaian.

Indonesia juga pernah memiliki sejarah kelam konflik antar agama. Konflik yang ada di Ambon tersebut berubah menjadi perang dan pembantaian saudara se-bangsa dan se-tanah air. Sejatinya tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan, Kristen mengajarkan cinta kasih, sedangkan Islam mengajarkan rahmah atau kasih sayang, begitupun Hindu, Budha, Protestan dan Konghucu juga mengajarkan hal serupa.

Salah satu penyebab terjadinya konflik yang mengatasnamakan agama ialah Truth Claim atau klaim kebenaran. Dalam setiap agama pasti ada yang namanya klaim kebenaran, misalnya, di agama Kristen ada kata-kata Yesus “Akulah jalan, kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun dapat datang kepada bapa kalau tidak melalui aku”. Sedangkan dalam Islam terdapat dalam surah Ali Imran ayat 19 “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam”. Ini membuktikan bahwa setiap agama pasti ada klaim kebenarannya bagi para pemeluknya, untuk memperkuat iman umatnya dan bukan menjadi landasan dalam melakukan kemunkaran kepada sesama makhluk Tuhan.

Meskipun klaim kebenaran ada dalam setiap agama, namun setiap agama juga mewajibkan seseorang menghargai dan menghormati sesamanya. Klaim kebenaran sah-sah saja digunakan oleh umat beragama dalam ruang lingkup agamanya agar menjadi landasan untuk memperkokoh keimanannya. Tetapi juga tidak benar jika dalam ruang lingkup yang beragam seperti di Indonesia ini memaksakan kehendak atas klaim kebenarannya, ini justru akan menghilangkan sikap toleransi dalam beragama. Sedangkan setiap agama mewajibkan toleransi bagi pengikutnya. Dalam Islam sendiri sikap toleransi disebut Tasamuh atau tenggang rasa.

Sikap tasamuh di Indonesia sendiri semakin hari semakin terkikis. Penyebabnya adalah berkembang pesatnya paham-paham eksklusisvisme. Idiologi yang menggunakan klaim kebenaran dan orientasi diri secara berlebihan. Kemudian paham ini menjadi gerakan radikalisme, kata yang sering diagung-agungkan adalah “Jihad Suci” yang berlindung dibalik topeng agama untuk melakukan kekerasan dan sikap Intoleransi yang jelas tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Penelitian yang dilakukan oleh Badan Intelejen Negara (BIN) di tahun 2017 ada 39 persen mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi di Indonesia terpapar paham radikalisme sebagai akibat dari sikap eksklisivisme. Penelitian juga merilis hasil peningkatan paham konservatif dalam beragama. Ada sekitar 24 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar SMA setuju dengan Jihad demi tegaknya negara Islam. Pemahaman agama yang salah akan melahirkan perilaku yang salah pula. Memahami agama secara tekstual, tanpa pembimbing yang bersanad dan menggunakan satu sumber hanya akan menjadikan agama sebagai pemicu konflik.

Peran pemuda khususnya mahasiswa sangat diperlukan dalam mengikis paham eksklusivisme dan radikalisme. Terutama dalam meluruskan pemahaman yang salah di kalangan mahasaiswa. Menilik penelitian yangi dilakukan BIN, maka sebetulnya mahasiswa mempunyai perananan penting dalam menentukan arah bangsa. Betul jika mahasiswa disebut sebagai Agent of Change, tergantung ke arah manakah perubahan itu dilakukan. Jika pemahaman eksklusif tidak segera diimbangi dengan pemahaman inklusif, bukan tidak mungkin Indonesia bisa seperti Suriah yang dipenuhi peperangan dan pertikaian yang sama-sama berlindung dibalik kata suci Allahu Akbar.

Tentu kita ingin NKRI hancur hanya karena oknum beragama yang salah memahami agama dan menjadikan agama sebagai ruang sempit sebagai satu kelompok saja. Negara kita dihuni lebih dari 300 suku yang memiliki 700 bahasa dan berbagai agama. Keberagaman ini seharusnya kita jaga sebagai bangsa yang majemuk. Agar kita dapat menjalankan aktivitas kita sebagaimana mestinya dan dapat hidup tentram tanpa ada rasa khawatir menjalankan kegiatan keagamaan maupun kebudayaan di tanah kelahiran.

Dinamika kehidupan beragama dan bernegara masih meninggalkan pekerjaan rumah, salah satu yang masih menjadi persoalan adalah pernikahan beda agama. Ikatan pernikahan beda agama masih belum mendapatkan pengakuan di negara kita. Ada banyak kasus pernikahan beda iman yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) maupun di Kantor catatan sipil. Pernikahan yang seharusnya dipermudah untuk menyatukan dua insan yang saling memadu kasih, malah dipersulit. Begitu intolerannya kehidupan kita sehingga pernikahan lintas iman tidak diperbolehkan secara undang undang yang mengharuskan pernikahan se-iman, padahal di dalam Al-Qur’an sendiri terdapat surat Al-Maidah ayat 5 yang membolehkan pernikahan dengan perempuan Ahli Kitab.

Sudah seharusnya kita membuka mata dan menerima perbedaan yang mustahil untuk kita hindari, karena kita hidup di negara yang majemuk. Perbedaan bukanlah hal yang mesti kita perdebatkan, tetapi perbedaan menjadi warna bagi kehidupan kita. Pelangi bisa indah karena perbedaan warnanya, pernikahan juga demikian. Perbedaan agama dalam ikatan pernikahan bukan berarti melunturkan keimanan seseorang, sejatinya pernikahan untuk menyatukan cinta yang fitrah agar dapat menjadi keluarga dalam ikatan yang sah.

Solusi dari kehidupan plural saat ini ialah, dialog keberagaman untuk membuka mindset dalam beragama dan menerima keberagaman. Ini penting di era kehidupan global seperti sekarang ini, di mana kita hidup dalam tatanan yang disebut sebagai Global Village atau perkampungan dunia. Artinya, keberagaman sudah bukan menjadi hal yang tabu lagi. Mencari perbedaan hanya akan melahirkan pertikaian, tetapi mencari persamaan akan melahirkan perdamaian. Kita sama-sama hidup di Alam yang diciptakan tuhan, dengan keanekaragaman yang tujuannya hanyalah “lita’arafu” untuk saling mengenal. Bagaimana kita bisa mengenal kalau pemikiran untuk kenal saja tidak ada dalam benak kita.

Tetapi kenyataanya sekarang toleran dianggap liberal, konservatif dianggap paling beriman. Toleransi adalah sebuah keharusan di negeri kita yang majemuk. Namun kenyataannya dalam beragama masih saja ada dinding pembatasnya. Pengecaman terhadap penganut Ahmadiyah yang berujung pada pembakaran masjid adalah bukti masih terkekangnya seseorang dalam menjalankan kepercayaannya, belum lagi sweeping pengajian Syi’ah, serta tidak diakuinya aliran-aliran kepercayaan seperti Samin, Kejawen dan Sunda Wiwitan yang berujung pada pengosongan kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk mereka.

Sebagai generasi penerus bangsa, mahasiswa harus berdiri paling depan dalam memerangi paham radikalisme dan menjaga indahnya keberagaman di negeri ini. Bukan bertanya agamamu apa? Sukumu apa? Dari pulau mana?. Tetapi kita sebagai anak bangsa berhak atas semua apa yang ada di tanah air kita, sesama makhluk tuhan dan memilih jalan sesuai apa yang kita yakini kebenarannya. Menghormati dan menghargai sesama, beragama sudah dijamin kebebasannya oleh Undang Undang Dasar. Saatnya kita mendewasakan pemik