37. PEMIKIRAN POLITIK ISLAM (1): Futuhat Awal Sejarah Islam Klasik dan  Pertautan Politik dalam Islam

37. PEMIKIRAN POLITIK ISLAM (1): Futuhat Awal Sejarah Islam Klasik dan Pertautan Politik dalam Islam

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

 

Kelahiran Islam lewat pewahyuan (selama rentang tahun 610-632) pada figur Nabi Muhammad saw. dinilai sangat tepat-ruang dan pas-waktu. Pertama, disebut “tepat-ruang” karena Mekkah dan Madinah (jazirah Arab umumnya) relatif “jauh” dari jangkauan kekuasaan dan pertikaian dari dua negara adi-kuasa: Kekaisaran Romawi dan Khousru Persia. Boleh jadi, Jazirah Arabiah merupakan kawasan yang kurang “menarik” di tengah-tengah persaingan dan peperangan di antara mereka.

Kedua, dikatakan “pas-waktu” karena saat itu kedua negeri super power tersebut semakin melemah akibat peperangan yang berkesenantiasa (terus-menerus) antara keduanya. Sehingga, menurut J.J. Saunders, “andaikata Islam lahir seabad sebelumnya, maka kaisar Yustianus (Romawi) yang kuat pada era itu akan menghalangi penyebaran Islam. Begitu pula, apabila seabad setelahnya, barangkali Arabia telah memeluk agama Kristen karena kekuatan Byzantium dan Persia telah pulih kembali.”

Pada bagian lain, Saunders melanjutkan imajenasi-inteletualnya yang mengada-ngada, “andaikan saja Abraham berhasil benguasi Mekkah, maka seluruh jazirah Arab akan terbuka untuk penerobosan Kristen dari Byzantium. Akibatnya, tanda Salib akan menjulang tinggi di atas Ka’bah; dan Muhammad mungkin akan mati sebagai pastur atau pendeta. ”(Lihat, J.J. Saunders, A History of Medieval Islam, 1965: 14-15).dan 36-37). Al-hamd li Allah, ini hanya sekedar pengandaian J.J. Saudders di siang bolong. Lagi pula, sejarah tidak dapat diajak berandai-andai.  Karenanya, disebut sejarah karena ia adalah peristiwa masa lalu yang real terjadi dan memiliki fakta yang kuat dan data yang akurat.

Dengan kondisi faktual sejarah di atas, sehingga dalam waktu relatif singkat (hanya 23 tahun lamanya) Nabi Muhammadsaw. berhasil dengan sangat mencengangkan dalam mengemban tugas dan misi dari Allah. Sepeninggalan Nabi Muhammad saw (w. 632) keberhasilan dalam Islam dilanjutkan pula dengan sangat gemilang oleh Khulafa al-Rasyidin, khususnya pada masa Khalifah ‘Umar ibn Khattab. Agama Islam yang masih “remaja” di masa Umar ibn Khataab ini merembah ke mana-mana untuk melakukan “pembebasan” (futuhat).

Segera penobatannya sebagai khalifah kedua dari Khulafa al-Rasyidun, ‘Umar ibn Khattab membebaskan Suriah dan Palestina yang saat itu merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Byzantium. Dalam pertempuran Yarmuk pada 636 Masehi pasukan Islam secara gemilang mengalakan pasukan Byzantium. Pada tahun yang sama Damaskus jatuh, dan dua thun kemudian Yerusalam tunduk dalam kekuasaan Islam. Pada 639 Masehi pasukan Islam menyerang Mesir, dan dalam waktu hanya tiga tahun penaklukan atas wilayah Mesir selesai.

Pada masa pemerintahan Umar ibn Khattab itu pasukan Islam merambah ke dunia wilayah timur. Pada 641 Mesehi seluruh wilayah Irak berada di bawah kekuasaan Islam. Dan pada 642 pasukan tentara Islam mampu mengalahkan pasukan kerajaan Sassanid. Menjalang wafatny Umar ibn Khattab pada tahun 644, sebagian besar bagian barat Iran telah disapu oleh pasukan Islam. (Michael H. Hart, 100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia Sepanjang Sejarah, 2009: 286).

Dengan kata lain, propinsi-propinsi jajahan dua adi-kuasa: Kekaisaran Romawidan Khousru Persia yang sangat berkuasa sebelumnya, seperti Syiria, Palestina, Yerusalem, Damaskus, Mesir, Irak dan Iran (Persia) sudah berada dalam genggaman kekuasaan. Bahkan tak terkecuali kedua ibukota negeri super power tersebut juga mampu ditaklukkan oleh tentara Islam.(Lihat, Marshall G.S. Godgson, The Venture of Islam Conscience and History in a World Civilization, 1961:197-206).

Dengan jatuhnya kota Iskandaria pada 651 di tangan jenderal Amru bin ‘Ash menandai rampungnya penaklukan Islam terhadap Timur Dekat, sekaligus berakhirnya kekuasaan Persia dan Byizantium di wilayah tersebut. Kurang dari lima puluh tahun berikutnya tentara Islam menaklukan Spanyol di belahan Barat. Pada waktu yang hampir bersamaan di masa Dinasti Ummayah tentara Islam mampu menerobos wilayah India di belahan Timur.(Lihat, Howard T. Turner, Science in Medieval Islam, 1961: 5).

Penaklukan yang dilakukan Umar ibn Khattab, menurut Michael Hart, lebih spektakuler –sebagai sebuah catatan tambahan– daripada penaklukan yang pernah dilakukan oleh Julius Caesar. Berat dugaan, mungkin atas pertimbangan inilah, sehingga Michael Hart menempatkan Umar ibn Khattab (pada urutan 52) mengatasi Julius Caesar (pada urutan 67) dalam rentetan 100 tokoh paling berpengaruh dalam sejarah peradaban manusia. (Michael H. Hart, 100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia Sepanjang Sejarah, 2009: 283-287).

Menurut Majid Fakhri, setidaknya ada dua alasan kenapa penaklukan Islam begitu mudah dilancarakan. Pertama, upaya perluasan dilakukan oleh kekaiasaran Romawi, Heraklius pada 610 mengakibatkan timbulnya pertarungan dahsyat antara orang-orang Persia dan Byzantium yang sebelumnya telah berjibaku dalam peperangan panjang guna menancapkan pengaruh militer mereka di wilayah Timur Dekat.

Peristiwa perang berkepanjangan di antara mereka mengakibatkan melemahnya kekuatan masing-masing. Dengan demikian, tentara Islam dengan mudah mencatat serangkai kemenangan demi kemenangan dari kedua bala tentara yang jumlahnya lebih banyak dan sangat terlatih; dibandingkan dengan tentara Islam yang jumlahnya sedikit, ditambah belum berpengalaman dalam medan peperangan besar.

Kedua, faktor perbedaan dan pertentangan keagamaan yang melibatkan kaum Nestorian, Monofosit dan Melchite (aliran ortodoks) mengakibatkan rasa tidak senang dan aman bagi penduduk Mesir, Syiria dan Irak. Dalam kondisi demikian, tidaklah aneh kalau kedatangan orang-orang (tentara-tentara) Islam disambut dengan suka cita sebagai “pembebas” (futuhat). Dan sebagian besar berharap bahwa orang-orang Islam dapat menghilangkan penindasan dari Konstantinopel dengan alasan demi menjaga ajaran-ajaran ortodoksi, khususnya masa pemerintahan Justinian (527-565). (Lihat, Majid Fakhri, A History of Islamic Philosophy, 1970: 12-13).

Bahkan tentara Islam mampu menyeberangi pegunungan Pyrene di Eropa Barat yang letaknya antara Spanyol dan Prancis.Namun belakangan, pemerintahan Islam di Andalusia tidak pernah sungguh-sungguh lagi untuk menyeberangi pegunungan itu guna menaklukan Prancis. Karena dalam persepsi (tentara) ummat Islam pada saat itu bahwa daerah-daerah di sebelah utara itu terlalu dingin dan tidak cocok untuk mengembangan peradaban; dan dalam penilaiannya mereka manusianya terlalu kasar dan bodoh. (Lihat, Nurcholish Madjid, Kaki langit Peradaban, 1997: 10; bandingkan Bernard Lewis, Muslim Discovery of Europe, 1982: 8).Patut disayangkan sikap dan pandangan ini, sekiranya pasukan Islam mau dan mampu menerobos pengunungan Pyrenelewat pintu Prancis, sejarah Eropa Barat dan Islam di belahan timur, mungkin menjadi lain.

Kejayaan politik dan kesukesesan sprektakuler ekspansi militer Islam di atas menjadi salah satu karektristik agama Isam pada awal-awal penampilannya. (Musda Mulya, Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal, 2001: 1). Untuk itu, wajar sekali kalau W. Motgemory Watt, misalnya melihat secara umum, “sepanjang sejarah manusia, agama selalu terlibat secara intens pada keseluruhan hidup manusia dalam masyarakat, termasuk dalam bidang politik. Bahkan Yesus pun bukannya tanpa relevansi politik”. Khususn agama yang dibawa Nabi Muhammad, tulis Watt, “Islam telah memiliki reputasi sebagai agama politik.”(W. Motgemory Watt, Pergolakan Pemikiran Politik Islam, 1987:32-36).

Berbeda dengan agama Yahudi dan Kristen, Islam sejak kelahirannya, terutampada fase Madinah, menurut Phillip K. Hitti, telah menjadi sebuah agama dalam negara. Bahkan setelahterjadinya perang Badr, Islam berubah menjadi lebih dari sekedar agama negara, tetapi Islam merupakan negara itu sendiri. (Phillip K. Hitti, History of Arab, 1970: 146-147). Dengan demikian, menurut Thomas W. Arnold, kedudukan Nabi Muhammad di Madinah adalah sebagai pemimpn agama, dan sekaligus pemimpin negara. (Thomas W. Arnold, The Caliphate, 1965: 30).

Sementara itu, menurut Muhammad Assad, adalah mustahil untuk dapat memperoleh penilaian yang tepat tentang Islam tanpa mencurahkan perhatian sepenuhnya kepada masalah politik. (Lihat, Salam Azzam (ed.), Beberapa Pandangan tentang Pemerintahan dalam Islam, 1990: 70). Karena Islam adalah din wa siyasah (agama dan politik), maka dalam realitas historisnya adalah absurd untuk memisahkan antara Islam dan politik. (Lihat, Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, 1996: 229). Bahkan Al-Ghazali menandaskan bahwadalam Islam “al-din wa al-mulk tau’aman fala yastaghni ahadu-huma min al-akhar (agama dan pemerintahan adalah saudara kembar, yang satu tidak bisa jalan tanpa yang lain). (Lihat, Gustave E. von Grunebaum, Islam Kesatuan Dalam Keragaman, 1983: 217).

Sikap Islam memang berbeda dengan agama-agama Yahudi dan Kristen terhadap hubungan politik dan negara. Agama Yahudi mula-mula berasosiasi dengan negara, tetapi kemudian berpisah dari negara dan kekuasaan politik. Sementara itu, agama Kristen sudah terpisah dari negara dan kekuasaan politik pada masa-masa formatifnya (pertumbuhan awalnya). Sehingga, belakangan doktrin agama Kristen menyatakan: “render unto Caesar the thing which are Caesar’s; and unto God the thing which are God’s” (berikan kepada sang kaisar apa yang menjadi hak kaisar; dan berikan kepada Tuhan apa yang menjadi hak Tuhan). Doktrin semacam ini sama sekali tidak diketemukan dalam doktin sekaligus dalam sejarah peradaban Islam.

Dalam Islam integrasi politik ke dalam agama Islam terlihat jelas dalam ekspresi keagamaan dan politik pada masa Nabi Muhammad saw. Selanjutnya, menurut Amin Rais, dalam banyak hal dilanjutkan dan diiukuti oleh al-Khulafa al-Rasyidin, empat khalifah sesudah Rasul Allah. Hal yang sama juga terjadi pada kekhalifahan Bani Ummayah dan Bani Abbasiyah serta beberapa kerajana-kerajaan Islam sesudahnya. Meskipun, ketika praktek politik dan pemerintahan setelah masa Khulafa’ al-Rasyidun ini berakhir, sulit lagi untuk diklaim secara absah seiring dengan konspesi politik dan kekuasaan yang diperaktek oleh Nabi Muhammad saw. di Madinah.

Kemudian, dalam perkembangannya berikutnya, persoalan politik dengan segala dinamikanya, tentunya senantiasa berlanjut seiring dan inhairen dalam perjalanan sejarah politik ummat Islam. Sehingga, menurut Nurchalish Madjid, memperbincangkan masalah ummat Islam acap kali merambah, secara tak terhindarkan, ke masalah politik dalam Islam. Lebih lanjut Nurchalish Madjid memaparkan:

“Jika masalah politik selalu muncul dalam berbagai pembahasan tentang Islam, hal itu wajar sekali, dan seharusnya tidak perlu menimbulkan keheranan. Dalam kaitannya dengan masalah politik ini, kaum muslimin bisa mengatakan bahwa agama Islam berbeda dengan agama yang lain. Pernyataan yang sering muncul secara streotifikal itu memang mengandung kebenaran yang substansial. Maka mengingkari hal itu akan berarti sama dengan mengingkari kenyataan sejarah yang telah berabad-abad dan yang akan masih berlangsung entah selama berapa abad lagi. Dan tentu hal itu juga berarti sama dengan mengingkari sebagaian dari essensi agama Islam.”

Realitas faktual tersebut telah manjadi salah satu temuan terpenting dalam kajian ilmiah tentang Islam, termasuk oleh mereka yang non-Muslim yang kadang-kadang simpati dan kerap kali antipati. Maka Marshall Madgson, misalnya, sebagimana dikutip oleh Nurckholish Madjid, melihat keseluruhan sejarah Islam sebagai “venture” [dijadikan judul bukunya, The Venture of Islam] atau usaha yang tidak kenal berhenti untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan. Dan “venture” itu melibatkan orang-orang Muslim dalam praktek semua bidang kehidupan, dan dengan sendiri juga pada bidang politik. (Lihat, Nurcholish Madjid, “Pengatar” dalam H. Munawir Sjazali, Islam dan Tata Negara, 1990:v).

Betapapun, menurut Cak Nur, upaya memahami hubungan Islam dan politik tidak mudah dengan dua pertimbangan. Pertama, bahwa Islam telah membuat sejarah sepanjang lebih empat belas abad. Jadi akan merupakan sebuah kenaifan jika kita menganggap bahwa selama abad-abad tersebut segala sesuatunya tetap stasioner dan berhenti. Kesulitannya adalah bahwa sedikit sekali di kalangan umat Muslim yang memiliki pengetahuan, apalagi kesadaran, tentang sejarah tersebut.

Kedua, bahwa beranekaragamnya bahan-bahan kesejarahan yang harus dipelajari dan diteliti kekuatan-kekuatan dinamis yang menyeratinya. Selain itu, terdapat pula perbendaharan teoritis yang sangat kaya raya tentang politik yang hampir setiap kali muncul bersama dengan munculnya sebuah peristiwa atau gejala sejarah yang penting. Sampai sekarang masih diperdebatkan dikalangan pemikir politik Islam, misalnya, mengapa Nabi Muhammad tidak dengan jelas dan tegas menunjuk siapa yang bakal menjadi penggantinya (khalifah) setelah wafat?

Persoalan yang cukup problematik di atas telah banyak menyita perhatian dan pengkaji sejarah pemikiran politik Islam. Dan pada gilirannnya, menimbulkan jawaban spekulatif dari pertanyaan tersebut, “kenapa dalam kepiawaiannya dalam berorganisasi Nabi Muhammad mengabaikan untuk membuat semacam ketetapan bagi nasib masa depan komunitas yang baru didirikannya itu. Pendak kata,kenapa Nabi tidak menunjuk penggantinya?” Boleh jadi, kerena kesehatannya semakin melemah untuk beberapa saat, sebelum akhirnya benar-benar sakit, sehingga Nabi Muhammad saw. tidak menyelesaikan masalah tersebut dengan menunjuk penggantinya.

Akan tetapi, kemungkinan yang lebih besar bahwa Nabi Muhammad saw. merupakan anak zamannya, dan menyadari sepenuhnya kekuataan perasaan suku Arab yang tidak mengenal prinsip-prinsip keturunan dalam bentuk-bentuk kehidupan politik yang primitif. Dan oleh karenya, Rasul Allah membiarkan angggota suku (para sahabat) dengan bebas untuk memilih pemimpinnya. Namun, ada pula yang menyatakan bahwa itu adalah sikap bijak dari Nabi Muhammad untuk tidak menetapkan siapa penggantinya, dan tidak menentukan bagaimana mekanisme pemilihan.

Sikap Nabi semacam itu, menurut pendapat disebut belakangan, dimaksudkan agar umat Islam sepeninggalannya tidak kaku dan terpaku pada satu sistem pemilihan, dan dalam mengatasi urusan-urusan politik dan pemerintahannya. Dengan begitu, umat Islam bebas untuk mencari kemungkinan-kemungkinan alternatif yang lebih “cerdas” dalam mengatasi persoalan politik sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman. (Mumtaz Ahmad (ed.), Masalah-masalah Teori Politik Islam, 1993: 63).

Adalah wajar kalau belakangan di kalangan pemikir politik Islam lahir pertanyaan, apakah institusi politik merupakan kewajiban agama atau bukan? (Lihat, Qamarauddin Khan, The Political Thought of Ibn Taymiyah (Delhi: Adam Publisher & Distributors, 1982), 23). Kalau, ya. Bagaimanakah bentuk institusi politik yang dikehendaki dalam Islam? Institusi politik di kalangan pemikir politik Islam, khususnya pemikir politik Sunni, tidak terdapat doktrin tunggal yang diterima secara universal. Dasar pemikiran Sunni itu sendiri tidak memungkinkan diterimanya suatu teori apapun yang definitif dan final. Sebab institusi politik dalam pemikiran politik Islam tidak dapat dikungkung dalam suatu rumusan-rumusan tertentu.

Pemikiran politik di kalangan umat Islam di masa silam, menurut Hamid Enayat, merupakan salah satu disiplin dalam cakrawala pemikiran khazanah Islam klasik yang ruang lingkupnya tidak terbatas. Bagi pengkaji pemikiran politik, ungkap Hamid Enayat lebih lanjut, akan menemukan dalam sejarah Islam selama enam atau tujuh abad pertamnya suatu mozaik yang mencengangkan dari aliran-aliran pemikiran dan praktek politik dalam Islam. (Lihat, Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought, t.t.: 4).

Dari kenyataan di atas, dalam mencermati hubungan antara agama dan negara; Islam dan politik, khususnya dalam pemikiran politik dan ketatanegaraan, menurut Munawir Sjadzali, umat Islam terbagi dalam tiga aliran pemikiran.

Pertama, aliran yang berpendirian bahwa Islam adalah agama yang mengatur totalitas hidup dan menawarkan pemecahan terhadap semua masalah, dan tak terkecuali dalam masalah politik. Karenanya, dalam kehidupan bernegara umat Islam harus kembali kepada sistem politik Islam. Sistem politik Islam yang dimaksudkan adalah apa yang telah dipraktekkan oleh Rasul Allah dan Khulafa’ al-Rasyidun di Madinah. Dalam aliran pemikiran politik ini, tokoh utamanya adalah Hasan al-Banna, Sayyid Qutb, Rashid Ridha, dan terutama Abu A’la al-Maududi.

Kedua, aliran yang berpendirian bahwa Islam adalah agama semata, dan tidak ada hubungannya dengan politik. Artinya, Islam hanya mengatur hubungan pribadi antara manusia dan Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa keberadaan Nabi Muhammad hanya seorang utusan Allah, sama dengan rasul-rasul Allah sebelumnya. Bagi aliran ini, Nabi Muhammad diutus tidak untuk berpretensi untuk mendirikan dan menjadi kepala negara.Aliran ini disebut-sebut berpaham sekuler, sebagaimana paham yang berkembang di Barat sebelumnya, yang memishkan antara urusan agama dan negara, Islam dan politik. Dalam wacana pemikiran politik Islam yang dimasukan dalam aliran ini, misalnya Ali Abdul Raziq dan Thaha Husein.

Ketiga, aliran yang berpendirian jalan tengah dari dua aliran sebelumnya. Menurut aliran ini bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem politik dan ketatanegaraan. Akan tetapi, Islam mengandung seperangat tata nilai etik bagi kehidupan bernegara dan bermasyarakat.Dengan kata lain, aliran ini berpandangan bahwa Islam memang bukan agama yang mengatur seluruh persoalan kehidupan, apalagi secara detail dan rinci. Namun, aliran ini menolak pula paham bahwa Islam adalah yang hanya mengatur hubungan personal antara manusia dan Tuhan. Tokoh yang dimasukkan dalam aliran “substansial” ini, Munawir Sjazali menyebut di antaranya adalah Muhammad Husain Haykal.(Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, 1990: 1-2).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh

Alimuddin Hassan Palawa
(Direktur &Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies]UIN Suska Riau)
36. PEMBAHARUAN PEMIKIRAN ISLAM: Tipologi Fazlur Rahman  dan Muhammad ‘Imarah

36. PEMBAHARUAN PEMIKIRAN ISLAM: Tipologi Fazlur Rahman dan Muhammad ‘Imarah

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

 

Awal Kata
Dalam melakukan tipologi dan pemetaan pemikiran, menurut Luthfi Assayaukanie, sekurang-kurangnya ada dua pendekatan. Pertama, pendekatan taksonomis, yaitu mengurai sejarah pemikiran berdasarkan kecenderungan-kecenderungan tertentu. Artinya, fenomana pemikiran didekati lewat klasifikasi-klasifikasi berdasarkan mazhab pemikiran (school of thought) dengan memilahnya dalam berbagai kelompok, misalnya tradisonalis, sekularis dan modernis.

Kedua, pendakatan biografis atau sejarah sosial-intelektual. Pendekatan ini berasumsi bahwa pemikiran tidak bisa dipisahkan dari sang pemikir yang menghasilkan pemikiran-pemikiran itu. Dengan memaparkan biografi dan perjalanan sejarah sang pemikir, dengan sendirinya pemikiran-pemikiran tertentu dari sang tokoh akan tereksplorasi. (Luthfi Assyaukanie “Pengantar”, dalam Albert Hourani, Pemikiran Liberal Dunia Arab, xv).

Untuk keperluan tipologi dan pemetaan dalam penelitian ini akan dipergunakan pendekatan taksonomis dengan hanya menyebutkan dua tipologi yang dilakukan oleh Fazlur Rahman dan Muhammad ’Imarah.

A. Tipologi Fazlur Rahman
Dalam melihat dialektika perkembangan pembaharuan pemikiran Islam, Fazlur Rahman membaginya dalam empat tipelogi gerakan. Pertama, gerakan revivalisme pramodernis yang lahir pada abad ke-18 dan 19 di Arabia yang dicetuskan oleh Muhammad ibn Abd Wahhab; di India oleh Shah Wali Allah; dan di Afrika oleh al-Sanusi. Gerakan revivalisme pramodernis dengan sendirinya tidak terkena sentuhan/ pengaruh Barat.
Adapun ciri-ciri umum dari gerakan pemikiran revivalisme pramodernis ini adalah: (i) keperihatian yang mendalam terhadap degenerasi dan dekandensi sosial-moral umat Islam disertai usaha sungguh-sungguh untuk merubahnya; (ii) menghimpau umat Islam untuk kembali kepada ajaran Islam yang sejati dengan mengenyahkan takhayyul, bid’ah dan khurafat yang ditanamkan oleh bentuk-bentuk sufisme populer; (iii) menyeru umat Islam untuk meninggalakan gagasan tentang obsolutisme dan finalitas mazhab-mazhab hukum serta berupaya untuk melakukan ijtihad; (iv) mengajak umat Islam untuk meninggalkan corak pemikiran dan prilaku predeterministik; dan (v) menyeru umat Islam untuk melaksanakann pembaharuan yang dianutnya, kalau perlu lewat kekuatan senjata.

Kedua, modernisme klasik muncul pada pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20. Gerakan modernisme klasik ini terpengaruh dan terbuka terhadap ide-ide dari Barat dan karenanya lebih aprisiatif terhadap intelektualisme. Dengan begitu, menimbulkan kesan bahwa gerakan modernisme klasik ini bersifat westernized (kebarat-baratan). Gerakan modernisme klasik ini meneruskan dan memperluas cakupan ijtihad yang dilakukan oleh gerakan sebelumnya. Gerakan modernisme klasik ini menciptakan kaitan yang baik antara pranata-pranata Barat dengan tradisi Islam melalui seumber al-Qur’an dan hadis. Rahman sendiri memberikan apresiasi atas upaya ini sebagai suati prestasi besar yang tidak bersifat artifisial dan terpaksa.Meskipun demikian salah satu kekurangan gerakan ini belum mengelaborasi secara tuntas metode yang dikembangkannya. Menariknya, hakekat penafsisran Islam gerakan ini didasarkan pada al-Qur’an dan ”Sunnah historis” (biografi Nabi) yang dibedakan dengan ”Sunnah teknis” (hadis-hadis Nabi). Gerakan modernisme klasik pada umumnya sekeptis terhadap hadis, tetapi skeptisisme ini tidak ditopang oleh kritisisme ilmiah. (Taufik Adnan Amal (peny.), Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur Rahman: 18-19; bandingkan Abu A’la, Dari Neomodernismeke Islam Liberal: 2 dan 20).

Ketiga, neorevivalisme atau revivalisme pascamodernis lahir sebagai reakasi tidak menerima metode dan semangat modernisme klasik. Akan tetapi, mereka tidak mampu mengembangan metodologi apa pun untuk menegskan posisinya, selaih hanya berupaya membedakan Islam dan Barat. Meskipun dalam realitasnya gerakan ini menerima masalah-malasah substantif yang diangkat oleh gerakan modernis, misalnya demokrasi, tetapi penerimaan mereka lebih bersifat terpaksa.

Keempat, neomodernisme lahir dibawah pengaruh dan sekaligus tantangan terhadap neorivivalisme. Untuk gerakan ini, Rahman sendiri mengklaim dirinya sebagai juru bicaranya. Gerakan pembaharuan ini, tentu saja sangat berbeda dengan gerakan-gerakan sebelumnya, berupaya untuk melihat dan menyikapi secara kritis dan obejektif hasil-hasil pemikiran umat Islam dan sekaligus pemikiran orang Barat. Melalui sikap kritis dan objektif, neomodernisme ingin membangun Islam dalam berbagai dimensinya dalam satu kerangka yang utuh, menyeluruh, sistimatis serta mencerminkan nilai-nilai al-Qur’an dan teladan Nabi yang sebenarnya.Taufik Adnan Amal (peny.), Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur Rahman: 18-19; bandingkan Abu A’la, Dari Neomodernismeke Islam Liberal: 2 dan 20).

B. Tipologi Muhammad ’Imarah
Dalam memetakan pembaharuan pemikiran Islam, Muhammad ’Imarah membagi dalam tiga tipologi. Pertama, tradisional-konservatif. Pemikiran tradisional dalam istilah Arabnya ada yang menyebutkan dengan nama Salafiyah. Ada pula yang menyebutkan golongan ini dengan nama fundamentalisme (al-Uṣuliyah). Golongan Salafiyah atau al-Uṣuliyah adalah mereka yang mengajak kembali kepada perilaku para ulama salam (al-Salaf al-Ṣālih), yaitu mereka yang hidup dalam tiga generasi: Sahabat Nabi Muhammad saw, Tabi’īn, dan Atbā’ al-Tabi’īn. Belakangan, adalah Imam Ahmad ibn Hambil dan Ibn Taymiyah yang dianggap sebagai tokoh aliran pemikiran salafiyah.

Kemudian, para pengikut Imam Ahmad ibn Hambal dilanjutkan oleh para pengikut Ibn Taymiyah dan Muhammad ibn ”Abd Wahhab. Pengikut yang disebut belakangan ini agak bersifat keras, tidak peduli dengan pendapat dan kepentingan umum. Adapun karakteeristik utama kelompok tradisonal Islam ini antara lain: (i) argumentasinya harus diambil dari ayat al-Qur’an dan al-Hadis; (ii) penggunaan rasio harus sesuai dengan nash-nash yang ṣaḥiḥ; (iii) dalam konteks aqidah harus bersandarkan kepada nash-nash saja karena nash-nash itu hanya bersumber dari Allah. Adapun tokoh-tokoh dari golongan tradisional-konservatif ini, sekedar menyebut nama, misalnya Muhammad ibn’Abd Wahhab, Abu al-’Alā al-Maudūdī, Sayyid Quṭb dan Imam Khomeini.(Lihat, M. Yusuf Wijaya, “Visi-Visi Pemikiran Keislaman: Upaya Klasifikasi Pemikiran Keislaman Timur Tengah”, dalam M. Aunul Abied Shah, et. al., Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, 2001: 40-42).

Kedua, sekular dalam bahasa Arabnya adalah al-’almāniyyah. Dalam konteks diskursus pemikiran Islam, maka golongan ini tidak akan terlepas dari terminologi kesejarahan sekularisme di dunia Barat. Memang pada dasarnya, sekularisme adalah pola berpikir atau model pendekatan yang diimpor dari Barat. Adapun karakteristik dari golongan pemikir sekularisme di antaranya: (i) mengekor dan mengajak untuk mengikuti Barat dengan mengganti otoritas agama dengan rasio; (ii) pemisahan antara agama negara dan beranggapan bahwa dalam Islam tidak ada konsep kenegaraan; (iii) Islam adalah konsep masa lampau dan, karenanya, sekularisme adalah alternatif dalam membangun peradaban manusia. Adapun tokoh-tokoh dari sekular dari kalangan pemikir Islam Timur-Tengah, sekedar menyebut beberapa nama, adalah Ali ’Abd Raziq, Thaha Husain, Salamah Musa, Faraq Faudah dan Nasr Hamid Abu Zayd. (Lihat, M. Yusuf Wijaya, “Visi-Visi Pemikiran Keislaman…”: 45-49).

Ketiga, Reformis Moderat. Golongan ini muncul sebagai reaksi dari dua golongan pemikiran yang bertolak belakangan sebelumnya. Golongan Salaf mengajak kepada keterasingan zaman, sedangkan kolongan sekular mengajar kepada keterasingan ruang. Untuk menetralisir kedua golongan tersebut, karenanya, pemikir reformis moderat ini bersedia untuk mengakomodasi medernisme yang diperjuangan oleh golongan sekular di satu sisi, dan pemikiran-pemikiran klasik golongan salaf. Bagi golongan reformis-moderat berpendapat bahwa Islam adalah agama universal, komprehensif dan integral. Dengan demikian, Islam akan senantiasa sesuai dan aktul untuk diterapkan pada zaman dan ruang yang berbeda (Ṣaliḥ fīkulli zamān wa makān).

Golongan reformis-moderat ini berpandangan bahwa Barat tidak perlu ditakuti, meskipun harus diwaspadai. Dengan begitu, golongan ini menyatakan bahwa umat Islam dapat saja belajar tentang sains dan teknologi dari Barat untuk mengejar kertertinggalannya. Selain itu, pemikiran reformis-moderat ini memandang perlu untuk mengatualisasikan khazanah intelektual para pemikir masa lalu yang terabadikan dalam kitab-kitab turas.

Pada prinsipnya golongan reformis-modernis berpendirian “ambil yang bermamfaat dan tinggalkan yang mudarat. Dengan kata lain, golongan adalah penganut prinsip: “Al-Maḥāfaẓah‘alā al-qadīm al-ṣaliḥwa al-akhudh bi al-jādīd al-aṣlaḥ” (Memelihara yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik). Adapun figur-figur pemikir dari golongan reformis-modern ini, diantaranya adalah Shaikh Rifa’ah Rafi’ al-Thahtahwi, Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan dan Sayyid Ameer Ali. (Lihat, M. Yusuf Wijaya, “Visi-Visi Pemikiran Keislaman…”, hal. 53-55.)

Akhir Kata
Dari tipologi yang dilakukan oleh Rahman dan ’Imarah, posisi Muhamamad Abduh dengan mudah dapat diketahui. Pada membagian Rahman, Muhammad Abduh termasuk dalam gerakan modernisme klasik. Sementara pada tipologi yang dilakukan oleh ’Imarah, Muhammad Abduh masuk dalam golongan reformis-modernis. Muhammad Abduh sebagai ”Bapak Pembaharu Pemikiran Islam” memiliki sejumlah murid dan pengikut yang, kalau menurut tipologi ’Imarah, tersebar dalam tiga golongan, yaitu (i) golongan tradisional-konservatif; (ii)golongan reformis-modernis; dan (iii) golongan sekuler.

Untuk tipologi-tipologi pemikiran murid-murid dan pengikut Muhammad Abduh dapat dikategorikan, terutama dua tipologi terakhir, yaitu golongan reformis-modernis, dan golongan sekuler, misalnya Mustafa al-Maraghi, Farid Wajdi, Qasim Amin, dan Luthfi al-Sayyid, Ali Abdul Raziq, Thaha Husain. (Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, 1975: 77-88; Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age 1798-1939: 161-192).

Akan halnya Rashid Riḍa, dalam tipologi Rahman dan ’Imaran masing-masing masuk pada golongan neo-revivalisme pascamodernisme dan tradisional-konservatif.Posisi Rashid Riḍa di atas dipertegas Fazlur Rahman dalam bukunya, Islam yang menyatakan bahwa ”…. gerakan salafi di bawah kepemimpinan murid Muhammad Abduh berasal Syiria, Rashid Riḍa (1865-1935), bergerak secara terus-menurus ke arah sebauh tipe fundamentalisme yang semakin dekat, dan tak dapat disangkal, dengan Wahhabisme.” (Fazlur rahman, Islam, Chicago: University of Chicago Press, 1979: 223).

Bukan saja Rahman, tetapi juga Gibb memberikan penilaian yang sama terhadap pradigma pemikiran Rashid Riḍa: ”…. dalam bukunya Risālatut-Tauḥīd, dia (Muhmmad Abduh – AHP) menghidupkan kembali cara berpikir dialektika yang dirasionalisasikan dari para ’ulama lama. Para pengikut ajarannya, yang dipimpin oleh muridnya dari Syiria, Syaikh Muḥammad Rashid Riḍa, meneruskan proses berpikir itu dengan gerakan khas yang halus menuju kepada ekstrimisme.” (H.A.R. Gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam: 61).

Rashid Riḍa dalam menghidupkan ijtihad, menurut Gibb lebih lanjut, masih menggunakan “kuasi-rasionalisme” dan logika skolastik, tetapi tanpa liberalisme yang kental, sebagaimana dimilik oleh Muhammad Abduh. Pada gilirannya, Rashid Riḍa terbawa ke arah arus ekslusivisme dan kekakuan pandangan mashab Hambali. Pada tataran ini Harun Nasution memberikan perbandingan antara Muhammad Abdu dan Rashid Riḍa bahwa “guru lebih liberal dari murid”. Muhammad Abduh tidak mau terikan pada salah sati aliran atau mashab pemikiran dalam Islam. Sebaliknya, Rashid Riḍa masih memegang mazhab dan masih terikat pada pandapat-pendapat Ibn Hambal dan Ibn Taimiyyah. Mengingat gerakan Muhammad bin Abdul Wahab (Wahabiyah) semazhab, menurut Harun, maka ia sokong dengan kuat.(HarunNasution, Pembaharuan dalam Islam, 1975: 77-88).

Belakangan, penerbitan Al-Manar di tangan Rashid Riḍa, oleh karenanya, beralih dengan capat dari pengaruh al-Ghazali ke pengaruh tokoh fundamentalis, Ibn Taimiyyah. Rashid Riḍa bersama Al-Manar semikin jelas mengidentifikasi diri sebagai pengikut corak gerakan puritanisme. Dengan begitu, Rashid Riḍa menenkankn pentingnya Islam yang berdasrkan ajaran Nabi Muhammad saw., para sahabat serta para pengikutnya dari kalangan salaf. Pada akhirnya, dari sinilah muncul nama “Salafiyyah” tersebut.(H.A.R. Gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam: 61-62).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb,
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illā bi Allāh.

*AlimuddinHassan Palawa
(Direktur &Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies]UIN Suska Riau)
35. MELAYU-RIAU ABAD KE-19: “Negeri Ṣaḥib al-Kitâb dan Nasib Kesudahannya”

35. MELAYU-RIAU ABAD KE-19: “Negeri Ṣaḥib al-Kitâb dan Nasib Kesudahannya”

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

 

Persuratan intelektual Melayu-Riau berlangsung kurang-lebih satu abad, yaitu dalam rentang waktu dari awal ke-19 hingga awal dekade abad ke-20. Selama waktu satu kurang-lebih seabad itu ada empat generasi telah berkiprah dalam persuratan intelektual Melayu-Riau dengan melahirkan sejumlah karya. Untuk lebih mudahnya, generasi pertama diidentifikasi sebagai generasi angkatan ayah Raja Ali Haji; generasi kedua diidentifikasi generasi angkatan Raja Ali Haji (sendiri); dan generasi ketiga dan keempat masing-masing generasi anak dan cucu Raja Ali Haji.

Dalam kontek ini, menurut Ibn Khaldun, puncak kebesaran dan kehormatan dalam satu keturunan biasanya mencapai empat generasi. Pembatasan sampai pada empat generasi adalah perhitungan minimal dengan pertimbangkan bahwa generasi pertama sebagai pendiri dan pencetusnya. Kemudian ke generasi kedua membangun pondasinya yang kokoh, lalu generasi ketiga mengikuti jejak dan mengembangkan generasi sebelumnya, sementara generasi keempat meneruskan dan mempertahankannya. Pada masa akhir generasi keempat ini mengalami kemerosotan, dan pada generasi berikutnya mengalami kehancuran. (Ibn Khaldun, Mukaddimah (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), 214-215). Fenemona keempat generasi ini tercermin pada bangunan persuratan intelektual Melayu-Riau.

Dalam penelitian beberapa sarjana telah mengindentifikasi jumlah penulis beserta karya-karya yang telah dihasilkan di kerajaan Melayu-Riau dalam keempat generasi tersebut. Dari beberapa penelitian dilakukan telah mengidentifikasi bahwa selama rentang abad ke-19 pengarang/penulis yang ada dan berdomisili di kawasan Melayu Riau, khususnya di Pulau Penyengat berjumlah 70 orang, dan 41 orang di antaranya adalah anak jadi diri Melayu-Riau. Dari 41 anak jati diri Melayu-Riau tersebut telah melahirkan karya tulis tidak kurang dari 90 buah. Maka tidak heran, kalau R.J. Wilkinson dalam mempelajari sastra Melayu, menurut UU. Hamidy, mempergunakan lebih 144 karya berbahasa Melayu dari Melayu-Riau dalam melahirkan karyanya, Paper on Malay Subjects, Malay Literature pada tahun 1907. (UU. Hamidy, Islam dan Masyarkat Melayu Riau (Pekanbaru: UIR Press), 222; UU. Hamidy, Riau Sebagai Pusat Bahasa dan Kebudayaan Melayu, 194-199).

Jumlah hasil persuratan intelektual Melayu-Riau pada abad ke-19, sedemikian “melimpah”, sehingga orang menyebutkan Pulau Penyengat benar-benar menjadi “taman penulis”, sebagaimana tercermin dari judul karya Raja Ali Haji, Bustān al-Kātibīn. Dan pada gilirannya ada peneliti menyebutkan: “Riau Negeri Ṣaḥib al-Kitāb”, meminjam istilah yang pernah digunakan oleh Amarsan Loebis dalam Selingan iQra, Tempo (16 Oktober 2005: 67-78).

Bahkan sedemikian dinamis dan produktif serta “fenomenalnya” kekayaan khazanah persuratan intelektual yang telah dibina di bumi Melayu-Riau, maka belakangan ada sejumlah pakar sastera Melayu, yaitu R.O. Winstedt dalam karyanya, “A History of Classical Malay Literature” (Monograpsh on Malay Subjects, No. 5, J‎MBRAS, Vol. 31, Part 3, No. 183, 1961, 126), dan V.I. Braginski dalam karyanya Yang Indah, Berfaedah dan Kamal (Jakarta: INIS, 1998) memunculkan dalam tulisan-tulisan mereka istilah khusus, yaitu “Riau School” (Mazhab Riau).

Belakangan, sejumlah sarjana dan penelitian, misalnya Teuku Iskandar dalam karnyanya, Kesusteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad (Brunei: Jabatan Kesustraan Melayu Universiti Brunei Darussalam, 525- 527); Virginia Matheson dalam dua karyanya, yaitu “Questions Arising from a Nineteenth Century Riau Syair”, (dalam Review of Indonesia and Malaysian Affairs, Vol. 17 (Vinter/Summer 1983), 41-44) dan “Suasana Budaya Riau Dalam Abad ke-19: Latar Belakang dan Pengaruh” dalam Tradisi Johor-Riau: Kertas Kerja Hari Sastra 1983); Dong Cho Ming dalam karyanya Raja Aisyah Sulaiman Pengarang Ulung Wanita Melayu (Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia, 1999: 84-88), menyebutkan sedemikian banyak nama-nama figur persuratan intelektual di Pulau Penyengat sebagai “kebun para penulis” (“Bustān al-Kātibīn”) dalam melahirkan karya-karyanya.

Begitu pala, Abu Hassan Sham dalam karyanya “Karya-Karya Yang Berlatar belakang Islam Dari Pengarang Melayu-Johor Sehingga Awal Abad Kedua Puluh” (dalam Tradisi Johor-Riau: Kertas Kerja Hari Sastra 1983, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1987: 245-271), dan U.U. Hamidi dalam dua tulisanya, UU. Hamidy, Islam dan Masyarkat Melayu Riau (Pekanbaru: UIR Press: 222); UU. Hamidy, Riau Sebagai Pusat Bahasa dan Kebudayaan Melayu (Pekanbaru: Unri Press, 2003: 194-199), keduanya menyebutkan sejumlah penulis beserta karya-karyanya yang pernah lahir di Melayu-Riau.

Kehadiran sejumlah ulama dan tuan guru baik dari Timur Tengah maupun dari kawasan Nusantara pada abad ke-19 telah memberikan peranan yang sangat signifikan bagi peletakan dasar bangunan persuratan intelektual Melayu-Riau. Ditambah pula patronase dan dukungan dari penguasa kerajaan telah beran penting bagi tumbuhnya persuratan intelektual di kawasan Melayu-Riau. Begitu pala, konstribusi pegawai/sarjana Barat (Belanda, Inggris dan Jerman) tidak bisa dinafikkan dalam memberikan suasana kondusif bagi perkembangan persuratan intelektual Melayu-Riau.

Selain kehadiran para ulama tersebut, tidak kalah pentingnya adanya sejumlah karya-karyaulama Timur-Tengah dan ulama Nusantara telah membangun pemikiran dan pemahaman keislaman, khususnya telah pula mempengaruhi pemikiran Raja Ali Haji dan “lingkarannya” dalam melahirkan karya-karya mereka. Hal ini dengan mudah dapat dipahami, misalnya ketika melihat latar belakang pendidikannya dan keakraban Raja Ali Haji dan generasinya dalam penggunaan literatur-literatur keislaman.

Dengan kondisi demikian, kawasan Melayu-Riau sepanjang abad ke-19 hingga dua dekade awal abad ke-20 merupakan salah satu kawasan yang paling dinamis yang melahirkan sejumlah penulis/pengarang dengan masing-masing karya-karya mereka dalam mengukuhkan persuratan intelektual Melayu-Riau, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Dan sekaligus kawasan ini telah menjadi marcusuar ilmu pengatahuan agama dan budaya di dunia Melayu pada abad ke-19 berpusat di Pulau Penyengat. (Lihat, Muhammad Yusuff Hashim, Pensejarahan Melayu Kajian Tentang Tradisi Sejarah Melayu Nusantara, 466).

Namun, kawasan Melayu-Riau, dibandingkan dengan kawasan lainnya, tidak pernah kedengaran melahirkan ulamadan pemikir keagamaan yang memiliki resonansi mondial dan masyhur namanya di seantero Nusantara, seperti pernah dilahirkan, di kawasan Aceh, seperti Hamzah Fansuri, Syekh Nurudin al-Raniri, Shamsuddin al-Sumatrani dan Abdul Rauf Singkel; di Palembang, seperti Abdul Shamad al-Palembani dan Muahmmad Ibn Ahmad Kemas; di Banjarmasin, seperti Muahmmad Arsyad bin Abdullah al-Banjari; di Banten, seperti Syekh Nawawi al-Banteni; di Makassar, seperti Syekh Yusuf al-Makassari; serta sejumlah ulamadi kawasan lainnya.Misalnya dari kawasan lain misalnya, seperti Daud Ibn Abdullah Ibn Idris al-Fattani dari Fatani; Haji Abdul Shamad bin Muhammad Salih al-Kalantani dari Kelantan. (Lihat misalnya, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 1995: 166-266).

Dibanding dengan kawasan-kawasan lainnya, kajian kawasan Melayu-Riau nyaris terabaikan. Padahal kawasan ini, seperti dinyatakan sebelumnya, juga sangat kaya dengan khazanah-khazanah intelektual Islam. Dan sesungguhnya kawasan Melayu Riau pun telah melahirkan “bertaburan” penulis dan intelektual. Di antara penulis dan cendikiawan paling produktif, refresentatif dan otoritatif di kawasan Melayu-Riau serta sekaligus merupakan “lokomotif” para penulis dan sebagai “imam” cendikiawan Muslim “persuratan intelektual” Melayu Riau. Cendikiawan terbesar Melayu-Riau tersebut adalah Raja Ali Haji [1809-1873].

Sebelum Raja Ali Haji, “embrio” persuratan intelektual Melayu-Riau dapat dirujuk kepada Raja Ahmad, ayah Raja Ali Haji sendiri, beserta generasi berikutnya. Bahkan karya sejarah, Tuḥfat al-Nafīs, menurut sebagian peneliti dinyatakan sebagai karya-bareng diawali darinya, belakangan disempurnakan oleh anaknya, Raja Ali Haji. Dalam era generasi Raja Ali Haji, juga lahir beberapa pengarang di Melayu-Riau.

Meskipun begitu, menurut U.U. Hamidi, hampir tidak dapat dipungkiri bahwa tanpa Raja Ali Haji kegiatan ilmu pengetahuan dan kebudayaan tidak akan sampai sebegitu semarak di Melayu Riau. (Lihat, U.U. Hamidi, Riau Sebagai Pusat Bahasa dan Kebudayaan, 80). Raja Ali Haji telah melakukan upaya-upaya dalam mencerdaskan komunitasnya, terutama diperuntukkan bagi anak-cucunya dengan melakukan pendidikan dan pengajaran serta menulis dengan melahirkan sejumlah tulisan/karya dalam berbagai aspek ilmu pengetahuan.

Ternyata upaya-upaya “penaburan benih” yang dilakukan para penguasa dan pemerintah di kerajaan Melayu Riau sebelumnya dengan mendatangkan sejumlah ulama dan tuan guru dalam menyemarakkan proses belajar-mengajar telah dituai hasilnya pada diri Raja Ali Haji generasi seangkatan dengannya. Begitu jugapada gilirannya upaya-upaya penyemaian benih yang dilakukan oleh Raja Ali Haji telah pula membuahkan hasil yang sangat mendukung perkembangan dan penentuan kelanjutan proses persuratan intelektual Melayu-Riau. Dari kader yang dibina Raja Ali Haji (baik secara langsung maupaun tidak langsung) lahirlah sejumlah penulis: ahli di bidang bahasa,syair, budaya agama dan berbagai aspek intelektual lainnya, termasuk bidang politik dan diplomasi.(Lihat, Hasan Junus & U.U. Hamidi, “Sumbangan dan Peranan Cendikiawan”, 140).

Namun, sungguh disayangkan persuratan yang telah dibangun oleh Raja Ali Haji dan “lingkarannya” di Melayu-Riau terpaksa terhati ketika memasuki dekade kedua abad ke-20. Setelah Pemerintah Hindia Belanda memakzulkan Sultan Abdul Rahman II “in absentia” pada3 Februari1911 kekuasaan sultan seluruhnya diambil-alih seluruh daerah kekuasaannya berada langsung di bawah kendali Residen Belanda. Atas keputusan pemerintah Hindia Belanda ini seluruh rakyat Melayu Riau terpaksa/persisnya dipaksa untuk menaatinya. (Lihat, Rustam S. Abrur, Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, 326).

Dengan kondisi seperti disebut di atas Sultan ‘Abd Rahman meninggalkan kerajaannya pergi ke Singapura,dan wafat dalam “pengasingannya” di sana pada 1930. Sebagian besar masyarakat mengikuti sultan meninggalkan Pulau Penyengat menuju Singapura. (Lihat, Hasan Junus, “Upaya Menjual Riau”, 190; Virginia Matheson, “Pulau Penyengat: Nineteenth Century”, 163). Bahkan dapat dikatakan masyarakat “eksodus” meninggalkan tanah kelahiran mereka menuju Singapura, Johor dan daerah-daerah sekitar lainnya.

Dari hasil penelitian Muhammad Afan, sebagaimana di kutip Hasan Junus, menyebutkan “… dari sekian ribu penduduk pulau kecil yang menjadi pusat pemerintahan di kerajaan itu hanya lebih kurang lima ratus jiwa saja yang tetap tinggal, karena sebagian besar penduduk pindah ke Johor dan Singapura.” (Lihat, Hasan Junus, “Upaya Menjual Riau”, 190).

Untuk mengetahui berapa jumlah masyarakat yang “eksodus” meninggalkan Pulau Penyengat dapat dilihat dari data “perbandingan” berikut ini: (i) bahwa masyarakat yang tidak meninggalkan Pulau Penyengat haya tinggal 500 orang; (ii) bahwa jumlah penduduk di pulau kecil ini pada akhir abad ke-19 diperkirakan mencapai sekitar 9.000 jiwa. Kedua data nyata menunjukkan bahwa Pulau Penyengat benar-banar ditinggal-pergi oleh penduduknya. (Lihat, Virginia Matheson, “Pulau Penyengat: Nineteenth Century”, 162).

Raja Ali Kelana (Calon YDM yang tidak pernah terwujud) juga meninggalkan negeri kelahirnya dan menetap hingga wafatnya di Johor pada 1927. Raja Ali Kelana meninggalkan negerinya lantaran, menurutnya, telah “berubah kelakuannya” (diperintah Belanda). Raja Ali Kelana menyatakan perinsip ini, seperti katanya dalam Bughyāt al-‘Any fiīḤurūf al-Ma‘āni: “Apabila negeri itu berubah kelakuannya maka tinggalkanlah dia!” (Lihat, Hasan Junus & UU. Hamidi, “Sumbangan dan Peranan Cendikiawan Riau”, 136).

Akhirnya, pemerintahan Belanda mengeluarkan keputusan penghapusan kerajaan Melayu Riau-Lingga dari “peta bumi” pada 11 Maret 1913.Dengan penghapusan kerajaan Melayu-Riau dari “peta bumi” pada sisi kekuasaan dan pemerintahan dapat dikatakan kerajaan Melayu-Riau ini tidak meninggalkan “bekas-bekas” kebesaran dan kejayaannya di masa silam.Apa penyebabnya Pulau Penyengat sebagai pusat pemerintahan YDM Riau hampir tidak meninggalkan “bekas-bekas” kebesaran pada masa lalu. Menurut penelitian Matheson ini disebabkan orang-orang di Pulau Penyengat pada umumnya, dan raja-raja dan keluarga istana pada khususnya lebih memilih memusnahkan harta benda dan barang-barang yang ada dalam rumah mereka (melakukan semacam “bumi hangus” daripada mereka khawatir kalau) Belanda akan menyita seluruh harta kekayaannya. Lihat, Virginia Matheson, “Pulau Penyengat: Nineteenth Century”, 162.

Akan tetapi, dari sisi persuratan intelektual-keagamaan dan kebudayaan, kerajaan Melayu-Riau telah meninggalkan “jejak-jejak” kebesaran dan kejayaan masa lalunya, kendatipun harus diaui belum/tidak mencampai pada puncak kejayaan tertingginya lewat generasi-generasi terpelajar yang menghasilkan “bertaburan” karya di Pulau Penyengat sepanjang menjelang paroh kedua abad ke-19 hingga awal abad ke-20. (Ong Hok Ham, “Pemikiran Tentang Sejarah Riau”, dalam Masyarakat Malayu Riau dan Kebudayaannya, 185).

Dengan situasi politik yang tidak menentu tersebut, maka ketika Indonesia memasuki era sastra modern yang ditandai dengan lahirnya Balai Pustaka pada dasawarsa kedua abad ke-20, Sapardi Djoko Damono menyebutkan, “tampaknya peran para sastrawan dari Riau tidak begitu menonjol”, untuk tidak mengatakan tenggelam sama sekali. (Lihat, Sapardi Djoko Damono, “Sastrawan Riau dan Sastra Indonesia Mutahir”, dalam Masyarakat Melayu dan Budaya Melayu dalam Perubahan, ed. Heddy Shri Ahimsa-Putra, Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengambangan Budaya Melayu, 2007: 289-290).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb,
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illā bi Allāh.

*Alimuddin Hassan Palawa,
Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies)
UIN Suska Riau.
34. MADRASAH AL-IQBAL AL-ISLAMIYAH: Majalah Al-Imâm Menggesa Lembaga Pendidikan Modern Di Alam Melayu

34. MADRASAH AL-IQBAL AL-ISLAMIYAH: Majalah Al-Imâm Menggesa Lembaga Pendidikan Modern Di Alam Melayu

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

 

Para pengelola majalah Al-Imām pada khususnya dan masyarakat terpelajar pada umumnya menyadari betul arti pendidikan guna memajukan masyarakat, dan sekaligus dalam menghadapi tantangan perkembangan zaman. Menyadari kewajibannya kepada Allah dan mempertimbangkan peranannya dalam komunitas masyarakatnya sendiri, Al-Imam mempunyai tujuan pendidikan bersifat khusus.

Pertama, untuk menyakinkan masyarakat Muslim bahwa menuntut ilmu pengetahuan adalah pertama diperintahkan Allah (iqra’) di dalam al-Qur’an.

Kedua, untuk mengenalkan sebuah sistem baru pendidikan yang didasarkan pada ajaran al-Qur’an.

Ketiga, untuk membangun sejumlah lembaga-lembaga pendidikan dengan kurikulum dan silabus yang baik.

Keempat, untuk mendorong dan membimbing para pemuda Muslim dalam melanjutkan pendidikannya ke luar negeri.

Kelima, untuk menganjurkan para sultan (raja-raja dan penguasa), pemimpin tradisional dan ulama agar memberikan perhatian khusus dan berperan aktif secara langsung untuk mengembangakan sistem pendidikan Islam di negeri ini. (Lihat, Abu Bakar Hamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society, 55-56)

Bahkan majalah Al-Imām memiliki pandangan yang sangat maju tentang keberadaan lembaga pendidikan bagi masyarakat, khususnya bagi generasi muda. Misalnya, Roff menulis bahwa “Al-Imām mengusulkan sistem pendidikan modern; bahasa Arab dan bahasa Inggris serta mata pelajaran sains modern seharusnya diajarkan.”

Lebih dari itu, majalah Al-Imām yang sangat peduli terhadap pendidikan ini mengemukakan filsafat pendidikannya dalam pembukaan editorial pada bulan Juli 1906 dengan menyatakan: “Pendidikan merupakan awal dari keimanan, sedengakan pengetahuan adalah mataharinya apa yang tersembunyi dari kegelapan; ia adalah rahasia yang hanya dipahami orang-orang bijak.

Pengetahuan merupakan senjata yang dengannnya kemenangan dapat dirahi dalam medan peperangan kehidupan; ia adalah unsur penghubung yang membawa kebanyakan masyarakat untuk mencapai keunggulan dan kebesaran mereka. Sesungguhnya Pengetahuan adalah perbendaharaan kebenaran dan gudang kearifah; ia merupakan saluran yang paling tepat menuju kesempurnaan, cahaya yang, ketika ia menempati dua indra manusia –hati dan kepala– akan menyinari seluruh negeri.” (Lihat, Abu Bakar Hamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society, 56.).

Dengan latar belakang pemikiran di atas pengelola majalah Al-Imām bercita-cita untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan dimaksud. Cukup lama cita-cita mendirikan lembaga pendidikan digagas, dan kurang lebih satu setengah tahun kemudian baru terwujud. Langkah persiapan pendirian itu diambil berawal pada tanggal 1 Sya’ban 1325 Hijriah (9 September 1907) dengan datangnya seorang ulama yang sangat mumpuni, Othman Affandi yang ditemani oleh Syed Abdullah Al-Zawawi (Mufti Pontianak, Kalimantan) dari Cairo, Mesir. Ia datang untuk mengajar di Madrasah al-Iqbal al-Islāmiyah yang segera akan didirikan di Singapura baik mengajar bahasa Arab maupun bahasa Inggris.

Untuk mendirikan sekolah itu memerlukan banyak guru, karenanya, pada bulan Oktober 1907 Othman Affandi diutus kembali ke Mesir untuk merekrut tenaga pengajar.Kemudian, pada 3 Januari 1908, ia tiba kembali di Penang, dan dari sana mengirim telegram ke Singapura menginformasikan kepada pengelola majalah Al-Imām tentang kedatangannya dari Mesir, dan keberangkatannya menuju Singapura bersama dengan guru-guru telah direkrutnya dari Mesir.

Meskipun secara resmi yang mendirikan Madrasah al-Iqbal al-Islāmiyah atas nama Othman Affandi, tetapi tidak bisa dilepaskan peran pengelola dan orang-orang majalah al-Imam. Bahkan tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Raja Ali Kelana bersama-sama dengan Shaykh Taher Jalaluddin adalah author intelektual berdirinya Madrasah al-Iqbal al-Islāmiyah di Singapura pada 1908. Akhirnya, pada Selasa, 1 Muharram 1326 Hijriah (4 Pebruari 1908), Madrasah al-Iqbal al-Islāmiyah secara resmi dibuka. (Lihat, Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, 41; Barbawa W. Andaya, “From Rum to Tokyo, 140).

Majalah al-Imam sendiri menerbitkan dengan mendetail tentang Madrasah al-Iqbal a-Islamiyah yang baru didirkan di Singapura itu. Misalnya Al-Imam menginformasikan kepada pembacanya pidato pembukaan dibacakan dengan lantang oleh seorang siswa laki-laki yang berusia sepuluh tahun, Abdul Jalil bin Raja Abdul Rahman dalam bahasa Melayu yang berbunyi, di antaranya: “Hadirin Yang Terhormat! Pada awal sekali, perkenankan saya untuk mengatakan: Hari ini adalah permulaan Tahun Hijriah 1326; dan hari ini juga adalah hari pembukaan hari Madrasah Islam ini, dengan begitu ada dua peristiwa bersejarah; menyambut tahun baru dan juga menyambut hari permulaan kebangkitan kembali ilmu pengetahuan melalui suatu sistem pendidikan baru. Ya, Tuhan ku! Mudahkan tugas ini dari berbagai kesulitan dan sempurnakanlah, Ya, Tuhan, tugas ini sangat baik…” Lihat, Abu Bakar Hamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society, 73-74.

Akan tetapi, pendirian madrasah ini mendapat reaksi negatif dan tantangan dari Kaum Tua atau dari kelompok tradisional. Ini disebabkan Madrasah itu didirikan Kaum Muda yang juga di kenal sebagai Kolompok Modern. William R. Roff mengidentifikasikan yang pertama sebagai “Innovasi” dan yang belakang sebagai “Reaksi”. Seorang koresponden dari Batu Biduan, Sumatra menulis kepada Al-Imām laporan sebagai berikut:

“Kami sering membaca dalam surat kabar yang beragam tentang Madrasah Iqbal di Singapura dan yang sangat mengesankan mengenai pelajaran yang diajarkan di sana….. kami merespon secara positif Madrasah tersebut dan kami sekarang menyeru kepada kawasan masyarakat tertentu…. untuk mengirim anak-anak mereka ke Madrasah itu…. tetapi, kekhawatiran kami…. mereka tidak memperhatikan kami; malah sebaliknya bereaksi negatif menyatakan bahwa tidak perlu belajar di sana… lalu kami berupaya yang terbaik untuk menemukan sumber kesalahpahaman ini dan sesudah itu kami menemukan bahwa sumbernya berasal dari sebuah aliran yang sesat, yaitu berasal dari orang-orang yang memakai sorban besar, penjual ajimat, dan orang-orang penipu yang berjalan sambil bertasbih, memakai kacamata dan tongkat panjang, karena iri hati dan ketidakamanan dari penghasilan yang mereka peroleh melalui penipuan dan kecurangan terhadap masyarakat didaerah itu, maka banyak orang yang terpelajar dan menjadi lebih tahu sehingga tipu daya mereka tidak menjadi efektif lagi….” (Abu Bakar Hamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society, 75-76).

Selain mendapat respon negatif dari kelompok tradisional, madrasah al-Iqbal al-Islāmiyah juga menghadapi masalah, misalnya kesalah-pahaman dari penderma sosial yang menganggap bahwa Madrasah itu merupakan milik pribadi seorang kaya, Raja Ali Ahmadi dari Riau. Dewan pimpinan Madrasah itu sudah mengklarifikasi situasi ini, kemudian bulan Desember 1908 pihak madrasah ini membuat pengumuman sebagai berikut:

“Orang-orang mungkin berpikir bahwa Madrasah ini milik Raja Ali Al-Ahmadi karena dia satu-satunya orang yang perduli terhadap segala sesuatunya yang berhubungan dengan Madrasah ini. Karena anggapan ini ada suara-suara yang tidak sejalan dengan situasi yang sebenarnya, sehingga merusak kebaikan kami secara umum. Madrasah ini, kenyataannya, secara resmi adalah milik Othman Afandi Ra’fat, dan Raja Ali sebenarnya hanya salah seorang dari anggota donatur yang menyumbang untuk pendirian Madrasah itu. Raja Ali disebut sebagai pelindung Madrasah dengan pertimbangan karena Othman Ra’fat adalah orang asing dan belum dikenal luas; ini akan membuat orang tua enggan untuk mengirim anak-anak mereka belajar kesana. Kebijaksanaan ini dijalankan sampai orang-orang menyadari siapa pemilik Madrasah itu sebenaranya. Sekarang ketertarikan itu sudah terjamin dan kepercayaan dari masyarakat juga sudah utuh. Karenanya, untuk menghindari kebingungan yang lebih jauh dari anggota masyarakat yang ingin memberikan sumbangan, maka nama Raja Ali ditarik dari pelindung Madrasah, tetapi dilanjutkan dengan keangggotaan luar biasa dalam Dewan Pengurus dan membantu Madrasah seperti anggota yang lain. Oleh karena itu, diharapkan kepada semua kaum Muslim agar memberikan jasa-jasa mereka untuk kebaikan pada anak-anak saudara mereka”. (Lihat, Abu Bakar Hamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society, 76).

Dari kutipan di atas jelas sekali peran dan kedudukan Raja Ali Ahmadi terhadap keberadaan Madrasah al-Iqbal al-Islāmiyah. Bahkan, lantaran kesukaran keuangan dalam pengelolaanya, segera Madrasah ini dipindahkan ke Riau –meskipun belakangan ditentang penjajah Belanda– dengan peran dan kepedulian besar dari intelektual dan penguasa kerajaan Melayu-Riau, khususnya dari Raja Ali al-Ahmadi:

Konsekwensinya, Madrasah al-Iqbal Islamiyah menghadapi ancaman penutupan karena berbagai alasan, terutama masalah keuangan.Namun, nasib Madrasah itu dengan segera menggugah perhatian Raja Ali Al-Ahmadi tanpa ragu-ragu, memberikan reaksi dan mengadukan keadaan itu kepada Sultan Abdul Rahman, Penguasa Lingga dan Riau.Penting untuk dicatat bahwa Raja Ali Al-Ahmadi adalah saudara Sultan Riau.Yang disebut pertama adalah seorang terpelajar yang saleh, dan belakangan seorang Penguasa yang dermawan.

Raja Abdul Rahman merespon secara simpati dan memerintahkan agar Madrasah tersebut beserta dengan guru-guru dan peralatanya dipindahkan ke Riau, di Pulau Penyegat, dan perintah Sultan terlaksana.Madrasah ini sekarang menjadi milik tunggal Pemerintah Riau dan sekarang diberi nama baru, yaitu “Madrasah Ahmadi”. Pada tanggal 20 Syawal 1326 Hijriah, Madrasah “baru” itu secara resmi dibuka kembali dan pengajaran secara gratis untuk semua anak-anak yang menghadiri Madrasah itu. (Lihat, Abu Bakar Hamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society, 77).

Sewaktu Madrasahal-Iqbal al-Islāmiyah masih di Singapura dengan partisipasi Shaykh Jalaluddin Taher. Namun pengaruh tokoh asal Minangkabau ini tetap besar bagi kolega-kolega dan murid-muridnya di Minangkabau. Haji Abdullah Ahmad, misalnya, mengunjungi guru dan teman-temannya ini di Singapura dengan maksud untuk mempelajari pengelolaan Madrasah tersebut. Sekembalinya dari Singapura Haji Ahmad Abdullah menjadikan Madrasah al-Iqbal al-Islāmiyah sebagai model Madrasah Adabiyah yang didirikannya di Padang pada 1909.” (Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942,41 dan 47; Barbawa W. Andaya, “From Rum to Tokyo…”, 140). Lagi-lagi, tradisi intelektual Semenanjung Melayu dan Riau lewat sistem pendidikan madrasahnya, khususnya Madrasah al-Iqbal al-Islāmiyah mempengaruhi sistem pendidikan dan belakangan “semakin mengokohkan” pembentukan tradisi intelektual di Minangkabau.

Kata “semakin mengokohkan” dimaknai sebagai “tambahan” saja, tanpa pretensi bahwa Semenanjung dan Riau telah membentuk tradisi intelektual di Minangkabau. Bukankah pondasi pembentukan tradisi intelektual di Minangkabau sudah mulai terbentuk dilakukan sebelumnya lewat dua jalaur. Pertama, lewat jalur “politik etis” Belanda dan berlanjut pada pengirimin siswa-siswa yang meneruskan pendidikan mereka di perguruan tinggi baik di Batavia maupun di negeri Belanda. Kedua, jauh sebelum kebinakan politik etis tradisi “pendidikan surau” dan berlanjut pada pengirimian pelajar ke Makkah dan Mesir.

Pada waktunya, memasuki dan terus belanjut pada paroh pertama abad ke-20 begitu banyak ilmuan (didikan “Barat”) dan ulama (didikan “Arab”) asal Minangkabau. Pada gilirannya, daerah inilah paling banyak ”menyumbang” inteletual Muslim dalam kiprahnya menjelang dan setelah Indonesia merdeka. Sedemikian banyaknya menyumbang dan memasok putra-putra terbaiknya negeri ini, kalau kita menyebutkan selusin tokoh-tokoh intelektual/ sarjana-terpelajar menjelang dan sesudah Indonesia merdeka, hampir separohnya berasal dari Minangkabau.

Sekali lagi, pada batas-batas tertentu, persuratan intelektual Melayu-Riau memberi andil dalam menghubungkan geneologi intelektualisme ke Minangkabau (Sumatra Barat) dalam kawasan Melayu-Nusantara pada awal ke-20. Sebelumnya majalah Al-Imam yang terbit disingapura jadi rujukan penerbitan penerbitan majalah al-Munir pada 1911-1916 di Padang Minangkabau. Kini Madrasah Iqbal al-Islamiyah di Singapura menjadi model pendirian sekolah Adabiyah yang didirikan pada 1909. Kedua usaha besar dalam bidang penerbitan majalah dan pendirian sekolah ini diupayakan oleh Haji Abdullah Ahmad yang, menurut Deliar Noer, salah seorang pembaharu penting di awal abad ke-20.

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illā bi Allāh

*Alimuddin Hassan Palawa,
(Direktur &Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies)UIN Suska Riau).
33. TĀJ AL-SALĀTIN: Pengenalan Singkat atas “Mahkota Raja-raja” Karya Bukhāri al-Jawhāri

33. TĀJ AL-SALĀTIN: Pengenalan Singkat atas “Mahkota Raja-raja” Karya Bukhāri al-Jawhāri

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

 

Tāj al-Salāṭin (“Mahkota Raja-raja”) masyhur diketahui ditulis oleh Bukhāri al-Jawhāri. Meskipun, setidak-tidaknya bagi Winstedt, tidak menyebutkan nama “asli” siapa penulisnya, ia hanya mengindentifikasi bahwa buku itu dikarang oleh “a jeweller of Bokhāra” (“seorang pedagang perhiasan dari Bukhāra”). Artinya, sebutan “jawhāri” (“jeweller”) adalah penisbatan pada pekerjaan, dan sebutan “Bukhāri” diasosiasikan pada nama asal tempatnya.

Selain ini, Roorda van Eysinga memberikan keterangan dalam terjemahannya atas Tāj al-Salāṭin yang menyebutkan bahwa pengarannya adalah Bukhāri berasal dari Johor (Bocharie van Djohor).(Lihat, Winstedt, “A History of Classical Malay Literature”, 114; Amirul Hadi, Aceh: Sejarah, Budaya dan Tradisi (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2010), 99). Tentu saja, keterangan van Eysinga ini menimbulkan pertanyaan yang meragukan kebenarannya.

Pendapat kedua sarjana Barat itu, baik pendapat Winstedt maupun khusunya pendapat van Eysingan, agaknya “diaminkan” olah Liaw Yock Fang dengan kalimat yang ambiguitas, seperti tulisnya “…. yang bernama Bukhāri al-Jawhāri, artinya saudagar permata atau Bukhari dari Johor.” (Lihat, Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, ed. Riris K. Toha-Sarumpeat (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2011), 413). Pendapat prihal asal-usul pengarangnya lemah dibandingkan dengan pendapat yang dikemukan oleh Abdul Hadi W.M., Ph.S. van Ronkel, C. Hooykaas dan T. Iskandar, seperti akan dipaparkan berikut ini.

Penjelasan yang relatif gamblang meskipun cukup singkat tentang siapa sosok Bukhāri al-Jawhāri diungkapkan oleh Abdul Hadi W.M. yang, menurut pengakuannya diambil dari keterangan samar-samar dari Tāj al-Salāṭin itu sendiri. Diduga kuat bahwa Bukhāri al-Jawhāri adalah seorang terpelajar dan penulis Melayu berketurunan Persia yang nenek moyangnya berasal dari Bukhāra yang datang di negeri Melayu sebagai saudagar batu permata.

Bukhāri al-Jawhāri, tulis Abdul Hadi W.M. lebih lanjut, menulis Tāj al-Salāṭin pada masa kesultanan Aceh, yaitu pada era pemerintahan Sultan Alauddin Ri‘ayat Shah gelar Sayyid al-Mukammil (1590-1604), kakek Sultan Iskandar Muda (1607-1636).( Lihat, Abdul Hadi W.M., “Aceh dan Kesusastraan Melayu”, dalam Aceh Kembali ke Masa Depan, (ed.) Sardono W. Kusumo (Jakarta: IKJ Press, 2005, 216).

Ihwal penulisan Tāj al-Salāṭin itu sendiri terdapat perbedaan pendapat di kalangan sarjana: apakah sebuah karya yang berbahasa Persia yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu; atau sebuah karya yang berbahasa Melayu ditulis di Aceh? Ph.S. van Ronkel setelah menganalis strukturnya, ia sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Tāj al-Salāṭin adalah sebuah karya terjemahan dari bahasa Persia. (Taufik Abdullah, “The Formation of a Political Tradition in the Malay World” dalam Anthony Reid (ed.), The Making of an Islamic Discourse in Southeast Asia, Monash Paper on Southeast Asia – No. 27, (Clayton, Victoria: Monash University, 1993), 40 [catatan kaki no. 12]).

Pendapat Ph.S. van Ronkel ini didukung oleh Winstedt yang menyatakan bahwa Tāj al-Salāṭin ditulis pada awalnya dalam bahasa Persia, tetapi belakangan tidak ditemukan dalam bahasa aslinya. Karya Bukhāri al-Jahwhāri ini masuk di AlamMelayu-Nusantara melalui sumber-sumber dari India pada tahun 1603. Angka ini kemungkinan juga menunjukkan tahun diterjemahkannya Tāj al-Salāṭin dalam bahasa Melayu yang, juga tidak diketahui siapa penerjemahnya, dilaksanakan di Aceh.(Winstedt, “A History of Classical Malay Literature”, 114-116).

Sebaliknya, C. Hooykaas dan T. Iskandar sama-sama berpendapat bahwa Tāj al-Salāṭin memang memiliki judul bahasa Arab dan mengandung unsur-unsur Persia di dalamnya, tetapi kitab itu di tulis dalam bahasa Melayu dan dikarang di Aceh. Menurut kedua sarjana ini, kitab Tāj al-Salāṭin tidak dikenal dalam sejarah kesusastraan Persia. Agaknya, pendapat ini yang lebih mendekati kebenaran seputaran kitab Tāj al-Salāṭin dengan sejumlah agumentasi rasionalnya.

Benar bahwa T. Iskandar sendiri menerima pendapat Ph. S. Van Ronkel yang mendasarkan argumentasinya pada tiga kriteria, yaitu gaya bahasa, ekspresi-ekspresi sastra, dan struktur teks. Akan tetapi, T. Iskandar menyatakan bahwa masing-masing kategori Tāj al-Salāṭin tersebut menunjukkan secara keseluruhan tidaklah asing dalam tradisi kesusastraan Melayu. (Taufik Abdullah, “The Formation of a Political Tradition…”, 41).

Kitab Tāj al-Salāṭin, menurut Taufik Abdullah, termasuk “salah satu kitab Melayu yang paling awal diterjemahkan ke bahasa Jawa”, dan sekaligus kitab “teori ketatanegaraan” yang bercorak moral-sufistik yang paling awal dan penting di Alam Melayu.(Lihat, Taufik Abdullah, “Pemikiran Islam di Nusantara dalam Perspektif Sejarah: Sebuah Sketsa”, dalam Prisma, LP3ES, No. 3 Tahun XX Maret, 1991, 21). Tāj al-Salāṭin tidak hanya populer dan berpengaruh di wilayah berbahasa Melayu, tetapi juga di Jawa.

Menurut sebuah babad, seperti tulis Taufik Abdullah, karya Bukhāri al-Jawhāri ini dijadikan sebagai panduan oleh pendiri dinasti kerajaan Yogyakarta, Sultan Mangkubowono I. Belakangan, Pangeran Diponegoro menasehati saudaranya, Sultan Hamengkubowono V agar mempelajari kitab Tāj Salāṭin secara telaten dan sungguh-sungguh. Akhirnya, kitab Tāj al-Salāṭin ini juga dicetak oleh kerajaan Yokyakarta selepas Perang Jawa (1825-1830).(Taufik Abdullah, “The Formation of a Political Tradition…”, 41).

Manuskrip Tāj al-Salāṭin yang terbilang paling tua adalah milik A. Reland (1676-1718) tersimpan di Leiden. Menurut Winstedt, ada tiga edisi dari kitab ini telah dicetak oleh orang Belanda di Jawa.(Lihatt, Winstedt, “A History of Classical Malay Literature”, 115). Sementara itu, menurut Petter B.R. Carey, kitab ini telah diterbitkan sebanyak empat kali pada abad ke-19. Hooykaas menyebutkan naskah Tāj al-Salāṭin ditemukan beberapa versi berbahasa Jawa yang terdapat dalam manuskrip-manuskrip di Batavia.

Kemungkinan dari salah satu naskah Tāj al-Salāṭin tersebut yang diterjemahkan/disunting dan dicetak oleh Roorda van Eysinga melalui proses tipografi di Betawi pada tahun 1827. Kemudian, upaya penerjemahannya ini disusul dilakukan oleh Aristide Marre pada 1878. Memang diduga kuat, sebagimana tulis Taufik Abdullah, Roorda van Eysinga adalah sarjana pertama kali yang memperkenalkan Tāj al-Salāṭin di kalangan dunia akademik di Alam Melayu. (Lihat, Taufik Abdullah, “The Formation of a Political Tradition…” 40-41)

Raja Ali Haji sendiri telah memiliki kitab Tāj al-Salāṭin kurang dari dua dekade setelah Roorda van Eysinga menerjemahan dan menerbitkannya. Tidak diketahui secara pasti dari siapakah Raja Ali Haji memiliki karya Bukhāri al-Jawhāri itu, apakah langsung dari van Eysinga atau melalui sahabatnya, Von de Wall.

Akan tetapi, yang pasti lewat suratnya kepada van Eysinga pada 1846, Raja Ali Haji begitu mengagumi hasil cetakan kitab Tāj al-Salāṭin dalam dua bahasa (Melayu dan Belanda) yang tidak ditemukan satupun kesalahan di dalamnya. Selanjutnya, Raja Ali Haji mengutarakan rasa kagum dan penilaiannya serta ucapan selamat kepada van Eysinga lewat suratnya:

“… sebelah kanananya dengan bahasa Melayu dan sebelah kirinya dengan bahasa Olanda, maka kita tiliklah daripada permulaan pasalnya hingga akhirnya kesudah2annya maka kita dapatlah kebetulan tiada berubah daripada kurang atau lebih daripada halnya sebagaimana asalnya begitu juga salinan itu. Maka kita pun sangatlah suka serta memberi selamat atas nama sahabat kita yang tertulis pada akhir mukaddimahnya dan bawah tarikh termaktubnya.” (Lihat, Putten, “Printing in Riau: Two Staps Toward Modernitiy, dalam Cyinthia Chou and Will Derks, Riau in Transition, Deel 153, 1997, 719; bandingkan dengan Putten, “Daripada Pekerjaan Hendak Mencetak”, makalah, Hari Raja Ali Haji, Pulau Penyengat: 1-31 Oktober 1996, 5).

Hampir satu dekade kemudian,tepatnya pada 1857 Raja Ali Haji mengirim Tāj al-Salāṭinyang jauh sebelumnya telah miliknya kepada Von de Wall, sahabatnya yang sedang berada di Batavia, agar kitab itu diberikan kulit yang luks.Tersebut dalam suratnya, tertanggal, 1 Februari 1859 [No. 17], Raja Ali Haji sedemikian menghargai kitab ini. Buktinya, ia mengirim kitab Tāj al-Salātin kepada sahabatnya, Von de Wall yang sedang berada di Batavia dengan maksud agar diberi kulit yang baik dan asesoris yang indah. Raja Ali Haji menuturkan hal ini dalam suratanya:

“… yaitu kita minta kulitkan dengan kulit yang benar. Jakalau boleh dengan kulit yang hijau, berair emas juga yakni berperada juga mana2 tempat yang patut jadi perhiasan.”

Kitab ini telah di cetak beberapa kali, dan setidaknya Von de Wall sendiri memiliki salah satu copinya yang diberikan/ dipinjamkan oleh pemerintahan Hindia Belanda pada 1856.(Lihat, Putten dan Al Azhar, Di Dalam Bekekalan Pesahabatan, 46 dan 145).

Kitab Tāj al-Salāṭin memang tidak disebutkan Raja AliHaji secara eksplisit sebagai referensi dalam melahirkan karya-karyanya. Akantetapi, dapat dipastikan bahwa Raja Ali Haji telah membaca karya al-Bukhāri al-Jawhāriini, dan sekaligus jadi referensi sewaktu mengubah karya monumentalnya, Gurindam Duabelas yang selesai ditulisnya pada 1847. Sekurang-kurangnya ada dua argumentasi sehingga diyakini secara kuat kalau Raja Ali Haji mempergunakan Tāj al-Salātin sebagai referensinya.

Pertama, dari segi waktu adanya “alur logis”antara kepemilikan Raja Ali Haji atas Taj al-Salatin (dimiliki 1846) dengan waktu pengubahan Gurindam Dua Belas oleh Raja Ali Haji (selesai di gubah1847). Kedua, dari segi materi adanya kesamaan antara Tāj al-Salātin dengan Gurindam Dua Belasa ketika keduanya memulakan —Taj al-Salatin pada bab pertama, dan Gurindam Dua Belas pada pasal pertama– dengan mengutip hadis Nabi saw. sebagai prinsip dasar ajaran tasawuf, yaitu “Man ‘arafa nafsah, faqd ‘arafa rabbah” (sesiapa mengenal dirinya, maka sesunggunya dia mengenal Tuhan).”

Begitu juga, Raja Ali Haji telah membaca Tāj al-Salātin kurang-lebih sepuluh tahun sebelum ia menulis Thamarāt al-Muhimmah pada 1857. Selain itu, diduga kuat ia mempergunakan Tāj a-Salāṭin sebagai rujukan sewaktu menyusun Kitab Pengetahuan Bahasa yang “dirampungkan” pada 1859, khususnya ketika ia menulis entri kata “Allah”, “Manusia” “Dunia” dan “Akhirat”.(Lihat, Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 22-34).

Kalau melihat tema-tema dan corak pemikiran terkandungdalamkitabTāj al-Salāṭin, dapat dipastikan bahwa Raja AliHajimempergunakan karya Bukhāri al-Jawhāri itu sebagai referensi dalam menulisThamarāt al-Muhimmah dan Muqaddimah fī al-Intiẓam. Pengaruh gagasan dan kisah-kisah yang terkandung dalam Tāj al-Salāṭintidak saja mempengaruh Raja Ali Haji. Akan tetapi, menurut Abdul Hadi W.M., karya Bukhari al-Jawhari juga telah “memberikan pengaruh besar pada pemikir politik dan tradisi intelektual Melayu.”Lihat, Abdul Hadi W.M., “Aceh dan Kesusastraan Melayu”, 217).

Lagi pula, cara penulisan Raja Ali Haji yang kerapkali menyelingi karya-karya dengan deretan-deretan syair-syair pada khususnya dan kepiawaiannya dalam mengubah syair-syair pada umumnya memiliki kemiripan dengan Bukhari al-Jawhari. Untuk tokoh yang belakangan ini Abdul Hadi W.M. menuliskan:

“Melalui Taj al-Salatin …. menunjukkan pula bahwa Bukhāri al-Jawhāri merupakan penyair dan penulis hikayat yang ulung. Dalam pasal-pasal kitabnya itu ia senantiasa menyelipkan jika bukan kisah-kisah pendek yang sarat hikmah, puisi-puisi yang sederhana namun indah dan dalam isinya.”(Abdul Hadi W.M., “Aceh dan Kesusastraan Melayu”, 221).

Hal serupa juga dilakukan Raja Ali Haji ketika memberikan penjelasan mufassar [uraian panjang-lebar] atas atas “kamus monolingual”nya, Kitab Pengetahuan Bahasa baik berupa puisi-puisi maupun kisah-kisah, sebagaimana dinyatakan sendiri dalam suratanya kepada Von de Wall, tertanggal, 25 Muharram 1289/ 12 Maret 1872, di antaranya Raja Ali Haji mengatakan:

“ …. Akan tetapi dibanyakkan bertambah di dalam qissah2 cerita2 yang meumpamakan dengan kalimat yang mufrad, supaya menyenangkan hati orang muda2 mutalaahnya, serta syair2 Melayu sedikit2. Di dalam hal itupun memberi manfaat jua kepada orang2 yang mempikirkan perkataan dan makna bahasa Melayu pada orang2 yang bukan ternak Johor dan Riau dan Lingga.“ (Lihat, Putten dan Al-Azhar, Di Dalam Berkekalan Persahabatan, 107).

Dari suratnya tersebut di atas Raja Ali Haji memaknai kehadiran karyanya, Kitab Pengetahuan Bahasa adalah guna membimbing mereka (masyarakat Melayu-Riau) yang berkeinginan menambah pengetahuan bahasa dan tata bahasa, agama dan prilaku yang benar, baik dan terpuji. (Andaya dan Matheson, Islamic Thought and Malay Tradition: 113).

Artinya, upaya Raja Ali Haji “menyelipkan” puisi-puisi dan kisah-kisah (hikyat-hikayat) dalam Kitab Pengetahuan Bahasa mendapatkan pengaruh darial-Bukhāri al-Jawhāri. Rupanya Raja Ali Haji tidak saja menjadikan Tāj al-Salāṭin sebagai rujukan dari segi materi (isi kandungan). Namun, Raji Ali Haji juga menjadikan contoh dalam cara dan teknik penyajian dari karya al-Bukhāri al-Jawhāri yang sangat dikaguminya.

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

*Alimuddin Hassan Palawa,
(Dirktur &Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies]  UIN Suska Riau).
32. ‘ABD RAUF  AL-SINKILI: Perkenalan Kitab Mir’ah al-Tullâb dan Tarjuman Mustafîd

32. ‘ABD RAUF AL-SINKILI: Perkenalan Kitab Mir’ah al-Tullâb dan Tarjuman Mustafîd

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

 

‘Abd Ra‘ūf al-Sinkili (1615-1693) termasuk salah seorang ulama Melayu-Nusantara yang sangat produktif, otoritatif dan komprehensif. Cakrawala sosial-intelektualnya begitu luas, dilatarbelakangi karena al-Sinkili belajar di sejumlah tempat yang, menurut istilah Azra, “tersebar sepanjang rute haji, dari Dhuha (Doha) di wilayah Teluk Persia, Yaman, Jeddah, dan akhirnya Makkah dan Madinah”dengan jaringan guru-guru yang begitu kompleks.(Azyumardi Azra, Jaringan Ulama: 191-192 dan 194).

Di antara guru-gurunya yang begitu banyak, ungkap Azra lebih lanjut, al-Singkili memiliki hubungan pribadi sangat dekat dan sekaligus hutang budi secara intelektual dan spritual begitu besar pada dua orang gurunya: Aḥmad al-Quṣaṣi (seorang ulama terbesar pada zamanya. Gurunya ini menunjuk al-Sinkili sebagai khalifahnya pada tarekat Shatariyyah dan Qadariyyah) dalam bidang spritual dan mistis; dan Ibrāhīm al-Kurāni (murid paling terkemuka Aḥmad al-Quṣaṣi, dan guru tempat al-Sinkili “menamatkan” pendidikannya) dalam bidang intelektual-keagamaan.(Lihat, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 196; Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana & Kekuasaan (Bandung: PT. RemajaRosdakarya, 2000), 133-134; bandingkan Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Local Islam Nusantara (Bandung: Mizan, 2002), 105-106; lihat juga A.H. Johns, “Friends in Grace: Ibrahim al-Kūrani and ‘Abd al-Raū’f al-Singkeli,” dalam S. Udin, Spectrum: Essays Prensented to Sutan Takdir Alisyahbana, ed. S. Udin (Jakarta: Dian Rakyat, 1878), 469-485; A.H. Johns, “Islamization in Southeast Asia: Refelection and Reconsiderations with Special Reference to the Role of Sufism”, dalam Southeast Asia Studies, Vol. 31, 1 (June 1993), 53).

Dari latar belakangan pendidikan begitu lengkap dan sempurna maka, menurut Wan Shaghir Abdullah, tidak heran kalau belakangan al-Sinkili menulis tidak kurang 25 karya. Jauh melampaui angka ini, menurut Oman Fathurahman, al-Sinkili telah melahirkan lebih dari 36 karya-karya tulis. (H.W. Muhd. Saghir Abdullah, Khazanah Karya Pusaka Asia Tenggara, Jilid 1 (Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah, 1991), 40-41; Oman Fathurahman, Menyoal Wahdatul Wujud: Kasus Abddurauf Singkel di Aceh Abad 17, Jakarta: Mizan, 1999) , 28-30). Karya-karyanya itu mengulas berbagai disiplin ilmu Islam tradisional, seperti tafsir, hadith, fiqh, kalam dan tasawuf. Dua di antara dari karya-karya ‘Abd Ra‘uf al-Sinkili yang paling masyhur adalah Mir’at al-Ṭullāb dan Tarjumān al-Mustafīd.

Kitab Mir’at al-Ṭullâb
Judul lengkap karya Shaykh ‘Abdul Rauf al-Singkili yang selesai dikarangnya pada 8 Jumadil Akhir 1083 (1663) ini adalah Mir’ah al-Ṭullâb li Tahsîl Ma’rifah Aḥkam al-Shar’iyyah li al-Mâlik al-Wahhâb (“Cermin bagi Mereka yang Menuntut Ilmu Fiqh pada Memudahkan Mengenal Segala Hukum Syara’ Allah”). Dari judul lengkapnya mengisyaratkan dengan pasti bahwa kitab ini menguraikan masalah-masalah ilmu hukum (fiqh) menurut mazhab Shafi’i. Mengenai kitab ini, Teuku Ibrahim Alfian mengatakan bahwa “Sepanjang pengetahuan kita inilah kitab pertama yang berisi kodifikasi hukum Islam ditulis dalam bahasa Melayu.”

Kitab ini ditulis oleh Shaykh ‘Abd Ra‘uf al-Singkili untuk memenuhi titah Sultanah Tāj al-‘Ālam Safiat al-Dīn Syah (1641-1675), permaisuri dan pengganti Sultan Iskandar Thani. Berkenaan dengan ini Shaykh ‘Abd Rauf al-Singkili sendiri mengungkapkan:

“Maka bahwasanya adalah Hadarat yang Maha mulia [Paduka Seri Sulṭanah Tāj al-‘Ālam Safiat al-Dīn Syah] itu telah bersabda kepadaku daripada sangat lebai akan agama Rasulullah bahwa kukarang baginya sebuah kitab dengan bahasa Jawi yang dibangsakan kepada bahasa Pasai yang muhtāj [diperlukan] kepada orang yang menjabat jabatan qadi pada pekerjaan hukum daripada segala hukum syara‘ Allah yang mu’tamad pada segala ulama yang dibangsakan kepada Imam Shafi‘i radiallahu ‘anhu….” (Lihat, Teuku Ibrahim Alfian, “Bahasa Melayu Sebagai Faktor Dinamika Pertumbuhan Budaya Bangsa”, dalam Hendri Chambert-Loir dan Hasan Muari Ambari, Panggung Sejarah (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), 477; A. Hasjmi, 57 Tahun Aceh Merdeka di bawah Pemerintah Ratu (Jakarta: Bulan Bintang: 1977), 109; H.W. Muhd. Saghir Abdullah, Khazanah Karya Pusaka Asia Tenggara, 138-156; Anthony John, “Qur’anic Exegesis in the Malay World: In Search of a Profile”, dalam Approaches to the History of Interpretation of the Qur’an, e.d. Andrew Rippin (Oxford: Clarendon Press, 1988), 263).

Lewat karya yang disebut pertama, Mir’at al-Ṭullāb dan sebuah karya fiqh lainnya, Najm a-Masā’il, menurut Buya Hamka, ‘Abd Ra‘ūf al-Sinkili termasuk “ahli fiqhi terbesar dalam Mazhab Syafi‘i.”Dan melalui karya disebut belakangan, Tarjumān al-Mustafīd, ‘Abd Ra‘uf al-Sinkili dikukuhkan, setidaknya oleh muridnya sendiri yang berkebangsaan Turki, Dawud bin Isma‘il dengan kalimat penghormatan terhadap gurunya: “Al-‘Ālim al-‘Allamah wa Bahr al- fahhamah farīd ‘Aṣrihī wa Waḥid al-Dahrihī”.(Lihat, Hamka, Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao”, Jakarta: Bulan Bintang, 1974: 177-178).

Kitab Mir’at al-Ṭullāb itu ditulis al-Sinkili atas permintaan Sulṭanah Safiyat al-Dīn Shah (1641-1675) segera setelah pulang dari menuntut ilmu di Arabiah (Mekkah), dan selesai ditulisnya pada 1663 (persisnya pada Sabtu, 8 Jumād al-Akhīr 1083). (Lihat, R.O. Winstedt, “A History of Classical Malay Literature”, Monograpsh on Malay Subjects, No. 5, J‎MBRAS, Vol. 31, Part 3, No. 183, 1961, 121-122; Peter G. Riddell, Islam and the Malay-Indonesian World, Transmission and Resposes, (Singapore: Horizon Book, 2001), 129).

Pada awalnya, al-Sinkili agak keberatan memenuhi permintaan sang Sultanah karena ia merasa bahasa Melayunya kurang baik setelah “lama berdagang dan diam pada segala negeri Yaman dan Mekah dan Madinah.” Belakangan, dengan mempertimbangkan arti penting kitab semacam itu untuk ditulis dalam bahasa Melayu, ia akhirnya menulisnya dengan mendapat bantuan dari dua orang sahabat. (Lihat, Abdul Hadi W.M., “Aceh dan Kesusastraan Melayu”: 221; lihat juga, Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik: 406).

Melihat waktu penulisannya, menurutAlfian, kitab Mir’at al-Ṭullāb lebih dari 150 tahun sejak setelah dituli sbaru kemudian dipergunakan di kerajaan Johor-Riau yang, menurut Raja Ali Haji dalamTuḥfat al-Nafīs, untuk pertama kalinya sekitar tahun 1810-1820. Lihat, Teuku Ibrahim Alfian, “Islam dan Kerajaan Aceh Darussalam”, dalam A.B. Lapian, dkk., Sejarah dan Dialog Peradaban, (Jakarta: LIPI Press, 2005), 248; Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 268.

Dalam Tuḥfat al-Nafīs disebutkan bahwa karya‘Abd Ra‘uf al-Singkili ini dipelajari oleh YDM VI Riau, Raja Ja‘farbin Raja Haji dan Raja Ahmad, masing-masing paman dan ayah Raja Ali Haji beserta keluarga besar kerajaan di bawah bimbingan Mufti kerajaan, ulama besar pada saat itu, Haji Abdul Wahab dari Sumatra Barat. (Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 268; Sham, Syair-syair Melayu Riau, 193).

Al-Sinkili lewat Mir’at al-Ṭullāb, menurut Azra, adalah ulama Melayu-Nusantara yang paling pertama mengarang kitab tentang fiqh mu‘amalah. Dengan kitabnya itu, kata Azra lebih lanjut, al-Sinkili seolah-olah ingin “menunjukkan kepada kaum Muslim Melayu bahwa doktrin-doktrin hukum Islam tidak terbatas pada ibadah saja, tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan sehari-hari mereka.” Selain itu, al-Sinkili juga menulis buku fiqh, Kitab al-Farā’iḍ yang, lagi-lagi menurut Azra, kemungkinan diambil/bagian dari Mir’at al-Ṭullāb itu sendiri.(Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 201-202).

Sementara itu, dari berbagai naskahnya, menurut Abdullah, kitab ini mengandung pembahasan tentang hukum jual-beli, nikah, farā’iḍ dan hukum jinayah. Kandungan tentang nikah dalam kita ini telah dikaji oleh Peunoh Dali dalam menyelesaikan program Doktornya di IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dan belakangan diterbitkan dengan judul, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlus Sunnah dan Negara-negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988). (Lihat, Saghir Abdullah, Khazanah Karya Pusaka Asia Tenggara, 143. Dalam mengulas isi kandungan Syair Hukum Nikah karya Raja Ali Haji, Abu Hassan Sham menjadikan kajian Peunoh Daly atas Mir’at al-Tullāb sebagai bahan perbandingan dan rujukan yang sangan berarti. (Lihat, Abu Hassan Sham, Syair-syair Melayu Riau, 139-187 dan 193).

Sementara Abdul Hadi menuliskan bahwa kandungan Mir’at al-Ṭullāb terdiri dari tiga aspek utama hukum Islam dalam perspektif mazhab Shafi‘i, yaitu: Mu‘āmalah (mencakup masalah jual-beli, hukum riba, utang-piutang, sewa-menyewa, hak milik, wakaf dan lain-lain); Munakaḥāt (mencakup masalah rukun nikah, walimah, talak, rujuk, nafkah dan lain-lainnya); dan Jināyat (mencakup masalah hukum pemberontakan, perampokan, pencurian, zinah, pembunuhan dan lain-lainya). (Lihat,Abdul Hadi W.M., “Aceh dan Kesusastraan Melayu”: 243).

Raja Ali Haji memang tidak menyebutkan secara langsung kalau ia menggunakan Mir’at al-Ṭullāb sebagai referensinya dalam menulis karya-karya. Akan tetapi, kitab ini beredar luas di Melayu-Nusantara, bahkan, menurutAzra, telah menjadi rujukan utama bagi Muslim Filipina. (Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 202).

Meskipun Raja Ali Haji tidak menyebutkan, tetapi dapat dipastikan bahwa Mir’at al-Ṭullāb juga telah menjadi salah satu buku teks penting ketika ia penempuh pendidikannya di Pulau Penyengat. Kepastian ini didukung oleh kenyataan bahwa karya Al-Sinkiliini, sebagaimana telah disebutkan di atas, Mir’at al-Ṭullāb telah dipergunakan oleh Haji Abd Wahab dalam memberikan pengajaran dan pendidikan keagamaan kepada keluarga kerajaan.

Demikian pula, menurut Abu Hassan Sham, dapat diduga kuat bahwa kitab ini belakangan juga dijadikan Raja Ali Haji sebagai sumber bacaannya. Abu Hassan Sham menyakin bahwa Raja Ali Haji juga telah mempelajari kitab Mir’at al-Tullāb karya ‘Abd Ra‘uf al-Singkili. Abu Hassan Sham mempertimbangkan bahwa kitab ini pernah dipergunakan di kerajaan Melayu-Riau sebelumnya, seperti ungkapannya:

“Lantaran kitab ini pernah tersebar di Riau dalam zaman pemerintahan YDM Riau keenam itu iaitu antara 1805-1831 TM dan tarikh ini merupakan zaman muda Raja Ali Haji tentu sekali beliau pernah membaca atau berguru mengenai kitab ini sebagaimana berlaku pada Raja Jaafar.”(Lihat, Abu Hassan Sham, Syair-Syair Melayu Riau, 193).

Apalagi kalau dilihat dari kandungan kitab tersebut, semakin mengukuhkan dugaan kalau Raja Ali Haji mempergunakannya dalam melahirkan karya-karyanya, terutama ketika menulis Syair Hukum Nikah. Begitu juga, Abu Hassan Sham menduga kuat kalau karya ‘Abd Rauf al-Sinkili ini dipergunakan Raja Ali Haji ketika menulis tentang pembagian harta warisan menurut hukum Islam sewaktu ia menulis Syair Farā‘iḍ.

Dalam mengubah Syair Farā’iḍ, diduga kuat, Raja Ali Haji mempergunakan kitab Mir’at al-Tullāb yang di dalamnya juga membahas tentang fara’id yang, seperti dikatakan Azra di atas, kemungkinan belakangan terpisah dari Mir’at al-Tullāb dan berdiri sendiri sebagai Kitab al-Farā’iḍ. Memang dugaan ini belum dapat dipastikan, karenanya, memerlukan kajian mendalam tentang materi hukum fara’id yang terkandung baik dalam Kitab al-Farā’iḍ karya al-Singkili maupun dalam Syair Fara’iḍ karya Raja Ali Haji. (Lihat, Abu Hassan Sham, Syair-Syair Melayu Riau, 195-196).

Kitab Tafsir Tarjumān al-Mustafīd
Kitab lain karangan ‘Abd al-Ra‘uf al-Sinkili yang memainkan peranan penting dalam sejarah pendidikan dan pengajaran Islam Melayu-Nusantara adalah Tarjumān al-Mustafīd (Peter G. Riddell, Islam and the Malay-Indonesian World, 165). Kitab Tarjumān al-Mustafīd, menurut Buya Hamka, “inilah Tafsir yang pertama sekali di seluruh tanah air kita yang memakai bahasa Melayu…” (Hamka, Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao” , 178-179) dan sekaligus merupakan tafsir utuh al-Qur’an pertama di dunia Melayu yang ditulis sekitar 1675. (Peter G. Riddell, Islam and the Malay-Indonesian World, 161; lihat juga, Peter G. Riddell, “Literal Translation, Sacred Scripture and Kitab Malay”, dalam Studia Islamika, Vol. 9, No. 1 (2002), 11.)

Dengan nada yang hampir sama, lewat tafsirnya ini, sekali lagi, ‘Abd Ra‘uf al-Sinkili mengukir prestasi sebagai ulama pertama yang menulis tafsir lengkap al-Qur’an dalam bahasa Melayu di kawasan “negeri bawah angin”, demikian menurut Azra. Keberadaan Tarjumān al-Mustafīd hampir selama tiga abad di Alam Melayu sebagai satu-satunya terjemahan lengkap al-Qur’an.

Lebih lanjut, Azra menyatakan bahwa tidaklah mengherankan –sebagai tafsir al-Qur’an paling dini– kalau karya ini beredar secara luas di wilayah Melayu-Nusantara. Pernyataan ini diperkuat dengan data valid bahwa Tarjumān al-Mustafīd karya ‘Abd al-Ra‘uf al-Sinkili telah diterbitkan pada masa berbeda-beda tidak saja di Singapura, Penang, Jakarta dan Bombay, tetapi juga di Timur Tengah, seperti di Istambul (Turki), Cairo (Mesir) dan Mekkah. (Lihat, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 202-203).

Data yang disodorkan Azra itu semakin meneguhkan pendirian bahwa Raja Ali Haji sejatinya memang telah menjadikan Tarjuman al-Mustafīd sebagai referensinya dalam melahirkan karya-karya dan memperkaya wawasannya. Dan sekaligus pandangan ini membantah pendirian yang mengatakan bahwa Raja Ali Haji justru membaca (langsung) Tafsīr al-Bayḍāwi Musammā Anwār al-Tanzīl wa al-Asrār al-Ta’wīl karya Nasr al-Dīn Abi Sa‘id ‘Abd Allah ibn ‘Umar ibn Muaḥmmad Shirāzi Bayḍāwi. Dalam penelusuran atas karya-karya Raja Ali Haji, penulis tidak menemukan kalau ia merujuk/membaca secara langsung tafsir Anwār al-Tanzīl karya al-Bayḍāwi.

Wan Muhammad Abdullah memang menyebutkan bahwa Tafsīr Bayḍāwi al-Sharīf nama lain dari Tarjumān al-Mustafīd yang lebih dikenal di alam Melayu sebagai karya al-Singkili; dan bukanlah yang dimaskud Anwār al-Tanzīl karya al-Bayḍāwi. Lihat, H.W. Muhd. Saghir Abdullah, Khazanah Karya Pusaka Asia Tenggara, Jilid 1 (Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah, 1991), 157. Artinya, kenyataan ini (juga) membantah pendirian sebelumnya yang, misalnya Achmad Syahid, menyatakan bahwa Raja Ali Haji telah menjadikan Tafsīr Bayḍāwi karya al-Bayḍāwi sebagai sumber bacaannya. (Lihat, Achmad Syahid, ”Pemikiran Politik dan Tendensi-tendensi Kuasa: Studi Pemikiran Raja Ali Haji pada Muqaddimah fī Intiẓam dan Thamarāt al-Muḥimmah”, Disertasi, Sekolah PPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007: 349).

Memang selama ini, menurut Peter Riddle (Islam and the Malay-Indonesian World”, 161), dan A.H. John, (“Qur’anic Exegesis in the Malay World”, 263) ada anggapan yang keliru dan salah tentang Tarjumān al-Mustafīd sebagai terjemahan utuh berbahasa Melayu dari Anwār al-Tanzīl wa al-Asrār al-Ta’wīl karya Bayḍāwi. Sarjana yang paling bertanggungjawab atas kesalahan tersebut, menurut Azra, adalah Snouck Hurgronje. Sarjana kondang Belanda ini tanpa meneliti terlebih dahulu secara seksama, ia lalu menyimpulkan dengan cara khas sinisnya bahwa Tarjumān al-Mustafīd “hanyalah sebuah terjemahan yang buruk dari tafsir Al-Baydhawi.” (Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 203).

Pernyataan Snouck ini dipertegas oleh Voorhoeve, “… his translations from the Arabic are so literal that they are unintelligible without knowledge of that language….” (Riddell, “Literal Translation, Sacred Scripture and Kitab Malay”, 12). Kesalahan identifikasi dan kecerobohan penilaian serupa tentang karya tafsir al-Sinkili ini datang pula dari pakar sastera Melayu, Winstedt yang mengatakan: “He did a Malay translation, not always accurate, of Baidhawi’s commentary on the Kuran, which published as recently as 1884 at Constantinople.” (Winstedt, “A History of Classical Malay Literature”, 122).

Kemudian, menurut Azra, kesalahan Snouck Hurgronje ini diikuti oleh muridnya, D.A. Rinkes dengan melakukan kesalahan-kesalahan tambahan. (Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 203). Diduga kesalahan-kesalahan Ringkes itu dilakukannya sewaktu mengkaji figur al-Sinkili dalam rangka meraih gelar Doktor (thesis Ph.D.) di bawah bimbingan Snouck Hurgronje. (Martin van Bruinessen, “Studies of Sufism and the Sufi Orders in Indonesia”, dalam Die Welt des Islams, Vol. 38, 2 (1998), 196).

Berikutnya, kesalahan-kesalahan Snouck Hurgronje dan Rinkes juga dilanjutkan P.J. Voorhoeve, meskipun akhirnya sarjana “ahli Nūr al-Dīn al-Rānīri” disebut belakangan ini mengoreksi pendapatnya dengan mengatakan bahwa “sumber-sumber Tarjumān al-Mustafīd adalah berbagai karya tafsir berbahasa Arab.” (Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 203.)

Berbeda dengan pandangan di atas, penelitian Riddlle menunjukkan bahwa inti dari isi Tarjumān al-Mustafīd merujuk pada Tafsīr al-Jalālayn karya Jalāl al-Dīn al-Maḥalli (w. 864/1459) dan Jalāl al-Dīn al-Sayūti (1505). Kalaupun Tarjumān al-Mustafīd merujuk tafsir Anwār al-Tanzīl karya Bayḍāwy dan tafsir Lubāb al-Ta’wil karya al-Khāzin (w.1286) itu dilakukan belakangan oleh murid al-Sinkili, yaitu Dā’wūd bin Ismaīl al-Rūmi guna memberikan sisipan anekdot dan tambahan informasi bacaan dan penjelasan yang beragam. (Peter G. Riddell, Islam and the Malay-Indonesian World, 161.)

Akan tetapi, khusus untuk tafsir karya al-Khāzin, menurut Buya Hamka, murid al-Sinkili dengan jujur menyatakan, “bahwa pengambilan gurunya di dalam menyusun tafsir Turjumān al-Mustafīd itu ialah dari kitab Al-Khazin, karangan Ulama Syafi‘i yang terkenal: ’Alauddin ’Ali bin Muhammad bin Ibrahim Al-Baghdadi, yang selesai dikarangnya dalam bulan Ramadhan tahun 517/H 1122/M.”

Dan yang pasti melalui karyanya, Tarjumān al-Mustafīd, ‘Abd Ra‘uf al-Sinkili dikukuhkan, setidaknya oleh muridnya sendiri yang berkebangsaan Turki, Dawud bin Isma‘il dengan kalimat penghormatan terhadap gurunya: “Al-‘Ālim al-‘Allamah wa Bahr al- fahhamah farīd ‘Aṣrihī wa Waḥid al-Dahrihī”. (Hamka, Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao”, 178-180).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

*AlimuddinHassan Palawa
(Direktur & Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau).