Musik

Musik

    Beberapa bulan terahir ini, kita dihadapkan pada perdebatan terkait dengan haramnya music. Meskipun banyak ulama yang memilah dan memilih genre music yang “haram” dan yang “halal”, tapi tetap saja ada yang mencoba mengeneralisir begitu saja, bahwa semua jenis music haram.
    Misalnya, ada beberapa ulama yang memandang bahwa musik adalah haram, terutama sekali ketika musik tersebut, dianggap mengandung lirik yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam atau jika mendengarkan musik mengarah pada perilaku yang tidak baik seperti maksiat atau kecanduan. Kelompok ini, berpegang pada hadis dan ayat Al-Quran yang menyoroti pentingnya menjauhi hal-hal yang bisa mengganggu ketaatan kepada Allah SWT.
    Namun demikian, ada pula beberapa ulama yang memandang bahwa musik adalah halal. Kehalalan music ini, didasarkan kepada situasi ketika musik tersebut tidak mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Kelompok ulama ini, menyatakan bahwa tidak ada dalil yang jelas dan tegas dalam Al-Quran yang secara eksplisit menyatakan bahwa musik adalah haram. Selama musik tersebut tidak mengarah pada perilaku yang dilarang dalam Islam, seperti minum minuman keras atau berperilaku tidak senonoh, mereka menganggapnya sebagai halal.
    Dalam hal ini, sebagian ulama menimbang pada aspek implikasi dari music tersebut. Jika music ini music dapat memicu gangguan atas ketaatannya kepada Allah, atau mendorong bagi para penikmat music untuk bertingkah laku tidak baik, maka music sebaiknya di hindari. Begitu saran Sebagian ulama lainnya.
    Karenanya, pada kelompok ini, memilih dan memilah konten-konten music yang akan didengar, menjadi sangat dianjurkan. Memilih musik yang tidak mengandung lirik yang merusak moral atau mengajarkan nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam adalah langkah yang sangat bijak. Namun ketika musik dapat membawa manfaat dalam meningkatkan suasana hati, meningkatkan kreativitas, atau memberikan inspirasi positif, maka dapat dipandang sebagai hal yang baik.
    Salah satu karya masterpiece-nya, “Ihya Ulumiddin”, Imam Al-Ghazali pernah menyampaikan kata-kata indah seperti ini : “Orang yang jiwanya tak tergerak oleh semilir angin, semerbak wangi bunga-bunga, dan suara seruling musim semi, adalah dia yang kehilangan jiwanya yang sulit terobati”. (Ihya, 2/275).
    Pernyataan Sang Pembela Islam ini, menjadi penegas bahwa music dapat meningkatkan gairah jiwa atau ruh. Suara-suara penuh nada, baik yang diciptakan atau alamiah, mampu melambungkan imajinasi kreatif jiwa seseorang. Karenanya, Sang Hujjatul Islam ini, mengajak masyarakat untuk merenungkan suara-suara burung nuri atau burung-burung yang lain, seperti beo, cicakrowo, murai dll. Suara-suara itu begitu indah, merdu dan menciptakan kedamaian di hati pendengarnya.
    Seruling dan clarinet yang ditiup, piano dan organ yang ditekan satu-satu, biola, violin yang digesek-gesek atau rebana yang ditabuh adalah suara-suara. Suara-suara ini hadir mengekspresikan lubuk hati yang dalam. Suara-suara itu tak ada bedanya dengan nyanyian para penyanyi.
    Dalam catatan Abu Al-Faraj Al-Isbahani, yang menulis buku Al-Aghani (The Book of Song), menyebutkan bahwa music menjadi sarana yang cukup efektif dalam penyebaran agama Islam di berbagai wilayah: Arabia, Persia, Turki dan India. Di Jawa, music mengalun indah ditangan para Wali Songo. Sunan Kalijaga, menjadi tokoh penting dalam konteks ini. Banyak lirik lagu yang diciptakannya; Lir-ilir, Tombo Ati, dan lainnya. Beliau mampu melakukan transformasi music sebagai medium bagi pemuliaan ajaran agama, mengajak untuk menjalani laku hidup yang mulia, terhormat dan ber-akhlakul karimah.
    Satu lagi figure penting dalam Sejarah perjalanan umat Islam di Indonesa, yaitu Gus Dur, Presiden ke-4 RI, seorang Kiyai, Putra dan Cucu Ulama besar, bahkan sebagian orang ada yang menyebutnya sebagai wali, atau kekasih Tuhan, sebagaimana para Wali Songo. Beliau dikagumi dunia. Tempat istirahat abadinya tiap hari diziarahi ribuan orang dari beragam identitas.
    Merunut penuturan banyak ahli, beliau sangat menggemari music-musik klasik, seperti Beethoven. Mozart, Chopin, Bach, Tchaikovsky dan lain-lain. Boleh jadi musik klasik karya maestro dunia itu memberikan makna yang tak mungkin dituliskan dengan huruf-huruf dan dilukiskan oleh kata-kata. Ia sanggup menciptakan imajinasi-imajinasi intelektual dan spiritual yang luar biasa.
    Lalu bagaimana dengan anda? Pemutlakan hukum haram kepada music, sepertinya menjadi kurang bijak. Wallahu a’lam bi al-Shawab.

    Imam Hanafi
    Peneliti pada Institute for Southeast Asian Islamic Studies (ISAIS) UIN Suska Riau

AGAMA 4.0

-MHW

Digitalisasi agama apakah juga berarti matinya sakralitas dan kepakaran? Namun sebelumnya, begitu krusialkah sakralitas dan kepakaran?

Jika Anda merasa sikap beragama manusia hari ini kehilangan dimensi kedalaman, maka di situlah pentingnya sakralitas. Jika anda melihat agama layaknya parodi, di situlah primernya kepakaran.

Kendati demikian, digitalisasi tidak bisa dijadikan kambing hitam atas redupnya sakralitas dan kepakaran. Telah sejak lama, lama sekali, sikap beragama kita berada di jalur yang getir. Sehingga mudah diotak-atik, juga dikotak-kotakkan. Sepi dari ghirah intelektualisme. Lantaran dikangkangi oleh, mengutip Ahmet T. Kuru, otoritarianisme.

Mirisnya lagi, sikap beragama kita tak ubah seperti psikis babu, sarat dengan simpul penindasan. Bahkan hanya untuk sekadar mengabstraksikan identitas agama, kita harus mengadopsi mind map yang liyan. Maka wajar saja agama yang dianut hanya terhenti pada batas formil, tidak menembus kesadaran.

Dimensi kedalaman dan daya ‘detonasi’ agama terletak pada spirit intelektualisme, bagi saya. Inilah yang hilang dari agama, sehingga mengembangbiakkan penganut agama yang mengidap mental inferior. Gampang menganggap yang berbeda sebagai ancaman, salah satu cirinya.

Termasuk digitalisasi, dianggap sesuatu yang teramat bahaya. Padahal, sakralitas dan kepakaran sirna lebih karena paradigma beragama yang cacat.

Justru, era digitalisasi saat ini merupakan momen yang tepat guna mentransformasi agama sebagai tonggak peradaban. Sebab terbukanya akses pengetahuan dan kian tumpulnya relasi kuasa.

36. PEMBAHARUAN PEMIKIRAN ISLAM: Tipologi Fazlur Rahman  dan Muhammad ‘Imarah

36. PEMBAHARUAN PEMIKIRAN ISLAM: Tipologi Fazlur Rahman dan Muhammad ‘Imarah

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

 

Awal Kata
Dalam melakukan tipologi dan pemetaan pemikiran, menurut Luthfi Assayaukanie, sekurang-kurangnya ada dua pendekatan. Pertama, pendekatan taksonomis, yaitu mengurai sejarah pemikiran berdasarkan kecenderungan-kecenderungan tertentu. Artinya, fenomana pemikiran didekati lewat klasifikasi-klasifikasi berdasarkan mazhab pemikiran (school of thought) dengan memilahnya dalam berbagai kelompok, misalnya tradisonalis, sekularis dan modernis.

Kedua, pendakatan biografis atau sejarah sosial-intelektual. Pendekatan ini berasumsi bahwa pemikiran tidak bisa dipisahkan dari sang pemikir yang menghasilkan pemikiran-pemikiran itu. Dengan memaparkan biografi dan perjalanan sejarah sang pemikir, dengan sendirinya pemikiran-pemikiran tertentu dari sang tokoh akan tereksplorasi. (Luthfi Assyaukanie “Pengantar”, dalam Albert Hourani, Pemikiran Liberal Dunia Arab, xv).

Untuk keperluan tipologi dan pemetaan dalam penelitian ini akan dipergunakan pendekatan taksonomis dengan hanya menyebutkan dua tipologi yang dilakukan oleh Fazlur Rahman dan Muhammad ’Imarah.

A. Tipologi Fazlur Rahman
Dalam melihat dialektika perkembangan pembaharuan pemikiran Islam, Fazlur Rahman membaginya dalam empat tipelogi gerakan. Pertama, gerakan revivalisme pramodernis yang lahir pada abad ke-18 dan 19 di Arabia yang dicetuskan oleh Muhammad ibn Abd Wahhab; di India oleh Shah Wali Allah; dan di Afrika oleh al-Sanusi. Gerakan revivalisme pramodernis dengan sendirinya tidak terkena sentuhan/ pengaruh Barat.
Adapun ciri-ciri umum dari gerakan pemikiran revivalisme pramodernis ini adalah: (i) keperihatian yang mendalam terhadap degenerasi dan dekandensi sosial-moral umat Islam disertai usaha sungguh-sungguh untuk merubahnya; (ii) menghimpau umat Islam untuk kembali kepada ajaran Islam yang sejati dengan mengenyahkan takhayyul, bid’ah dan khurafat yang ditanamkan oleh bentuk-bentuk sufisme populer; (iii) menyeru umat Islam untuk meninggalakan gagasan tentang obsolutisme dan finalitas mazhab-mazhab hukum serta berupaya untuk melakukan ijtihad; (iv) mengajak umat Islam untuk meninggalkan corak pemikiran dan prilaku predeterministik; dan (v) menyeru umat Islam untuk melaksanakann pembaharuan yang dianutnya, kalau perlu lewat kekuatan senjata.

Kedua, modernisme klasik muncul pada pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20. Gerakan modernisme klasik ini terpengaruh dan terbuka terhadap ide-ide dari Barat dan karenanya lebih aprisiatif terhadap intelektualisme. Dengan begitu, menimbulkan kesan bahwa gerakan modernisme klasik ini bersifat westernized (kebarat-baratan). Gerakan modernisme klasik ini meneruskan dan memperluas cakupan ijtihad yang dilakukan oleh gerakan sebelumnya. Gerakan modernisme klasik ini menciptakan kaitan yang baik antara pranata-pranata Barat dengan tradisi Islam melalui seumber al-Qur’an dan hadis. Rahman sendiri memberikan apresiasi atas upaya ini sebagai suati prestasi besar yang tidak bersifat artifisial dan terpaksa.Meskipun demikian salah satu kekurangan gerakan ini belum mengelaborasi secara tuntas metode yang dikembangkannya. Menariknya, hakekat penafsisran Islam gerakan ini didasarkan pada al-Qur’an dan ”Sunnah historis” (biografi Nabi) yang dibedakan dengan ”Sunnah teknis” (hadis-hadis Nabi). Gerakan modernisme klasik pada umumnya sekeptis terhadap hadis, tetapi skeptisisme ini tidak ditopang oleh kritisisme ilmiah. (Taufik Adnan Amal (peny.), Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur Rahman: 18-19; bandingkan Abu A’la, Dari Neomodernismeke Islam Liberal: 2 dan 20).

Ketiga, neorevivalisme atau revivalisme pascamodernis lahir sebagai reakasi tidak menerima metode dan semangat modernisme klasik. Akan tetapi, mereka tidak mampu mengembangan metodologi apa pun untuk menegskan posisinya, selaih hanya berupaya membedakan Islam dan Barat. Meskipun dalam realitasnya gerakan ini menerima masalah-malasah substantif yang diangkat oleh gerakan modernis, misalnya demokrasi, tetapi penerimaan mereka lebih bersifat terpaksa.

Keempat, neomodernisme lahir dibawah pengaruh dan sekaligus tantangan terhadap neorivivalisme. Untuk gerakan ini, Rahman sendiri mengklaim dirinya sebagai juru bicaranya. Gerakan pembaharuan ini, tentu saja sangat berbeda dengan gerakan-gerakan sebelumnya, berupaya untuk melihat dan menyikapi secara kritis dan obejektif hasil-hasil pemikiran umat Islam dan sekaligus pemikiran orang Barat. Melalui sikap kritis dan objektif, neomodernisme ingin membangun Islam dalam berbagai dimensinya dalam satu kerangka yang utuh, menyeluruh, sistimatis serta mencerminkan nilai-nilai al-Qur’an dan teladan Nabi yang sebenarnya.Taufik Adnan Amal (peny.), Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur Rahman: 18-19; bandingkan Abu A’la, Dari Neomodernismeke Islam Liberal: 2 dan 20).

B. Tipologi Muhammad ’Imarah
Dalam memetakan pembaharuan pemikiran Islam, Muhammad ’Imarah membagi dalam tiga tipologi. Pertama, tradisional-konservatif. Pemikiran tradisional dalam istilah Arabnya ada yang menyebutkan dengan nama Salafiyah. Ada pula yang menyebutkan golongan ini dengan nama fundamentalisme (al-Uṣuliyah). Golongan Salafiyah atau al-Uṣuliyah adalah mereka yang mengajak kembali kepada perilaku para ulama salam (al-Salaf al-Ṣālih), yaitu mereka yang hidup dalam tiga generasi: Sahabat Nabi Muhammad saw, Tabi’īn, dan Atbā’ al-Tabi’īn. Belakangan, adalah Imam Ahmad ibn Hambil dan Ibn Taymiyah yang dianggap sebagai tokoh aliran pemikiran salafiyah.

Kemudian, para pengikut Imam Ahmad ibn Hambal dilanjutkan oleh para pengikut Ibn Taymiyah dan Muhammad ibn ”Abd Wahhab. Pengikut yang disebut belakangan ini agak bersifat keras, tidak peduli dengan pendapat dan kepentingan umum. Adapun karakteeristik utama kelompok tradisonal Islam ini antara lain: (i) argumentasinya harus diambil dari ayat al-Qur’an dan al-Hadis; (ii) penggunaan rasio harus sesuai dengan nash-nash yang ṣaḥiḥ; (iii) dalam konteks aqidah harus bersandarkan kepada nash-nash saja karena nash-nash itu hanya bersumber dari Allah. Adapun tokoh-tokoh dari golongan tradisional-konservatif ini, sekedar menyebut nama, misalnya Muhammad ibn’Abd Wahhab, Abu al-’Alā al-Maudūdī, Sayyid Quṭb dan Imam Khomeini.(Lihat, M. Yusuf Wijaya, “Visi-Visi Pemikiran Keislaman: Upaya Klasifikasi Pemikiran Keislaman Timur Tengah”, dalam M. Aunul Abied Shah, et. al., Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, 2001: 40-42).

Kedua, sekular dalam bahasa Arabnya adalah al-’almāniyyah. Dalam konteks diskursus pemikiran Islam, maka golongan ini tidak akan terlepas dari terminologi kesejarahan sekularisme di dunia Barat. Memang pada dasarnya, sekularisme adalah pola berpikir atau model pendekatan yang diimpor dari Barat. Adapun karakteristik dari golongan pemikir sekularisme di antaranya: (i) mengekor dan mengajak untuk mengikuti Barat dengan mengganti otoritas agama dengan rasio; (ii) pemisahan antara agama negara dan beranggapan bahwa dalam Islam tidak ada konsep kenegaraan; (iii) Islam adalah konsep masa lampau dan, karenanya, sekularisme adalah alternatif dalam membangun peradaban manusia. Adapun tokoh-tokoh dari sekular dari kalangan pemikir Islam Timur-Tengah, sekedar menyebut beberapa nama, adalah Ali ’Abd Raziq, Thaha Husain, Salamah Musa, Faraq Faudah dan Nasr Hamid Abu Zayd. (Lihat, M. Yusuf Wijaya, “Visi-Visi Pemikiran Keislaman…”: 45-49).

Ketiga, Reformis Moderat. Golongan ini muncul sebagai reaksi dari dua golongan pemikiran yang bertolak belakangan sebelumnya. Golongan Salaf mengajak kepada keterasingan zaman, sedangkan kolongan sekular mengajar kepada keterasingan ruang. Untuk menetralisir kedua golongan tersebut, karenanya, pemikir reformis moderat ini bersedia untuk mengakomodasi medernisme yang diperjuangan oleh golongan sekular di satu sisi, dan pemikiran-pemikiran klasik golongan salaf. Bagi golongan reformis-moderat berpendapat bahwa Islam adalah agama universal, komprehensif dan integral. Dengan demikian, Islam akan senantiasa sesuai dan aktul untuk diterapkan pada zaman dan ruang yang berbeda (Ṣaliḥ fīkulli zamān wa makān).

Golongan reformis-moderat ini berpandangan bahwa Barat tidak perlu ditakuti, meskipun harus diwaspadai. Dengan begitu, golongan ini menyatakan bahwa umat Islam dapat saja belajar tentang sains dan teknologi dari Barat untuk mengejar kertertinggalannya. Selain itu, pemikiran reformis-moderat ini memandang perlu untuk mengatualisasikan khazanah intelektual para pemikir masa lalu yang terabadikan dalam kitab-kitab turas.

Pada prinsipnya golongan reformis-modernis berpendirian “ambil yang bermamfaat dan tinggalkan yang mudarat. Dengan kata lain, golongan adalah penganut prinsip: “Al-Maḥāfaẓah‘alā al-qadīm al-ṣaliḥwa al-akhudh bi al-jādīd al-aṣlaḥ” (Memelihara yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik). Adapun figur-figur pemikir dari golongan reformis-modern ini, diantaranya adalah Shaikh Rifa’ah Rafi’ al-Thahtahwi, Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan dan Sayyid Ameer Ali. (Lihat, M. Yusuf Wijaya, “Visi-Visi Pemikiran Keislaman…”, hal. 53-55.)

Akhir Kata
Dari tipologi yang dilakukan oleh Rahman dan ’Imarah, posisi Muhamamad Abduh dengan mudah dapat diketahui. Pada membagian Rahman, Muhammad Abduh termasuk dalam gerakan modernisme klasik. Sementara pada tipologi yang dilakukan oleh ’Imarah, Muhammad Abduh masuk dalam golongan reformis-modernis. Muhammad Abduh sebagai ”Bapak Pembaharu Pemikiran Islam” memiliki sejumlah murid dan pengikut yang, kalau menurut tipologi ’Imarah, tersebar dalam tiga golongan, yaitu (i) golongan tradisional-konservatif; (ii)golongan reformis-modernis; dan (iii) golongan sekuler.

Untuk tipologi-tipologi pemikiran murid-murid dan pengikut Muhammad Abduh dapat dikategorikan, terutama dua tipologi terakhir, yaitu golongan reformis-modernis, dan golongan sekuler, misalnya Mustafa al-Maraghi, Farid Wajdi, Qasim Amin, dan Luthfi al-Sayyid, Ali Abdul Raziq, Thaha Husain. (Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, 1975: 77-88; Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age 1798-1939: 161-192).

Akan halnya Rashid Riḍa, dalam tipologi Rahman dan ’Imaran masing-masing masuk pada golongan neo-revivalisme pascamodernisme dan tradisional-konservatif.Posisi Rashid Riḍa di atas dipertegas Fazlur Rahman dalam bukunya, Islam yang menyatakan bahwa ”…. gerakan salafi di bawah kepemimpinan murid Muhammad Abduh berasal Syiria, Rashid Riḍa (1865-1935), bergerak secara terus-menurus ke arah sebauh tipe fundamentalisme yang semakin dekat, dan tak dapat disangkal, dengan Wahhabisme.” (Fazlur rahman, Islam, Chicago: University of Chicago Press, 1979: 223).

Bukan saja Rahman, tetapi juga Gibb memberikan penilaian yang sama terhadap pradigma pemikiran Rashid Riḍa: ”…. dalam bukunya Risālatut-Tauḥīd, dia (Muhmmad Abduh – AHP) menghidupkan kembali cara berpikir dialektika yang dirasionalisasikan dari para ’ulama lama. Para pengikut ajarannya, yang dipimpin oleh muridnya dari Syiria, Syaikh Muḥammad Rashid Riḍa, meneruskan proses berpikir itu dengan gerakan khas yang halus menuju kepada ekstrimisme.” (H.A.R. Gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam: 61).

Rashid Riḍa dalam menghidupkan ijtihad, menurut Gibb lebih lanjut, masih menggunakan “kuasi-rasionalisme” dan logika skolastik, tetapi tanpa liberalisme yang kental, sebagaimana dimilik oleh Muhammad Abduh. Pada gilirannya, Rashid Riḍa terbawa ke arah arus ekslusivisme dan kekakuan pandangan mashab Hambali. Pada tataran ini Harun Nasution memberikan perbandingan antara Muhammad Abdu dan Rashid Riḍa bahwa “guru lebih liberal dari murid”. Muhammad Abduh tidak mau terikan pada salah sati aliran atau mashab pemikiran dalam Islam. Sebaliknya, Rashid Riḍa masih memegang mazhab dan masih terikat pada pandapat-pendapat Ibn Hambal dan Ibn Taimiyyah. Mengingat gerakan Muhammad bin Abdul Wahab (Wahabiyah) semazhab, menurut Harun, maka ia sokong dengan kuat.(HarunNasution, Pembaharuan dalam Islam, 1975: 77-88).

Belakangan, penerbitan Al-Manar di tangan Rashid Riḍa, oleh karenanya, beralih dengan capat dari pengaruh al-Ghazali ke pengaruh tokoh fundamentalis, Ibn Taimiyyah. Rashid Riḍa bersama Al-Manar semikin jelas mengidentifikasi diri sebagai pengikut corak gerakan puritanisme. Dengan begitu, Rashid Riḍa menenkankn pentingnya Islam yang berdasrkan ajaran Nabi Muhammad saw., para sahabat serta para pengikutnya dari kalangan salaf. Pada akhirnya, dari sinilah muncul nama “Salafiyyah” tersebut.(H.A.R. Gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam: 61-62).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb,
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illā bi Allāh.

*AlimuddinHassan Palawa
(Direktur &Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies]UIN Suska Riau)
35. MELAYU-RIAU ABAD KE-19: “Negeri Ṣaḥib al-Kitâb dan Nasib Kesudahannya”

35. MELAYU-RIAU ABAD KE-19: “Negeri Ṣaḥib al-Kitâb dan Nasib Kesudahannya”

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

 

Persuratan intelektual Melayu-Riau berlangsung kurang-lebih satu abad, yaitu dalam rentang waktu dari awal ke-19 hingga awal dekade abad ke-20. Selama waktu satu kurang-lebih seabad itu ada empat generasi telah berkiprah dalam persuratan intelektual Melayu-Riau dengan melahirkan sejumlah karya. Untuk lebih mudahnya, generasi pertama diidentifikasi sebagai generasi angkatan ayah Raja Ali Haji; generasi kedua diidentifikasi generasi angkatan Raja Ali Haji (sendiri); dan generasi ketiga dan keempat masing-masing generasi anak dan cucu Raja Ali Haji.

Dalam kontek ini, menurut Ibn Khaldun, puncak kebesaran dan kehormatan dalam satu keturunan biasanya mencapai empat generasi. Pembatasan sampai pada empat generasi adalah perhitungan minimal dengan pertimbangkan bahwa generasi pertama sebagai pendiri dan pencetusnya. Kemudian ke generasi kedua membangun pondasinya yang kokoh, lalu generasi ketiga mengikuti jejak dan mengembangkan generasi sebelumnya, sementara generasi keempat meneruskan dan mempertahankannya. Pada masa akhir generasi keempat ini mengalami kemerosotan, dan pada generasi berikutnya mengalami kehancuran. (Ibn Khaldun, Mukaddimah (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), 214-215). Fenemona keempat generasi ini tercermin pada bangunan persuratan intelektual Melayu-Riau.

Dalam penelitian beberapa sarjana telah mengindentifikasi jumlah penulis beserta karya-karya yang telah dihasilkan di kerajaan Melayu-Riau dalam keempat generasi tersebut. Dari beberapa penelitian dilakukan telah mengidentifikasi bahwa selama rentang abad ke-19 pengarang/penulis yang ada dan berdomisili di kawasan Melayu Riau, khususnya di Pulau Penyengat berjumlah 70 orang, dan 41 orang di antaranya adalah anak jadi diri Melayu-Riau. Dari 41 anak jati diri Melayu-Riau tersebut telah melahirkan karya tulis tidak kurang dari 90 buah. Maka tidak heran, kalau R.J. Wilkinson dalam mempelajari sastra Melayu, menurut UU. Hamidy, mempergunakan lebih 144 karya berbahasa Melayu dari Melayu-Riau dalam melahirkan karyanya, Paper on Malay Subjects, Malay Literature pada tahun 1907. (UU. Hamidy, Islam dan Masyarkat Melayu Riau (Pekanbaru: UIR Press), 222; UU. Hamidy, Riau Sebagai Pusat Bahasa dan Kebudayaan Melayu, 194-199).

Jumlah hasil persuratan intelektual Melayu-Riau pada abad ke-19, sedemikian “melimpah”, sehingga orang menyebutkan Pulau Penyengat benar-benar menjadi “taman penulis”, sebagaimana tercermin dari judul karya Raja Ali Haji, Bustān al-Kātibīn. Dan pada gilirannya ada peneliti menyebutkan: “Riau Negeri Ṣaḥib al-Kitāb”, meminjam istilah yang pernah digunakan oleh Amarsan Loebis dalam Selingan iQra, Tempo (16 Oktober 2005: 67-78).

Bahkan sedemikian dinamis dan produktif serta “fenomenalnya” kekayaan khazanah persuratan intelektual yang telah dibina di bumi Melayu-Riau, maka belakangan ada sejumlah pakar sastera Melayu, yaitu R.O. Winstedt dalam karyanya, “A History of Classical Malay Literature” (Monograpsh on Malay Subjects, No. 5, J‎MBRAS, Vol. 31, Part 3, No. 183, 1961, 126), dan V.I. Braginski dalam karyanya Yang Indah, Berfaedah dan Kamal (Jakarta: INIS, 1998) memunculkan dalam tulisan-tulisan mereka istilah khusus, yaitu “Riau School” (Mazhab Riau).

Belakangan, sejumlah sarjana dan penelitian, misalnya Teuku Iskandar dalam karnyanya, Kesusteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad (Brunei: Jabatan Kesustraan Melayu Universiti Brunei Darussalam, 525- 527); Virginia Matheson dalam dua karyanya, yaitu “Questions Arising from a Nineteenth Century Riau Syair”, (dalam Review of Indonesia and Malaysian Affairs, Vol. 17 (Vinter/Summer 1983), 41-44) dan “Suasana Budaya Riau Dalam Abad ke-19: Latar Belakang dan Pengaruh” dalam Tradisi Johor-Riau: Kertas Kerja Hari Sastra 1983); Dong Cho Ming dalam karyanya Raja Aisyah Sulaiman Pengarang Ulung Wanita Melayu (Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia, 1999: 84-88), menyebutkan sedemikian banyak nama-nama figur persuratan intelektual di Pulau Penyengat sebagai “kebun para penulis” (“Bustān al-Kātibīn”) dalam melahirkan karya-karyanya.

Begitu pala, Abu Hassan Sham dalam karyanya “Karya-Karya Yang Berlatar belakang Islam Dari Pengarang Melayu-Johor Sehingga Awal Abad Kedua Puluh” (dalam Tradisi Johor-Riau: Kertas Kerja Hari Sastra 1983, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1987: 245-271), dan U.U. Hamidi dalam dua tulisanya, UU. Hamidy, Islam dan Masyarkat Melayu Riau (Pekanbaru: UIR Press: 222); UU. Hamidy, Riau Sebagai Pusat Bahasa dan Kebudayaan Melayu (Pekanbaru: Unri Press, 2003: 194-199), keduanya menyebutkan sejumlah penulis beserta karya-karyanya yang pernah lahir di Melayu-Riau.

Kehadiran sejumlah ulama dan tuan guru baik dari Timur Tengah maupun dari kawasan Nusantara pada abad ke-19 telah memberikan peranan yang sangat signifikan bagi peletakan dasar bangunan persuratan intelektual Melayu-Riau. Ditambah pula patronase dan dukungan dari penguasa kerajaan telah beran penting bagi tumbuhnya persuratan intelektual di kawasan Melayu-Riau. Begitu pala, konstribusi pegawai/sarjana Barat (Belanda, Inggris dan Jerman) tidak bisa dinafikkan dalam memberikan suasana kondusif bagi perkembangan persuratan intelektual Melayu-Riau.

Selain kehadiran para ulama tersebut, tidak kalah pentingnya adanya sejumlah karya-karyaulama Timur-Tengah dan ulama Nusantara telah membangun pemikiran dan pemahaman keislaman, khususnya telah pula mempengaruhi pemikiran Raja Ali Haji dan “lingkarannya” dalam melahirkan karya-karya mereka. Hal ini dengan mudah dapat dipahami, misalnya ketika melihat latar belakang pendidikannya dan keakraban Raja Ali Haji dan generasinya dalam penggunaan literatur-literatur keislaman.

Dengan kondisi demikian, kawasan Melayu-Riau sepanjang abad ke-19 hingga dua dekade awal abad ke-20 merupakan salah satu kawasan yang paling dinamis yang melahirkan sejumlah penulis/pengarang dengan masing-masing karya-karya mereka dalam mengukuhkan persuratan intelektual Melayu-Riau, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Dan sekaligus kawasan ini telah menjadi marcusuar ilmu pengatahuan agama dan budaya di dunia Melayu pada abad ke-19 berpusat di Pulau Penyengat. (Lihat, Muhammad Yusuff Hashim, Pensejarahan Melayu Kajian Tentang Tradisi Sejarah Melayu Nusantara, 466).

Namun, kawasan Melayu-Riau, dibandingkan dengan kawasan lainnya, tidak pernah kedengaran melahirkan ulamadan pemikir keagamaan yang memiliki resonansi mondial dan masyhur namanya di seantero Nusantara, seperti pernah dilahirkan, di kawasan Aceh, seperti Hamzah Fansuri, Syekh Nurudin al-Raniri, Shamsuddin al-Sumatrani dan Abdul Rauf Singkel; di Palembang, seperti Abdul Shamad al-Palembani dan Muahmmad Ibn Ahmad Kemas; di Banjarmasin, seperti Muahmmad Arsyad bin Abdullah al-Banjari; di Banten, seperti Syekh Nawawi al-Banteni; di Makassar, seperti Syekh Yusuf al-Makassari; serta sejumlah ulamadi kawasan lainnya.Misalnya dari kawasan lain misalnya, seperti Daud Ibn Abdullah Ibn Idris al-Fattani dari Fatani; Haji Abdul Shamad bin Muhammad Salih al-Kalantani dari Kelantan. (Lihat misalnya, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 1995: 166-266).

Dibanding dengan kawasan-kawasan lainnya, kajian kawasan Melayu-Riau nyaris terabaikan. Padahal kawasan ini, seperti dinyatakan sebelumnya, juga sangat kaya dengan khazanah-khazanah intelektual Islam. Dan sesungguhnya kawasan Melayu Riau pun telah melahirkan “bertaburan” penulis dan intelektual. Di antara penulis dan cendikiawan paling produktif, refresentatif dan otoritatif di kawasan Melayu-Riau serta sekaligus merupakan “lokomotif” para penulis dan sebagai “imam” cendikiawan Muslim “persuratan intelektual” Melayu Riau. Cendikiawan terbesar Melayu-Riau tersebut adalah Raja Ali Haji [1809-1873].

Sebelum Raja Ali Haji, “embrio” persuratan intelektual Melayu-Riau dapat dirujuk kepada Raja Ahmad, ayah Raja Ali Haji sendiri, beserta generasi berikutnya. Bahkan karya sejarah, Tuḥfat al-Nafīs, menurut sebagian peneliti dinyatakan sebagai karya-bareng diawali darinya, belakangan disempurnakan oleh anaknya, Raja Ali Haji. Dalam era generasi Raja Ali Haji, juga lahir beberapa pengarang di Melayu-Riau.

Meskipun begitu, menurut U.U. Hamidi, hampir tidak dapat dipungkiri bahwa tanpa Raja Ali Haji kegiatan ilmu pengetahuan dan kebudayaan tidak akan sampai sebegitu semarak di Melayu Riau. (Lihat, U.U. Hamidi, Riau Sebagai Pusat Bahasa dan Kebudayaan, 80). Raja Ali Haji telah melakukan upaya-upaya dalam mencerdaskan komunitasnya, terutama diperuntukkan bagi anak-cucunya dengan melakukan pendidikan dan pengajaran serta menulis dengan melahirkan sejumlah tulisan/karya dalam berbagai aspek ilmu pengetahuan.

Ternyata upaya-upaya “penaburan benih” yang dilakukan para penguasa dan pemerintah di kerajaan Melayu Riau sebelumnya dengan mendatangkan sejumlah ulama dan tuan guru dalam menyemarakkan proses belajar-mengajar telah dituai hasilnya pada diri Raja Ali Haji generasi seangkatan dengannya. Begitu jugapada gilirannya upaya-upaya penyemaian benih yang dilakukan oleh Raja Ali Haji telah pula membuahkan hasil yang sangat mendukung perkembangan dan penentuan kelanjutan proses persuratan intelektual Melayu-Riau. Dari kader yang dibina Raja Ali Haji (baik secara langsung maupaun tidak langsung) lahirlah sejumlah penulis: ahli di bidang bahasa,syair, budaya agama dan berbagai aspek intelektual lainnya, termasuk bidang politik dan diplomasi.(Lihat, Hasan Junus & U.U. Hamidi, “Sumbangan dan Peranan Cendikiawan”, 140).

Namun, sungguh disayangkan persuratan yang telah dibangun oleh Raja Ali Haji dan “lingkarannya” di Melayu-Riau terpaksa terhati ketika memasuki dekade kedua abad ke-20. Setelah Pemerintah Hindia Belanda memakzulkan Sultan Abdul Rahman II “in absentia” pada3 Februari1911 kekuasaan sultan seluruhnya diambil-alih seluruh daerah kekuasaannya berada langsung di bawah kendali Residen Belanda. Atas keputusan pemerintah Hindia Belanda ini seluruh rakyat Melayu Riau terpaksa/persisnya dipaksa untuk menaatinya. (Lihat, Rustam S. Abrur, Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, 326).

Dengan kondisi seperti disebut di atas Sultan ‘Abd Rahman meninggalkan kerajaannya pergi ke Singapura,dan wafat dalam “pengasingannya” di sana pada 1930. Sebagian besar masyarakat mengikuti sultan meninggalkan Pulau Penyengat menuju Singapura. (Lihat, Hasan Junus, “Upaya Menjual Riau”, 190; Virginia Matheson, “Pulau Penyengat: Nineteenth Century”, 163). Bahkan dapat dikatakan masyarakat “eksodus” meninggalkan tanah kelahiran mereka menuju Singapura, Johor dan daerah-daerah sekitar lainnya.

Dari hasil penelitian Muhammad Afan, sebagaimana di kutip Hasan Junus, menyebutkan “… dari sekian ribu penduduk pulau kecil yang menjadi pusat pemerintahan di kerajaan itu hanya lebih kurang lima ratus jiwa saja yang tetap tinggal, karena sebagian besar penduduk pindah ke Johor dan Singapura.” (Lihat, Hasan Junus, “Upaya Menjual Riau”, 190).

Untuk mengetahui berapa jumlah masyarakat yang “eksodus” meninggalkan Pulau Penyengat dapat dilihat dari data “perbandingan” berikut ini: (i) bahwa masyarakat yang tidak meninggalkan Pulau Penyengat haya tinggal 500 orang; (ii) bahwa jumlah penduduk di pulau kecil ini pada akhir abad ke-19 diperkirakan mencapai sekitar 9.000 jiwa. Kedua data nyata menunjukkan bahwa Pulau Penyengat benar-banar ditinggal-pergi oleh penduduknya. (Lihat, Virginia Matheson, “Pulau Penyengat: Nineteenth Century”, 162).

Raja Ali Kelana (Calon YDM yang tidak pernah terwujud) juga meninggalkan negeri kelahirnya dan menetap hingga wafatnya di Johor pada 1927. Raja Ali Kelana meninggalkan negerinya lantaran, menurutnya, telah “berubah kelakuannya” (diperintah Belanda). Raja Ali Kelana menyatakan perinsip ini, seperti katanya dalam Bughyāt al-‘Any fiīḤurūf al-Ma‘āni: “Apabila negeri itu berubah kelakuannya maka tinggalkanlah dia!” (Lihat, Hasan Junus & UU. Hamidi, “Sumbangan dan Peranan Cendikiawan Riau”, 136).

Akhirnya, pemerintahan Belanda mengeluarkan keputusan penghapusan kerajaan Melayu Riau-Lingga dari “peta bumi” pada 11 Maret 1913.Dengan penghapusan kerajaan Melayu-Riau dari “peta bumi” pada sisi kekuasaan dan pemerintahan dapat dikatakan kerajaan Melayu-Riau ini tidak meninggalkan “bekas-bekas” kebesaran dan kejayaannya di masa silam.Apa penyebabnya Pulau Penyengat sebagai pusat pemerintahan YDM Riau hampir tidak meninggalkan “bekas-bekas” kebesaran pada masa lalu. Menurut penelitian Matheson ini disebabkan orang-orang di Pulau Penyengat pada umumnya, dan raja-raja dan keluarga istana pada khususnya lebih memilih memusnahkan harta benda dan barang-barang yang ada dalam rumah mereka (melakukan semacam “bumi hangus” daripada mereka khawatir kalau) Belanda akan menyita seluruh harta kekayaannya. Lihat, Virginia Matheson, “Pulau Penyengat: Nineteenth Century”, 162.

Akan tetapi, dari sisi persuratan intelektual-keagamaan dan kebudayaan, kerajaan Melayu-Riau telah meninggalkan “jejak-jejak” kebesaran dan kejayaan masa lalunya, kendatipun harus diaui belum/tidak mencampai pada puncak kejayaan tertingginya lewat generasi-generasi terpelajar yang menghasilkan “bertaburan” karya di Pulau Penyengat sepanjang menjelang paroh kedua abad ke-19 hingga awal abad ke-20. (Ong Hok Ham, “Pemikiran Tentang Sejarah Riau”, dalam Masyarakat Malayu Riau dan Kebudayaannya, 185).

Dengan situasi politik yang tidak menentu tersebut, maka ketika Indonesia memasuki era sastra modern yang ditandai dengan lahirnya Balai Pustaka pada dasawarsa kedua abad ke-20, Sapardi Djoko Damono menyebutkan, “tampaknya peran para sastrawan dari Riau tidak begitu menonjol”, untuk tidak mengatakan tenggelam sama sekali. (Lihat, Sapardi Djoko Damono, “Sastrawan Riau dan Sastra Indonesia Mutahir”, dalam Masyarakat Melayu dan Budaya Melayu dalam Perubahan, ed. Heddy Shri Ahimsa-Putra, Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengambangan Budaya Melayu, 2007: 289-290).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb,
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illā bi Allāh.

*Alimuddin Hassan Palawa,
Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies)
UIN Suska Riau.
34. MADRASAH AL-IQBAL AL-ISLAMIYAH: Majalah Al-Imâm Menggesa Lembaga Pendidikan Modern Di Alam Melayu

34. MADRASAH AL-IQBAL AL-ISLAMIYAH: Majalah Al-Imâm Menggesa Lembaga Pendidikan Modern Di Alam Melayu

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

 

Para pengelola majalah Al-Imām pada khususnya dan masyarakat terpelajar pada umumnya menyadari betul arti pendidikan guna memajukan masyarakat, dan sekaligus dalam menghadapi tantangan perkembangan zaman. Menyadari kewajibannya kepada Allah dan mempertimbangkan peranannya dalam komunitas masyarakatnya sendiri, Al-Imam mempunyai tujuan pendidikan bersifat khusus.

Pertama, untuk menyakinkan masyarakat Muslim bahwa menuntut ilmu pengetahuan adalah pertama diperintahkan Allah (iqra’) di dalam al-Qur’an.

Kedua, untuk mengenalkan sebuah sistem baru pendidikan yang didasarkan pada ajaran al-Qur’an.

Ketiga, untuk membangun sejumlah lembaga-lembaga pendidikan dengan kurikulum dan silabus yang baik.

Keempat, untuk mendorong dan membimbing para pemuda Muslim dalam melanjutkan pendidikannya ke luar negeri.

Kelima, untuk menganjurkan para sultan (raja-raja dan penguasa), pemimpin tradisional dan ulama agar memberikan perhatian khusus dan berperan aktif secara langsung untuk mengembangakan sistem pendidikan Islam di negeri ini. (Lihat, Abu Bakar Hamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society, 55-56)

Bahkan majalah Al-Imām memiliki pandangan yang sangat maju tentang keberadaan lembaga pendidikan bagi masyarakat, khususnya bagi generasi muda. Misalnya, Roff menulis bahwa “Al-Imām mengusulkan sistem pendidikan modern; bahasa Arab dan bahasa Inggris serta mata pelajaran sains modern seharusnya diajarkan.”

Lebih dari itu, majalah Al-Imām yang sangat peduli terhadap pendidikan ini mengemukakan filsafat pendidikannya dalam pembukaan editorial pada bulan Juli 1906 dengan menyatakan: “Pendidikan merupakan awal dari keimanan, sedengakan pengetahuan adalah mataharinya apa yang tersembunyi dari kegelapan; ia adalah rahasia yang hanya dipahami orang-orang bijak.

Pengetahuan merupakan senjata yang dengannnya kemenangan dapat dirahi dalam medan peperangan kehidupan; ia adalah unsur penghubung yang membawa kebanyakan masyarakat untuk mencapai keunggulan dan kebesaran mereka. Sesungguhnya Pengetahuan adalah perbendaharaan kebenaran dan gudang kearifah; ia merupakan saluran yang paling tepat menuju kesempurnaan, cahaya yang, ketika ia menempati dua indra manusia –hati dan kepala– akan menyinari seluruh negeri.” (Lihat, Abu Bakar Hamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society, 56.).

Dengan latar belakang pemikiran di atas pengelola majalah Al-Imām bercita-cita untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan dimaksud. Cukup lama cita-cita mendirikan lembaga pendidikan digagas, dan kurang lebih satu setengah tahun kemudian baru terwujud. Langkah persiapan pendirian itu diambil berawal pada tanggal 1 Sya’ban 1325 Hijriah (9 September 1907) dengan datangnya seorang ulama yang sangat mumpuni, Othman Affandi yang ditemani oleh Syed Abdullah Al-Zawawi (Mufti Pontianak, Kalimantan) dari Cairo, Mesir. Ia datang untuk mengajar di Madrasah al-Iqbal al-Islāmiyah yang segera akan didirikan di Singapura baik mengajar bahasa Arab maupun bahasa Inggris.

Untuk mendirikan sekolah itu memerlukan banyak guru, karenanya, pada bulan Oktober 1907 Othman Affandi diutus kembali ke Mesir untuk merekrut tenaga pengajar.Kemudian, pada 3 Januari 1908, ia tiba kembali di Penang, dan dari sana mengirim telegram ke Singapura menginformasikan kepada pengelola majalah Al-Imām tentang kedatangannya dari Mesir, dan keberangkatannya menuju Singapura bersama dengan guru-guru telah direkrutnya dari Mesir.

Meskipun secara resmi yang mendirikan Madrasah al-Iqbal al-Islāmiyah atas nama Othman Affandi, tetapi tidak bisa dilepaskan peran pengelola dan orang-orang majalah al-Imam. Bahkan tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Raja Ali Kelana bersama-sama dengan Shaykh Taher Jalaluddin adalah author intelektual berdirinya Madrasah al-Iqbal al-Islāmiyah di Singapura pada 1908. Akhirnya, pada Selasa, 1 Muharram 1326 Hijriah (4 Pebruari 1908), Madrasah al-Iqbal al-Islāmiyah secara resmi dibuka. (Lihat, Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, 41; Barbawa W. Andaya, “From Rum to Tokyo, 140).

Majalah al-Imam sendiri menerbitkan dengan mendetail tentang Madrasah al-Iqbal a-Islamiyah yang baru didirkan di Singapura itu. Misalnya Al-Imam menginformasikan kepada pembacanya pidato pembukaan dibacakan dengan lantang oleh seorang siswa laki-laki yang berusia sepuluh tahun, Abdul Jalil bin Raja Abdul Rahman dalam bahasa Melayu yang berbunyi, di antaranya: “Hadirin Yang Terhormat! Pada awal sekali, perkenankan saya untuk mengatakan: Hari ini adalah permulaan Tahun Hijriah 1326; dan hari ini juga adalah hari pembukaan hari Madrasah Islam ini, dengan begitu ada dua peristiwa bersejarah; menyambut tahun baru dan juga menyambut hari permulaan kebangkitan kembali ilmu pengetahuan melalui suatu sistem pendidikan baru. Ya, Tuhan ku! Mudahkan tugas ini dari berbagai kesulitan dan sempurnakanlah, Ya, Tuhan, tugas ini sangat baik…” Lihat, Abu Bakar Hamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society, 73-74.

Akan tetapi, pendirian madrasah ini mendapat reaksi negatif dan tantangan dari Kaum Tua atau dari kelompok tradisional. Ini disebabkan Madrasah itu didirikan Kaum Muda yang juga di kenal sebagai Kolompok Modern. William R. Roff mengidentifikasikan yang pertama sebagai “Innovasi” dan yang belakang sebagai “Reaksi”. Seorang koresponden dari Batu Biduan, Sumatra menulis kepada Al-Imām laporan sebagai berikut:

“Kami sering membaca dalam surat kabar yang beragam tentang Madrasah Iqbal di Singapura dan yang sangat mengesankan mengenai pelajaran yang diajarkan di sana….. kami merespon secara positif Madrasah tersebut dan kami sekarang menyeru kepada kawasan masyarakat tertentu…. untuk mengirim anak-anak mereka ke Madrasah itu…. tetapi, kekhawatiran kami…. mereka tidak memperhatikan kami; malah sebaliknya bereaksi negatif menyatakan bahwa tidak perlu belajar di sana… lalu kami berupaya yang terbaik untuk menemukan sumber kesalahpahaman ini dan sesudah itu kami menemukan bahwa sumbernya berasal dari sebuah aliran yang sesat, yaitu berasal dari orang-orang yang memakai sorban besar, penjual ajimat, dan orang-orang penipu yang berjalan sambil bertasbih, memakai kacamata dan tongkat panjang, karena iri hati dan ketidakamanan dari penghasilan yang mereka peroleh melalui penipuan dan kecurangan terhadap masyarakat didaerah itu, maka banyak orang yang terpelajar dan menjadi lebih tahu sehingga tipu daya mereka tidak menjadi efektif lagi….” (Abu Bakar Hamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society, 75-76).

Selain mendapat respon negatif dari kelompok tradisional, madrasah al-Iqbal al-Islāmiyah juga menghadapi masalah, misalnya kesalah-pahaman dari penderma sosial yang menganggap bahwa Madrasah itu merupakan milik pribadi seorang kaya, Raja Ali Ahmadi dari Riau. Dewan pimpinan Madrasah itu sudah mengklarifikasi situasi ini, kemudian bulan Desember 1908 pihak madrasah ini membuat pengumuman sebagai berikut:

“Orang-orang mungkin berpikir bahwa Madrasah ini milik Raja Ali Al-Ahmadi karena dia satu-satunya orang yang perduli terhadap segala sesuatunya yang berhubungan dengan Madrasah ini. Karena anggapan ini ada suara-suara yang tidak sejalan dengan situasi yang sebenarnya, sehingga merusak kebaikan kami secara umum. Madrasah ini, kenyataannya, secara resmi adalah milik Othman Afandi Ra’fat, dan Raja Ali sebenarnya hanya salah seorang dari anggota donatur yang menyumbang untuk pendirian Madrasah itu. Raja Ali disebut sebagai pelindung Madrasah dengan pertimbangan karena Othman Ra’fat adalah orang asing dan belum dikenal luas; ini akan membuat orang tua enggan untuk mengirim anak-anak mereka belajar kesana. Kebijaksanaan ini dijalankan sampai orang-orang menyadari siapa pemilik Madrasah itu sebenaranya. Sekarang ketertarikan itu sudah terjamin dan kepercayaan dari masyarakat juga sudah utuh. Karenanya, untuk menghindari kebingungan yang lebih jauh dari anggota masyarakat yang ingin memberikan sumbangan, maka nama Raja Ali ditarik dari pelindung Madrasah, tetapi dilanjutkan dengan keangggotaan luar biasa dalam Dewan Pengurus dan membantu Madrasah seperti anggota yang lain. Oleh karena itu, diharapkan kepada semua kaum Muslim agar memberikan jasa-jasa mereka untuk kebaikan pada anak-anak saudara mereka”. (Lihat, Abu Bakar Hamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society, 76).

Dari kutipan di atas jelas sekali peran dan kedudukan Raja Ali Ahmadi terhadap keberadaan Madrasah al-Iqbal al-Islāmiyah. Bahkan, lantaran kesukaran keuangan dalam pengelolaanya, segera Madrasah ini dipindahkan ke Riau –meskipun belakangan ditentang penjajah Belanda– dengan peran dan kepedulian besar dari intelektual dan penguasa kerajaan Melayu-Riau, khususnya dari Raja Ali al-Ahmadi:

Konsekwensinya, Madrasah al-Iqbal Islamiyah menghadapi ancaman penutupan karena berbagai alasan, terutama masalah keuangan.Namun, nasib Madrasah itu dengan segera menggugah perhatian Raja Ali Al-Ahmadi tanpa ragu-ragu, memberikan reaksi dan mengadukan keadaan itu kepada Sultan Abdul Rahman, Penguasa Lingga dan Riau.Penting untuk dicatat bahwa Raja Ali Al-Ahmadi adalah saudara Sultan Riau.Yang disebut pertama adalah seorang terpelajar yang saleh, dan belakangan seorang Penguasa yang dermawan.

Raja Abdul Rahman merespon secara simpati dan memerintahkan agar Madrasah tersebut beserta dengan guru-guru dan peralatanya dipindahkan ke Riau, di Pulau Penyegat, dan perintah Sultan terlaksana.Madrasah ini sekarang menjadi milik tunggal Pemerintah Riau dan sekarang diberi nama baru, yaitu “Madrasah Ahmadi”. Pada tanggal 20 Syawal 1326 Hijriah, Madrasah “baru” itu secara resmi dibuka kembali dan pengajaran secara gratis untuk semua anak-anak yang menghadiri Madrasah itu. (Lihat, Abu Bakar Hamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society, 77).

Sewaktu Madrasahal-Iqbal al-Islāmiyah masih di Singapura dengan partisipasi Shaykh Jalaluddin Taher. Namun pengaruh tokoh asal Minangkabau ini tetap besar bagi kolega-kolega dan murid-muridnya di Minangkabau. Haji Abdullah Ahmad, misalnya, mengunjungi guru dan teman-temannya ini di Singapura dengan maksud untuk mempelajari pengelolaan Madrasah tersebut. Sekembalinya dari Singapura Haji Ahmad Abdullah menjadikan Madrasah al-Iqbal al-Islāmiyah sebagai model Madrasah Adabiyah yang didirikannya di Padang pada 1909.” (Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942,41 dan 47; Barbawa W. Andaya, “From Rum to Tokyo…”, 140). Lagi-lagi, tradisi intelektual Semenanjung Melayu dan Riau lewat sistem pendidikan madrasahnya, khususnya Madrasah al-Iqbal al-Islāmiyah mempengaruhi sistem pendidikan dan belakangan “semakin mengokohkan” pembentukan tradisi intelektual di Minangkabau.

Kata “semakin mengokohkan” dimaknai sebagai “tambahan” saja, tanpa pretensi bahwa Semenanjung dan Riau telah membentuk tradisi intelektual di Minangkabau. Bukankah pondasi pembentukan tradisi intelektual di Minangkabau sudah mulai terbentuk dilakukan sebelumnya lewat dua jalaur. Pertama, lewat jalur “politik etis” Belanda dan berlanjut pada pengirimin siswa-siswa yang meneruskan pendidikan mereka di perguruan tinggi baik di Batavia maupun di negeri Belanda. Kedua, jauh sebelum kebinakan politik etis tradisi “pendidikan surau” dan berlanjut pada pengirimian pelajar ke Makkah dan Mesir.

Pada waktunya, memasuki dan terus belanjut pada paroh pertama abad ke-20 begitu banyak ilmuan (didikan “Barat”) dan ulama (didikan “Arab”) asal Minangkabau. Pada gilirannya, daerah inilah paling banyak ”menyumbang” inteletual Muslim dalam kiprahnya menjelang dan setelah Indonesia merdeka. Sedemikian banyaknya menyumbang dan memasok putra-putra terbaiknya negeri ini, kalau kita menyebutkan selusin tokoh-tokoh intelektual/ sarjana-terpelajar menjelang dan sesudah Indonesia merdeka, hampir separohnya berasal dari Minangkabau.

Sekali lagi, pada batas-batas tertentu, persuratan intelektual Melayu-Riau memberi andil dalam menghubungkan geneologi intelektualisme ke Minangkabau (Sumatra Barat) dalam kawasan Melayu-Nusantara pada awal ke-20. Sebelumnya majalah Al-Imam yang terbit disingapura jadi rujukan penerbitan penerbitan majalah al-Munir pada 1911-1916 di Padang Minangkabau. Kini Madrasah Iqbal al-Islamiyah di Singapura menjadi model pendirian sekolah Adabiyah yang didirikan pada 1909. Kedua usaha besar dalam bidang penerbitan majalah dan pendirian sekolah ini diupayakan oleh Haji Abdullah Ahmad yang, menurut Deliar Noer, salah seorang pembaharu penting di awal abad ke-20.

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illā bi Allāh

*Alimuddin Hassan Palawa,
(Direktur &Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies)UIN Suska Riau).
33. TĀJ AL-SALĀTIN: Pengenalan Singkat atas “Mahkota Raja-raja” Karya Bukhāri al-Jawhāri

33. TĀJ AL-SALĀTIN: Pengenalan Singkat atas “Mahkota Raja-raja” Karya Bukhāri al-Jawhāri

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

 

Tāj al-Salāṭin (“Mahkota Raja-raja”) masyhur diketahui ditulis oleh Bukhāri al-Jawhāri. Meskipun, setidak-tidaknya bagi Winstedt, tidak menyebutkan nama “asli” siapa penulisnya, ia hanya mengindentifikasi bahwa buku itu dikarang oleh “a jeweller of Bokhāra” (“seorang pedagang perhiasan dari Bukhāra”). Artinya, sebutan “jawhāri” (“jeweller”) adalah penisbatan pada pekerjaan, dan sebutan “Bukhāri” diasosiasikan pada nama asal tempatnya.

Selain ini, Roorda van Eysinga memberikan keterangan dalam terjemahannya atas Tāj al-Salāṭin yang menyebutkan bahwa pengarannya adalah Bukhāri berasal dari Johor (Bocharie van Djohor).(Lihat, Winstedt, “A History of Classical Malay Literature”, 114; Amirul Hadi, Aceh: Sejarah, Budaya dan Tradisi (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2010), 99). Tentu saja, keterangan van Eysinga ini menimbulkan pertanyaan yang meragukan kebenarannya.

Pendapat kedua sarjana Barat itu, baik pendapat Winstedt maupun khusunya pendapat van Eysingan, agaknya “diaminkan” olah Liaw Yock Fang dengan kalimat yang ambiguitas, seperti tulisnya “…. yang bernama Bukhāri al-Jawhāri, artinya saudagar permata atau Bukhari dari Johor.” (Lihat, Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, ed. Riris K. Toha-Sarumpeat (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2011), 413). Pendapat prihal asal-usul pengarangnya lemah dibandingkan dengan pendapat yang dikemukan oleh Abdul Hadi W.M., Ph.S. van Ronkel, C. Hooykaas dan T. Iskandar, seperti akan dipaparkan berikut ini.

Penjelasan yang relatif gamblang meskipun cukup singkat tentang siapa sosok Bukhāri al-Jawhāri diungkapkan oleh Abdul Hadi W.M. yang, menurut pengakuannya diambil dari keterangan samar-samar dari Tāj al-Salāṭin itu sendiri. Diduga kuat bahwa Bukhāri al-Jawhāri adalah seorang terpelajar dan penulis Melayu berketurunan Persia yang nenek moyangnya berasal dari Bukhāra yang datang di negeri Melayu sebagai saudagar batu permata.

Bukhāri al-Jawhāri, tulis Abdul Hadi W.M. lebih lanjut, menulis Tāj al-Salāṭin pada masa kesultanan Aceh, yaitu pada era pemerintahan Sultan Alauddin Ri‘ayat Shah gelar Sayyid al-Mukammil (1590-1604), kakek Sultan Iskandar Muda (1607-1636).( Lihat, Abdul Hadi W.M., “Aceh dan Kesusastraan Melayu”, dalam Aceh Kembali ke Masa Depan, (ed.) Sardono W. Kusumo (Jakarta: IKJ Press, 2005, 216).

Ihwal penulisan Tāj al-Salāṭin itu sendiri terdapat perbedaan pendapat di kalangan sarjana: apakah sebuah karya yang berbahasa Persia yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu; atau sebuah karya yang berbahasa Melayu ditulis di Aceh? Ph.S. van Ronkel setelah menganalis strukturnya, ia sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Tāj al-Salāṭin adalah sebuah karya terjemahan dari bahasa Persia. (Taufik Abdullah, “The Formation of a Political Tradition in the Malay World” dalam Anthony Reid (ed.), The Making of an Islamic Discourse in Southeast Asia, Monash Paper on Southeast Asia – No. 27, (Clayton, Victoria: Monash University, 1993), 40 [catatan kaki no. 12]).

Pendapat Ph.S. van Ronkel ini didukung oleh Winstedt yang menyatakan bahwa Tāj al-Salāṭin ditulis pada awalnya dalam bahasa Persia, tetapi belakangan tidak ditemukan dalam bahasa aslinya. Karya Bukhāri al-Jahwhāri ini masuk di AlamMelayu-Nusantara melalui sumber-sumber dari India pada tahun 1603. Angka ini kemungkinan juga menunjukkan tahun diterjemahkannya Tāj al-Salāṭin dalam bahasa Melayu yang, juga tidak diketahui siapa penerjemahnya, dilaksanakan di Aceh.(Winstedt, “A History of Classical Malay Literature”, 114-116).

Sebaliknya, C. Hooykaas dan T. Iskandar sama-sama berpendapat bahwa Tāj al-Salāṭin memang memiliki judul bahasa Arab dan mengandung unsur-unsur Persia di dalamnya, tetapi kitab itu di tulis dalam bahasa Melayu dan dikarang di Aceh. Menurut kedua sarjana ini, kitab Tāj al-Salāṭin tidak dikenal dalam sejarah kesusastraan Persia. Agaknya, pendapat ini yang lebih mendekati kebenaran seputaran kitab Tāj al-Salāṭin dengan sejumlah agumentasi rasionalnya.

Benar bahwa T. Iskandar sendiri menerima pendapat Ph. S. Van Ronkel yang mendasarkan argumentasinya pada tiga kriteria, yaitu gaya bahasa, ekspresi-ekspresi sastra, dan struktur teks. Akan tetapi, T. Iskandar menyatakan bahwa masing-masing kategori Tāj al-Salāṭin tersebut menunjukkan secara keseluruhan tidaklah asing dalam tradisi kesusastraan Melayu. (Taufik Abdullah, “The Formation of a Political Tradition…”, 41).

Kitab Tāj al-Salāṭin, menurut Taufik Abdullah, termasuk “salah satu kitab Melayu yang paling awal diterjemahkan ke bahasa Jawa”, dan sekaligus kitab “teori ketatanegaraan” yang bercorak moral-sufistik yang paling awal dan penting di Alam Melayu.(Lihat, Taufik Abdullah, “Pemikiran Islam di Nusantara dalam Perspektif Sejarah: Sebuah Sketsa”, dalam Prisma, LP3ES, No. 3 Tahun XX Maret, 1991, 21). Tāj al-Salāṭin tidak hanya populer dan berpengaruh di wilayah berbahasa Melayu, tetapi juga di Jawa.

Menurut sebuah babad, seperti tulis Taufik Abdullah, karya Bukhāri al-Jawhāri ini dijadikan sebagai panduan oleh pendiri dinasti kerajaan Yogyakarta, Sultan Mangkubowono I. Belakangan, Pangeran Diponegoro menasehati saudaranya, Sultan Hamengkubowono V agar mempelajari kitab Tāj Salāṭin secara telaten dan sungguh-sungguh. Akhirnya, kitab Tāj al-Salāṭin ini juga dicetak oleh kerajaan Yokyakarta selepas Perang Jawa (1825-1830).(Taufik Abdullah, “The Formation of a Political Tradition…”, 41).

Manuskrip Tāj al-Salāṭin yang terbilang paling tua adalah milik A. Reland (1676-1718) tersimpan di Leiden. Menurut Winstedt, ada tiga edisi dari kitab ini telah dicetak oleh orang Belanda di Jawa.(Lihatt, Winstedt, “A History of Classical Malay Literature”, 115). Sementara itu, menurut Petter B.R. Carey, kitab ini telah diterbitkan sebanyak empat kali pada abad ke-19. Hooykaas menyebutkan naskah Tāj al-Salāṭin ditemukan beberapa versi berbahasa Jawa yang terdapat dalam manuskrip-manuskrip di Batavia.

Kemungkinan dari salah satu naskah Tāj al-Salāṭin tersebut yang diterjemahkan/disunting dan dicetak oleh Roorda van Eysinga melalui proses tipografi di Betawi pada tahun 1827. Kemudian, upaya penerjemahannya ini disusul dilakukan oleh Aristide Marre pada 1878. Memang diduga kuat, sebagimana tulis Taufik Abdullah, Roorda van Eysinga adalah sarjana pertama kali yang memperkenalkan Tāj al-Salāṭin di kalangan dunia akademik di Alam Melayu. (Lihat, Taufik Abdullah, “The Formation of a Political Tradition…” 40-41)

Raja Ali Haji sendiri telah memiliki kitab Tāj al-Salāṭin kurang dari dua dekade setelah Roorda van Eysinga menerjemahan dan menerbitkannya. Tidak diketahui secara pasti dari siapakah Raja Ali Haji memiliki karya Bukhāri al-Jawhāri itu, apakah langsung dari van Eysinga atau melalui sahabatnya, Von de Wall.

Akan tetapi, yang pasti lewat suratnya kepada van Eysinga pada 1846, Raja Ali Haji begitu mengagumi hasil cetakan kitab Tāj al-Salāṭin dalam dua bahasa (Melayu dan Belanda) yang tidak ditemukan satupun kesalahan di dalamnya. Selanjutnya, Raja Ali Haji mengutarakan rasa kagum dan penilaiannya serta ucapan selamat kepada van Eysinga lewat suratnya:

“… sebelah kanananya dengan bahasa Melayu dan sebelah kirinya dengan bahasa Olanda, maka kita tiliklah daripada permulaan pasalnya hingga akhirnya kesudah2annya maka kita dapatlah kebetulan tiada berubah daripada kurang atau lebih daripada halnya sebagaimana asalnya begitu juga salinan itu. Maka kita pun sangatlah suka serta memberi selamat atas nama sahabat kita yang tertulis pada akhir mukaddimahnya dan bawah tarikh termaktubnya.” (Lihat, Putten, “Printing in Riau: Two Staps Toward Modernitiy, dalam Cyinthia Chou and Will Derks, Riau in Transition, Deel 153, 1997, 719; bandingkan dengan Putten, “Daripada Pekerjaan Hendak Mencetak”, makalah, Hari Raja Ali Haji, Pulau Penyengat: 1-31 Oktober 1996, 5).

Hampir satu dekade kemudian,tepatnya pada 1857 Raja Ali Haji mengirim Tāj al-Salāṭinyang jauh sebelumnya telah miliknya kepada Von de Wall, sahabatnya yang sedang berada di Batavia, agar kitab itu diberikan kulit yang luks.Tersebut dalam suratnya, tertanggal, 1 Februari 1859 [No. 17], Raja Ali Haji sedemikian menghargai kitab ini. Buktinya, ia mengirim kitab Tāj al-Salātin kepada sahabatnya, Von de Wall yang sedang berada di Batavia dengan maksud agar diberi kulit yang baik dan asesoris yang indah. Raja Ali Haji menuturkan hal ini dalam suratanya:

“… yaitu kita minta kulitkan dengan kulit yang benar. Jakalau boleh dengan kulit yang hijau, berair emas juga yakni berperada juga mana2 tempat yang patut jadi perhiasan.”

Kitab ini telah di cetak beberapa kali, dan setidaknya Von de Wall sendiri memiliki salah satu copinya yang diberikan/ dipinjamkan oleh pemerintahan Hindia Belanda pada 1856.(Lihat, Putten dan Al Azhar, Di Dalam Bekekalan Pesahabatan, 46 dan 145).

Kitab Tāj al-Salāṭin memang tidak disebutkan Raja AliHaji secara eksplisit sebagai referensi dalam melahirkan karya-karyanya. Akantetapi, dapat dipastikan bahwa Raja Ali Haji telah membaca karya al-Bukhāri al-Jawhāriini, dan sekaligus jadi referensi sewaktu mengubah karya monumentalnya, Gurindam Duabelas yang selesai ditulisnya pada 1847. Sekurang-kurangnya ada dua argumentasi sehingga diyakini secara kuat kalau Raja Ali Haji mempergunakan Tāj al-Salātin sebagai referensinya.

Pertama, dari segi waktu adanya “alur logis”antara kepemilikan Raja Ali Haji atas Taj al-Salatin (dimiliki 1846) dengan waktu pengubahan Gurindam Dua Belas oleh Raja Ali Haji (selesai di gubah1847). Kedua, dari segi materi adanya kesamaan antara Tāj al-Salātin dengan Gurindam Dua Belasa ketika keduanya memulakan —Taj al-Salatin pada bab pertama, dan Gurindam Dua Belas pada pasal pertama– dengan mengutip hadis Nabi saw. sebagai prinsip dasar ajaran tasawuf, yaitu “Man ‘arafa nafsah, faqd ‘arafa rabbah” (sesiapa mengenal dirinya, maka sesunggunya dia mengenal Tuhan).”

Begitu juga, Raja Ali Haji telah membaca Tāj al-Salātin kurang-lebih sepuluh tahun sebelum ia menulis Thamarāt al-Muhimmah pada 1857. Selain itu, diduga kuat ia mempergunakan Tāj a-Salāṭin sebagai rujukan sewaktu menyusun Kitab Pengetahuan Bahasa yang “dirampungkan” pada 1859, khususnya ketika ia menulis entri kata “Allah”, “Manusia” “Dunia” dan “Akhirat”.(Lihat, Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 22-34).

Kalau melihat tema-tema dan corak pemikiran terkandungdalamkitabTāj al-Salāṭin, dapat dipastikan bahwa Raja AliHajimempergunakan karya Bukhāri al-Jawhāri itu sebagai referensi dalam menulisThamarāt al-Muhimmah dan Muqaddimah fī al-Intiẓam. Pengaruh gagasan dan kisah-kisah yang terkandung dalam Tāj al-Salāṭintidak saja mempengaruh Raja Ali Haji. Akan tetapi, menurut Abdul Hadi W.M., karya Bukhari al-Jawhari juga telah “memberikan pengaruh besar pada pemikir politik dan tradisi intelektual Melayu.”Lihat, Abdul Hadi W.M., “Aceh dan Kesusastraan Melayu”, 217).

Lagi pula, cara penulisan Raja Ali Haji yang kerapkali menyelingi karya-karya dengan deretan-deretan syair-syair pada khususnya dan kepiawaiannya dalam mengubah syair-syair pada umumnya memiliki kemiripan dengan Bukhari al-Jawhari. Untuk tokoh yang belakangan ini Abdul Hadi W.M. menuliskan:

“Melalui Taj al-Salatin …. menunjukkan pula bahwa Bukhāri al-Jawhāri merupakan penyair dan penulis hikayat yang ulung. Dalam pasal-pasal kitabnya itu ia senantiasa menyelipkan jika bukan kisah-kisah pendek yang sarat hikmah, puisi-puisi yang sederhana namun indah dan dalam isinya.”(Abdul Hadi W.M., “Aceh dan Kesusastraan Melayu”, 221).

Hal serupa juga dilakukan Raja Ali Haji ketika memberikan penjelasan mufassar [uraian panjang-lebar] atas atas “kamus monolingual”nya, Kitab Pengetahuan Bahasa baik berupa puisi-puisi maupun kisah-kisah, sebagaimana dinyatakan sendiri dalam suratanya kepada Von de Wall, tertanggal, 25 Muharram 1289/ 12 Maret 1872, di antaranya Raja Ali Haji mengatakan:

“ …. Akan tetapi dibanyakkan bertambah di dalam qissah2 cerita2 yang meumpamakan dengan kalimat yang mufrad, supaya menyenangkan hati orang muda2 mutalaahnya, serta syair2 Melayu sedikit2. Di dalam hal itupun memberi manfaat jua kepada orang2 yang mempikirkan perkataan dan makna bahasa Melayu pada orang2 yang bukan ternak Johor dan Riau dan Lingga.“ (Lihat, Putten dan Al-Azhar, Di Dalam Berkekalan Persahabatan, 107).

Dari suratnya tersebut di atas Raja Ali Haji memaknai kehadiran karyanya, Kitab Pengetahuan Bahasa adalah guna membimbing mereka (masyarakat Melayu-Riau) yang berkeinginan menambah pengetahuan bahasa dan tata bahasa, agama dan prilaku yang benar, baik dan terpuji. (Andaya dan Matheson, Islamic Thought and Malay Tradition: 113).

Artinya, upaya Raja Ali Haji “menyelipkan” puisi-puisi dan kisah-kisah (hikyat-hikayat) dalam Kitab Pengetahuan Bahasa mendapatkan pengaruh darial-Bukhāri al-Jawhāri. Rupanya Raja Ali Haji tidak saja menjadikan Tāj al-Salāṭin sebagai rujukan dari segi materi (isi kandungan). Namun, Raji Ali Haji juga menjadikan contoh dalam cara dan teknik penyajian dari karya al-Bukhāri al-Jawhāri yang sangat dikaguminya.

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

*Alimuddin Hassan Palawa,
(Dirktur &Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies]  UIN Suska Riau).