31. AL-ISRĀF: Pola Hidup Kekhalifahan Islam

31. AL-ISRĀF: Pola Hidup Kekhalifahan Islam

Oleh Alimuddin Hassan*

 

Definisi al-Isrāf secara etimologis (al-lugha, bahasa) adalah “berlebih-lebihan” dan “berfoya-foya”. Adapun definisi al-Israf secara terminologis (al-istilāḥ), Raja Ali Haji sendiri memaparkan: “Bermula ada israf ini beberapa macam setengah daripadanya berlebih-lebihan pada membuangkan harta yang tiada memberi faedah kepada syara’ dan kepada adat dan membanyak-banyakkan membuangkan harta pada pekerjaan lampau yang daripada adat dan daripada hajat sebab mengikutkan hawa nafsu shaitan.” (Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah, 61).

Raja Ali Haji mengingatkan bahwa penguasa selayaknya jangan mempergunakan harta kekayaan milik kerajaan yang tidak mendatangkan faedahnya bagi pengembangan agama dan ilmu-budaya. Penggunaan harta kekayaan kerajaan secara berlebih-lebihan disertai hidup pola berpoya-poya pada umumya terjadi “sebab mengikutkan hawa nafsu shaitan.” Ungkapan terakhir Raja Ali Haji menunjukkan bahwa hidup berlebih-lebihan adalah kesukaan shaitan. Maka sesorang yang mengikuti pola hidup boros, berlebih-lebihan dan berpoya-poya berarti berteman dengan shaitan. (Q.s. al-Isrā’ [17]: 27). Padahal, sebaliknya, Allah sendiri tidak menyukai orang-orang yang hidup berlebih-lebihan. ((Q.s. al-A‘rāf [7]: 31).

Agama melarang segala bentuk hidup berlebih-lebihan/pemborosan, jangankan dalam hal yang buruk atau tidak bermamfaat, dalam hal yang baik pun dilarangnya, sabda Rasul Allah: “Tiada pemborosan dalam kebaikan dan tiada kebaikan dalam pemborosan.” (Lihat, M. Quraish Shihab, Dia di Mana-mana: “Tangan” Tuhan di Balik Semua Fenomena, 2011: 356). Maka hendaknya harta benda itu dipergunakan sesuai dengan keperluan dan kebutuhan. Jangan karena memperturutkan rasa malu demi mengangkat marwah, “tiba-tiba dibuanglah belanja dengan yang amat banyak harta.” (Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah, 61).

Raja Ali Haji menasehati penguasa dan pemebesar kerajaan agar harta itu hendaknya dipergunakan untuk kepentingan sendiri (dan keluarga) dengan “tiada sampai sarafun”. (Raja Ali Haji, Muqaddimah fī al-Intiẓam, 13). Harta benda kerajaan seyogyanya dipergunakan secara benar dan sesuai peruntukannya sejalan ketentuan agama dan adat yang luhur. Kalau tidak, harta benda kerajaan menjadi terkuras habis dan “terkadang bisa membinasakan kerajaan”, terutama apabila ada keperluan besar dan mendesak untuk kebutuhan kerajaan dan untuk kepentingan pembangunan dan kesejahteraan rakyat.

Pada bagian lain dalam Thamarāt al-Muhimmah, Raja Ali Haji menjelaskan bahwa penguasa tidak diperkenankan untuk mempergunakan perbendaharaan kekayaaan milik kerajaan untuk tujuan memperturutkan dorongan hawa nafsu shaitannya. Sekiranya penguasa tetap melakukannya, maka penguasa bersangkutan itu pada gilirannya “tiada hirau akan suatu daripada harta dan alat senjata dan tanaman dan rumah kampung.” (Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah, 61).

Lebih lanjut, Raja Ali Haji memberikan penjelasan rinci tentang akibat-akibat ketidakpedulian penguasa terhadap masalah ini: “Adapun harta benda dibiarkan rusak binasa dimakan ulat dan semut atau dibiarkan pecah belah tiada dihiraukan. Adapun senjata dibiarkan rusak dimakan karat serta tiada ditentukan orang memeliharakan. Adapun kampung halaman rumah tangga biarkan cemar-cemar dan sampah. Adapun tanam-tanaman dibiarkan rusak binasa dimakan ulat dan tiada digemukkan dan tiada dibuang rumputnya. Maka segala yang tersebut itu setengah daripada makna israf juga.” (Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah, 62).

Raja Ali Haji merasa perlu untuk mengingatkan kepada penguasa dan pembesar kerajaan untuk tidak berlebih-lebihan dan berfoya-foya dalam kehidupan materi “supaya jangan hilang “‘izzahnya” (kemuliaan, kehormatan, harga diri atau marwah). Peringatannya ini menjadi penting mengingat gaya hidup penguasa/raja atau pangeran di istana dalam rentang sejarah (kekhalifahan Islam) yang selalu memiliki dua ciri utama.

Pertama, bahwa kehidupan istina diwarnai prilaku pesta pora dan foya-foya dengan bergelimang harta dan meteri melimpah serta makan dan minum yang bercita rasa lezat tiada tara. Kedua, bahwa kehidupan seksual di lingkungan istana dengan dikelilingi wanita-wanita muda serta cantik yang kadang jumlahnya tidak terkirakan banyaknya sejalan dengan era perbudakan dan perseliran pada masanya.

Dapat dikatakan bahwa kehidupan mewah dan berfoya-foya, bergelimang materi dan kehidupan seksual yang sedemikian marak telah berlaku secara umum di kalangan istana dalam pentas sejarah anak manusia. Fenomena kehidupan istana semacam ini juga menimpa kekhalifahan Islam, tidak terkecuali di kalangan kesultanan Melayu-Nusantara, dan termasuk Kesultanan Riau-Lingga, kendatipun kadarnya yang agak berkurang.

Oleh karena itu, Raja Ali Haji sendiri mengungkapkan dengan gamblang fenomena umum tentang kehidupan penguasa di istana bergelimang materi serta kehidupan seks rada bebas: “… jadilah ia mengikuti hawa nafsunya tiada tahu akan halal dan haram, dosa dan pahala, sah dan batal; serta melalaikan ia daripada memenuhkan perutnya dengan makanan yang lezat-lezat. Dan membatalkan akal cerdiknya dengan membanyakkan sekedudukan dengan perempuan sebab memenuhi syahwatnya; serta rakus dan lobanya pada beristri dan bergundik, sehingga berjalanlah segala asykarnya segenap dusun dan kampung-kampung rakyatnya mencari perempuan yang baik-baik rupa supaya memenuhi nafsu syahwat rajanya.” (Lihat, Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah,70).

Dari kutipan di atas tampak jelas sekali bagaimana kepiawaian Raja Ali Haji mengambarkan kebobrokan kehidupan raja/ penguasa di istana. Dengan hanya memperturutkan hawa nafsu hedonismenya yang berpangkal di perut, seperti kata Raja Ali Haji dalam Gurindam Dua belas:

Apabila perut terlalu penuh
Keluarlah fi’il yang tidak senonoh.

Dengan “makanan yang lezat-lezat”, penguasa melabrak ajaran agama tanpa memperdulikan halal-haram dan baik-buruk; dan dengan hanya memperturutkan hawa nafsunya yang berpangkal “sejengkal” di bawah perut dengan “membanyakkan sekedudukan dengan perempuan”, penguasa mencederai adat-budaya tanpa melihat benar-salahnya dan patut atau tidaknya.

Pada bagian akhir dari kutipan di atas, Raja Ali Haji mengkritik prilaku penguasa yang memerintahkan tentaranya agar mencarikan wanita-wanita cantik atau gadis-gadis muda belia sampai ke pelosok kampung/desa di seantero negeri untuk dijadikan istri atau gundik demi memuaskan syahwat (birahi seksual) syaitaniahnya.

Pada galibnya, adat-istiadat pada umumnya dan pandangan Raja Ali Haji pada khususnya dapat mentolerir kalau raja/ penguasa dan bahkan keluarga kerajaan (kerabat raja) hidup berpoligami (banyak istri) dan memiliki sejumlah gundik. Akan tetapi, istri dan gundik harus didapatkan dengan jalan patut (tidak memaksa) dan jumlah yang dibenarkan agama [jumlah maksimal empat istri] dan layak menurut adat-istiadat [bilangan gundik]. Raja Ali Haji sendiri, sebagai keturunan raja di kerajaan Riau-Lingga, tidak saja memiliki istri empat sebagai batas maksimal bagi seorang lelaki untuk menikahi wanita, tetapi ia juga memiliki selir (meskipun tidak ada data yang menyebutkan berapa jumlah selirnya).

Raja Ali Haji sendiri menyebutkan bahwa dalam usianya yang sudah tidak muda lagi masih mengambil seorang gadis muda untuk dijadikan gundik/selir. Prihal ini dikemukan kepada Von de Wall supaya sahabatnya dapat membantu mengatasi penyakit lemah syahwatnya, seperti dikemukakan dalam suratnya pada 24 Desember 1869:

“Ini satu susah, akan tetapi rahasia kitalah kepada paduka sehabat kita, yaitu syahwat kita inilah yang kurang benar2. Allah Allah, tiadakah obat daya upaya dokter di situ lagi. Sebab kita jika sudah rusak ini apa gunanya lagi dunia ini. Jadi susah kita, lebih daripada susahkan penyakit. Bagaimanakah kiranya ikhtiar paduka sahabat kita memberi ikhtiar kepada kita. Istimewa pula ini baharu pula kita dapat satu gundik budak muda. Maka hal kita inilah, itulah yang susah kita.”(Lihat, [Surat 31 Juli 1872] Putten dan Al-Azhar, Di Dalam Berkekalan Persahabatan, 115).

Setelah itu, Raja Ali Haji mengingatkan penguasa untuk memperhatikan beberapa hal penting kalau memang ingin/sudah memiliki istri dan gundik (apalagi lebih dari satu), seperti ungkapnya:

Bergundik berbini tiada salah
Asalkan jangan lupakan Allah
Mendirikan ugama jangalah lelah
Barang yang harus diperbuatlah.

Dari syair di atas tampaksekali Raja Ali Haji memberikan “prasyarat” yang tidak gampang. Bagi penguasa dan pembesar kerajaan atau bagi siapapun bahwa tidak salah memiliki istri-istri dan gundik-gundik dengan beberapa “asalkan” (pertimbangan yang mengiringinya).

Pertama, ungkapan “asalkan jangan lupa Allah” secara “langsung” atau tersurat bermakna janganlah gara-gara istri-istri/gundik-gundik itu menjadikan seorang suami melupakan Allah. Dengan kata lain, antara ia disibukkan oleh istri-istrinya membuatnya mengabaikan kewajiban-kewajiban kepada Allah. Lebih dari itu, prase “asalkan jangan lupa Allah” secara “tidak langsung” atau tersirat dapat bermakna bahwa dengan senantiasa ingat pada Allah (zikrilāAllāh) dengan dasar iman yang kokoh dan sejati kepada-Nya disertai dengan pemahaman agama yang baik maka seorang akan memperlakukan istr-istrinya itu dengan baik (ma‘āshira bi al-ma‘rūf) selaras dengan tuntunan agama. Dengan demikian, keimanan semacam ini menjadi azas bagi pembentukan etika/akhlak bagi siapapun, termasuk bagi penguasa dan pembesar kerajaan dalam membina hubungan keluarga yang tenteram dan damai (sakīnah) dalam liputan cinta “mawaddah” dan cinta “rahmah”.

Kedua, asalkan “mendirikan ugama janganlah lelah” bermakna bahwa penguasa dan pembesar kerajaan senantiasa menjalankan ibadah dan tuntunan agama dengan telaten dan sungguh-sungguh. Ibadah yang dimaksud bukan saja berkaitan dengan ibadah mahdah, seperti mendirikan salat, menjalankan puasa bulan ramadhan, mengeluarkan zakat dan menunaikan ibadah haji. Akan tetapi, ibadah gayr mahdah termasuk di dalamnya menjalankan kekuasaan dengan baik dan benar, seperti memimpin dengan adil, mengupayakan kesejahteraan rakyat dan membangun sarana prasarana jalan, pendidikan, tempat ibadah dan lainnya juga dapat dikategorikan sebagai “mendirikan agama”.

Ketiga, asalkan “barang yang harus diperbuatlah” maksaudnya dalh menjalakan tugas dan kewajiban serta amanah yang semestinya dilakukan oleh penguasa dalam mencapai tujuan keberadaan negara. Tujuan keberadaan negara itu, yaitu agar masyarakat sejahtera dan makmur hidup di dunia; dan bahagia dan damai hidup di akhirat. Jadi, penguasa bukannya menghabiskan waktu dengan larut bersama-sama istri dan gundiknya dalam memuaskan hawa nafsu mereka di malam hari. Sementara pada siang harinya terlelap tidur karena semalaman bergadang (“berasyik-mausyuk” dengan istri dan gundiknya), lalu kapan waktunya “barang yang harus diperbuatlah” sebagai seorang pemimpin.

Himbauan Raja Ali Haji itu dan seruan sejumlah ulama semacam itu sebelumnya secara umum, sepertinya, sulit untuk direalisasikan oleh penguasa dalam sepanjang sejarah kekhalifahan Islam –tanpa bermaksud menafikan sejumlah khalifah yang memang baik dan bijaksana. Mengingat gambaran nyata hampir merata prihal kehidupan penguasa nota bene muslim, tetapi prilakunya tidak bermartabat dan bermarwah. Ironisnya, sebagian mereka mengklaim dirinya sebagai “khalīfah Allāh fī al-arḍ” (“wakil Allah di bumi”) dan memproklamasikan kekhalifahan berasaskan Islam.

Padahal, dalam kenyataannya penguasa semacam itu acap kali tidak menjadikan dirinya sebagai wakil Allah.Dan klaimnya bahwa Islam sebagai asas kekhalifahannya hanya sekedar “alat” untuk menjastifikasi prilaku mereka tidak islami (praktek-praktek aspirasi jahiliyah). Dengan kata lain, klaim khalifah berasas Islam adalah demi melanggengkan kekuasaan dalam genggaman yang memang mengasayikkannya, sebagaimana bisikan syaithan kepada Adam: wamulklāyablā (dan kekuasaan yang tidak akan binasa).(Q.s. Ṭāhā [20]: 120).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

*Alimuddin Hassan Palawa,
(Direktur &Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies]UIN Suska Riau).
30. TAKABBUR: Menolak Kebenaran dan Menghina Manusia

30. TAKABBUR: Menolak Kebenaran dan Menghina Manusia

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

 

Kata “takabbur” berasal dari bahasa Arab yang padanannya dalam bahasa lndonesia secara umum adalah sombong, angkuh. Takabbur salah satu sifat yang paling dibenci oleh Allah. Pengertian takabbur, menurut Raja Ali Haji, adalah seseorang membesarkan dirinya, dan sekaligus pada saat yang bersamaan ia merendahkan dan menghinakan orang lain. Kesombongan dapat timbul disebabkan seseorang merasa memiliki kelebihan dibanding dengan orang lain. Misalanya, kelebihan dalam ilmu, kecantikan, keturunan (asal-usul keluarga), harta benda dan kekayaan serta kekuatan dan kekuasaan.(Lihat, Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah,52; Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 243).

Dengan kata lain, kesombongan dapat bersemayam pada diri (hati) seseorang disebabkan ia memandang dirinya berkecukupan, sehingga ia merasa tidak (lagi) membutuhkan orang lain. Kelanjutan logisnya, kelebihan dimiliki manusia baik fisik maupun non fisik acapkali membuat dirinya, bukan saja tidak membutuhkan orang lain, bahkan kerapkali berbuat sewenang-wenang dan melampaui batas terhadap orang lain. “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.” (Q.s. al-‘Alaq [96]: 6-7).

Kelebihan-kelebihan yang bersifat fisik dan materi serta asal-usul kejadian manusia yang bersifat askriptif tersebut, menurut Raja Ali Haji, tidak sepatutnya menjadikan seseorang sombong. Lantaran kelebihan-kelebihan fisik, materi dan askriftif itu hanya bersifat relatif dan sementara. Misalnya, ia menyebutkan bahwa orang yang pandai bisa saja menjadi bodoh karena hilang akalnya. Orang yang memiliki kecantikan dan ketampanan (rupawan) dapat saja menjadi jelek disebabkan umpamanya menderita penyakit.

Begitu pula, keturunan yang mulia dapat saja menjadi hina karena tidak mampu menjaga marwah dan kehormatannya. Orang kaya sangat mungkin jadi miskin lantaran jatuh bangkrut. Begitu pula, kekuatan dan kekuasaan manusia pada dasarnya akan berkurang, dan saatnya akan berakhir, bisa disebabkan sakit atau tuntutan lanjut usia atau sebab-sebab lainnya, dan yang paling pasti oleh kematian.(Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah, 53).

Al-Takabbur, menurut Raja Ali Haji, merupakan sifat dan sekaligus dosa yang pertama dari tiga dosa dimiliki dan dilakukan oleh mahluk Allah, yaitu iblis. Sementara dua dosa lainnya adalah serakah yang dilakukan oleh Adam, dan dosa hasad (iri hati) yang menyebabkan Qabil membunuh Habil. Dengan sifat sombongnya ini Iblis terusur dari surga penuh kehinaan. Kemudian,sifatsombong ini di lakukanoleh orang-orang durjana dalam sejarah umat manusia di muka bumi, seperti Raja Namrudz, Fir’aun, Abu Jahal. (Lihat, Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa,192).

Lebih lanjut, Raja Ali Haji memaparkan (dalam Kitab Pengetahuan Bahasa: 243-244) bahwa Iblis menyombongkan diri dan membangkang ketika Allah memerintahkan, “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujud lahkamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (al-Baqarah [2]: 34;lihat juga, Q.s. al-Kahfi [18]: 50).

Dengan kembali mengutip al-Qur’an, Raja Ali Haji menyebutkan bahwa Iblis menolak sujud kepada Adam karena membanggakan asal-asul kejadiaanya. Iblis merasa lebih mulia asal-usul penciptaannya ketimbang Adam, seperti ungkapnya: “khalaqtanī min al-nār wa khlaktahū min al-ṭīn” (Engkau ciptakan saya dari api, sedang dia Engkau ciptakan dari tanah) (Q.s. Ṣād [38]: 75-76).Lihat juga, (Q.s.al-A’rāf [7]: 12); Q.s. al-Isra’ [17]: 61). Akhirnya, Allah mengusir Iblis dari taman surga sebagai makhluk terhina dan terkutuk karena tidak sepatutnya meyombongkan diri di dalamnya (Q.s.al-A’rāf [7]: 13).

Dalam mengulas kesombongan Iblis, Raja Ali Haji terlihat jelas menjadikan al-Qur’an sebagai “alas”nya. Meskipun demikian, dalam Kitab Pengetahuan Bahasa, ia membatasi dirinya untuk mengulas panjang lebar tentang pembahasan kesombongan Iblis. Makanya, ia meminta pembacanya untuk membaca secara detail dalam al-Qur’an, al-Hadis serta kitab-kitab ulama, khususnya tentang tasawuf, terutama karya al-Ghazali, Iḥyā ‘Ulūm al-Dīn. Raja Ali Haji memaparkan prihal ini, selengkapnya:

“…. dan berpanjanganlah bicara takabur ini dalam Qur’an Nul’azim dan hadis Saidalmursalin dan di dalam kitab-kitab karangan ‘ulamak-ulamak Al ‘amilin yang membicarakan kejahatan takabur itu maka tiadalah aku suratkan pada kitab ini karena bukan maksudku memanjangkan, hanyalah bahasa jua. Akan tetapi hendak juga diterangkan juga maknaya sedikit-sedikit karena jika sekira-kira jatuh jadi pelajaran kepada orang-orang Islam maka yaitu jadi satu pengatahuan yang mamfaat pula dan barang siapa yang berhendak lebih daripada itu, serta hendak mehalus-halus pada ilmu …. maka rujuk’lah ia pada segala kitab-kitab tasawuf yang beberapa banyak karena karangan ulamak-ulamak yang besar ‘khusus di dalam kitab Ikhya umuluddin (sic. Iḥyā ‘Ulūm al-Dīn – AHP) pada rubuk’ mahlukat maka yaitu tersangat banyaknya tafsirnya hukuman yang halus-halus serta obatnya adanya.” (Lihat, Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 244).

Pada dasarnya sikap sombong bertentangan secara diameteral dengan penghambaan diri kepada Allah. Artinya, sifat sombong tidak mungkin ada pada diri seseorang yang tulus dan sadar bahwa ia seorang ‘ābid yang hina, kotor dan kerdilserta lemah dihadapan Sang Ma‘būd yang Maha Suci, Maha Mulia dan Maha Agung serta Maha Kuasa. Karenanya manusia diajarkan untuk menuturkan tasbih: subḥān Allāh, al-ḥamd Allāh dan Allāh Akbār serta lāhawla walā quwwata illā bi Allāh.

Oleh karenanya, bagi siapapun yang memiliki kesombongan dalam hatinya walau sekecil apapun tidak ada tempatnya tinggal di surga, sabda Rasul Allah saw.: “Tidak masuk syurga orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari sifat kesombongan.” (HR. Mslim). Dan orang yang memiliki rasa sombong “Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung berfirman: “Kemuliaan itu adalah gaun-Ku dan keagungan itu adalah jubah-Ku. Sesiapa yang memakai gaun dan jubah-Ku itu akan Kulempar ia ke dalam api neraka!” Demikian tersebut dalam sebuah hadis Qudsi.

Al-Takabbur merupakan sifat kejahatan yang bersemayam dalam hati manusia. Sifat ini diharamkan dan terlarang, sebagaimana banyak diungkapkan dalam al-Qur’an, misalnya agar manusia tidak berjalan di muka bumi dengan kesombongan (Q.s.al-Isra’ [17]: 37). Sifat sombong, kata Raja Ali Haji lebih lanjut, dapat menimbulkan “bantahan”, membawa seseorang kepada kesesatan dan bahkan kepada kekufuran. Pada gilirannya, ungkap pemikir Alam Melayu ini, ia mendustakan kebenaran-kebenaran yang disampikan nabi-nabi dan rasul-rasul.(Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 202). Kesombongan karena kekuasaan, menurut Abdullah Yusuf Ali, adalah langkah pertama menuju berbagai kejahatan. Lihat, Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an, Texs Translation and Commentary, terj. Ali  Audah (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993).

Dalam Kitab Pengetahuan Bahasa, Raja Ali Haji memberikan penjelasan tentang prilaku-prilaku orang takabur: “Orang yang tiada mengikuti sekali-kali perkataan dan pengajaran orang yang lainnya seperti dijawabnya dengan barang-barang jawaban membenarkan dirinya, meskipun nyata salahnya, tiada juga ia mau mengaku daripada salahnya itu. Maka sifatnya inilah yang akhir-akhirnya membawa kepada kafir nauzubillahi minha…. Adalah keluarnya sifat bantahan ini daripada takabur membesarkan dirinya. Asalnya memandang dirinya lebih pandai daripada orang atau lebih alimkah atau lebih bangsanya daripada orang.” (Lihat, Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 202).

Sikap dan prilaku “takabur” yang membawa kepada kekafiran, berdasarkan kutipan di atas, tercermin pada sikap seseorang bahwa ia mengetahui dirinya salah, tetapi ia tidak mau mengakui kesalahnnya. Sebaliknya, orang semacam ini mengetahui kebenaran orang lain, tetapi ia tidak mau mengakui (menutup mata) kebenaran orang tersebut (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 181-182). Kesombongan seperti ini akan diiringi dengan memperlakukan orang lain secara sewenang-wenang dan melampaui batas. Dengan demikian, Allah akan menutup atau mengunci hati orang semacam itu.Firman Allah: “Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.” (Q.s. al-Ghafir/al-Mu’min [40]:35).

Sehingga, orang itu akan “lupa diri”, dan pada gilirannya kesalahan/keburukan yang dilakukannya dipandang sebagai kebenaran/kebaikan. Inilah orang yang teramat durjana dan paling celaka. Raja Ali Haji mencontohkan orang-orang durjana semacam itu diantaranya adalah Namrud, Fir’aun dan Abu Jahal (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 192). Orang-orang laknat ini, kata Raja Ali Haji dengan tegas dan keras, bukanlah manusia, tetapi shaiṭan, seperti dinukil dari Gurindam Dua belas:

Tahu pekerjaan tak baik tetapi dikerjakan
Bukannya manusia ia itulah syaithan.

Pada akhirnya, Raja Ali Haji menegaskan bahwa “orang yang takaburitu pada qalibnya akan mendapatkan kehinaan di dunia ini lambat laun… di dalam akhirat.” (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 243).Jadi, sifat sombong hendaknya di hindari karena akibat yang ditimbulkan tidak saja di akhirat kelak, tetapi juga akan berlaku dalam kehidupan di dunia fanaini. Kemudian, pernyataan Raja Ali Haji ini dipertegasnya secara puitis dalam Gurindam Dua belasa:

Pekerjaan takabur jangan direpih
Sebelum mati juga sepih

Orang sombong, menurut Raja Ali Haji, pada umumnya tidak mau mendengar nasehat, dan malah ia akan marah kalau diperingatkan orang lain, meskipun pada dasarnya ia dalam posisi yang salah. Rasulullah bersabda: “Takabbur itu adalah menolak kebenaran dan menghina orang lain.” (HR. Muslim). Begitu pula, orang yang takabur biasanya merasa tersanjung kalau dipuji-puji dan ditempatkan pada kedudukan yang terhormat. Padahal, dalam pandangan Raja Ali Haji, orang yang suka dipuji dan memuji oleh orang lain adalah pertanda orang tersebut kurang akalnya. (Lihat, Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 63).

Sebaliknya, jika ia tidak dipuja-puji dan ditempatkan pada tempat yang tidak selayaknya, ia akan menjadi marah dan mengumpat, yaitu keluarlah “tutur katanya dengan kasar”, sebab dalam pandangannya orang lain rendah dan hina. (Lihat, Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah,52-53; Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 243). Padahal, boleh jadi orang yang dipandang rendah dan hina tersebut, justru lebih mulia dalam pandangan manusia lainnya, dan terutama dalam pandangan Allah swt. (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 63).

Pernyataan Raja Ali Haji di atas, meskipun ia tidak menyebutnya secara langsung ayatnya al-Qur’an, sebagai seorang intelektual yang “qur’anic oriented”, jelas bahwa pernyataannya itu berasal dari spirit al-Qur’an ((Q.S. al-Hujarāt [49]: 11). Karenanya, sebelum seseorang menyampaikan pujiannya dan mengutarakan umpatannya, hendeklah memikirkan terlebih dahulu akibat-akibat yang akan ditimbulkannya. Raja Ali Haji menandaskan prihal ini secara puitis dalam Gurindam Dua belas:

Mengumpat dan memuji hendaklah pikir
Di situlah banyak orang yang tergelincir.

Sifat dan prilaku sombong harus dihindarkan pada diri setiap manusia, terlebih-lebih bagi seorang yang memegang kekuasaan. Penguasa yang takabur, kata Raja Ali Haji, tidak akan pernah mau mendengarkan nasehat orang lain, dan karenanya, ia akan menjalankan kekuasaannya dengan sewenang-wenang. Di samping itu, penguasa yang sombong tidak akan mau menyantuni dan memenuhi “jemputan dan jamuan” rakyat kecil dan miskin.

Penguasa semacaman itu hanya mau menghadiri jemputan dan jamuan orang-orang besar dan kaya. Raja Ali Haji mengingatkan kepada penguasa untuk tidak mengukur status seseorang dari segi kaya dan miskin serta unsur yang bersifat fisik, materi dan status sosial bersifat askriptif lainnya. Lebih jelasnya, Raja Ali Haji mengatakan, “jangan kita memandang orang-orang yang miskin atau fakir atau orang-orang yang kurang daripada kita pada sifatnya atau pada hartanya dengan pandangan menghina-hinakan akan dia itu.” (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 63).

Sebaliknya, ia juga mengatakan, “jangan sekali-kali besar pada hati kita dan pada tilik pandang kepada orang besar-besar dan orang kaya-kaya itu karena kebesaran dan kekayaannya itu, istimewa pula pada ahli ldunia.” (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 63 dan 243). Kalimat Raja Ali Haji ini relatif sama dengan ungkapan Ali bin Thalib yang dibaca al-Ghazali dari Nahj al-Balagha. Artinya, kemungkinan besar inspriasi perkataan Raja Ali Haji dalam bukunya, Kitab Pengetahuan Bahasa tersebut berasal dari hasil bacaannya pada karya al-Ghazali.

Abdul Qayyum, menulis: “Suatu hari, ketika ia [al-Ghazali –AM] sedang membaca Nahjul Balagha, yaitu koleksi khutbah-khutbah Sayyidina Ali, ia dapati baris-baris sebagai berikut: “Saya peringatkan kamu sekalian bahwa segala sesuatu seperti kekayaan, kekuasaan dan kesenangan-kesenangan… tidak akan menggoda dan memikat kamu. Karena kehidupan itu bagaikan bayangan di atas bumi yang akan memanjang untuk beberapa waktu, tetapi pada akhirnya lenyap.” (Lihat, Abdul Qayyum (ed.), Surat-Surat Al-Ghazalikepada Para Penguasa, Pejabat Negara dan Ulama Sezamannya, Bandung: Mizan, 1988: 8).

Selanjutnya, Raja Ali Haji mengingatkan bahwa penguasa dan pembesar kerajaan yang sombong (senanatiasa membesarkan diri) dan sekaligus menghina dan merendahkan orang lain, sesungguhnya mereka itulah yang hina dan rendah derajatnya dalam pandangan Allah. Dengan kalimatnya sendiri Raja Ali Haji mengatakan: “Dan manakala besar hati kita segala orang yang tersebut itu, niscaya gugur tilik Allah Ta‘ala kepada kita, karena Allah Ta‘ala itu benci akan orang yang tamak akan kebesaran dan kekayaan ….” (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 63).

Untuk memperkuat argumentasinya ini, dalam karyanya yang lain Raja Ali Haji mengutip hadith Rasul Allah saw.: “Man takabbar waḍu‘a Allāh wa man tawaḍḍa‘a farafa‘a Allah.” (Barangsiapa yang membesarkan diri, Allah akan merendahkannya, dan barangsiapa yang merendahkan diri, Allah akan mengangkatnya) (Lihat, Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah, 48). Sabda Rasul Allah saw. yang dikutip Raja Ali Haji di atas, sebelumnya dihayati betul oleh Ali bin Abi Thalib [karramah Allāh wajah], sehingga dalam Nahj al-Balāgha, ia berkata sama: “Ingatlah bahwa orang yang merendahkan dirinya akan ditinggikan, dan orang yang meninggikan dirinya akan dicampakkan.”

Belakangan, ungkapan Ali bin Abi Thalib ini dibaca oleh al-Ghazali yang diformulasi dalam surat-surat yang ditujukan kepada para penguasa dan pejabat negara. (Lihat, Abdul Qayyum (ed.), Surat-Surat Al-Ghazali…, 8-9). Jauh setelah itu, giliran Raja Ali Haji pula yang, setelah membaca surat-surat [atau karya lain] al-Ghazali, memberikan nasehat kepada penguasa-penguasa dan pembesar kerajaan pada zamannya di Alam Melayu. Jadi “geneologi intelektual” kalimat itu berasal dari Nabi Muhammad saw., didengar oleh Ali bin Abi Thalib, lalu diteruskan oleh al-Ghazali, dan pada gilirannya berakhir pada Raja Ali Haji, sebagaimana yang penulis kutip.

Dalam mengobati dan menghilangkan sifat sombong, menurut Raja Ali Haji, hendaknya ditilik dari mana datang sifat sombong tersebut. Apakah sifat sombong itu timbul pada diri seseorang karena merasa memiliki kelebihan, misalnya pada ilmu, kecantikan/rupawan, kegagahan (kuat fisik), harta benda atau kebesaran dalam kedudukan dan jabatan.

Lebih lanjut, Raja Ali Haji menyarankan cara mengobati sifat sombong itu adalah dengan memikirkan secara mendalam (merenungkan) bahwa kelebihan-kelebihan tersebut bisa saja sirna dan bahkan hilang seketika. Misalnya, kepintaran akan hilang karena hilangnya akal; kecantikan bisa hilang karena penyakit; kekayaan akan hilang karena bangkrut; keperkasaan akan hilang dikarenakan sakit atau penyebab-penyebab lainnya. (Lihat, Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah,51; Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 192).

Raja Ali Haji mengatakan, “betapakah kita hendak takaburkan segala sifat yang tersebut itu.” Mengingat banyak latar belakang dan penyebab sifat takabur itu, maka cara mengobatinya juga dengan banyak cara. Akan tetapi, secara keseluruhan sifat sombong mesti dilawan dengan sifat tawaḍḍu‘ (rendah hati). Rasul Allah saw. bersabda: “Tawaḍḍu‘ tidak ada yang bertambah bagi seorang hamba kecuali ketinggian (derajatnya). Oleh sebab itu tawadhulah kamu, niscaya Allah akan meninggikan [derajat]mu.” (HR. Dailami).

Kemudian, untuk mendapatkan pemahaman lebih baik tentang sifat takabur dan cara mengobatinya, ia menyarankan untuk membaca panjang lebar karya-karya ulama, khususnya “kitab-kitab ahlul sufi apalagi di dalam al-Qur’an dan Hadith.”(Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah,51). Lebih lanjut, Raja Ali Haji mempersilahkan kepada pembacanya untuk menelaah kitab-kitab ulama terdahulu, seperti Tarjuman al-Mustafīd karya Abd Rauf al-Singklili; Ṭarīqah Muḥammadiyyah karya Ali Farkawi; Sir al-Sulūkilā al-Khidmah al-Mālik al Mulk karya Qasim Halabi.

Pada bagian lain Raja Ali Haji menulis, “… maka rujuklah ia pada segala kitab-kitab tasawuf yang beberapa karena karangan ulamak-ulamak yang besar khusus di dalam kitab ikhya umuluddin (sic. Iḥyā‘Ulūm al-Dīn – AHP) pada rubuk’ mahlukat maka yaitu tersangatlah banyaknya tafsilnya hukuman yang halus-halus serta obatnya adanya.” Lihat, Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 192 dan 243.

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb,
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

*Alimuddin Hassan Palawa
(Direktur & Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau.
29. GURINDAM  DUA BELAS: Barangsiapa Mengenal Diri;  Maka Telah Mengenal Tuhan yang  Bahari

29. GURINDAM DUA BELAS: Barangsiapa Mengenal Diri; Maka Telah Mengenal Tuhan yang Bahari

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

 

Raja Ali Haji termasuk figur penulis/pengarang yang sangat produktif, komprehensif dan otoritatif di Alam Melayu pada abad ke-19. Meskipun demikian, buah pena Raja Ali Haji tidak banyak diketahui masyarakat awan (kebanyakan), kecuali hanya terbatas pada karyanya, Gurindam Duabelas. Untuk itu, agak ironis memang, “orang banyak tahu” siapa Raja Ali Haji ketika dinisbatkan pada Gurindam Dua belas, tetapi sedikit “orang tahu banyak” siapa sesungguhnya tokoh intelektual Melayu-Riau ini.

Kebenaran ungkapan bahwa sedikit orang tahu banyak itu dapat dibuktikan, misalnya ketika dilontarkan pertanyaan, “apa yang anda ketahui tentang Raja Ali Haji?” Paling tidak, orang tersebut akan menjawab, “ Raja Ali Haji adalah pengarang Gurindam Dua belas; dan Gurindam Dua belas dikarang oleh Raja Ali Haji.” Jawaban ini kelihatannya sangat bersahaja dengan dua prase yang “melingkar”. Malah terkesan salah satu dari kedua jawaban itu tidak berarti, redundant, pemborosan bahasa. Tidak lebih dari itu (pengetahuan mereka tentang Raja Ali Haji).

Ada benarnya kalau Gurindam Dua belas telah memperkenalkan dan mengangkat kebesaran nama Raja Ali Haji. Akan tetapi, tidak tertutup kemungkinan justru sebaliknya, Gurindam Dua belas telah menjadi tabir dan bahkan mengerdilkan bagi kebesaran namanya. Alternatif terakhir ini dapat saja menjadi benar kalau dilihat implikasi logisnya, misalnya bahwa ia hanya dikenal sebagai seorang sastrawan atau seorang penyair. Sehingga aspek intelektual lainnya, semisal bahwa ia juga seorang sejarawan, budayawan, ulama dan pemikir politik; pendek kata bahwa Raja Ali Haji seorang cendikiawan yang mumpuni dalam berbagai aspek, menjadi ternafikan.

Pada awal karier penulisannya, pemikiran-pemikiran keagamaan Raja Ali Haji terangkum dengan sangat baik, apik dan padat dalam bentuk puitis yang terdapat pada karya monumentalnya, Gurindam Dua belas. Untuk itu, keistimewaan Gurindam Dua belas tidak saja terletak pada keindahan “bentuk luar/zahir”nya semata, tetapi yang lebih penting justru terdapat pada “bentuk dalam/batin”nya. Karenanya, U.U. Hamidi menyatakan dengan tepat keistimewaan Gurindam Dua belas:

“Maka dari segala karya Raja Ali Haji, Gurindam Dua belas merupakan karya yang sulit dicari bandingannya. Keutamaan karya ini bukan semata-mata atas keindahan sajak dan pilihan kata dalam bentuk yang artistik, tetapi lebih-lebih atas keindahan batinnya, yakni kandungan pesan-pesannya yang amat mendalam, jernih dengan sinar kejelasan yang murni. Gurindam Dua belas agaknya telah ditulis oleh Raja Ali Haji, sebagai hasil apresiasi beliau atas Surah Ibrahim ayat 24 yang maksudnya “Kalimat yang baik bagaikan sebatang pohon yang rindang berbuah lebat; akarnya terhunjam ke bumi dan dahannya menjulang ke angkasa.” (Q.s. Ibrāhīm [14]: 24). (Lihat, U.U. Hamidi, Jagat Melayu Dalam Lintas Budaya di Riau, Pekanbaru: Bilik Kreatif  Press, 2003:137).

U.U. Hamidi memberikan penjelasan yang benar dan tepat tentang kehindahan makna batin Gurindam Dua belas karya Raja Ali Haji sebagai hasil apresiasinya terhadap makna metafor al-Qur’an. Kalimat yang baik, menurut Abdullah Yusuf Ali, pada khususnya memang berasal dari kalam/firman Allah, ajaran dan agama yang benar. Akan tetapi, pada umumnya kalimat yang baik dapat pula berupa kata yang baik, kalimat yang benar berdasarkan pada pengertian dan pemahaman agama dalam mengatur kewajiban manusia terhadap Allah dan terhadap sesama manusia. (lihat, Lihat, Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Holy Qur’an, Maryland: Amana Publications, 2004, 610, catatan kaki no. 1900.)

Dengan pengertian semacam ini, Gurindam Dua belas termasuk “kalimat yang baik”.Gurindam Dua belas ibarat “pohon” memiliki akar yang kokoh (artinya: berasal dari pemahaman agama [al-Qur’an dan hadis]); dahannya menjulang ke angkasa (artinya: jangkauan pengaruhnya membahana seantero alam Melayu); daunnya rimbun dan buahnya lebat (artinya: kandungannya memberi tuntunan yang melindungi diri dan menenteramkan jiwa serta membahagiakan manusia).

Agama sebagai pedoman dan tuntunan, menurut Raja Ali Haji, sangat penting dalam pri-kehidupan manusia di dunia ini. Makanya, ia mengawali penuturan puitisnya prihal kedudukan agama yang sangat penting ini dalam Gurindam Dua belas:

Barangsiapa tiada memegang agama
sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama

Berpegang teguh pada agama sebagai ajaran yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya, Muhammad saw. untuk ummat manusia, menurut Raja Ali Haji, merupakan suatu keniscayaan hidup. Kalau seseorang melakukan perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dan/atau bertentangan dengan ajaran agama, dipahami dan diyakininya, akan merusak martabat dan nama baiknya. Untuk kasus dirinya, misalnya ketika ia difitnah telah memperhamba seorang wanita setelah perang Reteh.

Untuk kasus di atas, Raja Ali Haji mengatakan dalam suratnya kepada sahabatnya, Van de Wall, tertulis: “Maka itu pekerjaan sekali2 tiada patut kepada agama kita dan kepada nama kita. Apabila kita berbuat yang demikian itu jadi hilanglah nama kita yang selama2 ini…. Tiada sekali2 niat kita hendak memperbuat dia hamba.” (lihat, Puttendan Al-Azhar, Di DalamBerkekalanPersahabatan, 41).

Dalam pandangan Raja Ali Haji memelihara agama dan menjaga nama (baik) sangat penting dan utama. Ia menyebutkan bahwa tidak mengapa walau kita dalam kemiskinan dan menjadi rakyat biasa asalkan agama dan nama terpelihara dengan baik. Bahkan ia menyatakan dengan nada keras bahwa seseorang yang tidak menjankan agama dan menjaga/memelihara nama baiknya maka kedudukannya sama dengan binatang.

Dengan bahasanya sendiri Raja Ali Haji mengungkapkan masalah ini: “Syahdan yang kita pegang selama2ini, biaralah kita jadi orang miskin atau jadi orang kecil asal jangan kita cacat kepada agama dan nama. Karena apabila orang2 tiada memelihara yang dua perkara itu, tiada guna panjang umur di dunia karena sama juga dengan binatang.”(Lihat, Puttendan Al-Azhar, Di Dalam Berkekalan Persahabatan, 43).

Sikap dan pandangan Raja Ali Haji, seperti ditunjukkan dalam pengalaman hidupnya di atas, semakin mencerminkan bahwa dirinya benar-banar seorang, sekali lagi meminjam istilah Abdul Hadi W. M., “ulil albab”. Karena seorang ulil albab tidak saja memahamai dan mengajarkan doktrin-doktrin agama, tetapi sekaligus mengamalkannya dan memberi suri-tauladan bagi masyarakatnya.

Seorang uwlūal-bāb, layaknya Raja Ali Haji, tentunya tidak pernah mau mengajarkan sesuatu doktrin agama yang ia sendiri tidak/belum amalkan. Pertimbangannya bukan saja demi kehidupan sosiologis (masyarakat tidak akan mau mengikutinya), tetapi juga didasari atas pertimbangan teologis (cerminan keimanan dan ketakwaan kepada Allah) dan kehidupan eskatologis (pantulan keyanikan dan keimanan akan kehidupan akhirat beserta dan siksaan dalam neraka), firman Allah: ”Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”(Q.s. al-Ṣāf [61]: 2-3)

Sebaliknya, seseorang mengetahui sebuah perbuatan baik dan tidak dilakukannya; atau seorang mengetahi suatu perbuatan dilarang agama dan tetap dilakukannya, menurut Raja Ali Haji, dia itu bukan manusia, tetapi syaitan, Gurindam Dua belas pasal 9:

Tahu pekerjaan tak baik tapi dikerajakan
bukannya manusia ia itulah syaitan.

Di Dalam Gurindam Duabelas, sebelum Raja Ali Haji bertutur “Barangsiapa mengenal diri Maka telah mengenal Tuhan yang bahari, ia mengawali dengan gubahan indah:

Barang siapa yang mengenal yang empat
maka itulah orang yang ma‘rifat.

Akan tetapi, seseorang tidak mungkin “mengenal yang empat” dan apalagi pada gilirannya menjadi orang “ma’rifat”, kalau orang itu tidak berpegang dan menjalankan syariat agama, seperti ungkapannya:

Barangsiapa tiada memegang agama
sekali-kali tiada boleh dibilang nama.

Artinya, untuk sampai pada “tangga” ma’rifat sebagai anak tangga tertinggi, seseorang terlebih dahulu niscaya melewati anak tangga-anak tangga sebelumnya, yaitu shari‘ah, ṭarīqah dan ḥaqīqah. Karenanya, Tarekat dan hekekat tidak bisa dipisahkan dari shari‘ah sebagai “tangga/ langkah” awal menuju ma‘rifat kepada Allah. Dengan kata lain, tarekat dan hekekat yang menjadi pengetahuan kaum sufi merupakan bagian dari shari‘ah. Bahkan dengan tegas disebutkan bahwa tarekat dan hakekat tunduk pada shari‘ah. (Lihat, Muhammad Abd. Haq Ansari, Antara Sifisme dan Syari’ah, Jakarta: Rajawali Press, 1993, 271).

Bukankah untuk menaiki suatu ketinggian harus mulai dengan menginjak anak tangga pertama? Bukankah untuk menapaki suatu perjalanan jauh harus diawali dengan langka pertama? Sejalan dengan ini, meminjam adagium kaum sufi: “Hanya orang yang mampu berjalan di tanah datar yang bakal mampu mendaki bukit.”(Adagium sufi ini dikutip dari Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Paramadina, 2000), 44).Oleh karena itu, untuk sampai pada puncak makrifah seseorang harus melalui secara berturut-turut shari‘ah, ṭarīqah, haqīqah.

Makanya adalah wajar kalau ada yang memahami –walaupun pemahamannya terkesan “melompat” atau jumping to conclusion-– tentang yang “empat” dalam Gurindam Dua belas dengan penafsiran: shari‘at, tarīqat, ḥakīkat dan ma’rifat. Pemahaman semacam ini, misalnya, dilakukan Abu Hassan Sham, meskipun pada bagian lainnya, ia memahami seperti yang dimaksudkan Raja Ali Haji itu sendiri dalam Gurindam Dua belas nya. Adapun yang “empat” dalam pemahaman Raja Ali Haji secara kasat mata teruntai secara beriringan dengan indahnya dalam Gurindam Dua belas pada pasal pertama, yaitu: Allah; diri, dunia, dan akhirat:

Barangsiapatiadamemegang agama
sekali-kalitiada bolehdibilangnama.
Barangsiapamengenal yang empat
makayaitulah orang yang makrifat.

Barangsiapamengenal Allah
suruhdantegahnyatiadaiamenyala.
Barangsiapamengenaldiri
makatelahmengenalTuhan yang Bahari.

Barangsiapamengenaldunia
tahulahiabarang yang terpedaya.
Barangsiapamengenalakhirat
tahulahiaduniamudharat.

Dari keempat ini yang paling penting diketahui terlebih dahulu adalah diri manusia itu sendiri. Agama (syari‘at) menjadi tidak bermakna kalau seseorang tidak mengenal/tidak memiliki kesadaran (siapa) dirinya. Untuk itu, mengenal diri adalah “anak tangga” pertama atau “langkah” paling awal untuk menapaki dan sampai pada “anak tangga” paling tinggi atau langkah terakhir menuju ma’rifaf pada Allah. Karenanya, dalam Gurindam Dua belas, Raja Ali Haji memahami benar adigium sufistik yang masyhur dari doktrin tasawuf: “man‘arafa nafsah fa qad arafa Rabbah” (sesiapa mengenal diri, sungguh ia telah mengenal Tuhan).

Sekedar catatan, kalangan kaum sufi mengklaim bahwa ungkapan “man‘arafa nafsah fa qad arafah Rabbah” itu berasal dari sabda Nabi Muhammad saw., sementara kalangan ahl al-Hadis, seperti Imam al-Nawawi dan Imam Ibn Taimiyah berpendapat sama dengan masing-masing redaksi yang berbeda, yaitu bahwa hadis itu adalah laisa bi thabit dan hadis palsu. (Lihat, Ali Mustafa Yaqub, Hadis-hadis Bermasalah (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), 78-79).

Kalimat “man‘arafa nafsah fa qad arafa Rabbah” ditangan Raa Ali Haji diterjemahan dalam bahasa puitis, sebagaimana tertera dalam Gurindam Dua belas:

Barangsiapa mengenal diri
Makatelah mengenal Tuhan yang bahari.

“Mengenal diri” yang paling hakiki lebih dimaksudkan –kalau manusia terdiri dari tiga unsur yaitu unsur al- jasm (jasmani, raga atau fisik), al-nafs (nafsani, jiwa atau psikis), al-rūh(rohani, sukma atau spirit)– pada al-nafs (jiwa). Kata “nafs” (dalam kalimat “man ‘arafah nafsah”) dari hadis di atas dipertegas oleh hadis nabi yang lainnya. Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra. berkata bahwa dia berkata, “Wahai Rasul Allah, kapan manusia mengenal Tuhannya? Rasul Allah menjawab, “Apabila ia mengenal jiwanya sendiri.” (Lihat, al-Ghazali, Bidāyah al-Hidāyah, Jakarta: Menara, 2006, 191.)

Adigium sufistik yang sangat populer ituterkait erat dengan ungkapan Nabi saw. lainnya dalam bentuk hadis qudsi ketika menjelaskan kenapa Allah menciptakan alam semesta, terutama manusia: “Kuntu kanzan makhfiyyan, fa aḥbabtu ‘an u‘raf fa khalaktu al-khalqa li kay u‘raf ” (Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi dan aku ingin (sekali) dikenal. Karena itu, Aku lalu menciptakan makhluk agar mengenal-Ku).

Pengenalan diri dan pengenalan Tuhan merupakan dua entitas yang jalin-berkelindan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainya: mengenal Tuhan tanpa mengenal diri adalah absurd; dan mengenal diri tanpa mengenal Tuhan adalah nihil. Pengenalan terhadap Tuhan merupakan langkah awal sebagai tercerminan dari ungkapan “man‘arafa nafsah fa qad arafah Rabbah”, dan ini mutlak berlanjut pada pada jenjang “mengingat” Tuhan. Artinya, setelah mengenal Tuhan, manusia harus senantiasa “mengingat” Tuhan (tanpa mengingat, makna mengenal menjadi hilang dan musfrah [sia-sia]).

Sedemikian penting “mengingat” Tuhan sebab kalau manusia melupakan Tuhan pada titik nadir tertentu, maka Tuhan akan membuat manusia lupa (tidak kenal lagi) pada dirinya.Firman Allah, Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik. (Q.s. al-Ḥashr [59]: 19).

Hanya dengan mengenal dan mengingat Tuhan sebagai eksistensi niscaya (wājib al-wujūd) maka manusia baru (dapat) memiliki eksistensinya (mumkīn al-wujūd), tanpa eksistensi Tuhan, manusia tidak akan bereksistensi. Karenanya, bagimanusia hanya dengan meyakini “ada”-Nya Tuhan, manusia baru dapat melihat “ada-ada” yang lain. Sebaliknya, kalau manusia tidak mengenal dan melupakan keberadaan Tuhan maka segala eksistensi, termasuk eksistensi dirinya menjadi tidak ada, apalagi perbuatannya sungguh menjadi musfrah dan tidak mempunyai makna apa-apa, lantaran terputus dari Tuhan sebagai hakekat keberadaan dan pusat orientasi manusia (seluruh makhluk).

WaAllāha‘lam bi al-Ṣawāb.
MāTawfīqwa al-Hidāyahilla bi Allāh

*Alimuddin Hassan Palawa
(Direktur &Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies]UIN Suska Riau)
28. KOTA SINGAPURA: Peran  Aktifitas Dakwah dan Pelaksanaan Haji Di Melayu-Nusantara Pada Abad ke-19

28. KOTA SINGAPURA: Peran Aktifitas Dakwah dan Pelaksanaan Haji Di Melayu-Nusantara Pada Abad ke-19

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

 

Pada akhir dekade abad ke-19 dan awal dekade abad ke-20 Singapura menjadi kota kosmopolitan. Kota ini menjadi pusat kegiatan keilmuan, keagamaan dan dakwahdi kawasan Dunia IslamMelayu-Nusantara kira-kira seabad setelah dibangun/didirikan Thomas Stamford Reffles (1819). Terkait dengan ini, Anthony Reid mengutarakan dengan baik kondisi dan arti penting kota Singapura pada masa itu:

“Singapura menjadi tempat berkumpulnya bukan hanya para calon yang setiap tahun pergi ke Mekah dari wilayah kekuasaan itu, tetapi juga orang-orang yang tidak senang, para petualang dan lain sebagainya, yang, seperti sering ditunjukkan, rela memilih tempat ini sebagai basis (pangkalan) bagi kegiatan-kegiatan atau tindakan-tindakan yang mengganggu kepentingan-kepentingan Belanda di Kepuluan Hindia Belanda ini. Di tempat inilah musuh-musuh pemerintah Belanda dapat bertemu, dan kadang-kadang menyusun seruan-seruan kepada Turki, dengan jaminan bahwa Pemerintahan Pendudukan Inggris kurang memiliki pengetahuan dan perhatian terhadap apa-apa yang dilakukan oleh mereka.” (Lihat, Anthony Reid, “Pan-Islamisme Abad KesembilanBelas”: 7).

Dari kutipan di atas dengan jelas disebutkan bahwa kota Singapura menjadi pangkalan umat Islam yang akan pergi dan pulang menunaikan ibadah haji. Lebih dari itu –dan ini yang jauh lebih penting seiring munculnya kesadaran keagamaan dan kebangsaan (nasionalisme)– sepulang dari melaksanakan ibadah haji mereka menjadikan kota Singapura sebagai basis dakwan agama dan perjuangan cinta tanah air. Meskipun demikian, pernyataan Anthony Reid tersebut sangat terkesan tendensius, mencurigai dan menyudutkan umat Islam, layaknya mewakili “bahasa-bahasa” penjajah kolonial Belanda.

Pada masa itu banyak ulama-ulama (cendikiawan Muslim) baik yang pulang dari menunaikan ibadah haji, dan terutama yang baru menyelesaikan/menempuh pendidikannya di Mekkah-Madinah dan Mesir bermukim di Singapura. Di kota “Singa” ini meraka melakukan aktivitas-aktivitas keagamaan, termasuk dalam menyuarakan ajaran-ajaran agama lewat penerbitan-penerbitan surat kabar dan majalah atau jurnal dalam bahasa Melayu. Sepertinya, aktifis-aktifis keagamaan sudah memandang perlu keberadaan media penerbitan untuk kepentingan penyebaran pemikiran dan dakwah Islam.

Di kawasan dunia Melayu, menurut William Roff,dalam rentang waktu 65 tahun (dari 1876 sampai menjelang pecahnya Perang Dunia II) terdapat tidak kurang mencapai 147 terbitan. Di antara begitu banyak surat kabar dan majalah Melayu yang sudah eksis sebelum Al-Imam terbit pada tahun 1906, misalnya ada Jawi Peranakan (1876) yang merupakan surat kabar berbahasa Melayu pertama di kawasan ini. Mengikuti Jawi Peranakan, pada 1877 di sana terdapat dua Surat kabar Melayu, yaitu Najumul-Fajr dan Peredaran Al-Shamsu Wal-Qomar.

Kemudian, pada 1888 disana barulah lahir Sekolah Melayu, berikutnya Sri Perak (1893), Tanjung Penagari (1894), Pimpinan Warta (1895), dan Jajahan Melayu (1896). Dalam 1890 saja, telah diterbitkan tiga surat kabar Melayu yakni: Lengkongan Bulan, Bintang Timur dan Cahaya Pulang Pinang. Pada 1901 terdapat satu surat kabar Melayu yang dilaporkan keberadaannya, yaitu Jambangan Warta. Belakangan pada 1904 terdapat dua media yang lahir, yaitu Taman Pengetahuan dan Khazanah al-Ilmu.

Tidak ada bukti yang dapat diusut untuk membuktikan keberadaan tentang surat kabar dan majalah Melayu yang lain pada 1906. Pada tahun itu hanya Al-Imam yang eksis, selain dari Cahaya Pulau Pinang (1900-1908). Akan tetapi,terbitan yang disebut belakangan ini adalah surat kabar harian dan tidak terbit secara periodik. Baik Cahaya Pulau Pinang maupun Al-Imam dalam waktu yang bersamaan masing-masing menghentikan penerbitannya pada 1908.(Lihat, Abu Bakar Hamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society: 1906-1908, Kuala Lumpur: Pustaka Antara, 1991: 17-18; W. R. Roff, Sejarah Surat-Surat Kabar Melayu: 7-11).

Dari sekian banyak surat kabar dan majalah tersebut sebagian besar terbit di Singapura. Ada pertanyaan masih belum terjawab, kenapa sejumlah surat kabar, jurnal/majalah, khususnya jurnal keagamaan diterbitkan di Singapura? Pertanyaan yang lebih mendasar adalah kenapa aktivitas keilmuan dan dakwah Islam berkembangdi sebuah kota koloni Inggris, dan bukannya terbit di negeri-negeri Melayu pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20? Atas pertanyaan ini, terdapat sejumlah kemungkinan jawaban dapat dikemukakan.

Pertama, karena Singapura sebagai sebuah koloni Inggris memberikan peluang bagi masyarakat dengan bebas dan leluasa dalam masalah-masalah keagamaan. Kondisiini berbeda dengan di negeri-negeri Melayu dimana urusan keagamaan merupakan kekuasaan prerogatif tetap dari pemerintahan monarki.

Kedua, Singapura, pada waktu itu, merupakan persinggahan para pedagang dan pelayaran internasional yang lalu-lalang melakukan hubungan dan transaksi. Dengan begitu, menjadikan pulau “singa” itu sebuah “pusat kosmopolitan Dunia Muslim-Melayu di kawasan ini.

Ketiga, para saudagar dan pedagang dermawan membantu baik material maupunmoral terhadap sejumlah penerbitan, khususnya ataspenerbitan majalah Al-Imam yang berkedudukan di Singapura (Abu BakarHamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society: 2-3).

Keempat, pada paroh kedua abad ke-19 masyarakat Melayu-Riau pada khususnya, dan masyarakat “Jawi” Melayu-Nusantara pada umumnya, sebagian besar di antara mereka pergi menunaikan ibadah haji dengan mengambil surat jalan dari dan pulang melalui pintu Singapura.

Bahkan lebih dari awal itu disebutkan bahwa ayah Raja Ali Haji, Raja Ahmad sekembalinya ke Riau dari perjalanan niaganya di Batavia, kapal terakhir dari Singapura sudah berangkat menuju ke tanah Arab. Maka Raja Ahmad tidak dapat mewujudkan niatnya menunaikan ibadah haji menuju ke Tanah Suci pada musim tahun ini, dan dengan terpaksa harus ditundanya pada tahun depan. Akhirnya, pada 1827 Raja Ahmad dan rombongan dapat bertolak menuju ḥaramayn, Mekkah dan Madinah untuk melaksanakan kewajiban rukum Islam yang terakhir. (Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs: 301).

Ada sejumlah alasan, sehingga masyarakat Melayu-Nusantara lebih memilih lewat Singapura sebagai “pintu” keluar dan masuk dalam menunaikan kewajiban ibadah haji. Pertama, sepanjang abad ke-19 pemerintahan Belanda memperlakukan peraturan yang ketat bagi calon jama‘ah haji sebelum berangkat ke Mekkah. Sebuah peraturan dikeluarkan antara tahun 1825-1852 yang menetapkan biaya paspor naik haji yang cukup besar senilai 110 rupiah (Belanda).

Selain itu, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan aturan baru pada tahun 1859 yang mengharuskan setiap calon jama‘ah haji (i) untuk meminta “pas jalan” kepada Bupati tanpa ongkos resmi; (ii) untuk memperoleh sebuah sertifikat dari Bupati yang menerangkan kemampuan finansial membiayai kepulangan mereka dari Mekkah dan para tanggungannya yang ditinggal di kampung halaman; (iii) untuk diuji oleh Bupati –atau orang ditunjuk untuk itu– sepulang dari Mekkah, setelah itu mereka baru diperkenankan memakai gelar “haji” dan pakaian haji. (Lihat, K.A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19 (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 236-237; lihat juga, Anthony Reid, “Pan-Islamisme Abad Kesembilan Belas di Indonesia dan Malaysia”, dalamNico J. G. Kaptein, Kekacauan dan Kerusuhan: Tiga Tulisan tentang Pan-Islamisme di Hindia-Belanda Timur pada Akhir Abad Kesembilan Belas dan Awal abad Kedua Puluh, Seri INIS XLII (Leiden-Jakarta: INIS, 2003, 7).

Karenanya, atas perlakuan tersebut calon jema’ah haji lebih memilih lewat Singapura sebab pemerintahan Inggris tidak memberlakukan syarat-syarat yang ketat, sebagaimana diterapkan pemerintahan Hindia Belanda (W.R. Roff, The Origin of Malay Nationalism: 38). Meskipun belakangan kebijakan biaya paspor yang mahal diralat oleh pemerintahan Hindia Belanda dengan biaya paspor yang wajar atas permintaan perusahaan Perkapalan Kerajaan Belanda (KPM) demi melipatgandakan jumlah penumpang kapal. (Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, 67).

Kedua, pemerintahan Hindia Belanda melakukan pemeriksaan terhadap jama‘ah sepulang mereka menunaikan ibadah haji. Pemerintahan Belanda menaruh curiga kepada jama’ah haji kalau mereka mendapatkan pengaruh sosial dan politik. Selain itu pemerintah kolonial Belanda khawatir kalau orang-orang yang baru menunaikan ibadah hajiitu melakukan tindakan subversif di wilayah mereka masing-masing sepulang menunaikan ibadah haji (K. A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia, 234-243).

Ketiga, pemerintahan Hindia Belanda tetap tidak membentuk konsulat di Jeddah hingga tahun 1872, meskipun calon jama’ah haji dari Melayu-Nusantara (Hindia Belanda) dalam jumlah yang besar tinggal dan melalui Hijaz. Melihat jumlah calon jama‘ah haji yang demikian besar, seyogyanya pemerintah Hindia Belanda memberikan kemudahan dan bantuan dengan membuka konsulat di Jeddah. Konsulat ini idealnya mempunyai tugas, yaitu memberikan kemudahan dan bantuan atas pengaduan jama‘ah berbagai masalah yang dihadapi, misalnya pengaduan tentang perlakuan pegawai Mekah, perusahan kapal, atau terjadi perampokan perjalanan antara Jeddah dan Mekkah dengan harapan dapat memperoleh uang dari konsulat itu.

Akan tetapi, pada kenyataannya konsulat tidak dapat memberikan bantuan maksimal, selain faktor teknis, seperti pegawai konsulat tidak menguasai bahasa Arab dan Indonesia. Parahnya lagi, menurut Steenbrink, “…sejarah Konsulat Belanda di Jeddah ini merupakan kumpulan peristiwa yang cukup menyedihkan. Ada konsul yang sangat korup, yang mencari uang dengan visa dan yang bekerja sama dengan agen perusahan pelayaran untuk menambah gaji mereka (K.A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia, 234-243).

Keempat, perusahaan kapal laut Belanda tidak satupun mengambil peran dalam memberangkatkan calon jama‘ah haji Melayu-Nusantara ke Mekkah hingga akhir abad tersebut. Sungguh-pun sikap resmi pemerintah Belanda berubah pada 1889 dengan diangkatnya C. Snouck Hurgronje sebagai penasehat atas urusan Penduduk Pribumi dan Arab, tetapi kebijakan itu dibatalkan sebelum 1902, sehingga satu dekade abad ke-20 calon jemaah haji Melayu-Nusantara tetap berangkat melalui Singapura. Pada tahun 1900, misalnya terdapat 14.000 orang yang menunaikan ibdah haji lewat Singapura, 70 % dari mereka menumpang kapal-kapal Inggris (Sharon Siddique, “Posisi Islam di Singapura”, dalam Taufik Abdullah dan Sharon Siddique, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES, 1988: 396).

Pada dekade awal abad ke-20 jumlah jama’ah haji berasal dari Asia Tenggara semakin bertambah banyak seiring meningkatnya kondisi ekonomi dan kesadaran religiusitas masyarakat di kawasan ini. Angka jama‘ah haji, khususnya Melayu-Nusantara (Netherlands India) selalu meningkat dari tahun ke tahun, misalnya 28.000 orang jama‘ah pada 1913/1914; 40.000 jama‘ah dalam tahun 1923/1924; dan 52.000 jama‘ah pada 1926/1927.

Jama‘ah haji asal Melayu-Nusantara (Netherlands India) mencapai puncaknya pada 1920-an, dan merupakan sepertiga jumlah dari umat Islam di seluruh dunia yang menunaikan ibadah haji. (Lihat, Jacob Vredenbregt, “Haddj. Some of Its Features and functions in Indonesia”, dalam BKI, 118, 1 (1962), 92-94. Data lain tentangjama‘ah haji Melayu-Nusantara dari tahun ketahun (1879-1939), lihat, H. Aqib Suminto, Islam di Indonesia: Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1986), 222-223, khususnya pada “Lampiran V”).

Beberapa tahun sebelumnya data statistik Pemerintahan Belanda menyebutkan bahwa antara tahun 1911-1914 jama‘ah haji Indonesia mencapai 50 persen dari total jemaah haji dari seluruh penjuru dunia (Lihat, ZamakhsyariDhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, 2011: 67). Dengan kenyataan ini wajar kalau orang-orang Melayu, menurut Wilkinson, mengklaim bahwa mereka lebih banyak mengirim jama‘ah haji ke Mekkah, ketimbang umat Islam dari berbagainegara, seperti India, Persia dan Turki. (Virginia Matheson dan A.C. Milner, “Tuhfat al-Nafis: The Precious Gift”: 38).

Untuk kawasan Melayu-Riau, terutama yang berdomisili di Pulau Penyengat, menurut penelitian Barnard, sebagian besar masyarakat elitnya, baik keturunan Melayu maupun Bugis, sudah menunaikan ibadah haji pada 1900-an (Timothy P. Barnard, “Taman Penghiburan: Entertainments”, 22). Antara 1897 sampai 1914 disebutkanterdapat 939 masyarakat terdaftar telah menunaikan ibadah haji. Dan khusus pada 1926 tercatat ada 111 orang jama‘ah dari Riau menunaikan ibadah haji. (Lihat, Barbara W. Andaya, “From Rum to Tokyo: The Search for Anticolonial Alliesby the Rulers of Riau, 1899-1914”, dalamIndonesia, No. 24 (October), 1977, 139).

Kemudian, dengan kenyataan ini maka di akhir abad ke 19, menurut pengkajian Matheson, Pulau Penyengat dijuluki sebagai “Serambi Mekkah” atau “Pintu Gerbang Mekkah”. Julukan terhadap Pulau Penyengat itu diberikan karena masyarakat yang tinggal di daerah Riau dan wilayah sekitarnya selalu berkunjung (pamitan dengan saudara/kerabatnya yang masih hidup dan menziarahi makan saudara/kerabatnya di Pulau Penyengat. Dan tidak terkecuali mereka juga menziarahi makam-makam tertentu, seperti makam Raja Haji–kakek Raja Ali Haji– yang dikeramatkan, makan Raja Hamidah Engku Putri, serta makam Shaykh/ulama, khususnya makam ulama Shaykh Abdul Wahab di Pulau Penyengat menjelang keberangkatan mereka menunaikan ibadah haji ke tanah suci, Mekkah (Virginia Matheson, “Pulau Penyengat: Nineteenth Century”: 163).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh

*Alimuddin Hassan Palawa,
(Diektur &Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau)
27. MAJALAH AL-IMĀM: Meneroka Peran Intelektual Melayu-Riau

27. MAJALAH AL-IMĀM: Meneroka Peran Intelektual Melayu-Riau

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

 

Taufik Abdullah, “bertitah” lewat pertanyaan retoriknya: “… Bagaimanakah akan dipahami gerakan reformasi agama di Sumatra Barat, umpamanya, kalau penerbitan majalah Al-Imām di Singapura tidak diperhitungkan.” (Taufik Abdullah, “Pengantar”, dalam Azyumadi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000: xiv).Pernyataan “kampiun” sejarawan Indonesia (dan Asia Tenggara) ini sekedar memberi contoh dari berbagai “gejala historis” dalam rangka memahami suatu kawasan, misalnya dalam konteks ini gejala historis di kawasan Minangkabau dikaitkan dengan peran dan pengaruh majalah al-Imām yang terbit di Singapura.

Majalah Al-Imām memang terbit hanya dua tahun (1906-1908), tetapi pengaruhnya sedemikian luas, sehingga majalah Al-Imām mempunyai peranan penting untuk melihat kesinambungan geneologi pembaharuan intelektual-keagamaan di Indonesia. Sedemikian besar fungsi dan peran yang telah diukir oleh jurnal Al-Imām dalam melancarkan gerakan pembaharuan. Dan tersebab itu, jurnal ini kadang disebutkan juga “Jurnal Pembaharuan”, khususnya dalam bidang keagamaan di Alam Melayu, sampai-sampai sejarahwan senior yang sangat otoritatif mengajukan pertanyaan retorik, sebagimana dikutip di awal tulisan ini.

Pernyataan Taufik Abdullah itu memang benar karena Minangkabau termasuk kawasan yang paling banyak mendapat “mamfaat” dan “keuntungan” dari penerbitan majalah Al-Imam itu. Untuk melihat peran dan pengaruh majalah Al-Imām terhadap kawasan Minangkabau, sekurang-kurangnya, ada dua realitas historis.

Pertama, pada tataran konseptual, Azra menyebutkan dengan memberikan kesaksian dari Buya Hamka bahwa majalah al-Imām telah “memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap pemikiran pembaharuan” Kaum Muda di Minangkabau.

Kedua, pada tataran praktis, ketika tidak lagi terbit, Azra menyebutkan bahwa majalah Al-Imam telah mendorong secara langsung bagi Kaum Muda di Minangkabau, khususnya Haji Abdullah Ahmad untuk mendirikan jurnal yang “berhaluan” sama dengan Al-Imām, yaitu majalah Al-Munīr. Raja Abdullah Ahmad sendiri mempelajari dengan seksama berbagai hal berkaitan dengan penerbitan, manajeman dan editorialnya, sebelum ia menerbitkan jurnal Al-Munīr di Padang pada 1 Rabi‘ al-Akhir 1329 bersamaan dengan 1 April 191. (Lihat, Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, 195-197).

Di kawasan dunia Melayu secara umum, menurut William Roff,dalam rentang waktu 65 tahun (dari 1876 sampai menjelang pecahnya Perang Dunia II) terdapat tidak kurang mencapai 147 terbitan. (W.R. Roff, Sejarah Surat-Surat Kabar Melayu, Pulau Pinang: Saudara Sinaran,1967: 8). Dari sekian banyak surat kabar dan majalah tersebut sebagian besar terbit di Singapura. Di antara terbitan paling gencar menyurakan gerakan dan pemikiran pembaharuan Islam demi kebangkitan masyarakat Islam di Alam Melayu dari kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangannya dari bangsa-bangsa lain adalah majalah “Pembaharu” Al-Imām.

Kehadiran majalah Al-Imām, menurut Roff, merupakan titik penting bagi jurnalisme Melayu. Bahkan kehadiran majalah al-Imam telah memberikan “angin segar” –dan bahkan mungkin sekaligus telah memberikan suntikan “darah segar”– bagi gerakan persuratan intelektual pada umumnya, dan pembaharuan pemikiran keagamaan pada khusus di kawasan Melayu-Nusantara. Kelahiran majalah Al-Imām dengan misi dan visi pembaharuannya sangat ditentukan oleh author intellectual-nya, yaitu Shaykh Taher Jalaluddin dan sejumlah pengelolanya yang pernah bersentuhan langsung dengan pembaharuan pemikiran Muhammad Abduh.

Belakangan, pengaruh pembaharuan pemikiran Muhammad Abduh mengkristal bersama-sama dengan Rashid Ridha lewat penerbitan majalah Al-Manar. Karenanya, pengelola majalahAl-Imām kerap kali mengutip pemikiran pembaharuan keagamaan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha serta memuat beberapa tulisan yang berasal dari majalah Al-Manar. Majalah Al-Imām, menurut William Roff, memang sangat mirip dengan jurnal al-Manār yang diterbitkan oleh Rashid Ridha di Kairo pada 1989. (Lihat, William Roff, Origin of Malay Nasionalism (New Haven: Yale University Press, 1967: 59).

Tanpa bermaksud menafi’kan peran pendiri dan pengelola serta menyokong dana peneribitan majalah Al-Imam, utamanya Shaykh Taher Jalaluddin, Shaykh Muhammad bin Salim dan Haji Abbas bin Muhammad Taha, tulisan singkat ini hanya menyorot –dan itupun selayang pandang–peran signifikan dan menentukan telah diberikan oleh Raja Ali Kelana, Raja Khalid Hitam dan Syed Shaykh Ahmad al-Hadi.Ketiga figur-figur intelektual Melayu-Riau ini telah memberikan konstribusi bagi kelangsungan penerbitan majalah Al-Imām dalam berbagai bentuk. Mereka telah mangambil peran sebagai pengelola, penyumbang tulisan dan penyandang dana bagi kelangsungan penerbit majalah tersebut.

Pertama, mereka bertiga menjadi pemasok tulisan-tulisan yang cukup produktif bagi majalah “pembaharu” di alam Melayu. Khusus Syed Shaykh Ahmad al-Hadi, seperti ungkap Roff dari wawancaranya dengan Hamdan bin Shaykh Tahir, selain sangat produktif, tulisan-tulisannya sangat tajam, dan kritiknya begitu pedas guna menyadarkan dan membangkitkan masyarakat Melayu dari kebodohan, keterbelangan, dan kemiskinan. (Lihat, W. R. Roff, Sejarah Surat-Surat Kabar Melayu, 60-61).

Kedua, Raja Ali bin Raja Muhammad Yusuf Ahmadi, (calon YDM XI, sehingga ia lebih dikenal dengan nama Raja Ali Kelana) menjadi penyokongan finansial demi kelangsungan penerbitan majalah Al-Imām. Sampai-sampai ada yang menyatakan bahwa “…Al-Imām tidak mungkin diterbitkan tanpa sokongan keuangan yang kuat dari Raja Ali Ahmadi, seorang anggota keluarga kesultanan Riau-Lingga.” (Lihat, Abu Bakar Hamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society, 19). Bantuan finansial Raja Ali Kelana sangat signifikan ini semakin mengukuhkan hubungan baik para pendiri dan pengelola jurnal Al-Imām denganya secara pribadi dan dengan keluarga istana yang terjalin sebelumnya. Dengan begitu, jurnal Al-Imām, seperti diungkapkan Snouck Hurgronje, menjadi “tempat yang cocok bagi Raja Ali dan para penasehatnya untuk mengungkapkan keinginan dan keluhan mereka.” (Lihat, Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, 191).

Ketiga, khusus Syed Shaykh Ahmad al-Hadi,bersama-sama dengan Shaykh Muhammad Tahir Jalaluddin, Shaykh Muhammad bin Salim dan Haji Abbas bin Muhammad Taha, menjadi pendiri dan sekaligus pengelola utama majalah Al-Imām yang (hanya) terbit selama dua tahun (1906-1908).Untuk peran keempat pengelola Al-Imām ini telah dikaji oleh W.R. Roff, Azyumardi Azram dan Abu Bakar Hamzah. (Lihat W. R. Roff, Sejarah Surat-Surat Kabar Melayu, 56-67; lihat juga, Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, Bandung: Mizan, 2002:, 186-197; Abu Bakar Hamzah, Al-Imam: Its Role in Malay Society 1906-1908, Kuala Lumpur: Pustaka Antara, 1991: 115-138).

Selain ketiga tokoh intelektual Melayu-Riau tersebut di atas, Tengku Usman, putra Sultan Abdul Rahman yang pernah menempuh pendidikan di Mesir, tulisannya –semula merupakan teks pidatonya yang dibuat dengan maksud untuk mengkritik kebijakan sultan dalam mengelola kerajaan yang disampaikan dalam pertemuan di Rusydiah Klab– dimuat secara “verbatim” dalam jurnal Al-Imām terbitan November 1906. (Lihat, Andaya, “From Rum to Tokyo: The Search for Anticolonial Alliesby the Rulers of Riau, 1899-1914”, 140; Hasan Junus, Raja Ali Haji Budayawan, 224).

Menurut Za’ba, Syed Al-Hadi selain menjadi penulis, iajuga bertindak sebagai penyunting artikel-artikel yang akan diterbitkan dalam majalah itu. Ia kadang-kadang pula turun tangan dalam membantu manajemen majalah Al-Imām. (Lihat, Za’ba “Modern Development in Malay Literature”, dalam JMBRAS, Vol. XVIII, Part. 3, 1940: 155). Bahkan nomenklatur “Al-Imām” untuk nama majalah itu, menurut Talib Samad, diberikan/diusulkan Syed Shaykh Ahmad al-Hadi.

Konon, Syed Al-Hadi memberi nama “Al-Imām” yang berarti “Pemimpin” bagi majalah itu sebenarnya terilhami dari gelar yang telah disandang oleh “Bapak Pembaharuan Islam”, al-Ustādh al-Imām al-Shaykh Muḥammad Abduh yang dinisbatkan oleh murid-murid dan pengikut-pengikut setianya. (Talib Samat, Syed Shaykh Al-Hadi: Sastrawan Progresif Melayu, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992: 13). Sanjungan dengan penyebutan “al-Ustâdh al-Imâm” bagi Muahmmad Abduh diberikan murid-muridnya, khususnya oleh Sayyid Rashid Riḍa. (Lihat, Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1997: 60). Meskipun begitu, dalam editorial terbitan pertamanya tiada menyebutkan kalau nama jurnal Al-Imam diasosiasikan kepada Shaykh Muhammad Abduh.

Editorial penerbitan Al-Imam kali pertama menjelaskan bahwa term “al-Imam” mempunyai beberapa arti dalam bahasa Arab, salah satu antaranya adalah “untuk memimpin kebaikan.” Kata “Al-Imām” (Pemimpin) terdiri dari akar kata: “AMN”. Menurut Fathul al-Rahman, sebuah indeks Kitab Suci al-Quran yang masyhur, kata “al-Imām” tidak kurang dari 118 kali disebut al-Qur’an dalam kesempatan yang berbeda, masing-masing mempuyai hubungan dengan “Pemimpin”, “Teladan” dan “Buku Induk”.

Dalam editorial itu dijelaskan bahwa alasan untuk memilih nama “Al-Imām” ini adalah berkaitan dengan antisipasi mereka untuk suatu yang baik agar tidak keluar dari sabda Nabi, “Imām (Pemimpin) diciptakan hanya untuk dipatuhi”. Majalah Al-Imām dengan jelas menggunakan ketiga maksud tersebut; halaman depannya memuat dua ayat al-Quran yang artinya berturut-turut, yaitu: (i) “… dan jadikanlah kami –Ya, Tuhan– teladan bagi orang-orang yang menghindari kejahatan”; (ii) “… dan segala sesuatu kami kumpulkan dalam Buku Induk yang nyata.” (Lihat, Abu BakarHamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society, 20).

Dari penjelasan singkat di atas, nyata benar bahwa ketiga tokoh intelektual Melayu-Riau itu telah memberikan sumbangsih penting dan beragam yang, karenanya, sangat berarti bagi kelangsungan penerbitan majalah Al-Imām. Dan pada akhirnya, lewat jurnal Al-Imām Raja Ali Ahmadi, Syed Sayyid al-Hadi dan Raja Ali Khalid Hitam dan beberapa ilmuan Melayu-Riau lainnya secara langsung telah memainkan peranan dalam menimbulkan kesadaran dan kebangkitan bagi masyarakat di Alam Melayu.

Pembaca majalah bulanan Al-Imām tersebar dan mempengaruhi pembacanya di kawasan Alam Melayu baik Alam Melayu-Inggris, seperti Johor, Perak dan Pahang maupun Alam Melayu-Hindia Belanda, seperti kawasan Sumatra, khususnya Riau dan Minangkabau; kawasan Jawa dengan agen-agennya di Jakarta, Cianjur, Semarang dan Surabaya); kawasan Kalimantan dengan agen-agennya di Pontianak, Sambas; dan kawasan Sulawesi, khususnya Makassar/Ujung Pandang. (Lihat, Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942: 42).

Dalam menghadapi latar belakang masyarakat Melayu yang masih tradisional dan berorientasi konservatif, majalah ini menyuarakan spirit pembaharuan pemikiran Islam. Syed Sayyid al-Hadi, sekedar contoh, termasuk kontibutur paling produktif menulis dalam Al-Imām, menekankan urgensi pendidikan dan pembaharuan serta menyerukan kepada masyarakat Melayu untuk membuang praktek-praktek tidak Islami (bid’ah dan khurafat) dalam kehidupan sehari-hari. (Lihat, Hussin Mutalib, Islam dan Etnisitas: Perspektif Politik Melayu, 31).

Ihwal majalah Al-Imām Roff menyatakan bahwa “Arti penting Al-Imām di Malaya, sebagai sebuah jurnal berpengaruh, saya pikir, dapat dinilai sangat tinggi.” Selanjutnya, Roff menyebutkan: “Prihal banyak sedikitnya oplahnya memang masih problematik, tetapi relatif kecil…. Walaupun mempunyai audiens terbatas, ia menjadi pegangan bagi guru agama di Madrasah madrasah dan pondok, di mana pendapatnya tentang masalah-masalah seperti memakai pakaian gaya Eropa, bayaran uang untuk doa penguburan, mengambil bunga uang simpanan di Bank dan latihan-latihan tertentu yang dinisbatkan dengan sufisme Naqsyabandiah menimbulkan cukup banyak kontroversi.” (Lihat, Lihat, Abu Bakar Hamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society, 11).

Demi menjadi “corong” pembaharuan pemikiran di Alam Melayu pengelola Al-Imām telah membagi-bagikan jurnalnya tanpa harus memungut biaya kepada semua Madrasah Agama di Malaya yang tidak mendapat bantuan dari Pemerintahnya. Bahkan pengelola Al-Imām mengundang orang-orang yang tertarik membaca jurnalnya, tetapi tidak mampu untuk membayar, menulis dengan bebas menyalin jurnal itu. (Lihat, Abu Bakar Hamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society, 18-19).

Sementara untuk biaya penerbitanya, pengelola menjual majalah itu secara komersial kepada pembacanya. Bahkan jurnal Al-Imām ada kalanya kesulitan keuangan, sehingga harus mendapat sokongan dana, misalnya dari Raja Ali Kelana, seperti telah disebutkan sebelumnya. Pada lain waktu, untuk kelangsungan penerbitannya Al-Imāmacapkali mendapatkan bantuan keuangan dari Shaykh Salim al-Khalali seorang saudagar yang seringkali bolak-balik dari Singapura ke Cirebon. Bahkan setelah dilakukan reorganisasi, situasi keuangan Al-Imām masih belum begitu jelas. Pada 1908 organisasi kembali memerlukan pertolongan Shaykh Salim al-Khalali, khususnya bantuan dari Muhammad Syekh ‘Aqildan Haji Abbas bin Mohd. TahasebagaiDirekturUtamadan Pemimpin Editor secaraberturut-turut. (Lihat, Abu Bakar Hamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society, 19).

Sayang sekali majalah “pembaharuan”, Al-Imāmini hanya mampu bertahan selama dua tahun, disinyalir karena kekurangan dan kesulitan pendanaan. Dalam sebuah tesis yang ditulis pada 1961 berjudul “The Life and Time Syekh Syed Al-Hadi” S.H. Tan menyimpulkan mengenai penghentian penerbitan Al-Imām,“sangat mungkin berutang untuk membayar kekurangan dana….” Pendapat yang sama dikemukan Abdul Aziz bin Mat Tom dalam Tesis-nya, “Gerakan Ansarul Sunnah Dalam Kegiatan Kaum Muda Malaka”, sependapat dengan penelitian sebelumnya, menyatakan bahwa sampai sejauh ini tidak ada alasan untuk penghentian penerbitan jurnal Al-Imam selain dari masalah keuangan. (Lihat, Abu Bakar Hamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society, 7).

Meskipun hanya mampu bertahan dua tahun, tetapi majalah al-Imam telah memainkan peran penting dengan berusaha mewujudkan maksud dan tujuan keberadaan (penerbitan)nya, sebagai berikut: 1. Mengingatkan mereka yang lupa; 2. Membangkitkan mereka yang terlelap tidur; 3. Membimbing mereka yang sesat; 4. Memberikan dukungan kepada mereka agar berbicara bijak; 5. Mengajak kaum Muslim untuk berusaha sungguh-sungguh agar hidup sesuai dengan perintah Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa; 6. Agar mereka meraih kebahagian yang hakiki dalam kehidupan di dunia ini dan memperoleh ridha Allah di akhirat kelak. (Lihat, Abu Bakar Hamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society: 28-29). Dan Yang pasti majalah Al-Imam telah perperan menyurakan secara gencar gerakan dan pembaharuan pemikiran Islam dari kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangandemi kebangkitan masyarakat Islam di Alam Melayu.

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb,
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illā bi Allāh.

*Alimuddin Hassan Palawa,
(Direktur &Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies) UIN Suska Riau.
26. PRESTISE, NO; PRESTASI, YES: Labora Ergo Sum (Saya Beramal, Maka Saya Ada)

26. PRESTISE, NO; PRESTASI, YES: Labora Ergo Sum (Saya Beramal, Maka Saya Ada)

Alimuddin Hassan Palawa*

 

Perumpamaan yang tepat untuk menjelasakan slogan “Prestise, No; Prestasi, Yes”dari judul di atas adalah: “al-i’tibâr fi al-Jâhiliyah bi al-ansâb, wa al-i’tibâr fî al-Islâm bi al-a’mâl” (Penghargaan di masa jahiliyah berdasarkan keturunan [prestise], dan penghargaan di masa Islam berdasarkan hasil kerja [prestasi]. (CN, “IDP”: 560). Lalu, bagaimana dengan praktek penghargaan kita sekarang, apakah “Jahiliyah” atau “Islam”? Apakah Islam tetap inspirasi kita atau Jahiliyah yang menjadi aspirasi kita?

Prinsip penghargaan atas prestasi dalam Islam tercermin dari penetapan penghitungan kalender dalam Islam guna menggatikan perhitungan kalender sebulumnya, Masehi.Momentum peristiwa Hijrah Rasul Allah dari Mekkah dan Madinah ditetapan sebagai titik awal sistem penghitungan kalender Islam. Keputusanini ditetapkan pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, yaitu17 tahun setelah peristiwa hijrah itu sendiri. Momentum hijrah ditetapkan sebagai titik awal kelender Islam adalah atas saran/usul dari Ali bin AbiThalib. Usul/saran yang tidak saja cerdas ini, tetapi tepat dan memiliki makna enssensi-simbolik dibandingkan dengan usulan-usulan lainnya.

Sebelum pilihan dan keputusan jatuh pada peristiwa hijrah –momen perpindahan Rasul Allah dari Mekkah ke Madinah– di kalangan sahabat utama mengesulkan bahwa awal penanggalan (kelender) dalam Islam sebaiknya berdasarkan dari peristiwa-peristiwa penting pada diri Nabi Muhammad saw. Misalanya, ada sahabat yang mengusulkan penanggalan Islam sebaiknya di mulai dengan merujuk pada hari kelahiran Nabi Muhammad (maulid); sahabat lain mengemukakan seharusnya pada hari diangkatnya Nabi Mahammad jadi Rasul Allah (al-ba’tsah); dan ada pula sahabat yang menyarankan dengan mendasarkan pada peristiwa penting, yaitu hari pembebasan kota Mekkah (Fath Makkah).

Namun, pada akhirnya pilihan dan keputusan Khalifah Umar bin Khattab jatuh pada peristiwa hijrah dengan argumentasi yang logis.
Khalifah Umar bin Khattab tidak memilih hari kelahiran karena Muhammad yang masih bayi, tentu saja tidak/belum bisa berbuat apa-apa, sehingga atas dasar pertimbangan prestasi,karenanya, terolak dengan sendirinya. Sementara peristiwa diangkatnya jadi Rasul (al-ba’tsah), Nabi Muhammad saw. baru saja memulai risalah al-nubuwwah, sehingga tidak/belum menampakan usaha dan hasil yang menggembiran. Begitu pula, peristiwa pembebasan kota Mekkah (Fath Makkah) merupakan satu titik penting dalam sejarah Islam, tetapi dapat dipastikan tidak akan pernah terjadi, tanpa didahulu adanya memontum sejarah penting, yaitu hijrah yang telah dilakukan oleh Rasul Allah.

Dari gambaran singkat sejarah penentuan dan keputusan titik awal kalender Islam, jelas menunjukkan dominasi persetasi mengatasi prestise. Artinya, keputusan menjadikan pristiwa hijrah sebagai awal kelender dalam lslam lebih didasarkan pada inspirasi Islam (prestasi-amal) ketimbang aspirasi jahiliyah (berdasarkan prestise-keturunan).Sikap dan padangan sahabat Rasul Allah, khususnya Ali bin Ab Thalib dan Khalifah Umar bin Khattab itu telah memberi contoh dan pelajaran dengan menjadi bahwa amal dan prastasi sebagai ukuran eksistensial manusia.

Dalam pandangan Nurcholish Madjid, oleh karenanya, Islam tidak terlalu menekankan prinsip “cogito ergo sum” (aku berpikir, maka aku ada), sebagimana dianut oleh filosuf rasionalis, Rene Descartes [bapak filosuf modern Barat]. (Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, 418). Begitu pula, konsep Islam tentang eksistensi manusia tidak sama dengan, menurut Ali Syariati, misalnya pernyataan Andre Gide [intelektual Prancis, 1869-1951], “Saya merasa, maka saya ada”; dan ungkapan Albert Camus [intelektual Prancis, 1913-1960], “Saya memberontak, maka saya ada.”(Charles Kurzman [ed.]Wacana Islam Liberal: 303).

Namun, konsep Islam tentang esensi eksistensi manusia adalah menganut prinsip “labora ergo sum” (Saya beramal, maka saya ada). Dengan kata lain, dalam Islam esensi ukuran dan bentuk keberadaan (mode of existence) seseorang lebih ditentukan oleh amal-perbuatannya. (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, 418). Jadi keberadaan manusia bukan diukur dari yang lainnya, semisal ilmu (meskipun amal yang akan dilakukan meniscayakan adanya ilmu sebelumnya), dan bukan pula iman (meskipun amal dan ilmu meniscayakan landasan keimanan sebelumnya).

Artinya, kendatipun dalam Islam antara amal, ilmu dan iman tidak dapat dipisahkan, tetapi amal tetap menjadi “ukuran real” keberadaan manusia di dunia ini. Kalau iman dan ilmu saja tidak menjadi “ukuran real” keberadaan manusia, apalagi yang lainya, misalnya wajah dan harta serta kekuasaan. Rasul Allah saw. bersabda: “Inna Allah lā yanẓuru ilā ṣuwarikum wa amwālikum wa lakin yanẓuru ilā qulūbikum wa a‘mālikum” (Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk luarmu dan bukan pula hartamu, tetapi Allah melihat hatimu dan amal perbuatanmu). (H.R. Muslim dari Abu Hurairah).

Begitu pula, Allah mengegaskan bahwa kemulian seseorang itu adalah berdasarkan ketakwaannya, yakni “Inna akramakum ‘inda Allah atqakum” (Q.s. al-Hujurat [49]: 13). Dan defenisi takwa itu, sebagaimana secara lumrah disampaikan khatib di mimbar-mimbar khutbah Jum’at, adalah menjalankan apa yang diperintahkan Allah, dan meninggalkan apa yang dilarang Allah. Artinya, “menjalankan” dan “meninggalkan” adalah kata kerja yang harus diaplikasi dalam amal-perbuatan. Jadi, semakin tertegaskan bahwa amal lah yang menjadi ukuran essensi eksistensi manusia di dunia ini.

Kemudian, esensi eksistensi semacam itu ditegaskan dalam ajaran Islam bahwa manusia hanya mendapatkan sesuatu yang diusahakan. Allah berirman: “Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah danRasul-Nya serta orang-orang Mukmin akan melihat pekerjaanmu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Maha Mengetahhui yang gaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S. At-Taubah [9]: 105).

Pada lain tempat, Allah menyatakan dalam al-Qur’an bahwa manusia hanya akan memperoleh balasan apa yang telah diusahakannya. Dengan ungkapan berbeda bahwa manusia tidak akan mendapat pahala selain pahala amal yang telah dikerjakannya. Dan apapun amal ibadah yang telah diperbuat oleh manusia Allah akan memperlihatkannya, dan akan dibalas amal ibadah tersebut dengan balasan yang setimpal. (Q.s. al-Najm [53]: 39-42).

Padabagianlain, Allah berfirman: “Sesungguhnya kamu hanya diberi belasan menurut apa yang kamu kerjakan.”(Q.s. al-Taḥrīm [66]: 7). Begitu pula, balasan kedurhakaan; dan/atau azab yang ditimpakan kepada manusia hanya didasrkan atas perbuatannya. (Q.s. al-An’am [6]: 146; dan Q.s. Saba’ [34]: 17). Artinya, kebahagian (surga) dan kesengsaraan (neraka) manusia kelak di akhirat sangat tergantung dengan amal ibadah yang telah dilakukan di dunia saat ini.

Dalam pada itu, kalau seseorang berbuat baik berarti ia berbuat baik bagi dirinya sendiri, dan kalau berbuat jahat berarti ia telah berbuat jahat bagi dirinya sendiri.(Q.s. al-Isra’[17]: 7; dan al-Jāthiyah [45]: 15). Seseorang yang mengerjakan amal baik akan mendapat sebutan/nama terpuji (pahala) dan pada gilirannya memperoleh imbalan yang baik pula. Sebaliknya, seorang beramal jahat akan mendapat sebutan/nama terhina (dosa), dan pada gilirannya mendapat balasan yang jelek pula. (Q.s. Fuṣṣilat [41]: 46).

Perbuatan baik dan buruk itu akan dituai manusia tidak saja di dunia ini, tetapi terlebih-lebih di akhirat, kelak. Karenanya, Rasul Allah menegaskan bahwa “Aktsar al-nâs yadkhulûna ila al-jannah hiya taqwa wa husnul kuluq” (yang paling banyak memasukkan manusia di surga adalah takwa dan budi pekerti luhur). Lagi-lagi, takwa itu baru akan “tampak” (secara kasat mata) kalau diimplementasi dalam wujud amal perbuatan. Begitu pula, budi pekerti luhur meniscayakan pengejawantahan dalam kehidupan sehari-hari. Makanya budi pekerti luhur Rasul Allah yang agung dapat diteladani disebabkan telah manjadi inhairen dalam kehidupannya.

Hebatnya lagi, “Kâna khulquhû al-Qur’ân” (akhlak Rasul Allah adalah al-Qur’an) (HR. Muslim) sebagai jawaban dari Aisyah ketika ditanya oleh Sa’d bin Hisyam bin Amir, “apakah akhlak Rasul Allah”. Artinya, kehidupan Rasu Allah merupakan pengejawantahan nyata dari pesan-pesan al-Qur’an sebagai hudan li al-nâs (petunjuk bagi manusia).Karenanya, dalam konteks ini tidak berlebihan kalau ada yang mengakatan lebih tegas lagi bahwa Rasul Allah adalah al-Qur’an yang “berjalan”.

Dalam doktirn Islam bahwa penyempurnaan akhlak menjadi alasan utama misi keberadaan nabi-nabi, khususnya Nabi Muhammad saw. kepada umat manusia. Hadith Rasul Allah saw.: “Innamâ bu‘ithtu li utammima makârimah al-akhlâq” (Sesungguhnya saya diutus hanyalah untuk menyempurnaan budi-pekerti yang mulia).Sebelumnya Allah sendiri telah memproklamirkan bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad saw. patut dijadikan uswah al-hasanah sebab pada dirinya terdapat akhlak yang mulia dan agung, yaitu “Inna la’ala khuluqin ashim.” (Q.s. Qalam [68]: 4). Artinya, baik hadis maupun ayat ini secara langsung menekankan arti penting akhlak yang diwujudkan dalam amal shaleh.

Dalam konteks melakukan amal-perbuatan, manusia adalah makhuk merdeka yang dapat menentukan sendiri pilihannya, apakah: terpuji atau terhina. Dengan ungkapan lain, manusia memiliki kebebasan untuk memilih dua jalan yang telah ditentukan Allah: “Wa hadaynâhu al-najdayn” (Dan Kami telah tetapkan kepadanya dua jalan). (Q.s. al-Balad [90]: 10).Artinya, manusia sendirilah yang menentukan: apakah memilih “fujûrahâ” (kalau berbuat jahat ia akan dihina); atau “taqwâhâ” (kalau berbuat baik ia akan dipuja).Dengan kata lain, jalan menuju dosa atau jalan menuju pahala adalah pilihan yang ditandai dengan amal, yaitu amal baik dan buruk.

Terkait langsung dengan hal tersebut, dalam“Syair Nasehat” yang menjadi “epilog” dalam Thamarāt al-Muhimmah, Raja Ali Haji menyebutkan dengan bahasa puitis:

Jalan kehidupan ditunjukkan
Berkebun berladang disukakan
Berbuat baik dipujakan
Berbuat jahat dihinakan.

Untuk itu, dalam menjaga/memelihara nama baik, menurut Raja Ali Haji, sama pentingnya memelihara dan perpegang teguh pada agama. Sekali lagi, memelihara “nama baik” dan “agama” yang jalin berkelinda di sini –jika dan hanya jika– mutlak diwujudkan dalam amal-perbuatan. Dengan kata lain, orang yang memegang teguh agama berarti orang bersangkutan telah mengukir nama baiknya (kemuliaan). Sebaliknya, orang yang tidak berpegang pada agama, maka telah mengukuhkan nama buruknya (kehinaan). Dalam Gurindam Duabelas Raja Ali Haji menuturkan dengan indahnya:

Barangsiapa tiada memegang agama
sekali-kali tiada boleh dibilang nama.

Dalam pandangan Raja Ali Haji memelihara agama dan nama (baik) sangat penting dan utama. Walau kita dalam kemiskinan dan menjadi rakyat biasa, menurut pengakuan Raja Ali Haji, tidak masalah, asalkan kita mampu memelihara agama dan nama (baik). Sebaliknya, kalau kita tidak bisa memelihara kedua itu maka tidak ada gunanya kita berumur panjang. Karenanya, ia tandaskan, kita sama saja dengan binatang. Hal ini ditulis Raja Ali Haji dalam suratnya kepada sahabat berkekalannya, Von de Wall, bunyinya:

“Syahdan yang kita pegang selama2 ini, biaralah kita jadi orang miskin atau jadi orang kecil asal jangan kita cacat kepada agama dan nama. Karena apabila orang2 tiada memelihara yang dua perkara itu, tiada guna panjang umur di dunia karena sama juga dengan binatang.” (Puttendan Al-Azhar, Di Dalam Berkekalan Persahabatan, 43).

Umur panjang tiada artinya, demikian ungkap Raja Ali Haji, kalau tanpa menorehkan nama baik lewat prestasi dan amal saleh. Dengan melakukan amal saleh yang bermamfaat bagi sesama manusia, maka sepeninggalannya (setelah wafat) ia akan dikenang oleh orang lain karena (jasa) nama baiknya, seperti kata pribahasa “manusia mati meninggalkan nama”.

Sebaliknya, manusia yang tidak melakukan amal saleh dan tidak memelihara nama baiknya, menurut Raja Ali Haji, berdasarkan kutipan di atas, kedudukannya sama dengan binatang. Bahkan dalam kondisi tertentu, ketika manusia tidak mempergunakan potensi yang dimiliki, seperti panca indera, akal dan hati, al-Qur’an memandangnya “balhum aḍal ” (bahkan lebih sesat). Manusia semacam ini jauh lebih rendah dan hina daripada binatang. Untuk itu, manusia yang lalai semacam ini menjadi menghuni utama neraka jahannam. (Q.s. al-A‘rāf [7]: 179).

Sementara itu, bukankah binatang “dikenang” (dibutuhkan orang) karena sesuatu yang bermanfaat dan berguna pada binatang untuk keperluan manusia. Firman Allah “Dan (ada lagi) manfaat-manfaat yang lain pada binatang ternak itu untuk kamu [air susunya, kulitnya, bulunya dan sebagainya] dan supaya kamu mencapai suatu keperluan yang tersimpan dalam hati dengan mengendarainya. dan kamu dapat diangkut dengan mengendarai binatang-binatang itu dan dengan mengendarai bahtera.” (Q.s. al-Mu’min [40]: 80).

Kegunaan binatang itu, misalnya, kulit untuk harimau dan gading untuk gajah, sebagaimana ungkapan pribahasa: “harimau mati meninggalkan belang” atau “gajah mati meninggalkan gading”. Harimau diperlukan orang karena kulit belangnya yang bermanfaat; dan gajah dibutuhkan orang sebab gadingnya yang berguna.Lalu, kalau manusia sudah meninggal, seyogyanya dikenang oleh sesamanya lantaran jasa baikatau amal shalehnya. Karenanya, manusia yang paling baik adalah yang (paling) bermamfaat bagi manusia (khayr al-nās yanfa‘u li al-nās), demikian sabda Rasul Allah saw.

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illā bi Allāh

*Alimuddin Hassan Palawa,
(Direktur & Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies) UIN Suska Riau).