Judul di atas spiritnya terambil dari pernyataan Nelson Mandela (18 Juli 1918 – 5 Desember 2013): “We forgive but not forgotten” (Kita memaafkan, tetapi tidak melupakan) dengan modifikasi merujuk pada susunan kata analogis dari jargon Cak Nur yang sangat populer, “Islam, Yes; Partai Islam, No?” (awalnya pakai tanda tanya, tetapi belakangan sudah teruji benar maka “tanda tanyanya (?)” dihilangkan (terhilang dengan sendirinya). Maka dari keduanya, Mandela dan Cak Nur, lahirlah judul: “Forgive, Yes; Forget, No”.
Pernyataan yang kemudian menjadi jargon dari Nelson Mandela itu sungguh memiliki resonansi mendunia (menyemesta). Pernyataan jitu Nelson Mandela itu terlontar dari mulutnya yang merupakan cerminan hatinya yang tulus-ikhlas untuk mengajarkan rekonsiliasi bagi bangsanya, Afrika Selatan bahkan kepada dunia. Kalau bukan lantaran manusia agung, kalimat “We forgive but not forgotten” tidak akan pernah terlontarkan. Betapa tidak, Nelson Mendela yang dipenjara selama 27 tahun dengan penyiksaan dan penderitaan yang tak terperikan, pada saat keluar penjara pada 1990 ia rela dan tulus memaafkan. Dan tidak terkecuali Nelson Mandela juga memaafkan prilaku bejat sipir penjara yang dulu pernah mengencinginya.
Kita di Indonesia juga memiliki manusia agung yang kita daulat secara “common sense” menjadi guru bangsa, yaitu Gus Dur (Allahumma yarham). Menurut Hermawi Taslim dalam karya Guntur Wiguna, “Koleksi Humor Gus Dur” (2010: 24-25), Gus Dur memiliki tiga prinsip hidup, yaitu (1) Akan selalu berpihak kepada yang lemah; (2) Anti diskriminasi dalam bentuk apapun; dan (3) Tidak pernah membeci kepada orang, sekalipun disakiti. Prinsip hidup Gus Dur yang terkahir ini diwujud-nyatakan dalam sikapnya, misalnya kepada Pak Harto. Gus Dur menyatakan dengan kebesaran jiwa dan ketulusan hatinya bahwa ia tidak pernah menaruh benci, meskipun Pak Harto memusuhi dan menyakitinya.
Lebih jelas sikap dan pendirian Gus Dur ini nyata sekali kalau kita ingat wawancara dengan Andy F. Noya dalam sebuah acara tayang TV swasta, Gus Dur menyatakan “Saya di dunia ini …, pemimpin di Indonesia ya, yang pantas jadi musuh saya cuma satu mas.” Siapa itu, tanya Andy F. Noya. Gus Dur menjawab, “Pak Harto Mas”. Gus Dur segera menambahkan, “tetapi itupun di hari raya saya masih ke sana, masih menjadi teman baik saya.” Artinya apa itu? Gus Dur menimpali, “Artinya, saya tidak punya musuh dong di Indoesia.” Ucapan luar biasa Gus Dur ini, bercampur dengan gaya homornya yang cerdas, disambut dengan tepuk tangan meriah oleh orang-orang yang hadir dalam tayangan acara “Kick Andy” itu.
Sikap Gus Dur terhadap Pak Harto –yang seharusnya dijadikan musuh, tetapi dengan akhlak yang demikian luhur dan agung malah dijadikan sahabat– terlihat dalam dua perspektif yang kelihatan konradiktif. Pertama, pada satu sisi Gus Dur menyerukan pengadilan sebagai bentuk untuk tidak melupakan “dosa-dosa” (kesalahan-kesalahan) Pak Harto sekaligus memberikan pembelajaran dalam menegakkan moral politik di Indonesia. Kedua, pada sisi lain, Gus Dur pulalah yang mengajarkan kepada bangsa ini agar memaafkan “dosa-dosa” (kesalahan-kesalahan) Pak Harto. Sikap dan pandangan Gus Dur yang “terkesan” kontradiktif ini, menurut Quraish Shihab dalam acara “Tahlil Akbar Haul 1000 Hari Gus Dur”, menunjukkan kejeniusan seseorang.
Dari pernyataan Gus Dur yang “terkesan” tampak bertolak belakang itu, sejatinya “menyatu”. Kalau pernyataan Gus Dur disingkat (“diperas”), intinya persis sama dengan pernyataan Nelson Mandela di atas. Malahan menurut saya, dua kalimat Gus Dur itu, sepertinya lebih “mulia” dari pernyataan Nelson Mandela. Mari kita bandingkan kedua pernyataan dari dua tokoh besar dunia ini dengan pertimbangan “analisis” bahasa secara sederhana. Pertama, pernyataan Nelson Mandela, “Kita memaafkan, tetapi tidak melupakan”, sepertinya mengisyaratkan bahwa dalam pemaafan yang diberikan itu “bersyarat”, yaitu agar tidak melupakan (dengan mendahulukan “memaafkan”, dan mengakhiri “tidak melupakan”). Kedua, pernyataan Gus Dur itu dapat disimpulkan, “Kita tidak melupakan, tetapi kita memaafkan”, sepertinya lebih tulus dalam memberi maaf, tanpa prasyarat (dengan mendahuluan “tanpa melupakan, dan mengakhirinya dengan “memaafkan”. (Maaf, sekiranya analisis bahasanya sangat tidak memadai, terlebih ini mempergunakan teori “belah bambu”, yaitu “menginjak” pernyataan Nelson Mandela, dan “mengangkat” pernyataan Gus Dur, meskipun saya tidak bermaksud demikian).
Agaknya, dalam soal memberi kemaafan, anak-anak bangsa ini seyogyanya belajar banyak kepada Guru Bangsa kita, Gus Dur. Kenapa Gus Dur sedemikian mudah memaafkan seseorang, hatta kepada orang yang memusuhi dan menyakitinya, sekalipun. Atas berbagai persoalan yang serius seperti ini, acapkali Gus Dur memberikan jawabanya kelihatan sederhana dan bernada guyon, yaitu “begitu aja kok repot”. Keseriusan dan kecandaan memang bertolak belakang, tetapi untuk pada diri Gus Dur, menurut Prof. Quraish Shihab, tidak harus dipertentangkan. Jadi, Gus Dur tidak pernah merasa “direpotkan” untuk memaafkan seseorang, lantaran hatinya begitu luas dan sarat untuk menampung kebajikan-kebajikan. Ketika waktunya tiba beliau dengan mudah mengeluarkan kebajikan-kebajikan dari dalam hatinya, di antaranya adalah kebajikan memberi maaf.
Berebeda dengan kebanyakan kita, amarah dan sakit hati itu tidak akan terpuaskan kalau kita belum selesai melempiaskan dengan cara membalas (dendam) melebihi perlakuan orang lain kepada diri kita. Sedemikian bernafsunya kita untuk melempiaskan dan membalas sakit hati ini, tak jarang musuh itu kita kejar-kejar sampai “ke ujung dunia” atau kita kejar sampai memasuki “lorong biawak” yang kita duga musuh itu berada di dalamnya. Setelah kita melempiaskan rasa amarah dan membalas kebencian tersebut: barulah kita senang, barulah kita bisa tidur nyenyak. Kesenangan dan tidur nyenyak kita, sungguh kita “gantungkan” pada orang lain. Dengan tidak bisa memberikan maaf, berarti kita jarang sekali bisa senang dan tidur nyenyak.
Selain Gus Dur, kita juga memiliki guru bangsa lainnya, yaitu Cak Nur (Nurcholish Madjid). Andaikan Nurcholish Madjid masih hidup (wafat 29 Agustus 2005), apakah dalam menyikapai status hukum dan kondisi kesehatan Pak Harto (wafat 27 Januari 2008), akan memberikan pernyataan dengan prentensi mengajak bangsa (umat) Indonesia: “Forgive, yes; Forget, no (“Maafkan, ya”; Lupakan, jangan). Dugaan kuat saya, sikap Cak Nur terhadap Pak Harto akan memaafkannya karena pertimbangan kemanusiaan dan mengenang jasa-jasanya, dan meskipun tanpa harus melupakan atas kesalahan-kesalahan kemanusiannya.
Kalau kita lihat kembali pernyataan sejumlah tokoh masyarakat, intelektual dan ulama pada masa itu hampir semua menyatakan keprihatinan serta berdoa agar Pak Harto segera pulih kembali. Bahkan, tak sedikit pula pihak yang menyatakan agar memaafkan kesalahan-kesalahan Pak Harto mengingat jasanya yang begitu besar bagi negeri ini. Dan tentu saja di antara tokoh masyarakat, intelektual yang bersikap sama adalah dua teman Cak Nur di Chicago, yaitu mantan-mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Amien Rais, dan Buya Ahmad Syafii Maarif.
Dalam mencermati kasus seperti Pak Harto, sikap kita sebagai anak bangsa ini relatif mengalami kesulitan, sehingga kasus hukumnya apakah perdata ataupun pidana tidak terselesaikan. Dan sikap sebagai umat Islam terasa lebih sulit lagi karena sebelum menjatuhkan sikap harus dipertimbangkan dengan adil dan hati-hati. Ajaran Islam mengajarkan bahwa dalam mengambil keputusan jangan lantaran kebencian kita membuat kita tidak berlaku adil (Q.s. al-Māidah [5]: 8). Begitu pula, kesulitan untuk mengambil sikap menjadi tidak mudah karena kita harus benar-benar hati-hati, apakah kita sudah menjadikan diri ini sebagai “umat wasathan”. (Q.s. al-Nisā [4]: 135). Maka sebagai umat penengah, umat Islam juga diharapkan sebagai umat yang senatiasa menjaga dan menegakkan keadilan sebab salah satu makna adil adalah “tengah” atau “wasaṭ”. (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, 2008: 514).
Kesulitan memberi maaf disebabkan karena memberi maaf manjadi bagian dari “al-khayr”, yaitu “kebajikan unversal”: nilai-nilai moral dan etis (akhlaq al-karīmah) yang merupakan tujuan Nabi Muhammad saw. diutus Allah kepada umat manusia. Dengan kata yang lebih umum bahwa “al-khayr” adalah suatu nilai yang menjadi titik temu semua agama yang benar. Kata “al-khayr” menempati tingkatan tertinggi (tepatnya paling sulit) untuk di amalkan di antara “tiga serangkai”, sebagimana dalam rentetan ayat: “Hendaknya di antara kamu ada umat yang menyeru kepada al-khayr, amar ma’ruf dan nahy munkar, dan itulah orang-orang yang bahagia.” (Q.s. Ālū ‘Imrān [3]: 104).
Dalam bahasa lain, Cak Nur menerjemahkan kata “al-kahyr” dan “amr ma’ruf” dalam istilah bahasa Inggris menjadi “fight for” (berjuang untuk) yang bersifat pro-aktif dan positif; sementara kata “nahy munkar” terjemahkan menjadi “fight against” (berjuang melawan) yang bersifat reaktif dan negatif. Cak Nur berpendapat bahwa kedua sikap itu sama-sama pentingnya, tergantung kondisi dan zamannya. Namun, Cak Nur menambahkan, untuk kondisi dewasa ini, jika secara analitis kita lakukan identifikasi tema perjuangan, jelas bahwa “fight for” lebih penting daripada “fight against”. (Lihat, Nurcholish Madjid, Cendikiawan & Religiusitas Masyarakat: 121-128; bandingkan, Nurcholish Madjid, Tradisi Islam, 94-97).
Kesulitan bagi umat Islam untuk memberi maaf lantara sebagai “ummah wasaṭ”, tercermin dalam dua ayat terakhir surah al-Fatihah, yaitu doa kita: “Tinjukkan kami jalan yang lurus. Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” Pada bagian akhir ayat ini sebagian umum ahli tafsir menyebut bahwa “mereka yang dimurkai” itu dikonotasikan kepada orang-orang yahudi. Sementara, potongan ayat “mereka yang sesat” diasosiasikan kepada orang-orang Nasrani. Kenapa akhir ayat yang menyebutkan dua golongan negatif ditafsirkan sebagai masing-masing orang Yahudi dan Nasrani? Jawabnya karena Yahudi dan Nasrani terjebak dalam dua kutup ekstrimisme: ekstrim kanan (keras) dan ekstrim kiri (lunak).
Ajaran Yahudi yang semula dibawa oleh Nabi Musa as. memang bersifat keras, yaitu mengandung hukum tegas. Sehingga, kata “Tawrāt” yang menjadi nama Kitab Suci Nabi Musa, menurut Cak Nur (maaf, saya tidak sempat mengidentifikasinya dalam referensi, tetapi saya pernah mendengarkan dalam ceramahnya/pengajian di Paramadina), berarti “hukum”. Hukum keras dan tegas itu penting bagi ummat Nabi Musa (Bani Israil) guna membangun kembali rasa harga diri mereka dan memperkuat jiwa mereka yang selama ini diperbudak oleh Fir‘aun. Sikap mental orang budak berbeda dengan sikap mental orang merdeka. Bagi orang budak sikap mentalnya adalah kalau “dipukul” baru mengerti (bergerak menjalankan perintah). Sementara sikap mental orang merdeka cukup dengan dengan “kerlingan mata” ia sudah mengerti (bergerak) atas perintah yang diberikan kepadanya.
Hukum yang keras yang diterima Nabi Musa untuk umatnya, misalnya tercermin dari firman Allah, “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Tawrat) bahwasanya jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya.” (Qs. al-Maidah [5]: 45). Sikap keras umat Yahudi ini berlanjut, misalnya teguran Allah kepada mereka, kenapa engkau mengharamkan sesuatu yang tidak di haramkan oleh Allah. Dan dalam perjalanan sejarahnya, bangsa Yahudi itu tumbuh menjadi bangsa yang keras dan bengis, khasusnya setelah mereka mendapat pertolongan Allah mengalami banyak kemenangan. (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, 315).
Belakangan, kehadiran Nabi Isa as. adalah untuk meneguhkan “hukum Tawrāt” itu dengan membuat beberapa perubahan, misalnya disebutkan bahwa Nabi Isa as. tampil “untuk mengalalkan sebagian dari apa yang diharamkan” atas orang-orang Yahudi. (Q.s. Ālu ‘Imrān [3]: 50). Dalam hukum secara umum ajaran Nabi Isa as. disebutkan bahwa “Kami buat dalam jiwa mereka yang mengikutinya ‘kesantunan dan kasih’ …” (Q.s. al-Ḥadīd [57]: 27. Demikian sentralnya kesantuan dan kasih ini, sehingga kaum Nasrani gemar mengatakan bahwa “syari’ah” Nabi Isa as dalam kitab Injil adalah “syari‘ah kemurahan” dari Tuhan. Sebaliknya, “syari‘ah” Nabi Musa as. dalam Kitab Tawrat adalah “syari‘ah keadilan”. Demikianlah kehadiran Nabi Isa adalah untuk mengajarkan kesantuan, kasih, kesabaran, dan ketabahan menderita. Namun, dalam perjalanan sejarahnya, pengikut Nabi Isa al-Masih menjadi terlalu lunak, dan mengabaikan ketegaran dalam berpegang kepada agama Allah. (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, 316).
Kemudian, setelah agama Yahudi dan Nasrani dengan ajarannya masing-masing tersebut di atas, Islam hadir “mendayung” di antara dua ekstrimisme ajaran “syari‘ah kemurahan” dan “syari‘ah keadilan”. Dengan latar belakang ini, menurut Ibn Taymiyah sebagaimana dikutip Cak Nur, bahwa syari‘at Islam titik beratnya adalah menggabungkan segi keadilan Tawrat dan kemurahan Injil. Lebih lanjutnya dijelaskan: “Sesungguhnya syari‘at Tawrat didominasi oleh kekerasan, dan syari‘at injil didominasi oleh kelunakan; kemudian syari‘at al-Qur’an adalah pertengahan dan bersifat mencakup antara satu dengan lainnya, sebagimana difirmankan Allah, “Demikianlah Kami jadikan kamu sekalian (orang-orang Muslim) umat pertengahan (wasath, wasith), agar supaya kamu menjadi saksi atas sekalian manusia.”” (Q.s. al-Baqarah [2]: 143).
Umat Islam dituntut untuk menjadi “ummah wasaṭ” dengan syari‘at al-Qur’an yang “tengah-tengah” ini, terkesan ambigiu dan sepertinya kesulitan mengambil keputusan tegas. Kembali misalnya untuk kasus Pak Harto: apakah dihukum/dibalas atau tidak dihukum/dimaafkan. Bagi orang Yahudi dengan ajaranya menjadi mudah, jawabannya adalah hukum/balas! Begitu pula, bagi orang Nasrani dengan ajaranya menjadi tidak sulit, jabawannya jelas adalah bebasakan/maafkan. Sekali lagi, bagi umat Islam tidak serta merta menghukum/membalas atau membesakan/memaafkan, terlebih dahulu harus dipertimbangkan unsur-unsur ketegaran dalam menegakkan keadilan, dan sekaligus kelembutan dan semangat prikemanusiaan. (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, 317).
Kedua unsur ketegaran dalam menengakkan keadilan dan kelembutan dalam semangat kemanusiaan di atas, dalam pengajian di Paramadina yang pernah saya ikuti, Cak Nur mengutip al-Qur’an surah al-Syūrā dari ayat 39-43, saya kutipkan berikut ini: “Dan mereka itu, bila mengalami kezaliman, mereka membela diri. Dan balaslah kejahatan ialah kejahatan yang setimpal. Tetapi barangsiapa memberi ampun dan berdamai, maka pahalanya menjadi tanggungan Allah. Sesungguhnya Dia tidak suka kepada mereka yang zalim.” (Q.s. al-Syūrā [42]: 39-40).
Cak Nur menyebutkan bahwa seruan al-Qur’an pada masalah ini tidak berhenti pada ayat ini, dan Allah kembali menegaskan pada ayat selanjutnya: “Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada satu dosapun terhadap mereka. Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih. Tetapi orang yang bersabar dan mema’afkan, sesungguhnya perbuatan yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.” (Q.s. al-Syūrā [42]: 39-40).
Akhirnya, rentetan ayat dikutip di atas ditutup Cak Nur dengan kalimat, “Maka sebenarnya kita tidak dapat melaksanakan “hukum” Allah dengan tepat tanpa menyadari semangat ajaran-Nya yang menyeluruh itu, yaitu inti pesan-Nya yang mendasari akhlaq atau etika yang benar dan utuh. (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, 317).
Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.
By: Alimuddin Hassan Palawa, (Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies], UIN Suska Riau).