Forgive, Yes; Forget, No

Forgive, Yes; Forget, No

Judul di atas spiritnya terambil dari pernyataan Nelson Mandela (18 Juli 1918 – 5 Desember 2013): “We forgive but not forgotten” (Kita memaafkan, tetapi tidak melupakan) dengan modifikasi merujuk pada susunan kata analogis dari jargon Cak Nur yang sangat populer, “Islam, Yes; Partai Islam, No?” (awalnya pakai tanda tanya, tetapi belakangan sudah teruji benar maka “tanda tanyanya (?)” dihilangkan (terhilang dengan sendirinya). Maka dari keduanya, Mandela dan Cak Nur, lahirlah judul: “Forgive, Yes; Forget, No”.

Pernyataan yang kemudian menjadi jargon dari Nelson Mandela itu sungguh memiliki resonansi mendunia (menyemesta). Pernyataan jitu Nelson Mandela itu terlontar dari mulutnya yang merupakan cerminan hatinya yang tulus-ikhlas untuk mengajarkan rekonsiliasi bagi bangsanya, Afrika Selatan bahkan kepada dunia. Kalau bukan lantaran manusia agung, kalimat “We forgive but not forgotten” tidak akan pernah terlontarkan. Betapa tidak, Nelson Mendela yang dipenjara selama 27 tahun dengan penyiksaan dan penderitaan yang tak terperikan, pada saat keluar penjara pada 1990 ia rela dan tulus memaafkan. Dan tidak terkecuali Nelson Mandela juga memaafkan prilaku bejat sipir penjara yang dulu pernah mengencinginya.

Kita di Indonesia juga memiliki manusia agung yang kita daulat secara “common sense” menjadi guru bangsa, yaitu Gus Dur (Allahumma yarham). Menurut Hermawi Taslim dalam karya Guntur Wiguna, “Koleksi Humor Gus Dur” (2010: 24-25), Gus Dur memiliki tiga prinsip hidup, yaitu (1) Akan selalu berpihak kepada yang lemah; (2) Anti diskriminasi dalam bentuk apapun; dan (3) Tidak pernah membeci kepada orang, sekalipun disakiti. Prinsip hidup Gus Dur yang terkahir ini diwujud-nyatakan dalam sikapnya, misalnya kepada Pak Harto. Gus Dur menyatakan dengan kebesaran jiwa dan ketulusan hatinya bahwa ia tidak pernah menaruh benci, meskipun Pak Harto memusuhi dan menyakitinya.

Lebih jelas sikap dan pendirian Gus Dur ini nyata sekali kalau kita ingat wawancara dengan Andy F. Noya dalam sebuah acara tayang TV swasta, Gus Dur menyatakan “Saya di dunia ini …, pemimpin di Indonesia ya, yang pantas jadi musuh saya cuma satu mas.” Siapa itu, tanya Andy F. Noya. Gus Dur menjawab, “Pak Harto Mas”. Gus Dur segera menambahkan, “tetapi itupun di hari raya saya masih ke sana, masih menjadi teman baik saya.” Artinya apa itu? Gus Dur menimpali, “Artinya, saya tidak punya musuh dong di Indoesia.” Ucapan luar biasa Gus Dur ini, bercampur dengan gaya homornya yang cerdas, disambut dengan tepuk tangan meriah oleh orang-orang yang hadir dalam tayangan acara “Kick Andy” itu.

Sikap Gus Dur terhadap Pak Harto –yang seharusnya dijadikan musuh, tetapi dengan akhlak yang demikian luhur dan agung malah dijadikan sahabat– terlihat dalam dua perspektif yang kelihatan konradiktif. Pertama, pada satu sisi Gus Dur menyerukan pengadilan sebagai bentuk untuk tidak melupakan “dosa-dosa” (kesalahan-kesalahan) Pak Harto sekaligus memberikan pembelajaran dalam menegakkan moral politik di Indonesia. Kedua, pada sisi lain, Gus Dur pulalah yang mengajarkan kepada bangsa ini agar memaafkan “dosa-dosa” (kesalahan-kesalahan) Pak Harto. Sikap dan pandangan Gus Dur yang “terkesan” kontradiktif ini, menurut Quraish Shihab dalam acara “Tahlil Akbar Haul 1000 Hari Gus Dur”, menunjukkan kejeniusan seseorang.

Dari pernyataan Gus Dur yang “terkesan” tampak bertolak belakang itu, sejatinya “menyatu”. Kalau pernyataan Gus Dur disingkat (“diperas”), intinya persis sama dengan pernyataan Nelson Mandela di atas. Malahan menurut saya, dua kalimat Gus Dur itu, sepertinya lebih “mulia” dari pernyataan Nelson Mandela. Mari kita bandingkan kedua pernyataan dari dua tokoh besar dunia ini dengan pertimbangan “analisis” bahasa secara sederhana. Pertama, pernyataan Nelson Mandela, “Kita memaafkan, tetapi tidak melupakan”, sepertinya mengisyaratkan bahwa dalam pemaafan yang diberikan itu “bersyarat”, yaitu agar tidak melupakan (dengan mendahulukan “memaafkan”, dan mengakhiri “tidak melupakan”). Kedua, pernyataan Gus Dur itu dapat disimpulkan, “Kita tidak melupakan, tetapi kita memaafkan”, sepertinya lebih tulus dalam memberi maaf, tanpa prasyarat (dengan mendahuluan “tanpa melupakan, dan mengakhirinya dengan “memaafkan”. (Maaf, sekiranya analisis bahasanya sangat tidak memadai, terlebih ini mempergunakan teori “belah bambu”, yaitu “menginjak” pernyataan Nelson Mandela, dan “mengangkat” pernyataan Gus Dur, meskipun saya tidak bermaksud demikian).

Agaknya, dalam soal memberi kemaafan, anak-anak bangsa ini seyogyanya belajar banyak kepada Guru Bangsa kita, Gus Dur. Kenapa Gus Dur sedemikian mudah memaafkan seseorang, hatta kepada orang yang memusuhi dan menyakitinya, sekalipun. Atas berbagai persoalan yang serius seperti ini, acapkali Gus Dur memberikan jawabanya kelihatan sederhana dan bernada guyon, yaitu “begitu aja kok repot”. Keseriusan dan kecandaan memang bertolak belakang, tetapi untuk pada diri Gus Dur, menurut Prof. Quraish Shihab, tidak harus dipertentangkan. Jadi, Gus Dur tidak pernah merasa “direpotkan” untuk memaafkan seseorang, lantaran hatinya begitu luas dan sarat untuk menampung kebajikan-kebajikan. Ketika waktunya tiba beliau dengan mudah mengeluarkan kebajikan-kebajikan dari dalam hatinya, di antaranya adalah kebajikan memberi maaf.

Berebeda dengan kebanyakan kita, amarah dan sakit hati itu tidak akan terpuaskan kalau kita belum selesai melempiaskan dengan cara membalas (dendam) melebihi perlakuan orang lain kepada diri kita. Sedemikian bernafsunya kita untuk melempiaskan dan membalas sakit hati ini, tak jarang musuh itu kita kejar-kejar sampai “ke ujung dunia” atau kita kejar sampai memasuki “lorong biawak” yang kita duga musuh itu berada di dalamnya. Setelah kita melempiaskan rasa amarah dan membalas kebencian tersebut: barulah kita senang, barulah kita bisa tidur nyenyak. Kesenangan dan tidur nyenyak kita, sungguh kita “gantungkan” pada orang lain. Dengan tidak bisa memberikan maaf, berarti kita jarang sekali bisa senang dan tidur nyenyak.

Selain Gus Dur, kita juga memiliki guru bangsa lainnya, yaitu Cak Nur (Nurcholish Madjid). Andaikan Nurcholish Madjid masih hidup (wafat 29 Agustus 2005), apakah dalam menyikapai status hukum dan kondisi kesehatan Pak Harto (wafat 27 Januari 2008), akan memberikan pernyataan dengan prentensi mengajak bangsa (umat) Indonesia: “Forgive, yes; Forget, no (“Maafkan, ya”; Lupakan, jangan). Dugaan kuat saya, sikap Cak Nur terhadap Pak Harto akan memaafkannya karena pertimbangan kemanusiaan dan mengenang jasa-jasanya, dan meskipun tanpa harus melupakan atas kesalahan-kesalahan kemanusiannya.

Kalau kita lihat kembali pernyataan sejumlah tokoh masyarakat, intelektual dan ulama pada masa itu hampir semua menyatakan keprihatinan serta berdoa agar Pak Harto segera pulih kembali. Bahkan, tak sedikit pula pihak yang menyatakan agar memaafkan kesalahan-kesalahan Pak Harto mengingat jasanya yang begitu besar bagi negeri ini. Dan tentu saja di antara tokoh masyarakat, intelektual yang bersikap sama adalah dua teman Cak Nur di Chicago, yaitu mantan-mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Amien Rais, dan Buya Ahmad Syafii Maarif.

Dalam mencermati kasus seperti Pak Harto, sikap kita sebagai anak bangsa ini relatif mengalami kesulitan, sehingga kasus hukumnya apakah perdata ataupun pidana tidak terselesaikan. Dan sikap sebagai umat Islam terasa lebih sulit lagi karena sebelum menjatuhkan sikap harus dipertimbangkan dengan adil dan hati-hati. Ajaran Islam mengajarkan bahwa dalam mengambil keputusan jangan lantaran kebencian kita membuat kita tidak berlaku adil (Q.s. al-Māidah [5]: 8). Begitu pula, kesulitan untuk mengambil sikap menjadi tidak mudah karena kita harus benar-benar hati-hati, apakah kita sudah menjadikan diri ini sebagai “umat wasathan”. (Q.s. al-Nisā [4]: 135). Maka sebagai umat penengah, umat Islam juga diharapkan sebagai umat yang senatiasa menjaga dan menegakkan keadilan sebab salah satu makna adil adalah “tengah” atau “wasaṭ”. (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, 2008: 514).

Kesulitan memberi maaf disebabkan karena memberi maaf manjadi bagian dari “al-khayr”, yaitu “kebajikan unversal”: nilai-nilai moral dan etis (akhlaq al-karīmah) yang merupakan tujuan Nabi Muhammad saw. diutus Allah kepada umat manusia. Dengan kata yang lebih umum bahwa “al-khayr” adalah suatu nilai yang menjadi titik temu semua agama yang benar. Kata “al-khayr” menempati tingkatan tertinggi (tepatnya paling sulit) untuk di amalkan di antara “tiga serangkai”, sebagimana dalam rentetan ayat: “Hendaknya di antara kamu ada umat yang menyeru kepada al-khayr, amar ma’ruf dan nahy munkar, dan itulah orang-orang yang bahagia.” (Q.s. Ālū ‘Imrān [3]: 104).

Dalam bahasa lain, Cak Nur menerjemahkan kata “al-kahyr” dan “amr ma’ruf” dalam istilah bahasa Inggris menjadi “fight for” (berjuang untuk) yang bersifat pro-aktif dan positif; sementara kata “nahy munkar” terjemahkan menjadi “fight against” (berjuang melawan) yang bersifat reaktif dan negatif. Cak Nur berpendapat bahwa kedua sikap itu sama-sama pentingnya, tergantung kondisi dan zamannya. Namun, Cak Nur menambahkan, untuk kondisi dewasa ini, jika secara analitis kita lakukan identifikasi tema perjuangan, jelas bahwa “fight for” lebih penting daripada “fight against”. (Lihat, Nurcholish Madjid, Cendikiawan & Religiusitas Masyarakat: 121-128; bandingkan, Nurcholish Madjid, Tradisi Islam, 94-97).

Kesulitan bagi umat Islam untuk memberi maaf lantara sebagai “ummah wasaṭ”, tercermin dalam dua ayat terakhir surah al-Fatihah, yaitu doa kita: “Tinjukkan kami jalan yang lurus. Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” Pada bagian akhir ayat ini sebagian umum ahli tafsir menyebut bahwa “mereka yang dimurkai” itu dikonotasikan kepada orang-orang yahudi. Sementara, potongan ayat “mereka yang sesat” diasosiasikan kepada orang-orang Nasrani. Kenapa akhir ayat yang menyebutkan dua golongan negatif ditafsirkan sebagai masing-masing orang Yahudi dan Nasrani? Jawabnya karena Yahudi dan Nasrani terjebak dalam dua kutup ekstrimisme: ekstrim kanan (keras) dan ekstrim kiri (lunak).

Ajaran Yahudi yang semula dibawa oleh Nabi Musa as. memang bersifat keras, yaitu mengandung hukum tegas. Sehingga, kata “Tawrāt” yang menjadi nama Kitab Suci Nabi Musa, menurut Cak Nur (maaf, saya tidak sempat mengidentifikasinya dalam referensi, tetapi saya pernah mendengarkan dalam ceramahnya/pengajian di Paramadina), berarti “hukum”. Hukum keras dan tegas itu penting bagi ummat Nabi Musa (Bani Israil) guna membangun kembali rasa harga diri mereka dan memperkuat jiwa mereka yang selama ini diperbudak oleh Fir‘aun. Sikap mental orang budak berbeda dengan sikap mental orang merdeka. Bagi orang budak sikap mentalnya adalah kalau “dipukul” baru mengerti (bergerak menjalankan perintah). Sementara sikap mental orang merdeka cukup dengan dengan “kerlingan mata” ia sudah mengerti (bergerak) atas perintah yang diberikan kepadanya.

Hukum yang keras yang diterima Nabi Musa untuk umatnya, misalnya tercermin dari firman Allah, “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Tawrat) bahwasanya jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya.” (Qs. al-Maidah [5]: 45). Sikap keras umat Yahudi ini berlanjut, misalnya teguran Allah kepada mereka, kenapa engkau mengharamkan sesuatu yang tidak di haramkan oleh Allah. Dan dalam perjalanan sejarahnya, bangsa Yahudi itu tumbuh menjadi bangsa yang keras dan bengis, khasusnya setelah mereka mendapat pertolongan Allah mengalami banyak kemenangan. (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, 315).

Belakangan, kehadiran Nabi Isa as. adalah untuk meneguhkan “hukum Tawrāt” itu dengan membuat beberapa perubahan, misalnya disebutkan bahwa Nabi Isa as. tampil “untuk mengalalkan sebagian dari apa yang diharamkan” atas orang-orang Yahudi. (Q.s. Ālu ‘Imrān [3]: 50). Dalam hukum secara umum ajaran Nabi Isa as. disebutkan bahwa “Kami buat dalam jiwa mereka yang mengikutinya ‘kesantunan dan kasih’ …” (Q.s. al-Ḥadīd [57]: 27. Demikian sentralnya kesantuan dan kasih ini, sehingga kaum Nasrani gemar mengatakan bahwa “syari’ah” Nabi Isa as dalam kitab Injil adalah “syari‘ah kemurahan” dari Tuhan. Sebaliknya, “syari‘ah” Nabi Musa as. dalam Kitab Tawrat adalah “syari‘ah keadilan”. Demikianlah kehadiran Nabi Isa adalah untuk mengajarkan kesantuan, kasih, kesabaran, dan ketabahan menderita. Namun, dalam perjalanan sejarahnya, pengikut Nabi Isa al-Masih menjadi terlalu lunak, dan mengabaikan ketegaran dalam berpegang kepada agama Allah. (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, 316).

Kemudian, setelah agama Yahudi dan Nasrani dengan ajarannya masing-masing tersebut di atas, Islam hadir “mendayung” di antara dua ekstrimisme ajaran “syari‘ah kemurahan” dan “syari‘ah keadilan”. Dengan latar belakang ini, menurut Ibn Taymiyah sebagaimana dikutip Cak Nur, bahwa syari‘at Islam titik beratnya adalah menggabungkan segi keadilan Tawrat dan kemurahan Injil. Lebih lanjutnya dijelaskan: “Sesungguhnya syari‘at Tawrat didominasi oleh kekerasan, dan syari‘at injil didominasi oleh kelunakan; kemudian syari‘at al-Qur’an adalah pertengahan dan bersifat mencakup antara satu dengan lainnya, sebagimana difirmankan Allah, “Demikianlah Kami jadikan kamu sekalian (orang-orang Muslim) umat pertengahan (wasath, wasith), agar supaya kamu menjadi saksi atas sekalian manusia.”” (Q.s. al-Baqarah [2]: 143).

Umat Islam dituntut untuk menjadi “ummah wasaṭ” dengan syari‘at al-Qur’an yang “tengah-tengah” ini, terkesan ambigiu dan sepertinya kesulitan mengambil keputusan tegas. Kembali misalnya untuk kasus Pak Harto: apakah dihukum/dibalas atau tidak dihukum/dimaafkan. Bagi orang Yahudi dengan ajaranya menjadi mudah, jawabannya adalah hukum/balas! Begitu pula, bagi orang Nasrani dengan ajaranya menjadi tidak sulit, jabawannya jelas adalah bebasakan/maafkan. Sekali lagi, bagi umat Islam tidak serta merta menghukum/membalas atau membesakan/memaafkan, terlebih dahulu harus dipertimbangkan unsur-unsur ketegaran dalam menegakkan keadilan, dan sekaligus kelembutan dan semangat prikemanusiaan. (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, 317).

Kedua unsur ketegaran dalam menengakkan keadilan dan kelembutan dalam semangat kemanusiaan di atas, dalam pengajian di Paramadina yang pernah saya ikuti, Cak Nur mengutip al-Qur’an surah al-Syūrā dari ayat 39-43, saya kutipkan berikut ini: “Dan mereka itu, bila mengalami kezaliman, mereka membela diri. Dan balaslah kejahatan ialah kejahatan yang setimpal. Tetapi barangsiapa memberi ampun dan berdamai, maka pahalanya menjadi tanggungan Allah. Sesungguhnya Dia tidak suka kepada mereka yang zalim.” (Q.s. al-Syūrā [42]: 39-40).

Cak Nur menyebutkan bahwa seruan al-Qur’an pada masalah ini tidak berhenti pada ayat ini, dan Allah kembali menegaskan pada ayat selanjutnya: “Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada satu dosapun terhadap mereka. Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih. Tetapi orang yang bersabar dan mema’afkan, sesungguhnya perbuatan yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.” (Q.s. al-Syūrā [42]: 39-40).

Akhirnya, rentetan ayat dikutip di atas ditutup Cak Nur dengan kalimat, “Maka sebenarnya kita tidak dapat melaksanakan “hukum” Allah dengan tepat tanpa menyadari semangat ajaran-Nya yang menyeluruh itu, yaitu inti pesan-Nya yang mendasari akhlaq atau etika yang benar dan utuh. (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, 317).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.

Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

By: Alimuddin Hassan Palawa, (Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies], UIN Suska Riau).

Budak, Selir dan Kemewahan

Budak, Selir dan Kemewahan

Ciri-ciri Menonjol dalam Kekhalifah Islam

“Annual International Conference on Islamic Studies” (AICIS) diselenggarakan pada 2007 dengan “tuan rumah” UIN Sultan Syarif Kasim Riau. Dalam sebuah forum pleno ilmiah yang sangat berwibawa salah seorang pembicara utamanya adalah Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.Phil., MA. Pada saat sesi tanya jawab, seorang dosen Perguruan Tinggi di Pekanbaru –ada baik saya tidak sebut nama dan PT– mengajukan pertanyaan dan/ atau menyampaikan pikiran dan perasaannya yang ditujukan kepada Prof. Azra, kurang lebih begini: “Agak sulit kita untuk memperjuangan penekakan kekhalifahan Islam di Indoensia, karena seorang intelektual seperti Prof. Azra bukannya mendukung, tapi justru mempertanyakan kelayakan dan keberlangsungannya, sebagaimana tulisanya di Kompas (18/8/2007).” Pada gilirannya, Prof. Azra menjawab dengan memberikan menjelasakan sejumlah khalifah dari berbagai Dawlah Islamiyah yang penguasanya bersifat dispotik dan kerap kali menyalahgunakan agama demi melanggengkan kekuasannya. Di akhir jawabanya, Prof. Azra menyarankan agar dosen bersangkutan mempelajaran kembali sejarah kekhalifahan Islam.

Saran Prof. Azra di atas saya makanai berlaku untuk umum bagi siapapun yang melakukan kajian keilsamam, khusus bagi mereka yang bergelut dalam sejarah dan pemikiran Islam. Saya sebagai murid Prof. Azra di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyahuti himbauan Sang Guru Besar untuk (kembali) mempelajari sejarah kekhalifahan dengan sedikit kritis. Untuk itu, saya membaca di antaranya “melembar-lembar” buku “History of the Arabs” karya Phillip K. Hitti; “Kebenaran yang Hilang: Sisi Kelam Praktek Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim” karya Farag Faudah; “Islamic History: New Interpretation” (2 Volome) karya M.A. Shaban, dan “Tārikh al-Khulafa’” karya Jalaluddin al-Suyūṭi. Di antara hasil dari bacaan saya itu, saya paparkan berikut ini.

Dalam kekhalifah Islam, khusus kekhalifahan pada masa Dawlah Umayyah dan Abbasyiah di kalangan penguasa/khalifah atau pangeran di istana memiliki dua ciri utama. Pertama, bahwa kehidupan istana diwarnai prilaku pesta pora dan foya-foya dengan bergelimang harta dan meteri melimpah serta makan dan minum yang bercita rasa lezat tiada tara. Kedua, bahwa kehidupan seksual di lingkungan istana dengan dikelilingi wanita-wanita muda serta cantik yang kadang jumlahnya tidak terkirakan banyaknya sejalan dengan era perbudakan dan perseliran pada masanya.

Dalam mengurai kehidupan seksul yang bebas ditopang tersedianya wanita yang dijadikan budak dan selir, Philip K. Hitti dan Farag Fauda merujuk kepada karya sejarawan Islam awal yang dipandang otoritatif dan terpercaya, seperti al-Mas’udi, ibn al-Atsir, al-Ṭabari, dan lainnya. Baik Hitti maupun Fauda menyebutkan betapa perseliran sebegitu dahsyat baik pada masa Bani Umayyah maupun Bani Abbasyiah, misalnya bahwa khalifah Harun al-Rasyid yang masyhur dengan kisah “alfu layl wa layl” (1001 Malam) memiliki selir 1.000 (seribu) orang. Dan belakangan lebih hebat lagi khalifah al-Mutawakkil, seorang khalifah Abbasyiah, diriwayatkan memiliki selir sebanyak 4.000 (empat ribu) orang kesemuanya telah diajak “menemaninya tidur” selama seperempat abad kekuasaannya. Lihat, Philip K. Hitti, History of the Arabs 342; Farag Fauda, Kebenaran yang Hilang Sisi Kelam Praktek Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim (Jakarta: Dian Rakyat, 2003), 145.

Kehidupan mewah, bergelimang harta, perbudakan dan perseliran sedemikian marak pada kekhalifahan Islam, terutama pada masa Bani ‘Abbashiyah dan Bani ‘Umayyah. Sedemikian maraknya perbudakan dan perseliran pada masa Bani ‘Abbasyiah, sehingga hanya ada tiga orang khalifah lahir dari rahim ibu merdeka, yaitu: Abu Abbas, al-Mahdi dan al-Amin. Selain itu, khalifah-khalifah Abbasyiah adalah keturunan wanita-wanita budak dari berbagai daerah dan bangsa. Misalnya, ibu al-Mansur adalah budak Barbar; ibu al-Ma’mun adalah seorang budak Persia; ibu al-Watsiq dan al-Muhtadi adalah seorang budak Yunani-Abissinia; dan bahkan ibu Harun al-Rasyid adalah juga seorang budak dari negeri lain yang dikenal sebagai “al-khayuran”, seorang wanita pertama yang memiliki pengaruh penting dalam urusan kenegaraan/ pemerintahan Bani Abbasyiah.

Para khalifah sudah terbiasa dan menjadi tradisi menerima hadiah dari para gubernur dan para jenderalnya. Hadiah tersebut tidak saja berupa materi, tetapi juga hadiah berupa anak gadis-gadis cantik yang diambil baik secara suka rela maupun secara paksa di kalangan warga kerajaan. (Lihat, Philip K. Hitti, History of the Arabs, 332). Tradisi pemberian hadiah gadis-gadis cantik semacam ini pada khususnya dan pemberian budak-budak pada umumnya juga telah marak seiring dengan penaklukan Islam, terutama pada dinasti kehalifahan Bani ‘Umayyah. Philip K. Hitti menyebutkan, sebagimana ia kutip dari Maqqari dan Ibn al-Athir, bahwa Musa bin Nusayr menawan 300.000 orang di Afrika kecil, seperlima di antaranya diserahkan kepada al-Walid (meskipun angka-angka ini, sepertinya terlalu dibesar-besarkan); selain itu ia juga menawan 30.000 gadis dari kalangan bangsawan Gotik di Spanyol.

Bagi seorang bangsawan di kalangan Bani ‘Umayyah memiliki 1.000 budak bukanlah sesuatu yang terlalu istimewa. Bahkan Zubair bin Awwam, salah seorang di antara sepuluh sahabat yang dijamin Nabi saw. masuk surga, menurut al-Mas‘udi, mewariskan sebanyak 1.000 (seribu) orang budak laki-laki dan perempuan. (Lihat, Philip K. Hitti, History of the Arabs, 335). Selain mewariskan budak sedemikian banyak itu, Zubair bin Awwam –dan sejumlah sahabat yang dijamin surga lainnnya, yaitu Sa‘ad bi Abi Waqas, Talhah bin ‘Ubaidillah, dan ‘Abd Rahman bin ‘Auf — juga memiliki harta peninggalan begitu banyak dan melimpah.

Ibn Sa’ad dalam al-Ṭabaqāt al-Kubrā, seperti dikutip Farag Fauda, menyebutkan bahwa Zubair bin Awwam meninggalkan kekayaan (harta warisan kepada keluarganya) berupa: (i) uang dirham yang jumlahnya sangat fantastik, yaitu kira-kira 51 juta dirham (bandingkan dengan Ali bin Abi Thalib yang hanya meninggalkan sekitar 250 dirham serta mushaf dan pedangnnya); (ii) beberapa armada di Mesir, Aleksadria dan Kufah; (iii) angkutan darat dan hasil panen yang dipersembahkan kepadanya oleh penduduk di Basra. Prihal Sa‘ad bin Abi Waqas, di akhir hayatnya, putrinya A‘isyah bin Sa‘ad bin Abi Waqas mengisahkan bahwa: “Bapakku meninggal di istananya yang antik sekitar sepuluh mil dari Madinah.” (Lihat, Farag Fauda, Kebenaran yang Hilang, 64-65 dan 67).

Melihat praktek perseliran di istana disebgaian kekhalifah Islam, dapat diduga kuat bahwa penguasa menghabiskan waktu sampai larut malam bersama-sama istri dan gundik/selirnya dalam memuaskan hawa nafsu dan hasrat libido seksual mereka. Sementara pada siang harinya terlelap tidur karena semalaman, sebagaimna disebutkan tadi, bergadang (“berasyik-mausyuk” dengan istri dan gundik/selirnya). Tanpa bermaksud menafikan sejumlah khalifah yang memang baik dan bijaksana, tetapi mengingat gambaran nyata hampir merata prihal kehidupan penguasa nota bene muslim, tetapi prilakunya tidak bermartabat dan bermarwah. Ironisnya, sebagian mereka mengklaim dirinya sebagai “khalīfah Allāh fī al-arḍ” (“wakil Allah di bumi”) dan memproklamasikan kekhalifahan berasaskan Islam.

Padahal, dalam kenyataannya penguasa semacam itu acapkali tidak menjadikan dirinya sebagai wakil Allah. Dan klaimnya bahwa Islam sebagai asas kekhalifahannya hanya sekedar “alat” untuk menjastifikasi prilaku mereka yang tidak islami (praktek-praktek aspirasi jahiliyah). Dengan kata lain, klaim khalifah berasas Islam adalah demi melanggengkan kekuasaan dalam genggaman yang memang mengasayikkannya, sebagaimana bisikan syaithan kepada Adam: wa mulk lā yablā (dan kekuasaan yang tidak akan binasa). Firman Allah: “Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: “Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi[948] dan kerajaan yang tidak akan binasa?” (Q.s. Ṭāhā [20]: 120).

Belakangan, sebagian umat Islam merindukan ingin menegakkan pemerintahan Islam di bawah bendera kekhalifahan. Apakah kekhalifahan dengan penguasa tidak memiliki rasa takut pada Allah, tidak taat beragama dan memiliki akhlak bobrok serta tidak cakap mengurus negara,berkuasa secara zalim dan sewenang-wenang itu yang, seperti kebanyakan dipraktek penguasa dalam sejarah kekhalifahan Islam, kembali didambakan?

Nada pertanyaan “sarkesme” semacam itu terilhami dari pertanyaan-pertanyaan retorik dari Farag Fouda. Menurut Fouda, khalifah yang disematkan/ diselubungi dengan kata “Islamiyyah” dalam sejumlah besar sejarah umat Islam tidak lebih merupakan sistem kekuasaan monarki absolut yang totaliter dan disepotik.

Farag Fouda mempertanyakan lebel “Islamiyyah” di belakang penyebutan “khilafah”, ia berusaha menunjukan bahwa yang sering mencuat dalam pentas sejarah politik kekuasaan Islam justru praktek-prakter yang bertolak belakang dengan ajaran Islam. Karena penguasa khilafah Islam itu memisahkan ajaran Islam dari praktek kekuasaan, maka praktek khilafah dalam sejarah dapat dikritik, dicela. Untuk itu, Farag Fouda bertanya: Mengapa orang-orang yang menuntut kembalinya khilafah begitu membenci bar, mencela biduan, dan mengkafir-kafirkan para penarinya? Bukankah itu kelanjutan dari masa lalu dan bahkan bagian darinya? Mengapa saya harus menerima ajakan mereka untuk menegakkan negara agama, sementara mereka hanya berpegang pada kulit-kulit agama? (Lihat, Farag Fauda, Kebenaran yang Hilang, vi, vii, dan 35, 171).

Mohon maaf, karena tulisan sederhana dan terbatas ini hanya melihat sisi “kelam” sejarah kekhalifahan Islam, sementara sisi “gemilang”nya diabaikan. Bukan bermaksud mengangkat sisi buruk dan meninggalkan sisi baiknya, ini persoalan perspektif semata. Pertimbangannya adalah lantaran soal sisi baik dan gemilang sejarah kekhalifahan ini sudah menjadi pengetuhuan yang “mengarus-utama” (main stream).

Sementara soal sisi buruk dan kelam sejarah kekhalifahan Islam tidak/belum diketahui secara umum dan/atau baru menjadi pengetahun “pinggiran”, sehingga perlu ditarik agak sedikit “ke tengah” agar kita dapat melihat sejarah Islam lebih berimbang. Begitu juga, mohon maaf kepada penggiat “khilafah Islam”, kalau tulisan superficial (dangkal) ini sedikit mengganngu pikiran dan perasaan. Teruslah perjuangkan menghadirkan “khilafah Islam”, meskipun ada orang diseberang sana yang mengatakan bahwa menegakkan khilafah Islam di Bumi Pertiwa bagaikan menegakkan “benang basah”. Akan tetapi, bukan mustahil benang basah bisa ditegakkan.

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb

By: Alimuddin Hassan Palawa

Penamaan Glora Bung Karno dan Keberadaan Masjid

Penamaan Glora Bung Karno dan Keberadaan Masjid

K.H. Zaifuddin Zuhri (Menteri Agama yang cukup terbilang lama (6 Maret 1962-17 Oktober 1967 untuk era Presiden Soekarno); dan beliau adalah ayahanda Menteri Agama era sebelum ini, Lukman Hakim Zaifuddin), dalam bukunya, “Kaleidoskop Politik di Indonesia (Jilid 2)”, Menteri Agama berkarakter dan berintegritas ini menulis (saya kutip secara in extensio), begini:

“Ketika pada suatu hari Bung Karno dan beberapa menteri hendak memberi nama kompleks olah raga di Senayan. Sudah berdebat mencari nama yang dianggap tepat, lalu diputuskan nama: “Pusat Olah Raga Bung Karno”. Menurut mereka itulah nama yang paling sesuai….”

“Nama Pusat Olah Raga Bung Karno itu kedengarnya statis, tidak dinamis, tidak sesuai dengan tujuan olah raga yang kita maksud!” Saya memberanikan diri dengan kritik.

Beberapa menteri memandang saya, dan Bung Karno menatap muka saya dengan sorot matanya laksana sinar api.

“Coba kemukakan nama yang lain!” Bung Karno menuding saya.

“Namakan saja: “Gelanggang Olah Raga Bung Karno” atau disingkat

“Gelora Bung Karno!”, jawab saya pasti.

“Waah, itu nama hebat. Aku setuju!” Jawab Bung Karno yang lain-lainnya juga setuju. Bung Karno segera memerintahkan menteri Dalam Negeri Dr. Sumarno mengganti nama “Pusat Olah Raga Bung Karno” dangan “Gelanggang Olah Raga Bung Karno.”

Nama GELANGGANG memang lebih hidup, dinamis, dan mengandung “api”nya sportivitas!

“Well, ada usul lagi?” Bung Karno bertanya.

“Dalam kompleks Gelanggang Olah Raga Bung Karno itu sebaiknya ada sebuah masjid!” saya mengusulkan.

Bung Karno berpikir sejenak, lalu memalingkan pendangannya kepada dua orang menteri seraya berkat: “Hai Maladi dan Somarno! Coba rencanakan di mana sebaiknya masjid itu di dirikan.”

Demikian saya kutip tulisan “kenangan” KH. Zaifuddin Zuhri, seorang figur Menteri Agama yang berani dan cerdas, sebagaimana tercermin dari dialog Presiden yang teramat sangat kharismatiknya dengan beliau. Sayang, tidak ada khabar apa, dan bagaimana tentang penamaan masjid dalam kompleks “Gelora Bung Karno” tersebut. Andai penamaan masjid itu ada, pasti akan mencerminkan gelora keagamaan Bung Karno yang selalu mamahami Islam: Ambil “apinya”, dan buang “abunya”.

Penamaan masjid itu, mungkin gelora “Api Islam Bung Karno”, sangkaanku, agaknya. Dan saya yang tidak terlalu paham bahasa Arab, tidak akan menduga pemberian nama masjid itu dari bahasa Arab. Khawatir saya salah dalam dugaan pemberiaan nama, yaitu Masjid “Nar al-Islam” sebagai terjemahan teramat “lugu” dari “Api Islam”. Nama “arab” ini tidak saja bermakna negatif, tetapi sekaligus akan menimbulkan polemik, bukan? Lebih baik masjid itu tanpa nama.

Wa Allah a‘lam bi al-shawab

By: Alimuddin Hassan Palawa

Keadilan yang Hilang

Keadilan yang Hilang

Putus sudah nadi keadilan di negeri Melayu. Sebuah episode panjang perjalanan perjuangan Bongku bin Jelodan, seorang warga adat Sakai yang mendapat tuntutan penjara oleh karena menebang pohon di area konsesi perusahaan HTI, PT Arara Abadi. Bongku dinyatakan bersalah oleh hakim Pengadilan Negeri Bengkalis atas tuduhan mengelola lahan dan menebang 20 batang pohon untuk ditanam ubi mangalo di Desa Koto Pait Beringin, Kecamatan Talang Muandau, Kabupaten Bengkalis. Dia divonis 1 tahun penjara dengan denda Rp200 juta dan subsider 1 bulan.

“Keputusan itu, sungguh menggetarkan nurani keadilan, dan sekaligus mencabik-cabik rasa kemanusiaan di negeri ini”, tegas Direktur ISAIS UIN Suska Riau, Alimuddin Hassan Palawa. “Apa yang dilakukan oleh Pak Bongku adalah naluri alamiah seorang petani adat, yang berusaha mencari sesuap nasi. Sebagaimana yang di kemukakan oleh Datuk Al Azhar, Bongku itu tidak berusaha memperkaya diri, tetapi berupaya bertahan hidup” tegas nya lagi.

“Peristiwa di pengadilan itu adalah legitimasi dari cerminan kasat mata apa yang terjadi selama ini, yaitu ketika “tamu” mengambil paksa menjadi “tuan rumah” di bumi Lancang Kuning”, lanjut Direktur ISAIS.

Sebagaimana diketahui bersama bahwa Suku Sakai merupakan salah satu Suku tertua di tanah melayu ini. Suku ini, sangat bergantung pada hutan. Bagi mereka, hutan atau alam adalah rumah dan tempat mencari mata pencaharian. Bahkan dengan hutan, mereka bisa membaca tanda-tanda alam, misalnya jenis pohon dan rerumputan yang ada di hutan, bisa menentukan jenis satwa apa yang ada di dalamnya. Karena itu, mereka memiliki tradisi yang kuat, untuk selalu menjaga ekosistem hutan.

Kini, Sakai tak lagi punya hutan belantara. Keangkuhan perusahan-perusahaan raksasa yang ada di sana, memberangus keceriaan kaum Sakai di “rumah”nya sendiri. Kepungan beberapa perusahaan itu, justru melilit kehidupan mereka. Karenanya, seorang Bongku bermaksud ingin bertanam Ubi Kayu Manggalo (Ubi Racun) yang kemudian diolah menjadi Menggolo Mersik, salah satu makanan tradisional masyarakat adat Sakai. Karena hutan tak ada, dia tebas hutan di area konsesi perusahaan HTI, PT Arara Abadi.

Aktivitas yang tidak Memperkaya Diri

Sebagaimana yang disampaikan oleh beberapa lembaga yang telah memberikan advokasi atas kasus ini, seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), dan yang lainnya, bahwa dalam sebuah Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) menyatakan Bongku tak berniat merusak hutan. Bongku hanya ingin berladang ubi.

“Tersebab itu, maka negara dalam hal ini Pengadilan Negeri Bengkalis, selayaknya mempertimbangkan aspek nurani. Bongku ini bukan orang kaya raya yang menebang demi keuntungan, tapi hanya msayarakat yang hidupnya melarat yang menebang demi mengisi perut, bukan memperkaya diri” tegas Hanafi, sekretaris ISAIS UIN Suska Riau.

“Dan apa yang dilakukan oleh Bongku dengan menebang pohon seorang diri, bertujuan hanyalah  untuk tanam ubi manggalo atau ubi racun sebagai makanan pokok mereka. Selain itu, masyarakat Suku Sakai kan sudah hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan sejak dulu kala” jelas Hanafi lagi.

Dalam ilmu Fiqh itu ada istilah maqashid al-syariah, tujuan ditetapkannya sebuah hukum. Ketika sebuah hukum ditetapkan, maka ia harus mempertimbangkan aspek tujuan dari penetapan hukum itu sendiri. Misalnya dalam Alquran Surah Al Jumu’ah ayat 9 tentang perintah shalat Jumat dan meninggalkan jual beli. Tujuan utamanya adalah mengingat Allah dengan bersegera shalat Jumat, bukan berarti jual beli dilarang di hari Jumat.

Begitu juga, ketika melihat kasus hukum Bongku ini. Ketika hukum ditafsirkan, maka sebuah norma hukum harus melihat sisi subyektifnya, jika sisi ini tidak tepat untuk diberlakukan, maka jangan lihat sisi obyektifnya. Nah, tuntutan atas Bongku dengan satu tahun penjara dan denda Rp 500 juta, subsider 1 bulan kurungan, yang sebagaimana dakwaan pada Pasal 82 Ayat (1) Huruf c UU No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H), mestinya tidak sah. Sebab, tujuan utama atau maqasid al shariah dari pasal ini adalah untuk pencegahan perusakan hutan yang dilakukan penjahat terorganisir dan kelompok terorganisir untuk memberi efek jera. Bahkan, dan yang paling penting adalah, mereka bertujuan untuk memperkaya diri.

Berdasarkan pertimbangan itu lah, lalu Institute for South-east Asian Islamic Studies (ISAIS) UIN Suska Riau, menyesalkan atas amar putusan yang telah berlaku pada kasus Bongku ini. Pengadilan telah mengebiri hal yang mendasar dari keadilan itu sendiri, yaitu kemashlahatan bagi manusia. Sebagaimana yang di sebutkan oleh Imam Syatibi bahwa “Sesungguhnya syariah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat“.

By: Alimuddin Hasan Palawa (Direktur ISAIS) dan Imam Hanafi (Sekretaris ISAIS)

ISAIS sebagai Wadah Mengasah dan Melampiaskan Hasrat Intelektual; Sebuah Refleksi

ISAIS sebagai Wadah Mengasah dan Melampiaskan Hasrat Intelektual; Sebuah Refleksi

Oleh: Ahmad Mas’ari (Dosen Agama di Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sultan Syarif Kasim Riau)

Dulu, semasa menimba ilmu di Jakarta, siangnya saya kuliah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tepatnya konsentrasi Perbandingan Mazhab Fiqih, Fakultas Syariah dan Hukum. Malamnya saya tinggal sekaligus belajar hadis dan Ilmu Hadis di Pesantren Luhur Ilmu Hadis (Hight Institute for Hadith Sience) di bawah asuhan langsung al-marhum Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA (Guru Besar Hadis IIQ Jakarta dan mantan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta), yang berlokasi sekitar 1 Km dari Kampus 1 kuliah UIN Syarif Hidayatullah. Saya merasa, Kampus UIN Jakarta memberikan kebebasan mimbar akademis yang pada akhirnya menjadikan mahasiswanya deomokratis dan tercerahkan. Berbagai kajian dan diskusi juga banyak opsinya untuk bisa kita pilih dan ikuti, baik aliran ‘kanan’, maupun ‘kiri’. Saya yang waktu itu murni sebagai ‘thalib al-‘ilmi’ (pencari ilmu) yang juga masih mencari jati diri selalu mengikuti kedua ‘aliran’ itu.

Selain itu, berbagai program gratis banyak ditawarkan ke mahasiswa, seperti kursus kebahasaan. Saya pernah mengikuti kursus Bahasa Turki yang ditaja oleh Turkish Corner yang berada di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Jakarta. Begitu juga saya pernah mengikuti kursus Bahasa Persia yang ditaja oleh Iranian Corner yang juga di bawah naungan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Jakarta. Di sini saya juga belajar tentang syiah kepada penganut syiah langsung, bukan mendengar dari penganut sunni, sehingga lebih obyektif. Saya juga sering membawa teman-teman mahasiswa sebagai audien di beberapa acara di Tv Swasta Nasional, seperti di Metro Tv dan Tv One dalam acara-acara Talk Show.

Di luar kampus, saya juga sering mengikuti kajian dan diskusi, baik aliran ‘kanan’ maupun ‘kiri’. Waktu itu sangat kentara sekali ‘perang pemikiran’ antara kelompok ‘kanan’ dan ‘kiri’ ini. Paling kentara waktu itu adalah ‘perang’ antara kelompok Utan Kayu yang diwakili oleh Jaringan Islam Liberal (JIL) yang waktu itu dinakhodai oleh Ulil Abshar Abdallah, dan kelompok Kalibata yang diwakili oleh INSIST (Lembaga kajian alumni ISTAC Malaysia) yang dipimpin oleh Adian Husaini, di mana mereka waktu itu fokus meng-counter ide-ide yang mereka anggap ‘nyeleneh’.

Selain itu, saya juga mengikuti kajian-kajian yang dilaksanakan di Paramadina, ICAS-Paramadina, Komunitas Salihara, Mizan, Moslem Moderat Society, dan lain-lain. Waktu libur kuliah, saya kadang ‘mondok’ di Pondok Tahfizh al-Qur’an Manba’ul Furqon, Bogor untuk menghafal al-Qur’an. Saya kadang juga ‘mondok’ di Pesantren Ciganjur, milik Gusdur. Waktu itu, kami belajar tafsir langsung diasuh oleh Gusdur. Selain itu, saya juga aktif sebagai surveyor

lapangan dari Lembaga Survey Indonesia (LSI) dan SMRC, keduanya lembaga survey pimpinan Saiful Mujani, di mana pengamat politik, Burhanuddin Muhtadi menjadi koordinator survey waktu itu. Saya juga merupakan alumni Pendidikan Kader Ulama (PKU) yang diselenggarakan oleh MUI DKI Jakarta selama dua tahun dan diwisuda oleh Gubernur DKI waktu itu, Fauzi Bowo. Pendidikan ini saya ikuti disela-sela kesibukan saya kuliah S2 di Kampus UIN Jakarta. Semua pengalaman saya belajar di Jakarta dan mengikuti kajian-kajian yang ada, saya belajar bagaimana melihat orang lain yang berbeda dengan saya.

Itu dulu ketika masih belum masuk ke ‘dunia nyata.’ Sekarang setelah memasuki ‘dunia’ nyata, setelah mengabdi sebagai dosen tetap di UIN Suska Riau, saya kaget. Atmosfirnya sangat jauh berbeda dengan kampus di mana saya belajar dulu. Mimbar akademis kurang dihormati. Segala pemikiran yang dianggap baru, dimusuhi. Tokoh-tokoh yang terpersepsi nyeleneh ditolak sebagai pembicara seminar di kampus ini. Saya bingung, ke mana mencari tempat untuk belajar dan menambah wawasan. Saya tidak tahu ke mana saya bisa mengasah dan melampiaskan hasrat intelektual saya yang sudah saya bangun selama ini.

Akhirnya, di tahun 2015, saya melihat sebuah baliho diskusi dalam rangka memperingati haul Cak Nur, yang mendatangkan anak-anak ideologis Cak Nur sebagai pembicara seperti Budhi Munawar Rahman, Ahmad Gaus. AF, dan lain- lain. Saya kaget lagi. Kok bisa Cak Nur masuk kampus UIN ini? Siapa/ apa yang membawanya ke kampus ini? Setelah saya selidik, ternyata ISAIS yang dimotori oleh pak Ali Hasan. Mulai sejak itu, saya intens mengikuti kajian-kajian yang ditaja oleh ISAIS ini. Sudah banyak saya mengikuti kegiatan-kegiatan ISAIS, seperti bedah buku, Academic Writing, Kursus Bahasa Inggris, dan lain-lain. Terbaru saya mengikuti acara Short Course Managing Diversity yang ditaja oleh ISAIS bekerjasama dengan Asia Foundation, 20-23 Februari 2020 di Pesonna Hotel, Pekanbaru. Selain bisa menggali ilmu dan pengalaman dari para pembicara, yang terpenting dari acara ini adalah kami dipertemukan dengan mereka yang beda agama dan sekte di inetrnal agama, sehingga mainset kita berubah ketika kita melihat orang lain yang berbeda dengan diri kita.

Kegiatan ISAIS yang sedang berjalan dan intens saya ikuti adalah “Satu Semester Kuliah Bersama Prof. Munzir Hitami, MA; Membaca Ulang Sejarah Islam Klasik.” Saya sebenarnya dari dulu tidak terlalu suka belajar sejarah. Alasannya, sebagaimana alasan orang yang tidak suka belajar sejarah lainnya, yaitu malas menghafal tanggal, tahun, nama orang, dan menghafal lainnya. Tapi beberapa pertemuan saya intens mengikuti kegiatan ini, mainset saya tentang belajar sejarah menjadi berubah. Saya merasa menjadi tertarik untuk mempelajari sejarah Islam klasik ini. Ternayata, banyak sisi-sisi sejarah selama ini tidak pernah terbaca. Selama ini saya beranggapan, sejarah awal Islam itu berjalan seperti air mengalir saja, tanpa ada gesekan, permusuhan, rivalitas, intrik licik, apalagi sampai terjadi pembunuhan. Hal ini karena selama ini saya hanya memperoleh informasi sejarah awal-awal Islam ini sisi baiknya saja. Persepsi saya selama ini salah. Ternyata banyak sisi lain dan untold story yang selama ini tak saya ketahui. Dalam “Membaca Ulang Sejarah Islam Klasik” ini, Prof. Munzir dengan apik bisa mengkombinasikan referensi sejarah Islam klasik dengan literatur kontemporer karya para sejarawan kontemporer dan orientalis. Jadi, perspektifnya menjadi lebih kaya.

Saya juga baru menyadari, ternyata belajar sejarah itu penting. Salah satu tujuan mempelajari sejarah adalah mempelajari tentang peristiwa yang terjadi di masa lampau. Berkat sejarah kita dapat mengetahui apa yang terjadi di masa lalu, siapa yang terlibat, di mana peristiwa terjadi dan apa dampak dari peristiwa tersebut. Sejarah juga mengajarkan kita tentang keberhasilan dan kegagalan manusia dari para pendahulu kita. Dari sejarah, kita dapat mempelajari faktor apa saja yang mempengaruhi kemajuan dan kemunduran sebuah peradaban.

Selain itu, dalam hal ini sejarah sangat erat hubungannya dengan kemampuan analisa. Apalagi sebagai akademisi yang berlatar belakang keilmuan syariah/ hukum Islam akan sangat membantu memahami konteks penerapan sebuah hukum. Konteks itu sangat erat dengan sejarah. Ternyata banyak juga produk fiqih itu bertendensi politis. Hal ini akan meningkatkan kemampuan analisa semua informasi sejarah yang ada dan akhirnya membantu dalam membuat kesimpulan sendiri meskipun sebenarnya kesimpulannya sudah ada dan sudah dianalisis sebelumnya oleh sejarahwan. Termasuk juga misalnya, apakah Khilafah Islamiyyah seperti yang digaungkan oleh kelompok Hizbuttahrir merupakan sistem ideal dan mampu menjawab semua persoalan yang ada sehingga harus diterapakan di zaman modern ini. Semua itu bisa kita ketahui lewat sejarah.

Kadang, karena informasi sejarah yang diperoleh terbatas, apalagi ada distorsi sejarah oleh penguasa, kita akan menemukan fakta baru bahwa banyak peristiwa di masa lalu yang berbalut masalah tidak memiliki jawaban yang jelas. Kita harus melihat sejarah itu secara murni yang bertumpu pada rasio. Ketika mengkaji sejarah, kita harus benar-benar objektif dan terhindar dari interest apapun yang dapat menghalangi obyektifitas tersebut, seperti keyakinan bahkan agama yang dianut sekalipun. Dalam kasus fitnah al-kubra misalnya, Thaha Husein mengkritik sejarahwan muslim yang masih menganggap sejarah Islam sebagai ajaran agama. Implikasinya, mereka tidak menundukkan Khlaifah Usman bin Affan sebagai manusia biasa yang mungkin dapat berbuat salah. Akibatnya, banyak sejarahwan muslim membela mati-matian Khalifah Usman bin Affan, pada hal menurutnya peristiwa sejarah tidak ada hubungannya dengan keyakinan dan keimanan seseorang.

Sebagai ‘simpatisan’ ISAIS berharap agar kegiatan-kegiatan seperti ini terus berlanjut, dan tidak berhenti di tengah jalan. Kalau boleh usul, setelah “Satu Semester Kuliah Bersama Prof. Munzir Hitami, MA, dilanjutkan dengan program berkelanjutan yang sama, yaitu Short Course metodologi penelitian kuantitatif atau kualitatif yang diampu oleh satu orang pemateri saja selama satu semester.

SUNDA EMPIRE DAN IMAJINASI TENTANG INDONESIA

SUNDA EMPIRE DAN IMAJINASI TENTANG INDONESIA

oleh Afdhal Kusumanegara Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN SUSKA RIAU

Sejumlah negara harus mendaftar ulang di Bandung sebelum 15 Agustus 2020. Jika tidak, mereka akan tetap memiliki utang di Bank Dunia. Rusia dan Korea Utara termasuk di dalamnya. Semua berada di bawah kendali Sunda Empire. Termasuk United Nations (UN) yang kita kenal PBB dan North Atlantic Treaty Organization (NATO), semua lahir di Bandung.

Konsep tentang pemerintahan dunia yang berpusat di Bandung hanyalah satu dari sekian banyak cita-cita besar Sunda Empire. Menempatkan manusia-manusia di wilayah Indonesia sebagai manusia paling berkuasa di dunia. Menjadikan wilayah ini sebagai pusat peradaban. Jika ditelusuri dalam jangka waktu yang sama, Keraton Agung Sejagat di Purwokerto sebenarnya memiliki konsep serupa, yakni mencoba mewarisi kemegahan masa lalu yang terputus. Sama dengan Kerajaan Warteg Bahagia di Depok, juga Keraton Djipang di Blora dan cabang baru Kerajaan Majapahit di Bali.

Indonesia sebagai Komunitas Terbayang

Sebenarnya kita akan menemukan semangat yang sama dari Kesultanan Demak, Kesultanan Gowa, Kesultanan Siak, Kerajaan Mataram, Majapahit, Sriwijaya, sampai ke Kutai Kertanegara dan sebagainya dan seterusnya. Semuanya lahir dari keinginan bersatu dan membentuk sebuah perkumpulan. Bisa jadi karena senasib seperburuan, satu bahasa, atau satu keturunan.

Sampai akhirnya Indonesia datang dan merangkul semua raja dan sultan itu. Kerajaan-kerajaan itu melebur menjadi simbol budaya, adat-kesenian, bahasa daerah, dan sistem sosial masyarakat. Indonesia dengan bahasa Indonesianya kemudian menjadi satu-satunya ‘kerajaan’ yang diakui di wilayah Nusantara; menjadi nasion. Adapun yang tersisa dan tidak bisa diganggugugat adalah budaya, agama, dan bahasa daerahnya.

Benedict Anderson, seorang indonesianis berkebangsaan Irlandia, pernah menjelaskan konsep nasion itu dalam bukunya Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang. Pertama terbit tahun 1983 dan menjadi buku yang dikutip oleh banyak ilmuwan jika hendak menulis tentang nasionalisme. Anderson mengajukan konsep nasion sebagai sebuah komunitas politis dan dibayangkan terbatas karena hanya merupakan persaudaraan imajiner.

Bagaimanapun teguhnya kita menyatakan diri sebagai suatu kesatuan, tetap saja individu atau kelompok-kelompok di dalamnya tidak pernah berinteraksi secara langsung dan massif. Seperti apakah ceritanya, orang-orang Aceh yang berdiam di ujung barat Indonesia, lalu menjadi bersaudara dengan orang-orang Asmat, Bugis, Dayak, Flores, Jawa, dsb. kalau bukan sebagai sebuah imajinasi belaka?

Dalam konteks Indonesia, maka entitas-entitas pembentuk persaudaraan imajiner itu— termasuk agama-agama—yang ada di wilayah Indonesia adalah nyata dan merupakan sebuah kepastian, sedangkan negara Indonesia itu sendiri hanyalah hasil imajinasi dari berbagai entitas tersebut. Masyarakat suku dan agama disebut sebagai masyarakat riil dan masyarakat Indonesia disebut masyarakat imajiner. Kita tidak bisa mengatakan “saya keluar dari suku Sunda atau mungkin tidak memiliki agama”, tetapi kita bisa saja mengatakan “saya tidak lagi menjadi warga negara Indonesia” alias berpindah kewarganegaraan.

Menggugat Anderson

Turunan dari konsep riil-imajiner ini menempatkan nasionalisme sebagai sebuah perasaan belaka; dari perasaan bersatu dan berdaulat. Hal ini sebenarnya tidak juga cukup untuk menggambarkan nasionalisme itu sendiri. Nasionalisme berasal dari kata “nasion”; suatu bangsa. Jadi lebih kepada satu entitas yang mandiri, bukan sekadar perekatan dari yang sendiri-sendiri.

Sebuah gerakan atau hubungan yang hanya berlandaskan pada perasaan, tidak bisa memiliki kekuatan sosial yang tetap. Seperti dirumuskan Schafersman dalam An Introduction to Science-nya bahwa emosi bukan bukti, perasaan bukan fakta, dan pandangan subjektif bukanlah pandangan subtantif. Oleh karena itu, jika nasion dan nasionalisme hanya dipahami sebagai perpanjangan dari emosi menyatukan diri, maka Indonesia tidak bisa menjadi bukti, bukan juga sebagai fakta. Jikapun hanya dilihat dari satu sisi kelompok saja, maka Indonesia menjadi subjektif.

Dalam kacamata filsafat bahasa, kata “kita” tidak bisa hadir jika tidak ada 2 kata sebelumnya, yakni “aku” dan “kamu”. Indonesia adalah kita. Jika “aku” atau “kamu” terpisah atau bahkan tidak ada salah satunya, maka “kita” sebagai Indonesia tidak ada. “Kita” adalah satu yang ada. Menyangkal kenyataan “kita” sama saja dengan mengabaikan kehadiran orang lain, yang juga berarti sama menyangkal Indonesia.

Keluar dari Indonesia memang mudah dan bisa, sebagaimana mudah dan bisanya keluar dari bentuk “kita”. Begitupun sebaliknya, keluar dari suku masing-masing tidak mudah bahkan memang tidak bisa, sebagaimana tidak mudah dan tidak bisanya keluar dari ke-akuan dan ke-kamu-an itu sendiri. Tapi apakah setelah itu “kita” masih ada? Pada realitasnya, “aku” dan “kamu” bisa ada dan bersama. Itulah kita yang ada.

Maka persaudaraan imajiner yang dirumuskan Anderson tidak bisa sepenuhnya memenuhi fakta dari “kita” karena ia menjadi suatu kesatuan makna dan realitas yang utuh. Jika hanya berpegang pada ke-aku-an dan ke-kamu-an tadi, maka hanya akan menumbuhsuburkan benih individualisme. Ujung-ujungnya menjadi tunas primordialisme.

Primordialisme dalam beberapa kasus akan terlihat menakutkan sekaligus menggembirakan. Sebagai contoh dalam sejarah Dinasti Ming, jika seseorang memiliki aksen yang berbeda pada masa itu, maka dia akan diberi harga kepala yang cukup tinggi. Contoh kecil ini menunjukkan bahwa semangat kedaerahan bisa jadi berakibat fatal sekaligus mempunyai pengaruh yang sangat besar pada sebuah peradaban. Maka di sisi lain, rasa kedaerahan kadangkala menempatkan kita dalam posisi dilematis. Apalagi yang akan dipakai untuk mempertahankan budaya Indonesia jika bukan dari semangat kebudayaan-kedaerahan yang dianut? Negara Indonesia juga berasal karena budaya-budaya daerah yang masih eksis sampai sekarang.

Posriil-imajiner

Maka diperlukan konsep progresif untuk mengakomodasi keberadaan suku, agama, dan kelompok lain sebagai akar rumput kemudian Indonesia sebagai nasion. Jika konsep riilimajiner menganggap eksistensi yang nyata berhenti pada suku, maka posriil-imajiner menempatkan nasion sebagai eksistensi yang utuh dan yang akhir. Posriil-imajiner menolak konsep imajinasi yang disematkan pada nasion Indonesia.

Konsep posriil-imajiner hadir, bukan berarti melupakan identitas suku dan daerah masing-masing, tapi menunjukkan bahwa setelah Indonesia mengalami proses peng-ada-an karena terdiri dari rangkaian suku-suku dan entitas lainnya, maka ia kemudian bertransformasi menjadi riil, karena berubah menjadi satu. Satu berarti ada realitas. Bukan imajinasi atau khayalan.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 pasal 25 ayat 2 menegaskan bahwa Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional berfungsi sebagai lambang kebanggaan nasional, jati diri bangsa, sarana pemersatu berbagai kelompok etnik, dan sarana komunikasi antardaerah dan antar budaya daerah. Frasa yang perlu digarisbawahi adalah ‘jati diri bangsa’. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia mempunyai sebuah ‘kedirian’ yang tidak bisa disangkal.

Penyebab kronis dari anggapan bahwa Indonesia hanyalah bayangan belaka adalah munculnya sebuah pamafhuman; wajar jika ada petinggi-petinggi negara yang main-main dalam urusan negara, karena masih menganggap bahwa Indonesia ini hanyalah imajinasi, bukan sesuatu yang ada dan harus dipertaruhkan.

Dikutip dari buku The Love Story of Bung Karno: Jalan Cinta Sang Presiden, Ir. Soekarno pernah berkata, “Aku ditakdirkan menjadi pemimpin dan sekarang menjadi Presiden Indonesia. Aku mau mengorbankan kesukuan Jawaku, untuk membuktikan kesungguhan keindonesiaanku.” Dari pernyataan itu, Soekarno melihat Indonesia sebagai sebuah kesungguhan, bukan sesuatu yang bisa dimain-mainkan. Jadi suku-suku, agamaagama, dan kelompok-kelompok lain memang pasti, tapi Indonesia juga pasti. Bukan imajinasi.

Selanjutnya mari bersyukur telah hadir Sunda Empire yang akan mengendalikan seluruh pemerintahan dan kerajaan yang ada di dunia saat ini. Mari berharap bahwa orangorang yang ada di Indonesia memang adalah orang-orang berjiwa besar yang ingin menciptakan pusat peradaban dan perdamaian dunia. Mari berimajinasi. ***