Keadilan yang Hilang

Keadilan yang Hilang

Putus sudah nadi keadilan di negeri Melayu. Sebuah episode panjang perjalanan perjuangan Bongku bin Jelodan, seorang warga adat Sakai yang mendapat tuntutan penjara oleh karena menebang pohon di area konsesi perusahaan HTI, PT Arara Abadi. Bongku dinyatakan bersalah oleh hakim Pengadilan Negeri Bengkalis atas tuduhan mengelola lahan dan menebang 20 batang pohon untuk ditanam ubi mangalo di Desa Koto Pait Beringin, Kecamatan Talang Muandau, Kabupaten Bengkalis. Dia divonis 1 tahun penjara dengan denda Rp200 juta dan subsider 1 bulan.

“Keputusan itu, sungguh menggetarkan nurani keadilan, dan sekaligus mencabik-cabik rasa kemanusiaan di negeri ini”, tegas Direktur ISAIS UIN Suska Riau, Alimuddin Hassan Palawa. “Apa yang dilakukan oleh Pak Bongku adalah naluri alamiah seorang petani adat, yang berusaha mencari sesuap nasi. Sebagaimana yang di kemukakan oleh Datuk Al Azhar, Bongku itu tidak berusaha memperkaya diri, tetapi berupaya bertahan hidup” tegas nya lagi.

“Peristiwa di pengadilan itu adalah legitimasi dari cerminan kasat mata apa yang terjadi selama ini, yaitu ketika “tamu” mengambil paksa menjadi “tuan rumah” di bumi Lancang Kuning”, lanjut Direktur ISAIS.

Sebagaimana diketahui bersama bahwa Suku Sakai merupakan salah satu Suku tertua di tanah melayu ini. Suku ini, sangat bergantung pada hutan. Bagi mereka, hutan atau alam adalah rumah dan tempat mencari mata pencaharian. Bahkan dengan hutan, mereka bisa membaca tanda-tanda alam, misalnya jenis pohon dan rerumputan yang ada di hutan, bisa menentukan jenis satwa apa yang ada di dalamnya. Karena itu, mereka memiliki tradisi yang kuat, untuk selalu menjaga ekosistem hutan.

Kini, Sakai tak lagi punya hutan belantara. Keangkuhan perusahan-perusahaan raksasa yang ada di sana, memberangus keceriaan kaum Sakai di “rumah”nya sendiri. Kepungan beberapa perusahaan itu, justru melilit kehidupan mereka. Karenanya, seorang Bongku bermaksud ingin bertanam Ubi Kayu Manggalo (Ubi Racun) yang kemudian diolah menjadi Menggolo Mersik, salah satu makanan tradisional masyarakat adat Sakai. Karena hutan tak ada, dia tebas hutan di area konsesi perusahaan HTI, PT Arara Abadi.

Aktivitas yang tidak Memperkaya Diri

Sebagaimana yang disampaikan oleh beberapa lembaga yang telah memberikan advokasi atas kasus ini, seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), dan yang lainnya, bahwa dalam sebuah Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) menyatakan Bongku tak berniat merusak hutan. Bongku hanya ingin berladang ubi.

“Tersebab itu, maka negara dalam hal ini Pengadilan Negeri Bengkalis, selayaknya mempertimbangkan aspek nurani. Bongku ini bukan orang kaya raya yang menebang demi keuntungan, tapi hanya msayarakat yang hidupnya melarat yang menebang demi mengisi perut, bukan memperkaya diri” tegas Hanafi, sekretaris ISAIS UIN Suska Riau.

“Dan apa yang dilakukan oleh Bongku dengan menebang pohon seorang diri, bertujuan hanyalah  untuk tanam ubi manggalo atau ubi racun sebagai makanan pokok mereka. Selain itu, masyarakat Suku Sakai kan sudah hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan sejak dulu kala” jelas Hanafi lagi.

Dalam ilmu Fiqh itu ada istilah maqashid al-syariah, tujuan ditetapkannya sebuah hukum. Ketika sebuah hukum ditetapkan, maka ia harus mempertimbangkan aspek tujuan dari penetapan hukum itu sendiri. Misalnya dalam Alquran Surah Al Jumu’ah ayat 9 tentang perintah shalat Jumat dan meninggalkan jual beli. Tujuan utamanya adalah mengingat Allah dengan bersegera shalat Jumat, bukan berarti jual beli dilarang di hari Jumat.

Begitu juga, ketika melihat kasus hukum Bongku ini. Ketika hukum ditafsirkan, maka sebuah norma hukum harus melihat sisi subyektifnya, jika sisi ini tidak tepat untuk diberlakukan, maka jangan lihat sisi obyektifnya. Nah, tuntutan atas Bongku dengan satu tahun penjara dan denda Rp 500 juta, subsider 1 bulan kurungan, yang sebagaimana dakwaan pada Pasal 82 Ayat (1) Huruf c UU No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H), mestinya tidak sah. Sebab, tujuan utama atau maqasid al shariah dari pasal ini adalah untuk pencegahan perusakan hutan yang dilakukan penjahat terorganisir dan kelompok terorganisir untuk memberi efek jera. Bahkan, dan yang paling penting adalah, mereka bertujuan untuk memperkaya diri.

Berdasarkan pertimbangan itu lah, lalu Institute for South-east Asian Islamic Studies (ISAIS) UIN Suska Riau, menyesalkan atas amar putusan yang telah berlaku pada kasus Bongku ini. Pengadilan telah mengebiri hal yang mendasar dari keadilan itu sendiri, yaitu kemashlahatan bagi manusia. Sebagaimana yang di sebutkan oleh Imam Syatibi bahwa “Sesungguhnya syariah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat“.

By: Alimuddin Hasan Palawa (Direktur ISAIS) dan Imam Hanafi (Sekretaris ISAIS)

Leave a Reply