ISLAM DAN KEBANGSAAN (Nurcholis Madjid)

ISLAM DAN KEBANGSAAN (Nurcholis Madjid)

Islam di Indonesia adalah gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan adat istiadat. Dengan kata lain, Islam yg ada di Indonesia menyinergikan ajaran Islam dengan adat istiadat lokal yang tersebar di wilayah Indonesia. Islam hadir tidak untuk merusak atau menantang tradisi yang ada. Di mana bumi dipijak, di situ langit di junjung.

Islam hadir memperkaya dan mengislamkan tradisi dan budaya yang ada secara bertahap. Artinya, Islam di Indonesia yaitu Islam dengan ciri  khas ke-Nusantara-annya, Islam yang telah melebur dengan tradisi dan budaya yang ada di Nusantara (Zainul Milal Bizawie, 2016). selama tidak bertentangan dengan ruh Islam“al-Adatu Muhakkamatun, adat bisa menjadi hukum yang bisa diberlakukan.

Sejarah mencatat, bahwa Islam datang ke Indonesia ini tidaklah dengan pedang, tapi dengan kedamaian, tidak dengan kemarahan, tapi keramahan. Inilah pesan yang menjiwai karakteristik Islam di Indonesia, sebuah wajah Islam yang moderat (tawasut), toleran (tasamuh), cinta damai dan menghargai keberagaman. Islam yang merangkul, bukan memukul, Islam yang membina bukan menghina, Islam yang mengajak bertaubat bukan menghujat, Islam yang teduh bukan menuduh, dan Islam yang memberikan pemahaman dan pencerahan bukan memaksakan. Demikianlah karakteristik Islam yang disebarkan oleh para penyebar Islam di Indonesia seperti Walisongo, yang cukup dominan dalam pembentukan kultur Islam di Indonesia.

Menurut Nurcholis Madjid seluruh warga bangsa Indonesia terutama kaum muslim yang merupakan golongan terbesar harus benar-benar memahami pengertian “negara bangsa” atau nation state secara benar. Negara bangsa adalah suatu gagasan tentang negara yang didirikan untuk seluruh bangsa.

Pengertian bangsa atau nation dalam bahasa Arab sering diungkap dengan istilah ummah (ummatun, umat) seperti United Nations. Persatuan bangsa-bangsa yang terjemah Arabnya ialah “al-umam al-Muttahidah”, ummat-ummat bersatu. Jadi “negara bangsa” adalah negara untuk seluruh umat yang didirikan berdasarkan kesepakatan bersama yang menghasilkan hubungan kontraktual dan transaksional terbuka antara pihak-pihak yang mengadakan kesepakatan itu.

Menurut cak Nur Tujuan negara bangsa adalah mewujudkan maslahat umum (dalam pandangan kenegaraan salaf disebut dengan al-maslahat al-„ammah atau al-maslahat almursalah), negara bangsa berbeda dengan negara kerajaan yang terbentuk tidak berdasarkan kontrak sosial dan transaksi terbuka, tetapi karena kepeloporan seseorang tokoh yang kuat dan dominan. Karenaitu negara kerajaan berdiri demi kejayaan seseorang raja dan dinastinya. Sedangkan negara bangsa berdasarkan kontrak sosial dalam pembentukannya, bukan negara dinastik. Dalam negara bangsa, semua kebijakan pemerintah harus dibuat dengan sepenuhnya tunduk kepada maslahat umum

Omi Komaria Madjid (istri Cak Nur) di dalam bukunya yang berjudul, Hidupku Bersama Cak Nur, menceritakan penyampaian Kutipan pidato Cak Nur yang terakhir dalam kondisi yang masih sakit sebagaimana kutipanya:

Dalam memperingati 60 tahun kemerdekaan Indonesia cak nur memberi tema pidatonya dengan “Menyelamatkan Komitmen Nasional”. Komitmen Nasional yang di maksud adalah komitmen bangsa sejak dari semula untuk mendirikan negara bangsa yang modern. Negara bangsa yang modern adalah negara bangsa yang berkeadilan, terbuka dan demokratis. Berkeadilan mengandung makna kesamaan antarmanusia, tidak ada perbedaan di antara warga negara berdasarkan alasan apapun.

Nondiskriminasi adalah persyaratan bagi adanya keadilan. Oleh karena itu keadilan memerlukan sikap egalitarian yang memandang semua orang sama. Semua potensinya sama dan harus dikembangkan sikap saling percaya antara para anggota masyarakat.

Masyarakat adil adalah masyarakat yang terbuka, toleran yang tidak mengizinkan adanya pemaksaan pendapat kepada kelompok lain. Keterbukaan ini menjadi syarat adanya demokrasi. Karena demokrasi adalah masyarakat yang terbuka, yang intinya adalah kebebasan untuk menyatakan pendapat baik pada level pribadi maupun institusional. Dengan kebebasan itu kita mendorong produksi atau produktivitas yang lebih tinggi pada masyarakat karena ada kebebasan dan inisiatif.

Untuk menciptakan Masyarakat yang berkeadilan di Indonesia maka masyarakat dan pemerintah harus bersinergi untuk saling merangkul. Yang kuat memantu yg lemah, yang kaya membantu yang miskin. Tidak ada yang namanya mendiskreditkan. Apalagi yang berkaitan dengan keyakinan. Mayoritas jangan mendiskriminasi yang minorotas.

Islam memang turun di Jazirah Arab. Kitab suci agama Islam dan Nabi Muhammad SAW pembawa risalah Islam pun berbahasa Arab, sehingga ada asumsi bahwa segala hal yang berbau Arab diidentikkan dengan Islam. Menjadi Arab berarti menjadi Islami. Padahal, tidak demikian. Tidak selalu yang berbau Arab mesti Islami, Di sini perlu dibedakan mana produk agama dan mana produk budaya.

By: Zulhadi Ihsan

BUDAK: Pembebasan Periode Madinah

BUDAK: Pembebasan Periode Madinah

Ketika Rasulullah masih berada di Mekkah penanganan masalah pembebasan perbudakan belum diupayakan secara radikal karena harus diselaraskan dengan situasi faktual dan kondisi objektif ummat Islam saat itu. Namun, setelah hijrah dan menetap di Madinah, ayat-ayat al-Qur’an turun dengan gencar dan sistimatis serta lebih radikal sebagai upaya untuk menghapus sistem perbudakan yang tidak sempat dituntaskan sewaktu masih di Mekkah. Karenanya, dalam surat al-Baqarah, termasuk sebagi surat yang pertama kali diturunkan di Madinah, Allah mengajarkan betapa mulia dan agung kebajikan yang dimiliki bagi orang yang memerdekakan budak, sampai-sampai Allah menyamakan kebajikannnya beriman kepada-Nya, beriman hari akhirat, mendirikan sholat,  menunaikan zakat dan al-birr lainnya.

Firman Allah: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesunguhnya kebajikan …. dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati  janjinya apabila ia berjanji dan orang-orang yang sama dalam kesempitan, penderita dan dalam peperangan. Mereka itulah yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” Al-Qur’an, al-Baqarah (2): 177. Dan pada ujung ayat ini Allah mengklaim bahwa orang-orang yang memerdekekan budak termasuk salah seorang yang bertaqwa. Predikat ketaqwaan tersebut sangat layak dan logis untuk di sandang, bukankan memerdekan budak sebagai “jalan yang mendaki lagi sukar”.

Begitu pula, dalam  pembebasan perbudakan, pemberian harta untuk membebaskan budak yang semula dikategorikan sebagai sedekah belakangan disamakan dengan pembayaran zakat. Karena itu, al-Qur’an menyebutkan bahwa  zakat yang terkumpul juga dimaksudkan untuk memerdekakan budak. Ameer Ali mengutip firman Allah:  “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanya untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak,  orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perejalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan oleh Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.s. al-Taubah [9]: 60; Ameer Ali, The Spirit of Islam:  262).

Seiring dengan ayat di atas, dalam  upaya-upaya lebih intens, Rasul Allah saw. memerintahakan umatnya tanpa jemu-jemu atas nama Allah, karena membesaskan budah adalah perbuatan  yang (paling) diredah oleh ‎Allah. Lebih jauh Ameer Ali memamarkan sikap Nabi Muhammad saw. terhadap perbudakan: “Ia menetapkan bahwa budak diizinkan untuk menebus kebebasan dirinya dengan jalan upah pekerjaannya. Kalau budak yang malang itu tidak mempunyai pengahasilan dan bermaksud mencari pengahasilan demi menebus kebebasannya, maka mereka harus diperkenankan oleh tuannya dengan suatu perjanjian. Ia juga menentukan bahwa budak harus diberikan dana dari perbendaharaan negara guna menebus kemerdekaannya…. Rasul Allah memerintahkan agar memperlakukan para budak dengan  ramah dan santun, sebagaimana perlakuan kepada keluarga dan tentangga atau seperti pada teman seperjalanan. Dianjurakan untuk “memberikan sebagian harta kekayaan yang dianugrarhkan Allah kepadamu.” Para majikan dilarang mempergunakan kekuasaanya dalam melampiaskan hawa nafsunya kepada budak yang dimilikinya. Pembebasan budak dilakukan sebagai tebusan kerena membunuh seorang Islam dengan tidak sengaja, dan perbuatan kesalahan lainnya.” (Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam: 263).

Dari kutipan di atas nyata sekali bahwa salah satu cara dalam agama Islam untuk menghapus perbudakan adalah diperkenankannya seorang budak meminta kemerdekaannya pada tuannya dengan perjanjian bahwa ia akan membayar sejumlah uang yang ditentukan.  Allah menganjurkan agar bagi mereka yang memiliki budak agar menurutkan perjanjian yang mereka inginkan serta memberikan mereka sebagaian harta yang dianugrahkan Allah. Firman Allah: “…. Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu.” (al-Qur’an, al-Nur [24]: 33.) Dan untuk lebih capat lunasnya perjanjian tersebut hendaklah budak-budak itu ditolong dengan harta yang diambil dari zakat. (Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam:263)

Begitu pula  ajaran-ajaran al-Qur’an yang  dibawa oleh Nabi Muhammad saw. memerintahkan para tuan agar  menyantuni para budak yang mereka miliki. Firman Allah: “Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka Mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?” (Q.s. al-Nahl [16]: 71).

Pada bagian lain Allah memerintahkan agar memberdayakan budak lewat memberi zakat. Firman Allah: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.s. al-Taubah [9]:  60).

Di sisi lain, al-Qur’an juga mempuyai cara tersendiri dalam upaya-upayanya  pemebebasan/ menghapus perbudakan dalam Islam. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa bagi seseorang yang melakukan pelanggaran ajaran agama maka kaffarah alternatifnya, di antaranya adalah membebaskan budak. Misalnya, pertama, apabila seseorang membunuh dengan tidak sengaja (tidak dibenarkan syara’) seorang mukminm, maka kaffarah (dendanya), disamping membayar “diat”, adalah diwajibkan membebaskan budak. Firman Allah: “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (al-Qur’an,  al-Nisa [4]: 92).

Kedua, bagi seseorang yang bersumpah dan kemudian  melanggar sumpahnya maka hukumannya, kalau tidak memberikan makanan dan pakaian kepada keluaraga (ummat Islam), maka ia diwajibkan memerdekakan budak. Firman Allah: “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah  kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). (al-Qur’an,  al-Maidah [5]: 89).

Ketiga, bagi orang-orang yang menzihar istrinya (misalnya ia berkata “punggungmu seperti punggung ibuku), maka sebelum ia melakukan hubungan kembali dengan istrinya, maka hendakalah ia memerdekakan budak. Firman Allah: “Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. ( al-Qur’an,  al-Mujadalah [58]: 3).

Sementara itu, kalau pada periode Mekkah, al-Qur’an masih mentolerir si tuan “menggauli mamalakatnya” di luar nikah, maka pada periode Madinah al-Qur’an tampak sekali berupaya untuk mengangkat derajat kaum wanita, sehinga kalau si tuan berhasrat ingin “menggauli” budak-budak wanitanya dianjurkan terlebih dahulu menikahinya secara sah. Untuk itu, al-Qur’an tidak memperkenankan lagi si tuan memaksakan hasrat lebido seksnya kepada budak-budak wanita yang mereka miliki. Firman Allah:“… dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.” (Al-Qur’an, al-Nur [24]: 33).

Apapun alasanya, termasuk demi menjaga kemaluan dan kehormatan, sebelum nikahi dengan baik-baik. Bahkan Islam mengajarakan bahwa mengawini wanita budak lebih baik dari wanita-wanita merdeka tetapi musyrik. Al-Qur’an menyebutkan bahwa budak-budak wanita berimana termasuk wanita-wanita yang tidak haram dinikahi. Dan ketika menikahinya, di samping harus minta izin kepada tuannya, al-Qur’an menganugrahkan perhargaan kepada budak-budak wanita dengan cara mendapatkan mas kawin. Firman Allah: “Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang mereka pun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Lebih dari itu, al-Qur’an mengangkat derajat wanita-wanita budak yang beriman melebihi wanita-wanita yang merdeka tetapi musyrik. Perbandingan ini tampak nyata dalam al-Qur’an ketika seseorang berkeinginan untuk mengawini wanita musyrik yang menarik hatinya, tetapi diingatkan oleh Allah bahwa budak-budak wanita yang beriman adalah lebih baik.  Firman Allah: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (al-Qur’an, al-Baqarah [2]: 221).

Anjuran untuk menikahi budak-budak wanita merupakan salah satu cara Islam yang secara tidak langsung –dan tentu saja lewat lembaga pekawinan lebih efektif– untuk membebaskan wanita perbudakan. Kalaupun budak-budak wanita yang diperistri itu tidak sempat merdeka, tetapi karena diikat suatu pertalian suci, tentu saja perlakuan suami akan lebih beradab dan santun (berprikemanusiaan). Dan untuk pertimbangan masa depan, tentunya anak yang dilahirkannya adalah anak merdeka. Karenanya, al-Qur’an begitu gencar mempromosikan agar seseorang mengawini budak-budak wanita mu’min, misalnya al-Qur’an menyarankan, “barang siapa yang kurang biaya” atau “agar terhindar dari perzinahan”  maka nikahilah wanita-wanita budak yang mu’min. Firman Allah: “Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu…” (Q.s.  al-Nisa [4]: 24].

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb

Alimuddin Hassan Palawa, (Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau).

GUS DUR, MODERASI DAN HUMANISME: (Belajar dari Jejak Bijak Sang Guru Bangsa Memaknai Kemanusiaan)

GUS DUR, MODERASI DAN HUMANISME: (Belajar dari Jejak Bijak Sang Guru Bangsa Memaknai Kemanusiaan)

Prolog

“Yang Lebih Penting dari Politik Adalah Kemanusiaan” (Gus Dur)

Dewasa ini, pergolakan pemikiran dan dinamika yang terjadi ditubuh bangsa ini kian hari kian komplek. Hal ini tidak dapat dipungkiri bagi suatu bangsa yang beranjak “menjelang dewasa” dari perjalanan panjang negeri ini mengarungi problematika dan menuju perubahan yang menjanjikan dan mencapai cita bangsa yang luhur dan berperi-keadilan. Namun perjalanan sejarah bangsa ini tidaklah berjalan dengan mulus begitu saja, sejak diproklamasikan pada 17 agusutus 1945 oleh proklamator Ir. Soekarno hingga sampai pada masa dewasa ini, banyak rintang silih berganti menghampiri. Jika kala pertama bangsa ini harus berjuang melawan kolonialisme dan imperialisme untuk merebut kemerdekaan, kini bangsa ini harus berjuang melawan “dirinya sendiri”.1

1 Pada pidato presiden Soekarno, beliau pernah mengucapkan “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Saat setelah Indonesia merdeka.

Sebagai suatu Negara yang memiliki identitas budaya dan jati diri sendiri, Indonesia menjadi “surga” dari keberagaman dan banyaknya budaya yang menyebar di seantero negeri, jati diri sebagai masyarakat yang heterogen dan multi-etnis yang menjadi sumber rujukan dimana harusnya toleransi dan nilai kebersamaan didapatkan. Itu semua menjadi harta paling berharga di atas segalanya, bahkan lebih berharga dari PT. Freeport yang menghasilkan emas berlian, lebih berharga dari Blok Rokan yang memberikan jutaan barel minyak dan gas alam, dan jauh lebih berharga dari jutaan hektar lahan serta luasnya samudera lautan di bumi Indonesia ini.

Namun, ada hal yang membuat kita harus miris akhir-akhir ini, ibarat kutipan lirik lagu Pance Pondaag “mengalun sendu pilu terasa”. Keinfantilan pemerintah dalam lini politik serta elite yang orientik kepentingan individu dan golongan seolah cenderung telah menafikan hal tersebut. Segala macam cara dilakukan demi memenangkan kontestalasi

politik kekuasaan, masyarakat di adu domba, etnis di pecah belah, masyarakat di bodohi dengan informasi dan tak mencerdaskan, kemanusiaan pun hilang makna, dan ironinya, masyarakat kita yang masih belum tersentuh pendidikan secara merata dan pemahaman kebangsaan yang masih minim akhirnya terlibat konfrontasi horizontal dan terkadang harus saling pukul dan meneteskan darah, sebut saja kasus konflik agama di Madura, konflik agama di Ambon, Maluku, konflik etnis jawa dan masyarakat tempatan di Deli, atau kasus kemanusiaan di Papua yang selalu termarjinalkan.

Belajar dari Gus Dur, “yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan”. Bagaimana Gus Dur menjadi tokoh central ditengah konflik horizontal masyarakat, memberikan pencerahan bukan sekedar kepentingan, jembatan antara konflik vertical rakyat dan pemerintah tanpa imbalan, menjadi pemimpin yang mengutamakan kedamaian dibanding pertikaian, dengan celana pendek dan disambut ratusan ribu petisi jihad siap mati demi Gus Dur ketika keluar dari Istana, dengan sederhana Ia berucap “Tak ada jabatan yang harus dipertahankan mati-matian”, keutuhan bangsa ini harus lebih diutamakan, lalu apakah masih ada tokoh masa kini yang mau mengikuti jejak bijak Beliau? Tentu kita nantikan!.

Dari Anak ‘Bandel’ Hingga Tokoh Moderat

Greg Barton dalam karya Best Sellernya, Gus Dur The Authortized Bioghrapy Of Abdurrahman Wahid, menceritakan secara netral perjalan tokoh satu ini. Dilahirkan 7 Sebtember 19402 dari garis keturunan pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH. Hasyim Asy’ary. Sosok Gus Dur boleh dikatakan sebagai anak yang tidak bisa stagnan atau diam dan lebih suka keluar dan menemukan hal-hal baru dengan keingin tahuannya yang sangat kuat. Masa kecilnya saja Ia pernah jatuh 2 kali dari pohon yang sama dan membuat tangannya patah terkilir saat itu. Mengabiskan masa kecil dalam keluarga yang agamis dan tradisionalis lantas tak membuatnya menjadi anak yang tunduk patuh begitu saja, ketika sudah mulai beranjak remaja dan melanjutkan pendidikan di pesantren bahkan ia pernah mendebat gurunya dan

2 Tanggal lahir beliau terdapat dua versi, yang pertama yang dimuat dalam Wikipedia dan yang terdapat di KTP beliau adalah 7 september 1940 dan versi lain lahir pada tanggal 4 agustus 1940, Greg Barton menjelaskan perbedaan ini bahwa 4 september itu dibuat pada bulan kedelapan tahun hijriah dan tepatnya 7 september 1940. Sebab dahulu penulisan tanggal lahir pada islam pedesaan ditulis pada kalender hijriah. Dan tanggal lahir Gus Dur ini keduanya diakui dan dirayakan, menurut Alissa Wahid, tanggal lahir Gus Dur 7 Sebtember adalah benar dan tanggal lahir 4 Agustus adalah legal. Beberapa pegiat dan akademisi yang meneliti Gus Dur lebih cenderung mengidentik kasus ini sebagai humor yang identic dengan Gus Dur, dan sosok Gus Dur yang dipandang Kontroversi, Mahfud Md contohnya, menyebutkan kontroversi Gus Dur itu wajar saja, tanggal lahirnya saja sudah kontroversi.

mengajak tukar pandangan yang dalam hal ini merupakan hal yang tabu dalam lingkungan pesantren dan pendidikan tradisionalis.

Selesai menempuh pendidikan di pesantren dan pendidikan atas (aliyah), Gus Dur diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya ke Al-Azhar, Cairo. Namun, sesampainya disana, bukannya menyelesaikan study strata I –nya malah beliau bolos dan lebih sering menonton film, main bola, dan belajar serta membaca buku diperpustakaan. Hal ini bukan tidak berdasar, sebab penempatannya di kelas dasar kelas bahasa yang membuatnya bosan serta materi kuliah yang Ia anggap membosankan dan tidak ada hal baru yang akan Ia pelajari, sebab mata kuliah tersebut telah Ia selesaikan semasa di pondok pesantren. Hal ini bisa dibuktikan dengan kemampuan serta kecerdasan beliau yang melebihi pelajar seusianya, misalnya ketika Musthafa Bisri melakukan kursus bahasa Prancis di Cairo, sedang Gus Dur asyik mendengarkan pelajaran tersebut dari luar, malah Gus Dur yang lebuh dahulu fasih bahasa prancis.

Selama di Mesir, Gus Dur yang juga sibuk mengurusi Persatuan mahasiswa dan pelajar Indonesia Timur Tengah tak ketinggalan informasi serta kejadian yang terjadi di tanah air, sehingga kelak kepulangannya ke Indonesia tidak lantas membuatnya minim pengetahuan tentang Indonesia.. Sekembalinya ke Indonesia, Gus Dur sudah dihadapkan pada banyak persoalan internal NU dan dinamika kebangsaann yang begitu komplek. Sebagai seorang cucu pendiri NU dan laki-laki tertua diantara keluarganya beliau diharapkan mampu meneruskan perjuangan kakek dan ayahnya Wahid Hasyim.

Kiprahnya dimulai ketika Ia menjadi Ketua PBNU, dan mulai memodernisasi NU dan ikut serta dalam dinamika kebangsaan. Keterlibatannya dalam dinamika kebangsaan tak berjalan mudah, disebabkan penguasa pada saat itu yang cenderung otoriter dan berhadapan dengan kelompok yang ingin memisahkan diri dari NKRI. Banyak kesempatan ketika terjadi konflik dalam satu daerah, Gus Dur menjadi tokoh yang dikirim untuk menyelesaikan hal tersebut. Mulai dari Aceh hingga keberangkatannya ke Timur Indonesia. Walaupun Gus Dur berseberangan dengan pemimpin saat itu, Soeharto, namum ketika berhadapan persoalan kemanusiaan dan kebangsaan, Gus Dur pasti menghilangkan perbedaan pandangan tersebut dengan Soeharto.

Penyelesaian-penyelesaian secara persuasive yang dilakukan Gus Dur jauh berbeda dengan cara-cara yang dilakukan oleh Soeharto yang mengandalkan gaya militer. Terbukti dengan pendekatan Humanisme-nya Gus Dur, persoalan tersebut dapat memberikan hal

yang solutif, contohnya saran dan pendekatan dialog antar agama yang harus diterapkan secara berkala dan kontiniu. Cara-cara yang dilakukan Gus Dur tersebut terus berlanjut hingga beliau menjadi orang nomor satu di Negara ini. Pembelaannya terhadap kaum minoritas tak lantas membuatnya ciut dari cercaan sebagaian kaum yang mengkritik. Baginya keadilan adalah persamaan derajat (Egaliter) sehingga beliau digelar bapak Pluralisme. Pembelaanya terhadap agama minoritas membuatnya dijadikan sebagai panutan dalam melalui perjalanan bangsa ini.

Dari sikap Moderat inilah beliau beranjak dalam perpikir dan berpijak dalam melangkah, menghilangkan cara-cara kekerasan dan mengutamakan cara persuasive kemanusisaan. Maka ketika berbicara kebangsaan, beliau sebagai nahkoda NU pada saat itu yang juga ikut serta sepakat menjadikan mencasila sebagai asas tunggal sebagai paradigm dan ideology bangsa. Kebagsaan beliau yang tak bisa ditawar-tawar dan cara-cara moderat beliau dalam menyelesaikan permasalahan menjadikannya tokoh yang patut dikenang dan diikuti sebagai tokoh yang memeberikan sumbangsih besar dalam makna moderasi Bergama dan medorasi dalam pikir dan sikap.

Semua Demi Humanisme

Prof. Dr. Asy-Syiddieq dalam bukunya Falsafah Hukum Islam menyebutkan bahwa hokum itu berpijak pada dasar kemanusiaan, maka segala hokum yang ada adalah hokum kemanusiaan. Gus Dur adalah figure yang menjadi sumber kemanusiaan bagi masyarakat dan bangsa yang “tersesat” mencari makna dan menerapkan hokum demi kemanusiaan.

Perjalanan sejarah yang Ia ukir dalam menerapkan hokum kemanusiaan tak bisa lagi dibantah, hail-hasil yang Ia dapatkan dalam meneyelesaikan problematika kebangsaan dan konflik perbedaan yang terjadi di Negara ini pantas menjadi jejak bijak yang akan selalu dikenanng dan dijadikan referensi dalam menghadapi persolaan hingga dewasa ini hingga bagaimana Ia memberikan pemaknaan Islam yang rahmat jauh dari term-term kekerasan yang diajarkan oleh paham transnasional.

Salah satu ajaran dengan sempurna menampilkan universalisme Islam yang dapat dipetik dari sisi Gus dur:

  1. Keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum.
  2. Keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama.
  3. Keselamatan keluarga dan keturunan.
  4. Keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum;
  5. Dan keselamatan profesi

Yang kesemua poin itu menjadi landasan beliau dalam berbuat. Dari paparan di atas terlihat bahwa Gus Dur menemukan universalisnme Islam di dalam ajaran kemanusiaan. Artinya, segenap nilai utama yang meliputi tauhid, fiqih, dan akhlaq ternyata menunjukkan kepedulian mendalam atas nasib kemanusiaan. Demikianlah Gus Dur, guru bangsa yang menjadi sumber ajaran kemanusiaan.

Konklusi

Ajari kami!

Bagaimana cara memberi?

Menurut sila kelima penuh arti

Tentang tuan

Tentang social yang berkeadilan

Tentang semua raup penghasilan

Tentang segala yang sudah kalian harta pribadikan

Tentang kami

Tentang menahan lapar dan mengulur mati

Tentang menyeka pilu dan mengusap luka hati

Tentang semua tengadah tangan mohon dikasihani

Ajari kami!

Bagaimana supaya tak lagi meminta

Cara terlepas dari ketergantungan tuan harta dan tahta

Jalan hidup menjauh dari semua iba yangterpaksa

Melupa! Dan mengangap kalian tak pernah ada

Bisakah?

Beri kami hormat saat tuan melempar sebungkus nasi

Pandang kami manusia bukan miskin tua penuh alergi

Bolehkan?

Kami mengambil sesuatu dengan rasa bangga

Bukan dengan setiap saat dengan tetesan air mata

Bolehkan?

Kita berdiri sama tinggi lalu duduk sama rata

Tertawa bersama lupakan kasta

Walaupun dengan cerita kau kupuja dan kau balas sandiwara

Agar kita sama menjadi menusia dan taka da dewa.

Pekanbaru, 03 September 2020

By: Asmin Mahdi (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia UIN Sultan Syarif Kasim Riau)

Budak: Pembebasan Priode Mekkah

Budak: Pembebasan Priode Mekkah

Term hamba dalam perbincangan keseharian, kerapkali disandingkan dengan term hamba. Padahal, antara kedua term tersebut mempunyai diferensiasi makna yang cukup  siknifikan. Kalaupun harus dipersamakan maka buru-buru harus ditambahkan dengan kata “sahaya” sehingga menjadi “hamba sahaya”.  Mengingat term yang disebut pertama lebih berkonatasi kepada hubungan dan pengabdian manusia kepada Tuhan. Sementara yang disebut belakang lebih diidentikkan dengan hubungan dan pengabdian seseorang tertentu terhadap tuannya. Lagi pula,  term “budak” –sebagai term hubungan manusia dengan manusia (habl min al-nās) [sesuai dengan defenisi di atas] mengandung makna bahwa ketika seseorang telah menjadi budak, maka  dengan sendirinya hak dan kebebasannya menjadi terpasung dan seketika sirna. Sedangkan term “hamba” –sebagai term hubungan manusia dengan Tuhan (habl min Allah)– hak dan kebebasan manusia di hadapan Tuhan sedikitpun tidak terenggut. Karena dengan hanya ber-Tuhan-kan pada Allah justru berarti manusia membebaskan dirinya dari berbagai bentuk perbudakan.

Dalam mengungkapkan kedua term “hamba” dan “budak”, al-Qur’an mempergunakan kata yang berbeda. Untuk term yang disebut duluan, term hamba, al-Qur’an mempergunakan kata “’abd”. Kalaupun al-Qur’an menggunakan term ini beronotasi kepada hubungan sesama manusia, hanya sekali dijumpai dalam al-Qur’an yang (Q.s.. al-Baqarah [2]: 221). Namun, term  ‘abd (hamba) tersebut  akan acap kali diketemukan dalam al-Qur’an, khusus pada hubungan manusia dengan Allah. [Lebih lanjut term ‘abd  tidak menjadi fokus karena tidak relevan dengan pembahasan dalam tulisan ini]. Artinya penghambaan yang dibolehkan al-Qur’an hanya kepada Allah; sementara penghambaan terhadap manusia, manurut al-Qur’an dan Nabi Muhammad saw., adalah terlarang. Karena itu, menurut panelitian Quraish shihab, tidak ditemukan dalam al-Qur’an kata raqabah yang dinisbatkan kepada orang-arang Mukmin. Atau dengan kata lain, tidak ditemukan dalam al-Qur’an kata rikabatukum atau riqabukum. Hal ini untuk memberikan pelajaran bahwa kalau pun seseorang satu dan lain hal memiliki budak,  maka ia harus tetap memperlakukannya secara manusia. Dengan kata lain ia tidak boleh memperlakukannya sebagai budak yang terbelenggu lehernya. (Lihat, M. Quraish shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Tafsir atas Surat-surat Pendek Beredasarkan Urutan Turunnya Wahyu: 810).

Untuk term yang disebut belakangan, term budak terkadang al-Qur’an mempergunakan kata “raqabah” dan di lain tempat al-Qur’an mempergunakan kata “malakat aimanukum”. Kata raqabah terulang di dalam al-Qur’an, menurut Quraish Shihab, tersebut sebanyak enam kali dalam bentuk tunggal; dan dalam bentuk jamaknya, riqab, sebanyak tiga kali. Kata ini pada mulanya berarti “leher”, kemudian diartikan sebagai manusia yang terbelenggu (terikat lehernya) dengan tali. Karena  memang demikianlah nasib dan  keadaan budak-budak pada zaman  dahulu. Sementara kata malakat aimanukum, di dalam al-Qur’an tercantum juga sebanyak sebanyak enam kali; dan empat di antarnya berkonotasi khusus kepada budak-budak wanita dalam melakukan “hubungan” dengan tuannya baik tidak lewat pernikahan ataupun lewat pernikahan. Mengingat kesan diperoleh dari istilah raqabah di atas sangat buruk, yaitu menggambarkan seseorang terbelenggu lehernya seperti binatang, maka al-Qur’an  memilih untuk tidak menamai mereka dengan ‘abd (hamba sahaya), tetapi menamainya malakat aimanukum (apa yang dimiliki oleh tangan kananmu). (Lihat, M. Quraish shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim,  809-810).

Dalam al-Qur’an, sembari memberikan perumpaan, Allah mendefenisikan sendiri bahwa  budak adalah seseorang “hamba sahaya yang dimiliki dan tidak dapat bertindak sesuatu apapun”. Firman Allah: “Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang kami beri rezki yang baik dari kami, lalu dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan. Adakah mereka itu sama? Segala puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada mengetahui.” (Al-Qur’an, Al-Nahl [16]: 75).

Dari batasan ayat ini didapatkan pemahaman bahwa budak adalah seseorang yang dikuasai dan tidak dapat berbuat sesuatu apapun atas namanya sendiri atau tidak berbuat apapun tanpa sepengetahuan dan seizin tuannya. Bahkan lebih dari itu, budak berkewajiban mengikuti jejak tuannya dalam berbagai kehidupan, termasuk mengekor dalam hal ideologi dan kepercayaan-keagamaan. Seorang budak tidak punya hak kesempatan untuk berbeda pandangan, apalagi membantah pendapat tuannya. Seorang budak tidak berhak untuk menolak perintah tuannya; dan ia berkewajiban untuk menaati apapun permintaan dan hasrat tuanya, termasuk ajakan untuk melacur diri demi keuntungan dan  kepuasan sang tuan. Nasib seorang budak sangat tergantung dari tuannya; kebebasan dan kemerdekaanya berada dalam genggaman tuannya; si tuan berhak menjatuhkan hukuman apapun atau si tuan tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan imbalan kebaikan kepada budak yang dimilikinya. Pendek kata, budak tidak mempunyai hak-hak apapun tetapi mempunyai kewajiban-kewajiban sedemiian banyak dan besar. (lihat, W. Montgemory Watt, Muhammad at Madina, Oxford: OUP, 1956: 293).

Budak dalam beberapa hal dapat dibandingkan dengan poligami. Seperti halnya poligami, perbudakan juga ada pada semua bangsa. Kedua hal ini, khusunya yang disebut belakangan, lambat laun akan menjadi terhapus seiring dengan bertambah majunya pemikiran dan peradaban serta dengan semakin tumbuhnya rasa kemanusiaan dan keadilan ummat manusia terhadap sesamanya. (Lihat, Syed Ameer Ali,  The Spirit of Islam: 258). Sehingga dapat dipahami, kalau tempo dulu perbudakan tetap  eksis sepanjang sejarah anak manusia sejak pada masyarakat primitif hingga sampai lahirnya agama Kristen, dua mellenium yang lampau. Bahkan agama yang dibawa oleh Nabi Isa (Alayhi al-Salām) itu, dengan ajaran “kasihnya”, dapat dikatakan gagal  mengelaminir, apalagi menghapuskan praktek-praktek perbudakan di muka bumi. Memang perbudakan pada masa-masa itu masih merupakan suatu “keniscayaan” hidup yang tak terbantahkan.

Lebih jauh, menurut Ameer Ali, Agama Kristen telah gagal dalam menghapus perbudakan. Kalangan geraja sendiri mempunyai budak-budak; dan dengan kata-kata yang nyata mengakui adanya lembaga perbudakan. Orang-orang Kristen yang mengklaim diri  mempunyai peradaban tinggi melakukan kekejaman-kekejaman yang paling begis terhadap oang-orang malang yang mereka pelihara sebagai budak. Orang Kristen kulit putih tidak pernah mengakui dan mengesahkan anakanya yang lahir dari hubunan gelap dengan budak-budaknya yang wanita negro. Dengan peremnpan-perempuan itu,  mereka  tidak dapat kawin sacara sah. Orang-orang Kristen tidak mampu menangkap dan  mengerti semangat ajaran-ajaran yang dibawa  Nabi-nya  mengenai persamaan manusia dalam pandangan Tuhan.  (Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam: 261-262).

Ketika Islam datang lewat Nabi Muhammad (S}allalla>hu ‘Alayhi Wasallam),  perbudakan tetap merupakan suatu fenomena dan realitas hidup keseharian. Dan sepertinya, al-Qur’an sendiri “lamban” dan “tidak tegas” menagani masalah ini; bahkan seolah-olah Islam masih “melegitimasi” adanya perbudakan. Penanganan al-Qur’an terhadap masalah ini tidak jauh berbeda dengan pelarangan minuman keras dan riba. Terhadap kedua persoalan tersebut, al-Qur’an pada awalnya masih diperbolehkan, tetapi lambat-laun, al-Qur’an menyikapinya dengan sistimatis, dan pada gilirannya al-Qur’an menyatakan pengharamannya dengan tegas dan tuntas. Begitu juga  dalam masalah perbudakan, sepertinya al-Qur’an, awalnya masih mentolerirnya, umpamanya  memerintahkan seseorang laki-laki memelihara kemaluannya kecuali kepada istri dan/ atu pada malakat yang mereka miliki, dan ini terjadi hususnya pada masa periode Mekkah, misalnya lihat, al-Qur’an, al-Nisa (4): 24, 25; al-Mu’minuun (23): 6; al-Ma’arij (70): 30. Tetapi pada periode Madinah upaya-upaya al-Qur’an dalam pembebasan budak sangat tampak dan jelas.

Padahal sesunguhnya “ruh” (semangat dan spirit)  Islam menentang dan melarang praktek-praktek perbudakan, sebagaimana yang diajarkan al-Qur’an dan dilakukan Rasulullah. Sementara itu, tujuan al-Qur’an dan misi kenabian adalah untuk menciptakan masyarakat madani (civil sociaty) dengan tata kehidupan sosial-moral yang adil, egalitarian, inklusif dan pluralis serta berlandaskan iman pada Allah. Kalaupun perbudakan tetap eksis di tengah-tengah masyarakat Arab pada awal kenabian, realitas tersebut hanya dapat “diterima” secara tentatif dan untuk sementara waktu.

Misi kenabian Muhammad saw. bertujuan untuk menciptakan masyarakat madani dalam sesama manusia; dan perbudakan merupakan sistem kehidupan yang paling jelas menggambarkan hubungan yang timpang dan tidak wajar tersebut yang sangat ditentang. Karena perbudakan, ibaratnya dua mata sisi yang berbahaya, tidak saja akan mencederai hubungan yang baik sesama manusia, tetapi sekaligus merusak hubungan kepada Tuhan. Perbudakan secara asasi bertentangan dengan ajaran Islam tentang tauhid yang melarang seseorang menghambakan diri kepada sesamanya atau lebih umum kepada ciptaan Tuhan  lainnya. Sebaliknya, membiarkan perbudakan berarti juga syirik, sebab orang yang memiliki budak adalah seseorang menjadikan dirinya “tandingan” Tuhan. Padahal manusia hanya boleh menghambakan diri kepada Tuhan semata dan tiada Tuhan selain Allah. Lihat,  Dawam Rahardjo,  “Ensiklopedi al-Qur’an “Abd”, dalam Ulumul Qur’an, Nomor 1,Vol. V, Thn. 1994, 43.

Pada masa awal sejarah Islam, Nabi Muhammad hanya mentolerir perbudakan lantaran menjadi tawanan perang. Inilah satu-satunya perbudakan yang dapat dibenarkan oleh hukum,  sampai mereka ditebus atau tawanan itu sendiri yang menebus kemerdekaannya lewat upah pekerajaan atau lewat dengan cara lain. Begitu juga pada masa pemerintahan Khalifah al-Rashidun, menurut Syed Ameer Ali, tidak dikenal perbudakan dengan jalan jual-beli (al-bay‘ah). Sekurang-kurangnya, lagi-lagi menurut Syed Ameer Ali, tidak ada data otentik yang menyebutkan bahwa terdapat budak yang diperoleh dengan jalan dibeli pada masa pemerintahan khulafa’ al-rashidun. Akan tetapi, perbudakan dengan jalan jual-beli baru kemudian pada masa munculnya dinasti Umayyah. Pada masa pemerintahan khalifah Islam inilah  terjadilah perubahan dan penyimpangan terhadap semangat dan ajaran Islam prihal “penghargaan kemanusian” yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Mua’awiyah bukan saja orang pertama dalam sejarah Islam yang  memberlakukan sistem pemerintahan Islam secara monarki, tetapi ia juga yang mula-mula  memperaktekkan pembelian budak (perbudakan) dalam Islam. (Lihat, Syed Ameer Ali,  The Spirit of Islam, 267).

Apabila tawanan/budak tersebut tidak mempunyai sumber penghasilan, Nabi  mengguggah hati nurani dan kesalehan ummat Islam  [ditambah pula dengan tanggungjawab berat diletakkan di atas pundak orang memiliki budak] tidak jarang ini menjadi sebab akhirnya budak tersebut dibebaskan. Al-Qur’an, al-Nur (24): 33.) Karenanya sedari awal, periode Mekkah, Al-Qur’an sudah mencangankan fakku raqabah, membebaskan manusia dari perbudakan. Untuk itu, dalam satu surat al-Qur’an yang diwahyukan dalam periode Mekkah awal, al-Qur’an telah mencanangkan “fakku raqabah” (membebasan budak dari perbuadakan) yang dilukiskan sebagai  ‘aqabah, “menempuh jalan yang mendaki dan lagi sulit” Maka tidakah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar? Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar tersebut? Yaitu melepaskan budak dari perbudakan; atau memberi makan pada hari kelaparan, kepada anak yatim yang ada hubungan karabat atau orang miskin yang sangat fakir.” (Lihat, Q.s.al-Balad (90): 11-14.

Kata “fakk”, menurut Quraish Shihab, hanya ditemukan sekali dalam al-Qur’an, yaitu hanya pada pada ayat ini. Kata ini maknanya berkisar pada arti-arti: membuka, melepas, membebaskan dan menghancurkan. Jadi dalam konteks ayat ini, fakku raqabah,  berarti melepaskan tali (belenggu) yang mengikat leher seseorang atau membukanya, atau menghancurkannya sehingga manusia tersebut memperoleh kebebasan bergerak. Upaya pembebasan manusia dari perbudakan harus lebih awal dilaksanakan. Islam memandang bahwa   pembebasan   manusia   dari    segala bentuk  yang  membelenggu  dan merendahkan martabatnya kemanusiaannya harus dimulai lebih dini –untuk itu, ayat ini termasuk ayat al-Qur’an yang awal pada periode Mekkah– karena setiap langkah maju guna mencapai kemaslahatan manusia dan masyarakat tidak dapat dirahi sebelum kehormatan manusia sebagai manusia dapat ditegakkan. (Lihat, M. Quraish shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, 809-810).

Namun, karena kukuhnya sistem perbudakan dalam struktur masyarakat Arab –di samping membebaskan budak bukan perkara mudah, tapi  harus lewat jalan yang mendaki lagi sulit–serta penghapusannya akan menimbulkan gejolak sosial yang besar, maka fenomena ini di tangani oleh al-Qur’an secara persuasif dan bertahap. Lagi pula, ketika di Mekkah, Nabi Muhammad beserta pengikutnya masih merupakan golongan minoritas tertekan. Sementara itu kalau dipaksakan penghapusan budak tersebut dapat berakibat fatal bagi nasib komunitas agama yang baru dibina. (Ameer Ali, The Spirit of Islam, 262; lihat juga, Taufiq Adnan Amal, Tafsir Kontekstual Al-Qur’an: 66.)

Dalam pada itu, karena sistem perbudakan merupakan tatanan kehidupan yang sudah sanagat mapan sehingga al-Qur’an tidak mungkin dengan serta-merta melarangnya dan harus lebih bijak dalam merespon peresoalan yang ada pada masa itu. (Ameer Ali, The Spirit of Islam, 262). Sikap al-Qur’an yang permisif dan masih metolerir perbudakan terlihat, misanya masih dibolehkan praktek-praktek si tuan laki-laki agar “menjaga kemaluannya, kecuali kepada istri dan budak-budak (wanita) yang mereka miliki”, menurut al-Qur’an, ”dalam hal ini mereka tidak tercela”. (Q.s. al-Mu’minūn [23]: 5-7).

Meksipun dibolehkan praktek-prektek seperti ini dikaitkan dengan himbauan moral, menurut al-Qur’an, demi menjaga kemaluan dan memelihara kehoramtan seorang laki-laki. Karenanya, al-Qur’an sendiri segera menambahkan, “barang siapa yang meencari di balik itu,” [misalnya seperti berzina, homoseksual dan praktek-prkatek seksual lain yang terlarang], menurut al-Qur’an, “maka mereka itulah orang-orang melampai batas.” Meskipun demikian, dalam kondisi struktur ekonomi masyarakat Mekkah yang timpang; adanya jurang yang terjal antara yang miskin dan kaya; serta antara yang kuat dan yang lemah, al-Qur’an acap kali mengkritik kaum bangsawan yang konglemerat karena mereka tidak mau memberikan sebagian rezeki meraka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar budak-buak mereka juga turut merasakan rezeki tersebut. Al-Qur’an menyebutkan sikap orang-orang kuat dan kaya tersebut sebagai bentuk pengingkaran terhadap nikmat Allah ((Q.s. Al-Nahl [16]: 71).

Dalam ayat periode Mekkah ini, al-Qur’an tidak melarang dan mengutuk perbudakan itu sendiri secara langsung, tatapi yang dikutuknya adalah sikap orang-orang kaya dan kuat Mekkah yang tidak mempunyai kepeduluan sosial dan tidak mau menyantuni  budak-budak yang mereka miliki yang, tentu saja, telah berbuat banyak kepada tuannya. Sementara tindakan perbudakan itu sendiri harus secara bertahap dan tidak dapat dipaksakan penerapannya seketika. Karena pembebasan manusia  dari  perbudakan  harus  bersumber  dari kesadaran dan sikap batin dari  manusia terhadap sesamanya. Cara inilah ditempuh al-Qur’an hingga Rasulullah dan para sahabat  berhasil sewaktu berada di kota Madinah.
Mā Tawfiq wa al-Hidayah illa bi Allah,
Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.

By: Alimuddin Hassan Palawa, (Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau)

Belajar Berbangsa dari Mereka

Belajar Berbangsa dari Mereka

Sebagai orang muda saya belajar banyak tentang bangsa dan bagaimana caranya berkebangsaan di negara yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan agama, hal ini tentunya tidak mudah saya harus tahu betul tentang dari mana sumber kebangsaan itu saya peroleh. Jika kita mau menelisik kembali dan berupaya untuk memahami bagaimana upaya kalangan islam dalam membangun Nusantara yang pada akhirnya menjadi Indonesia kita akan menemukan tokoh-tokoh islami dan nasionalis yang sangat gigih dalam wacana dan idealisme mereka dalam beragama dan berkebangsaan pada saat itu.

Di sekitar era proklamasi 1945 dan era 1950-an kita memang terganggu oleh masalah pertarungan pancasila versus islam sebagai dasar negara. Namun dengan di kukuhkannya pancasila sebagai dasar filosofis negara di era 1980-an dan di terima kemudian oleh kalangan masyarakat luas, sebenarnya masalah fundamental ini telah selesai. Kita menemukan pergolakan itu melalu salah satu tokoh asal sumatera barat yang pada akhirnya menjadi wakil presiden pada periode awal bangsa ini berdiri. Kiranya sampai di situ kita akan finis dalam masalah islam dan berkebangsaan sebagaimana kata wakil presiden Mohammad Hatta “Perjuangan umat islam dalam menegakan islam haruslah berpedoman pada ilmu garam, bukan pada ilmu gincu”. Di mana pada garam filosofisnya adalah terasa tapi tak kelihatan sedangkan gincu, terlihat tapi tak terasa”.

Sebagai orang muda yang lahir di era teknologi saya merasa beruntung bisa dengan mudah belajar tentang bangsa dan kebangsaan serta agama dan keagamaan, litarasi yang di sediakan saat ini cukup banyak bahkan cukup menjamin kita dalam mencari apa yang menjadi kebutuhan kita dalam bernegara dan beragama. Tinggal kembali kita kitanya.

Dari putra Sumpur Kudus Sumatera Barat, saya melihat bagamana sistem negara kita yang mampu melindungi setiap orang yang beragama. Sebagai orang yang lahir dan tumbuh dalam tiga era sekaligus, pemikiran Buya Syafii atau yang di kenal dengan nama asli AHMAD SYAFII MAARIF (13 Maret 1935) sedikit banyak memberikan saya masukan rasa optimismi untuk bangga sebagai orang muda yang tumbuh dan besar dalam negara yang sangat plural. Meskipun belakangan kita di tawarkan berbagai sumber pengetahuan tentang kebenaran yang di lahirkan oleh sebagain kelompok yang mencaplok kebenaran itu berdasarkan kebenaran menurut mereka sendiri.

Optimisme itu saya dapat dan yang akhirnya juga membantu saya dalam melihat kekisruan kelompok beragama yang belakangan ini suaranya melengking di mana-mana tentang mana yang hak dan mana yang batil lantas sering kali mengebiri kemanusiann orang lain. Saya ingat betul satu buku menarik dari Buya yang di terbitkan sekitar bulan maret 2017 lalu, buku dengan judul “Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara” dari buku yang kebetulan mendapatkan catatan pengatar dari salah satu tokoh membaharuan islam Nurcholis Madjid. Saya mengenal negara dan agama dengan sudut pandang yang cukup luas. Saya melihat “Islam dan cita-cita politik, islam dan indonesia pada abad ke-20, islam dan pancasila sebagai dasar negara dan islam dan dasar negara di indonesia”. Dari buku yang awalnya adalah hasil disertasi Ph.D-nya dengan judul “Islam as the basic of state : A Study of the Islamic Political Ideal as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia” di Universitas Chicago Amerika Serikat ini. Saya melihat bagaimana kuatnya literasi dari seorang Buya untuk  membangun sebuah argumen yang kiranya tidak hanya memberikan kita suatu informasi tetapi juga sekaligus memberikan kita pemahaman yang baik untuk melihat islam dan negara itu sendiri.

Tidak hanya sampai di situ saya membaca pemikiran beliau dalam subjudul yang lain, di sana beliau memberikan kita suguhun yang menarik tentang islam, negara dan kemanusian. Dengan judul “ Islam dalam Bingkai Keindonesian dan Kemanusian”. Mulai dari Barat hingga Timur Tengah dan Indonesia, lagi-lagi saya harus mengakui kekuatan literasi yang beliau punya dalam menyajikan sesuatu yang memang pas dalam menjawab kebimbangan saya sebagai orang muda di persimpangan jalan. Dengan judul seperti itu saya yang pada waktu itu menjadi mahasiswa awal di salah satu universitas islam  menjadi merasa tidak rugi dalam mempelajari islam baik itu dari kalangan yang ke kanan-kanan sampai yang ke kiri-kirian. Tentunya saya berani dalam melakukan pengembaraan itu adalah salah satu faktor dari pengenalan saya tentang pemikiran beliau, sebab di sana saya mengenal “ Islam dan nusantara, islam dan demokrasi, islam indonesia:masalah kualitas, masa depan agama hingga islam dalam bingkai keindonesian dan kemanusiaan”.

Dengan kekuatan narasi sejarah yang beliu sering kali menuangkannya di dalam tiap sub pembahasan mengantarkan saya kembali pada masa di mana kalangan islam dan kalangan nasionalis dalam membangun satu tujuan bersama dalam bernegara ini tidak merasa kalau mereka pada masa itu saling gontok-gontokan dalam memilih bagaimana idealnya negara kita yang pada akhirnya menyepakati pancasila sebagai landasan filosofis kita dalam bernegara, dimana kita sudah sama-sama tahu kalau dalam bulir-bulir pancasila ada lima silah yang setidaknya sudah mampu mengakomodir kepentingan kita dalam berbangsa dan bernegara yang sangat plural ini. Ya kalau pun pada poin kelima dalam lima silah itu rasanya yang paling “apes” nasipnya adalah silah kelima “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indoensia”.

Tapi orang muda kita harusnya sudah punya cukup banyak guru bangsa yang bisa kita belajar dari mereka, kita juga punya cukup banyak tokoh bangsa yang bisa kita berpanutan pada mereka. Saya malah sering kali mengatakan kita bisa meminta nasehat pada siapa saja tapi kita tidak bisa berpanutan pada siapa pun, kecuali orang yang kita berpanutan padanya itu adalah orang yang datang dengan sesuatu yang kita tahu benar apa yang di perbuatkannya itu berdasarkan hasil analisa kita terhadap pemikiran dan tindakannya dalam bersosial dan bermasyarakat seperti kebanyakan tokoh yang sebagian telah mendahului kita dan berjumpa dengan Tuhan mereka.

Dalam dinamika berbangasa dan bernegara di era teknologi saat ini rasanya kita mulau kekurangan orang muda yang optimis sebagai sebagai orang muda yang nantinya amanah bangsa dan negara berada di pundaknya, hal ini bisa di lihat dari sejauh mana hari-hari ini orang muda yang mulai tidak malu-malu terlibat dalam politik pratis dan rasanya kita orang muda telah kehingan kekritisan yang harusnya kita punya sebagai benteng terakhir dari orang muda.

Akhir dari tulisan ini saya hanya ingin berdoa semoga semua guru bangsa yang hari-hari ini mendampingi saya baik melalui karya-karya luar biasa mereka mendapatkan ridho dari Tuhan agar bisa memperolah surganya tanpa banyak proposal yang harus di ajukan sebab amal jariah yang mereka tinggalkan. Serta Tuhan jangan matikan akal sehat kami orang muda Indonesia. ***

By: Mauludin Wamoi

Filsafat Islam: Respon Filosuf Muslim Terhadap Filsafat Hellenisme

Filsafat Islam: Respon Filosuf Muslim Terhadap Filsafat Hellenisme

Gelombang hellenisme yang melanda dunia Islam merupakan akibat wajar dari kegiatan penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab. Lebih jauh, hasil logis dari penerjemahan itu melahirkan suasana kondusif dan kegairahan yang subur di kalangan umat Islam tertentu guna mengembangkan pemikiran spekulatif. Gelombang hellenisme tersebut merupakan suatu pengalaman yang, menurut Nurcholish Madjid, “tercampur antara mamfaat dan mudharat bagi umat Muslimin”. Akibat dari itu membuat mereka terbagi antara yang menyambut (respon-positif) dan menolak (respon-negatif). Respon umat Islam atas hellenisme dapat menjadi ukuran kreativitas mereka dalam menghadapi suatu bentuk tantangan zaman. Lebih jauh Nurcholish Madjid memaparkan:“Sebagian besar Ummat, khususnya mereka yang ada di bawah naungan ideologi Jama’ah dan Sunnah, semula cukup enggan, kalau tidak memusuhi, Hellenisme itu. Tapi secara umum terhadap banyak kaum Muslimin yang mempelajari pikiran-pikiran asing itu dengan tekun, disertai kematapan beragama dan kepercayaan diri kepada diri sendiri secukupnya. Mereka ini, dengan kebebesan berfikir yang masih lebih besar lagi daripada kaum Mu’tazilah, mengembangkan filsafat itu dan memberi watak keislaman kepadanya. Maka lahirlah suatu disiplin ilmu dalam khazanah intelektual Islam yang secara tekhnis disebut al-falasafah. Dari kalangan mereka ini timbul kelompok baru kaum tepelajar Muslim, yaitu al-falasifah (kaum Failusuf), suatu penamaan khusus kepada kaum intelektual Muslim yang sengat terpengaruh oleh filsafat Yunani.”

Dalam merespon positif pemikiran hellenisme itu, filosuf Muslim terbagi dalam dua aliran yang besar, yang keduanya mengklaim dirinya sebagai pengikut filsafat Yunani. Pertama, aliran Peripatetik (Masysya’iyyah) [disebut demikian karena tatkala Aristotels mengajar ia berjalan-jalan di tengah-tengah (maha)siswanya] yang memiliki ajaran gabungan ide-ide dari Aristoteles dan (sebagian) ide Neo-Platonik. Ide yang terpenting yang diambil dari Aristoteles adalah doktrin tentang Akal (Nous) , wujud yang lebih tinggi dari semua realitas jiwa yang ada. Akal adalah penaggerak pertama yang tidak bergerak; dan akal yang bersifat immortal (tidak mati). Akal adalah supreme deity (Tuhan Maha Tinggi) yang selalu berpikir dan meruenungkan diri-Nya. Sementara itu, ide yang diambil dari Neo-Platonisme adalah doktrin yang mengajarkan tentang the One (yang Tunggal) sebagai prinsip tertinggi atau sumber penyebab. Aliran ini juga dikenal sebagai cerminan upaya terbaik pemikiran manusia untuk mencapai kebenran. Aliran ini biasanya berawal dari filosuf al-Kindi dan mencapai puncaknya pada diri filosuf Andalusia, Ibn Rusyd.

Kedua, aliran Illuminasi (Isyraqiyah) [disebut demikian karena merupakan kearifan spritual yang muncul dari timur] yang lebih bersimpati kepada gabungan ajaran dan tradisi Pytagoras-Platonik. Ajaran dualis Plato kemudian diusahakan penyatuannya oleh para penganut Neo-Pytagoras. Ajaaran ini menyatkan mereka menuruti doktrin bukan saja dri golangan Pytaagoras, tetapi bahkan juga dari nabi-nabi kuno, khususnya Nabi Sulaiman dan Idris (tradisi Hermetis) dan juga dari ajaran-ajaran bijak, seperti Zoroaster. Dalam Islam alaiaran ini berawal dari Ibn Sina dan mencapai puncaknya pada diri Suhrawardi al-Maqtul. Dengan demikian, aliran ini dipandang sebagai ajaran yang lebih berdasrkan pada ilmu ilahah tinimbang pada ilmu manusiawi.
Berikut ini akan dicoba untuk mengangkat beberapa persoalan-persoalan filosufis yang krusial (dan “anah” di mata ortodoksi Sunni) yang berasal (sebagian besar) dari tradisi Hellenisme.

Konsep Wujud Tuhan

Salah satu di antara ajaran filsafat dalam Islam yang relatif tidak bertentangan dengan doktrin agama, dan tidak syak lagi juga diterima oleh kalangan ortodoksi Sunni Islam adalah tentang Wujud Tuhan. Dalam ajaran filsafat ini, wujud ada dua: Wājib al-Wujūd (Wujud yang Wajib) dan mumkīn al-wujūd (wujud yang mungkin). Adapun yang disebut pertama adalah Allah; sementara wujud yang disebut belakangan adalam alam (wujud selain Allah). Dengan bahasa yang berbeda, Wujud Allah wujud yang “pasti”; sedangkan alam adalah wujud yang “tergantung”. Artinya, alam semesta yang tercipta memeerlukan tempat untuk bergantung, yaitu Allah. Lebih jauh ini bermakna alam sebagai akibat yang memerlukan sebab, itu Allah.

Dalam membangun ajaran ini filosuf Muslim mencari bantuan dari doktrin Neo-Platonis, yaitu monisme tentang emanasi (al-fayḍ). Dalam kerangkan Aristolean, meskipun mereka menolak ajaran Aristoteles tentang dualitas: matter dan form (materi dan bentuk), tetapi di sisi lain tampak sekali ajaran Aristoteles lainnya, yaitu konsep tentang “Nous”; akal sebagai supreme deity (Tuhan Tertinggi) [boleh jadi tuhan yang dimaksu oleh Aristoteles berbeda dengan apa yang dipahami dan diyakini oleh ummat Islam. Begitu pula doktrin lainnya dari Aristoteles, misalnya mengenai akan yang immortal (tidak mati) atau wujud penggerak pertama yang tidak bergerak.

Masalah yang berhubungan dangan Wujud Tuhan, antara para filosuf, termasuk juga para mutakallimin, adalah doktrin bahwa Allah Tunggal. Penjelsanya bahwa doktrin ini menafikan adanya dualitas antara essensi dan sifat. Bagi mereka Tuhan adalah wujud semata, tanpa sifat. Satu-satunya sifat (kalau juga terpaksa menggunakan kata sifat) Tuhan adalah keniscayaan wujud-Nya. Jadi Tuhan tidak mempuyai sifat sebagaimana diyakini oleh aliran kalam rasional dalam Islam, Mu’tazilah.

Konsep al-Qur’an Qadim

Persoalan apakah al-Qur’an (Kalam) Allah itu diciptakan (baharu) atau tadak diciptakan (qadim), telah menajdi perdebatan di kalangan teolog (mutakallimīn) sejak masa-masa awal. Bahkan belakarang pada masa pemerintahan al-Makmum, dinasti Abbasyiah, ketika paham Mu’tazilah dijadikan paham resmi negara, mengakibatkan terjadikanya “noda hitam” dalam sejarah Islam dengan dilancarakannya “mihnah” (inquisisi), yaitu pemeriksaan keyakinan: apakah al-Qur’an itu baharu atau qadim. Bagi Mu’tazilah, al-Qur’an itu adalah baharu (diciptakan), karena kalau tidak (dikatakan qadim) ini dapat merudak sistem keimanan kepada Allah. Artinya kalau al-Qur’an itu adalah qadim, maka ada yang qadim selain Allah. Kalau demikian halnya, sama artinya menduakan Allah (syirik)

Kecenderungan pemikiran Mu’tazilah tersebut didasarkan pada ajaran Aristoteles bahwa tidak ada yang tercipata dari tiada (critio ex nihilo). Dengan begitu mereka menyimpulkan bahwa Tuhan telah menciptakan al-Qur’an. Di samping itu, pendapat Mu’tazilah sedikit banyak dipengaruhi dan dilatarbelakangi oleh sistem kepaarcayaan ajaran agama Kristen dengan konsep Trinitasnya. Karena pengaruh ajaran Kristen itulah Mu’tazilah tampil untuk membela sistem keiman dalam Islam.

Konsep Penciptaan: Alam Qadim

Dalam pandangan filosuf Muslim yang paling asasi dalam konsep penciptaan adalah pengingkaran terhadap konspe “Critio ex Nihilo” (penciptaan dari tiada). Pandangan filosuf dalam masalah ini berbedadengan kaum mutakallimin, apalagi dari kalangan ortodoksi Islam. Karenanya, penciptaan alam: apakah qadim atau baharu merupakan perdebatan antara para filosuf dan mutakallimin. Dan kalau disederhanakan adalah pertentangan pada figur yang diwakili oleh al-Farabi dan al-Ghazali secara berturut-turut.

Pandangan para filosuf dalam masalah ini berawal dari suatu kenyataan bahwa mustahil penciptaan sesuatu itu dari tiada. Pernyataan mereka ini didasarkan pada konsep tentang emanasi (pelimpahan). Akan tetapi, perlu ditegaskan, menurut filosuf Islam, alam itu qadim dari segi waktu (qadim zaman). Artinya, wujud alam bersama-sama adanya dengan eksistensi Wujud Allah. Meskipun begitu, segara harus ditambahkan pula bahwa alam itu “huduth li zati” (baharu dari segi zat). Sedangkan Allah adalah Qadim Zat dan Qadim Zaman.

Filosuf menjelaskan, misalnya Ibn Sina, bahwa yang dimaksud dengan qadim zaman (bagi alam) itu adalah karena Tuhan Maha Sempurna, maka Tuhan menciptakan sejak zaman azali; dan senantiasa meciptakan (berbuat) dan tidak hanaya pada saat tertentu. Karena didorong oleh keinginan untuk mengagungkan dan mensucikan Tuhan dengan konsep emanasi, maka pemikiran tentang penciptaan alam itu qadim tidak bertentangan dangan Islam.

Konsep Tentang Pengetahuan Tuhan

Menurut Fazlur Rhman (Islam: 169), konsep bahwa Tuhan tidak mengatahui yang partikular merupakan kerangka teori dari Aristoteles dal Plonitus. Akan tetapi, sayangnya, Rahman tidak mengurai secara detail bagimana keterkaitan dan pengaruh kedua filusuf klasik Yunani kepada balantika filosofis dalam Islam. Dalam konsep ini para filosuf Islam berpendapat bahawa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang partikular (juz’iyyat), tetapi Tuhan hanya mengetahui yang universal (kulliyat). Menurut para filosuf penegasan semacam ini penting, karena kalau Tuhan mengatahui hal-hal yang partikular yang senantiasa berubah-rubah bentuk dan beralih-alih waktu dan tempat, maka ilmu Tuhan juga akan turut berubah-rubah. Padahal dalam pandangan yang prinsipil di kalangan para filosuf bahwa mustahil ilmu pengetahuan Tuhan mengalami perubahan.

Konsep semacam ini, lagi-lagi, bagaimana para filosuf Islam berupaya untuk menyucikan Tuhan dari “kemungkinan” ketidaksempurnaan. (Ini tidak dimaksudkan bahwa manusia [para filosuf] menjadi subjek penentu bagi kesempurnaan Tuhan, sekali lagi tidak]. Akan tetapi, tak ayal, “hasrat baik” para filosuf itu dituduh macam-macam oleh golongan ortodoksi Islam Sunni. Golongan yang disebut terakhir ini berargumentasi bahwa Tuhan tidak boleh “dibatas-batasi” sedemikian itu, sehingga pengetahuan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal universal semata, sementara Tuhan dibatasi untuk mengatahui yang partikular. Kalau memang demikian, kata golongan ortodoksi Islam Sunni ini, dikemanakan kemahakuasaan Allah; dan bagaimana dengan “Inna Allah ‘ala kulli syai’in alīm” (Sungguh Allah mengetahu atas segala sesuatu).

Agaknya, sulit juga untuk menegahi kedua perdebatan kedua kelompak antara para filosuf dan ortodoksi Islam Sunni di atas. Karena masing-masing mereka berargumentasi dengan “mengatasnamakan” Allah. Paran filosuf berdalih atas “kemahasempurnaan” Allah. Sebaliknya ortodoksi Islam Sunni beralasan atas “kemahakuasaan” Allah. Perdebatan dan polemik di antara kedua golongan ini belakangan dapat dipersonifikasikan secara pas pada diri al-Ghazali mewakili golongan ortodoksi Islam Sunni dan Ibn Rusyd mewakili para filosuf Islam. Bahkan perdebatan dan polemik tersebut terus berlanjut setalah sepeninggalan keduanya.

Selama ini, sudah banyak buku-buku filsafat yang mengulas polemik “posthumous” antara al-Ghazali dan Ibn Rusyd. Polemik kedua figur ini sangat penomenal dalam sejarah pemikiran umat manusia, dan menyita perhatian sekian banyak sarjana sejak masa keduanya hingga dewasa ini. Lewat bukunya, Tahāfut al-Falāsifah, al-Ghazali mempreteli 20 (dua puluh) teori-teori biḍ‘ah filosuf (Islam) sebelumnya, khususnya al-Farabi dan Ibn Sina. Tiga di antara teori-teri tersebut: kekadiman alam; Tuhan tidak tahu yang pertikular; dan penolakan kebangkitan jasmani, menurut al-Ghazali, dikategorikan sebagai “kafir”. Belakangan, sekitar delapan puluh tahun setelah itu, tanpil seorang filosuf Muslim Andalusia, Ibn Rusyd, lewat bukunya, Tahāfut al-Tahāfut, guna membela para filosuf Muslim dan menyerang-balik (counterattack) al-Ghazali.

Konsep Tentang Keabadian Jiwa dan Kebangkitan Akhirat

Problem keabadian jiwa dan kebangkitan di akhir, tidak diragukan lagi, termasuk dalam tiga serangkai (kekadiman alam, Tuahn tidak mengetahui yang partikular dan kembangkitan jiwa) doktrin filosuf yang dikafirkan oleh al-Gazali. Kalau yang dua pertama dinayatakan berasal dari filosuf Islam, khususnya Ibn Sina dan al-Farabi, maka doktrin yang ketiga, keabadian jiwa adalah “murni” berasal Aristotels. Aristioteles, sebagaimana telah disebut sebelumnya, mengatakan bahwa jiwa itu adalah immortal (tidak mati). Belakangan doktrin ini dikembangkan oleh filosuf Islam, khususnya Ibn Sina.

Menurut Ibn Sina manusia sebagai makhluk memiliki unsur ganda: sebagai benda (matter) dan mempunyai bentuk (form). Raga adalah matter; dan jiwa adalah form. Raga dan jiwa adalah dua substansi yang distingtif dan terpisah satu dengan yang lainnya, terutama setelah manusia mati. Jiwa adalah substansi rohani yang terlimpah ke dalam wadah berupa raga, kemudia jiwa menghidupkan raga. Lebih jauh raga dipergunakan sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan. (Fuad al-Ahwani: 162-163). Dengan begitu, dalam pandangan para filosuf Islam, yang mengetahui Tuhan adalah jiwa. Karenanaya, ketika manusia mati yang kembali kepada Tuhan adalah yang mengetahui Tuhan, yaitu jiwa.

Mengingat jiwa yang mengetahui Tuhan dan pada akhirnya kembali kepada Tuhan, maka jiwa pulalah yang akan dibangkitkan. Sementara raga tinggal membusuk dihimpit bumi dan dimakan cacing. Kongkritnya, konsep Ibn Sina ini mengingkari kebangkitan jasmani, dan hanya mengakui kembagkitan ruhani. Malahan, di anatara para filosuf, ada yang berpendapat bahwa hanya jiwa yang cerdas lagi suci sajalah yang akan dipanggil oleh Allah, “yā ayyatuha al-nafsu al-muṭma’nnah ‘irji’ī ilā Rabbiki raḍiyah al-marḍiyah fa adkhulī fī ‘ibādī wa adkhulā jannatī” (hai, jiwa yang tenang kembali kepada Tuhanmu dalam keadaan rela-merelakan dan masuklah golongan hamba-Ku dan masuklah surga-Ku).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb

By: Alimuddin Hassan Palawa, (Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau)