Belajar Berbangsa dari Mereka

Belajar Berbangsa dari Mereka

Sebagai orang muda saya belajar banyak tentang bangsa dan bagaimana caranya berkebangsaan di negara yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan agama, hal ini tentunya tidak mudah saya harus tahu betul tentang dari mana sumber kebangsaan itu saya peroleh. Jika kita mau menelisik kembali dan berupaya untuk memahami bagaimana upaya kalangan islam dalam membangun Nusantara yang pada akhirnya menjadi Indonesia kita akan menemukan tokoh-tokoh islami dan nasionalis yang sangat gigih dalam wacana dan idealisme mereka dalam beragama dan berkebangsaan pada saat itu.

Di sekitar era proklamasi 1945 dan era 1950-an kita memang terganggu oleh masalah pertarungan pancasila versus islam sebagai dasar negara. Namun dengan di kukuhkannya pancasila sebagai dasar filosofis negara di era 1980-an dan di terima kemudian oleh kalangan masyarakat luas, sebenarnya masalah fundamental ini telah selesai. Kita menemukan pergolakan itu melalu salah satu tokoh asal sumatera barat yang pada akhirnya menjadi wakil presiden pada periode awal bangsa ini berdiri. Kiranya sampai di situ kita akan finis dalam masalah islam dan berkebangsaan sebagaimana kata wakil presiden Mohammad Hatta “Perjuangan umat islam dalam menegakan islam haruslah berpedoman pada ilmu garam, bukan pada ilmu gincu”. Di mana pada garam filosofisnya adalah terasa tapi tak kelihatan sedangkan gincu, terlihat tapi tak terasa”.

Sebagai orang muda yang lahir di era teknologi saya merasa beruntung bisa dengan mudah belajar tentang bangsa dan kebangsaan serta agama dan keagamaan, litarasi yang di sediakan saat ini cukup banyak bahkan cukup menjamin kita dalam mencari apa yang menjadi kebutuhan kita dalam bernegara dan beragama. Tinggal kembali kita kitanya.

Dari putra Sumpur Kudus Sumatera Barat, saya melihat bagamana sistem negara kita yang mampu melindungi setiap orang yang beragama. Sebagai orang yang lahir dan tumbuh dalam tiga era sekaligus, pemikiran Buya Syafii atau yang di kenal dengan nama asli AHMAD SYAFII MAARIF (13 Maret 1935) sedikit banyak memberikan saya masukan rasa optimismi untuk bangga sebagai orang muda yang tumbuh dan besar dalam negara yang sangat plural. Meskipun belakangan kita di tawarkan berbagai sumber pengetahuan tentang kebenaran yang di lahirkan oleh sebagain kelompok yang mencaplok kebenaran itu berdasarkan kebenaran menurut mereka sendiri.

Optimisme itu saya dapat dan yang akhirnya juga membantu saya dalam melihat kekisruan kelompok beragama yang belakangan ini suaranya melengking di mana-mana tentang mana yang hak dan mana yang batil lantas sering kali mengebiri kemanusiann orang lain. Saya ingat betul satu buku menarik dari Buya yang di terbitkan sekitar bulan maret 2017 lalu, buku dengan judul “Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara” dari buku yang kebetulan mendapatkan catatan pengatar dari salah satu tokoh membaharuan islam Nurcholis Madjid. Saya mengenal negara dan agama dengan sudut pandang yang cukup luas. Saya melihat “Islam dan cita-cita politik, islam dan indonesia pada abad ke-20, islam dan pancasila sebagai dasar negara dan islam dan dasar negara di indonesia”. Dari buku yang awalnya adalah hasil disertasi Ph.D-nya dengan judul “Islam as the basic of state : A Study of the Islamic Political Ideal as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia” di Universitas Chicago Amerika Serikat ini. Saya melihat bagaimana kuatnya literasi dari seorang Buya untuk  membangun sebuah argumen yang kiranya tidak hanya memberikan kita suatu informasi tetapi juga sekaligus memberikan kita pemahaman yang baik untuk melihat islam dan negara itu sendiri.

Tidak hanya sampai di situ saya membaca pemikiran beliau dalam subjudul yang lain, di sana beliau memberikan kita suguhun yang menarik tentang islam, negara dan kemanusian. Dengan judul “ Islam dalam Bingkai Keindonesian dan Kemanusian”. Mulai dari Barat hingga Timur Tengah dan Indonesia, lagi-lagi saya harus mengakui kekuatan literasi yang beliau punya dalam menyajikan sesuatu yang memang pas dalam menjawab kebimbangan saya sebagai orang muda di persimpangan jalan. Dengan judul seperti itu saya yang pada waktu itu menjadi mahasiswa awal di salah satu universitas islam  menjadi merasa tidak rugi dalam mempelajari islam baik itu dari kalangan yang ke kanan-kanan sampai yang ke kiri-kirian. Tentunya saya berani dalam melakukan pengembaraan itu adalah salah satu faktor dari pengenalan saya tentang pemikiran beliau, sebab di sana saya mengenal “ Islam dan nusantara, islam dan demokrasi, islam indonesia:masalah kualitas, masa depan agama hingga islam dalam bingkai keindonesian dan kemanusiaan”.

Dengan kekuatan narasi sejarah yang beliu sering kali menuangkannya di dalam tiap sub pembahasan mengantarkan saya kembali pada masa di mana kalangan islam dan kalangan nasionalis dalam membangun satu tujuan bersama dalam bernegara ini tidak merasa kalau mereka pada masa itu saling gontok-gontokan dalam memilih bagaimana idealnya negara kita yang pada akhirnya menyepakati pancasila sebagai landasan filosofis kita dalam bernegara, dimana kita sudah sama-sama tahu kalau dalam bulir-bulir pancasila ada lima silah yang setidaknya sudah mampu mengakomodir kepentingan kita dalam berbangsa dan bernegara yang sangat plural ini. Ya kalau pun pada poin kelima dalam lima silah itu rasanya yang paling “apes” nasipnya adalah silah kelima “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indoensia”.

Tapi orang muda kita harusnya sudah punya cukup banyak guru bangsa yang bisa kita belajar dari mereka, kita juga punya cukup banyak tokoh bangsa yang bisa kita berpanutan pada mereka. Saya malah sering kali mengatakan kita bisa meminta nasehat pada siapa saja tapi kita tidak bisa berpanutan pada siapa pun, kecuali orang yang kita berpanutan padanya itu adalah orang yang datang dengan sesuatu yang kita tahu benar apa yang di perbuatkannya itu berdasarkan hasil analisa kita terhadap pemikiran dan tindakannya dalam bersosial dan bermasyarakat seperti kebanyakan tokoh yang sebagian telah mendahului kita dan berjumpa dengan Tuhan mereka.

Dalam dinamika berbangasa dan bernegara di era teknologi saat ini rasanya kita mulau kekurangan orang muda yang optimis sebagai sebagai orang muda yang nantinya amanah bangsa dan negara berada di pundaknya, hal ini bisa di lihat dari sejauh mana hari-hari ini orang muda yang mulai tidak malu-malu terlibat dalam politik pratis dan rasanya kita orang muda telah kehingan kekritisan yang harusnya kita punya sebagai benteng terakhir dari orang muda.

Akhir dari tulisan ini saya hanya ingin berdoa semoga semua guru bangsa yang hari-hari ini mendampingi saya baik melalui karya-karya luar biasa mereka mendapatkan ridho dari Tuhan agar bisa memperolah surganya tanpa banyak proposal yang harus di ajukan sebab amal jariah yang mereka tinggalkan. Serta Tuhan jangan matikan akal sehat kami orang muda Indonesia. ***

By: Mauludin Wamoi

Leave a Reply