Filsafat Islam: Respon Filosuf Muslim Terhadap Filsafat Hellenisme

Filsafat Islam: Respon Filosuf Muslim Terhadap Filsafat Hellenisme

Gelombang hellenisme yang melanda dunia Islam merupakan akibat wajar dari kegiatan penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab. Lebih jauh, hasil logis dari penerjemahan itu melahirkan suasana kondusif dan kegairahan yang subur di kalangan umat Islam tertentu guna mengembangkan pemikiran spekulatif. Gelombang hellenisme tersebut merupakan suatu pengalaman yang, menurut Nurcholish Madjid, “tercampur antara mamfaat dan mudharat bagi umat Muslimin”. Akibat dari itu membuat mereka terbagi antara yang menyambut (respon-positif) dan menolak (respon-negatif). Respon umat Islam atas hellenisme dapat menjadi ukuran kreativitas mereka dalam menghadapi suatu bentuk tantangan zaman. Lebih jauh Nurcholish Madjid memaparkan:“Sebagian besar Ummat, khususnya mereka yang ada di bawah naungan ideologi Jama’ah dan Sunnah, semula cukup enggan, kalau tidak memusuhi, Hellenisme itu. Tapi secara umum terhadap banyak kaum Muslimin yang mempelajari pikiran-pikiran asing itu dengan tekun, disertai kematapan beragama dan kepercayaan diri kepada diri sendiri secukupnya. Mereka ini, dengan kebebesan berfikir yang masih lebih besar lagi daripada kaum Mu’tazilah, mengembangkan filsafat itu dan memberi watak keislaman kepadanya. Maka lahirlah suatu disiplin ilmu dalam khazanah intelektual Islam yang secara tekhnis disebut al-falasafah. Dari kalangan mereka ini timbul kelompok baru kaum tepelajar Muslim, yaitu al-falasifah (kaum Failusuf), suatu penamaan khusus kepada kaum intelektual Muslim yang sengat terpengaruh oleh filsafat Yunani.”

Dalam merespon positif pemikiran hellenisme itu, filosuf Muslim terbagi dalam dua aliran yang besar, yang keduanya mengklaim dirinya sebagai pengikut filsafat Yunani. Pertama, aliran Peripatetik (Masysya’iyyah) [disebut demikian karena tatkala Aristotels mengajar ia berjalan-jalan di tengah-tengah (maha)siswanya] yang memiliki ajaran gabungan ide-ide dari Aristoteles dan (sebagian) ide Neo-Platonik. Ide yang terpenting yang diambil dari Aristoteles adalah doktrin tentang Akal (Nous) , wujud yang lebih tinggi dari semua realitas jiwa yang ada. Akal adalah penaggerak pertama yang tidak bergerak; dan akal yang bersifat immortal (tidak mati). Akal adalah supreme deity (Tuhan Maha Tinggi) yang selalu berpikir dan meruenungkan diri-Nya. Sementara itu, ide yang diambil dari Neo-Platonisme adalah doktrin yang mengajarkan tentang the One (yang Tunggal) sebagai prinsip tertinggi atau sumber penyebab. Aliran ini juga dikenal sebagai cerminan upaya terbaik pemikiran manusia untuk mencapai kebenran. Aliran ini biasanya berawal dari filosuf al-Kindi dan mencapai puncaknya pada diri filosuf Andalusia, Ibn Rusyd.

Kedua, aliran Illuminasi (Isyraqiyah) [disebut demikian karena merupakan kearifan spritual yang muncul dari timur] yang lebih bersimpati kepada gabungan ajaran dan tradisi Pytagoras-Platonik. Ajaran dualis Plato kemudian diusahakan penyatuannya oleh para penganut Neo-Pytagoras. Ajaaran ini menyatkan mereka menuruti doktrin bukan saja dri golangan Pytaagoras, tetapi bahkan juga dari nabi-nabi kuno, khususnya Nabi Sulaiman dan Idris (tradisi Hermetis) dan juga dari ajaran-ajaran bijak, seperti Zoroaster. Dalam Islam alaiaran ini berawal dari Ibn Sina dan mencapai puncaknya pada diri Suhrawardi al-Maqtul. Dengan demikian, aliran ini dipandang sebagai ajaran yang lebih berdasrkan pada ilmu ilahah tinimbang pada ilmu manusiawi.
Berikut ini akan dicoba untuk mengangkat beberapa persoalan-persoalan filosufis yang krusial (dan “anah” di mata ortodoksi Sunni) yang berasal (sebagian besar) dari tradisi Hellenisme.

Konsep Wujud Tuhan

Salah satu di antara ajaran filsafat dalam Islam yang relatif tidak bertentangan dengan doktrin agama, dan tidak syak lagi juga diterima oleh kalangan ortodoksi Sunni Islam adalah tentang Wujud Tuhan. Dalam ajaran filsafat ini, wujud ada dua: Wājib al-Wujūd (Wujud yang Wajib) dan mumkīn al-wujūd (wujud yang mungkin). Adapun yang disebut pertama adalah Allah; sementara wujud yang disebut belakangan adalam alam (wujud selain Allah). Dengan bahasa yang berbeda, Wujud Allah wujud yang “pasti”; sedangkan alam adalah wujud yang “tergantung”. Artinya, alam semesta yang tercipta memeerlukan tempat untuk bergantung, yaitu Allah. Lebih jauh ini bermakna alam sebagai akibat yang memerlukan sebab, itu Allah.

Dalam membangun ajaran ini filosuf Muslim mencari bantuan dari doktrin Neo-Platonis, yaitu monisme tentang emanasi (al-fayḍ). Dalam kerangkan Aristolean, meskipun mereka menolak ajaran Aristoteles tentang dualitas: matter dan form (materi dan bentuk), tetapi di sisi lain tampak sekali ajaran Aristoteles lainnya, yaitu konsep tentang “Nous”; akal sebagai supreme deity (Tuhan Tertinggi) [boleh jadi tuhan yang dimaksu oleh Aristoteles berbeda dengan apa yang dipahami dan diyakini oleh ummat Islam. Begitu pula doktrin lainnya dari Aristoteles, misalnya mengenai akan yang immortal (tidak mati) atau wujud penggerak pertama yang tidak bergerak.

Masalah yang berhubungan dangan Wujud Tuhan, antara para filosuf, termasuk juga para mutakallimin, adalah doktrin bahwa Allah Tunggal. Penjelsanya bahwa doktrin ini menafikan adanya dualitas antara essensi dan sifat. Bagi mereka Tuhan adalah wujud semata, tanpa sifat. Satu-satunya sifat (kalau juga terpaksa menggunakan kata sifat) Tuhan adalah keniscayaan wujud-Nya. Jadi Tuhan tidak mempuyai sifat sebagaimana diyakini oleh aliran kalam rasional dalam Islam, Mu’tazilah.

Konsep al-Qur’an Qadim

Persoalan apakah al-Qur’an (Kalam) Allah itu diciptakan (baharu) atau tadak diciptakan (qadim), telah menajdi perdebatan di kalangan teolog (mutakallimīn) sejak masa-masa awal. Bahkan belakarang pada masa pemerintahan al-Makmum, dinasti Abbasyiah, ketika paham Mu’tazilah dijadikan paham resmi negara, mengakibatkan terjadikanya “noda hitam” dalam sejarah Islam dengan dilancarakannya “mihnah” (inquisisi), yaitu pemeriksaan keyakinan: apakah al-Qur’an itu baharu atau qadim. Bagi Mu’tazilah, al-Qur’an itu adalah baharu (diciptakan), karena kalau tidak (dikatakan qadim) ini dapat merudak sistem keimanan kepada Allah. Artinya kalau al-Qur’an itu adalah qadim, maka ada yang qadim selain Allah. Kalau demikian halnya, sama artinya menduakan Allah (syirik)

Kecenderungan pemikiran Mu’tazilah tersebut didasarkan pada ajaran Aristoteles bahwa tidak ada yang tercipata dari tiada (critio ex nihilo). Dengan begitu mereka menyimpulkan bahwa Tuhan telah menciptakan al-Qur’an. Di samping itu, pendapat Mu’tazilah sedikit banyak dipengaruhi dan dilatarbelakangi oleh sistem kepaarcayaan ajaran agama Kristen dengan konsep Trinitasnya. Karena pengaruh ajaran Kristen itulah Mu’tazilah tampil untuk membela sistem keiman dalam Islam.

Konsep Penciptaan: Alam Qadim

Dalam pandangan filosuf Muslim yang paling asasi dalam konsep penciptaan adalah pengingkaran terhadap konspe “Critio ex Nihilo” (penciptaan dari tiada). Pandangan filosuf dalam masalah ini berbedadengan kaum mutakallimin, apalagi dari kalangan ortodoksi Islam. Karenanya, penciptaan alam: apakah qadim atau baharu merupakan perdebatan antara para filosuf dan mutakallimin. Dan kalau disederhanakan adalah pertentangan pada figur yang diwakili oleh al-Farabi dan al-Ghazali secara berturut-turut.

Pandangan para filosuf dalam masalah ini berawal dari suatu kenyataan bahwa mustahil penciptaan sesuatu itu dari tiada. Pernyataan mereka ini didasarkan pada konsep tentang emanasi (pelimpahan). Akan tetapi, perlu ditegaskan, menurut filosuf Islam, alam itu qadim dari segi waktu (qadim zaman). Artinya, wujud alam bersama-sama adanya dengan eksistensi Wujud Allah. Meskipun begitu, segara harus ditambahkan pula bahwa alam itu “huduth li zati” (baharu dari segi zat). Sedangkan Allah adalah Qadim Zat dan Qadim Zaman.

Filosuf menjelaskan, misalnya Ibn Sina, bahwa yang dimaksud dengan qadim zaman (bagi alam) itu adalah karena Tuhan Maha Sempurna, maka Tuhan menciptakan sejak zaman azali; dan senantiasa meciptakan (berbuat) dan tidak hanaya pada saat tertentu. Karena didorong oleh keinginan untuk mengagungkan dan mensucikan Tuhan dengan konsep emanasi, maka pemikiran tentang penciptaan alam itu qadim tidak bertentangan dangan Islam.

Konsep Tentang Pengetahuan Tuhan

Menurut Fazlur Rhman (Islam: 169), konsep bahwa Tuhan tidak mengatahui yang partikular merupakan kerangka teori dari Aristoteles dal Plonitus. Akan tetapi, sayangnya, Rahman tidak mengurai secara detail bagimana keterkaitan dan pengaruh kedua filusuf klasik Yunani kepada balantika filosofis dalam Islam. Dalam konsep ini para filosuf Islam berpendapat bahawa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang partikular (juz’iyyat), tetapi Tuhan hanya mengetahui yang universal (kulliyat). Menurut para filosuf penegasan semacam ini penting, karena kalau Tuhan mengatahui hal-hal yang partikular yang senantiasa berubah-rubah bentuk dan beralih-alih waktu dan tempat, maka ilmu Tuhan juga akan turut berubah-rubah. Padahal dalam pandangan yang prinsipil di kalangan para filosuf bahwa mustahil ilmu pengetahuan Tuhan mengalami perubahan.

Konsep semacam ini, lagi-lagi, bagaimana para filosuf Islam berupaya untuk menyucikan Tuhan dari “kemungkinan” ketidaksempurnaan. (Ini tidak dimaksudkan bahwa manusia [para filosuf] menjadi subjek penentu bagi kesempurnaan Tuhan, sekali lagi tidak]. Akan tetapi, tak ayal, “hasrat baik” para filosuf itu dituduh macam-macam oleh golongan ortodoksi Islam Sunni. Golongan yang disebut terakhir ini berargumentasi bahwa Tuhan tidak boleh “dibatas-batasi” sedemikian itu, sehingga pengetahuan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal universal semata, sementara Tuhan dibatasi untuk mengatahui yang partikular. Kalau memang demikian, kata golongan ortodoksi Islam Sunni ini, dikemanakan kemahakuasaan Allah; dan bagaimana dengan “Inna Allah ‘ala kulli syai’in alīm” (Sungguh Allah mengetahu atas segala sesuatu).

Agaknya, sulit juga untuk menegahi kedua perdebatan kedua kelompak antara para filosuf dan ortodoksi Islam Sunni di atas. Karena masing-masing mereka berargumentasi dengan “mengatasnamakan” Allah. Paran filosuf berdalih atas “kemahasempurnaan” Allah. Sebaliknya ortodoksi Islam Sunni beralasan atas “kemahakuasaan” Allah. Perdebatan dan polemik di antara kedua golongan ini belakangan dapat dipersonifikasikan secara pas pada diri al-Ghazali mewakili golongan ortodoksi Islam Sunni dan Ibn Rusyd mewakili para filosuf Islam. Bahkan perdebatan dan polemik tersebut terus berlanjut setalah sepeninggalan keduanya.

Selama ini, sudah banyak buku-buku filsafat yang mengulas polemik “posthumous” antara al-Ghazali dan Ibn Rusyd. Polemik kedua figur ini sangat penomenal dalam sejarah pemikiran umat manusia, dan menyita perhatian sekian banyak sarjana sejak masa keduanya hingga dewasa ini. Lewat bukunya, Tahāfut al-Falāsifah, al-Ghazali mempreteli 20 (dua puluh) teori-teori biḍ‘ah filosuf (Islam) sebelumnya, khususnya al-Farabi dan Ibn Sina. Tiga di antara teori-teri tersebut: kekadiman alam; Tuhan tidak tahu yang pertikular; dan penolakan kebangkitan jasmani, menurut al-Ghazali, dikategorikan sebagai “kafir”. Belakangan, sekitar delapan puluh tahun setelah itu, tanpil seorang filosuf Muslim Andalusia, Ibn Rusyd, lewat bukunya, Tahāfut al-Tahāfut, guna membela para filosuf Muslim dan menyerang-balik (counterattack) al-Ghazali.

Konsep Tentang Keabadian Jiwa dan Kebangkitan Akhirat

Problem keabadian jiwa dan kebangkitan di akhir, tidak diragukan lagi, termasuk dalam tiga serangkai (kekadiman alam, Tuahn tidak mengetahui yang partikular dan kembangkitan jiwa) doktrin filosuf yang dikafirkan oleh al-Gazali. Kalau yang dua pertama dinayatakan berasal dari filosuf Islam, khususnya Ibn Sina dan al-Farabi, maka doktrin yang ketiga, keabadian jiwa adalah “murni” berasal Aristotels. Aristioteles, sebagaimana telah disebut sebelumnya, mengatakan bahwa jiwa itu adalah immortal (tidak mati). Belakangan doktrin ini dikembangkan oleh filosuf Islam, khususnya Ibn Sina.

Menurut Ibn Sina manusia sebagai makhluk memiliki unsur ganda: sebagai benda (matter) dan mempunyai bentuk (form). Raga adalah matter; dan jiwa adalah form. Raga dan jiwa adalah dua substansi yang distingtif dan terpisah satu dengan yang lainnya, terutama setelah manusia mati. Jiwa adalah substansi rohani yang terlimpah ke dalam wadah berupa raga, kemudia jiwa menghidupkan raga. Lebih jauh raga dipergunakan sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan. (Fuad al-Ahwani: 162-163). Dengan begitu, dalam pandangan para filosuf Islam, yang mengetahui Tuhan adalah jiwa. Karenanaya, ketika manusia mati yang kembali kepada Tuhan adalah yang mengetahui Tuhan, yaitu jiwa.

Mengingat jiwa yang mengetahui Tuhan dan pada akhirnya kembali kepada Tuhan, maka jiwa pulalah yang akan dibangkitkan. Sementara raga tinggal membusuk dihimpit bumi dan dimakan cacing. Kongkritnya, konsep Ibn Sina ini mengingkari kebangkitan jasmani, dan hanya mengakui kembagkitan ruhani. Malahan, di anatara para filosuf, ada yang berpendapat bahwa hanya jiwa yang cerdas lagi suci sajalah yang akan dipanggil oleh Allah, “yā ayyatuha al-nafsu al-muṭma’nnah ‘irji’ī ilā Rabbiki raḍiyah al-marḍiyah fa adkhulī fī ‘ibādī wa adkhulā jannatī” (hai, jiwa yang tenang kembali kepada Tuhanmu dalam keadaan rela-merelakan dan masuklah golongan hamba-Ku dan masuklah surga-Ku).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb

By: Alimuddin Hassan Palawa, (Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau)

Leave a Reply