KĀFŪRĀ MINUMAN DI SURGA: Term Bahasa Melayu dalam Al-Qur’an

KĀFŪRĀ MINUMAN DI SURGA: Term Bahasa Melayu dalam Al-Qur’an

Saya merasa beruntung dan bangga dilahirkan dari rahim seorang ibu yang gemar dan terbiasa mengaji. Seingat saya, semasih kecil, ibu saya selalu mengaji sebelum anak-anaknya bangun-beranjak dari tempat tidurnya; dan mengaji (lagi) menjelang sewaktu anak-anaknya terlelap tidur dalam mimpi-mimpinya. Salah satu surah dari tujuh surah yang sering di baca ibu saya, selain surat Yāsīn, al-Wāqi‘ah, al-Mulk, al-Kaḥfi, al-Raḥmān, al-Sajadah, adalah surah al-Insān. Seringnya ibu saya membaca ketujuh surah dan dengan termotivasi atas fadhilah kadungan dari membaca surah-surah itu, dapat dipasatikan berkat pengajian yang diterimanya dari seorang ulama besar, yaitu K.H. Husain Hap (1928-1999).

Tuan Guru (Anddregurtta) K.H. Husain Hap termasuk salah seorang dari tiga rentetan ulama besar Indragiri Hilir pada abad ke-20 (tanpa bermaksud menafi’kan kalau ada ulama besar lainnya), selain Tuan Guru K.H. Abdurrhamn Ya’qub (1912-1970) dan Tuan Guru K.H. Abdurrahman Siddiq (1857-1939). K.H. Husain Hap –yang merupakan abang kandung ayah saya sendiri, H. Husan Hap– pernah menempuh pendidikan di Dar al-‘Ulum, Mekah. Awal kepulangan dari tempat Kelahiran Rasul Allah saw., K.H. Husain Hap mendirikan pengajian “Al-Husniyah”, dan di sinilah Ibu saya mendapat pengajian agama, termasuk fadhilah membaca surah-surah disebutkan tadi.

Dari bacaan ibu saya atas surah al-Insān ini untuk kali pertamanya saya mendengar kata “kafūra” dalam rentetan ayat: “inna al-abrāra yashrabūna min ka’sin kanā misājuhākafūra.” Saya mendengar ibu saya memabaca ayat ini “sambil lalu” saja, kadang antara saya “sadar dan tidak sadar” (menjelang dan akan bangun tidur), dan seringkali tidak peduli. Ketidakpedulian saya atas bacaan al-Qur’an ibu saya itu disebabkan bukan saja karena tidak mengerti, tetapi karena kepedulian “dunia anak” belum sampai di situ.

Akan tetapi, karena ibu acapkali memperdengarkan keseluruhan surah-surah tersebut, maka menjadikan saya terasa akrab, dan relatif lancar membacanya tatkala mengaji. Hal yang serupa, tetapi dengan cara berbeda sering pula dilakukan oleh ayahanda (semoga Allah merahmatinya) semasa saya kecil, yaitu menyetel kaset yang melantunkan bacaan (surah) al-Qur’an, di antaranya yang sering kali saya dengar, misalnya adalah surah al-Naba’, dan sesekali terdengar –belakangan baru saya tahu namanya– surah al-Shaff danṬaha.

Kembali kepada kata “kafūrā”, pemahaman atas kata itu dalam konteks kajian keilmuan, saya dengar kali pertama pada saat Diskusi Bedah Desertasi, “Jaringan Ulama” karya Azyumardi Azra yang diselenggran di Gedung “Wisma Sajahtera” di komlpeks Kampus IAIN (kini UIN) Syarif Hidaytullah Jakarta pada 1992 (maaf, sekiranya salah ingat tahun; dugaan kuat ini benar sebab tahun itu saya menjadi Pengurus HMI Cabang Ciputat Periode 1991-1992 sebagai Sekretaris Umum; dan saat menghadiri Kongres HMI ke-19 dipenghujung 1992 status kepengurusan kami demisioner). Dalam forum bedah desertasi itu, selain Azyumardi Azra sebagai penulis, adalah Bapak (kini Prof.) Dr. Atho Mudzhar, MA sebagai pembedahnya. Dalam diskusi terungkap bahwa dari hasil penelitian yang dilakukan oleh orang Barat (orientalis) terungkap bahwa asal-usul kata “kafūra” berakar dari bahasa MELAYU.

Pada waktu itu saya bingung memahaminya, justru karena membingungkan itulah menjadi menarik bagi saya. Kebingungan saya pada waktu itu bercampur rasa bangga. Apa mungkin ada bahasa Melayu dalam al-Qur’an? Disebutkan jaga bahwa barangkali “kāfūrā” inilah satu-satunya term Melayu yang “dipinjam” oleh Allah dalam menurunkan wahyu yang ditermaktub dalam al-Qur’an. Saya sendiri sampai saat ini tidak berupaya untuk membuktikan dugaan bahwa apakah hanya “kāfūrā” satu-satunya bahasa Melayu dalam al-Qur’an?

Sementra itu, kosa kata dari bahasa asing yang diserap oleh bahasa Arab banyak sekali ditemukan dalam al-Qur’an. Misalnya, terdapat kata “jahannam” (neraka jahanam) dari bahasa Ibrani; kata “zanjabīlā” (jahe) berasal dari Persia. Kata “sundusin” (sutra tipis) berasal dari India; kata “ṭūr” (gunung) berasal dari bahasa Syiriah; kata “al-qisṭās” (timbangan) berasal dari bahasa Romawi; kata “mishkāt” (lentera) berasal dari bahasa Habsyah. Ini sekedar menyebut bebarapa kosa kata dari berbagai bahasa suka bangsa yang terdapat dalam kitab suci al-Qur’an. (lihat, Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of the Qur’an, Leiden: Briil, 2007).

Untuk kata “kafūrā” itu sendiri selain dikatakan berasal dari bahasa Melayu, ada juga pendapat menyatkan bahwa bahasa itu berasal dari bahasa Persia. Bagaimana menjelaskan asal-usul kata “kafūrā” ini, apakah berasal dari bahasa Melayu atau bahasa Persia? Saya secara pribadi (bukan karena saya orang terlahir di dunia “heartland” Melayu, Riau) lebih setuju pendapat yang menyebutkan bahwa kata “kafūrā” berasal dari bahasa Melayu dengan merujuk pada dua logika dan argumentasi historis.

Pertama, kata “kafūrā” sebelum diserap oleh bahasa Arab terlebih dahulu diserap oleh bangsa Persia. Oleh karena itu, Buya Hamka menyatakan bahwa kata “kāfūrā” termasuk salah satu bahasa ‘ajam yang terdapat dalam al-Qur’an berasal dari bahasa Melayu, yaitu “kapur”. (Lihat juga, Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz XXIX (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983: 268-269).

Kedua, sebelum Islam dirisalahkan hubungan perdangan antara dunia Arab dan Cina dengan melewati rute pedangan Persia, India dan Nusantara sudah berlansung lama. Belakangan, setelah Islam berkembang, disebut-sebut pada masa dinasti Umayyah terjalin hubungan perdangan dengan Melayu-Nusantara. Disebut bahwa salah satu pelabuhan sebagai bandar niaga internasional adalah Barus dengan komoditas utamanya yang paling diminati adalah “kafūrā” (kamper).

Pada abad ke-4 dalam catatan sejarah terbilang awal ditulis oleh pedagang Cina yang menyusuri perdagangan “jalur sutra” menyebutkan kamper bagian dari komuditas perdagangan sangat digemari. Selain itu kronik Cina pada masa Disnati Liang (502-557) mengungkapkan kamper yang digaitkannya dengan suatu daerah dikenal Barus. Sementara itu di Barat terdapat catatan tertua yang menyebutkan tentang kamper yang ditulis oleh Actius (502-578), seorng dokter Yunani berasal dari Mesopotamia.

Jauh sebelum data-data itu, kenyataan ini dikuatkan oleh sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolemaus, seorang gubernur dari Kerajaan Yunani yang berpusat di Alexandria, Mesir pada abad ke-2. Di peta itu disebutkan, di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang menghasilkan wewangian berupa kapur barus. Bahkan ada dugaan kuat bahwa kamper adalah termasuk salah satu bahan untuk mengawetkan jenazah, tentu termasuk jenazah para Fir’aun di Mesir.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa di antara komoditas perdagangan yang paling disukai oleh orang Arab adalah kamper (“kafūrā”). Disebutkan bahwa kamper ini kalau diekstrak (disulin sedemikan rupa), lalu dicampurkan pada minuman akan membuat minuman itu menjadi yang sangat enak dan menyegarkan. Untuk itu, al-Qur’an mempergunakan kata “kāfūrā”yang diperuntukkan kepada orang-orang Arab agar senatiasa terdorong berbuat kebaikan sebagai balasan setelah kehidupan di dunia ini, di surga nantinya (Q.s. al-Insān [76]: 5).

Abdullah Yusuf Ali memberikan penjelasan “kāfūrā” berikut ini: “Kāfūr is literally Camphor. It is fountain in the Realms of Bliss. It is a seasoning added to the Cup of pure, beatific Wine, which cause no intoxication (lvi.18-19) but stands for all that wholesome, agreeable, and refreshing. Comphor is cool and refreshing, and is given as a sooting tonic in Eastern medicine. In minute doses its odour and flavour are also agreeable.” (Lihat, Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Holy Qur’an, Maryland: Amana Publications, 2004, 1571-1572, catatan kaki no. 5835).

Dengan iman kepada Allah dan hari akhirat serta beramal ṣaleh, manusia berhak mendapat kedamaian dan kebahagian hidup di akhirat kelak (Q.S. al-Baqarah [2]: 62). Bagi penghuni surga, menurut Raja Ali Haji, akan mendapatkan kenikmatan-kenikmatan “biologis” berupa makanan dan minuman serta seks, seperti tulisnya dalam Kitab Pengetahuan Bahasa: “Demikianlah halnya mereka yang di dalam surga itu. Maka apabila sampai ia ke pintu surga, maka disambutlah oleh segala malaikat, dibawanya kepada istrinya “bidadari” di dalam mahligai itu. Maka apabila sampai ia ke dalam mahligainya bersuka-sukaanlah ia dengan segala istrinya “khawaral ‘ain” itu dan “khadam-khadamnya”, “wadan-wadan” namanya. Maka makan minumlah yang lezat-lezat serta berpeluk dan bercium dan berbelai dan berjimak dengan sepuas-puasanya hawa nafsu. Pada hal kekal senantiasa dengan demikian itu ada.” (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa: 33).

Dari kutipan di atas tampak jelas bahwa Raja Ali Haji memberikan gambaran kehidupan surga bagi lelaki yang “full sex” (“berjimak dengan sepuas-puas hawa nafsu”) bersama istri-istrinya dan para bidadari yang konon jumlahnya sampai sembilan puluh sembilan. Selain itu, kehidupan di surga digambarkan bergelimang dengan kelezatan materi. Karenanya, untuk tetap memberikan vitalitas bagi lelaki abrār (pelaku kebajikan di dunia), Allah mengiming-imingi makanan-makanan enak dan lezat dan beraneka buah-buahan dan minuman yang sangat menyegarkan dari berbagai aliran sungai atau telaga yang berbeda-beda warna dan cita rasanya, termasuk minuman yang dicampur dengan “kafūrā”.

Penjelasan Raja Ali Haji di atas tentang kehidupan surga digambarkannya “dengan beberapa makan-makanan yang lezat-lezat dan minum-minuman dan beberapa istri daripada hurul ‘ain dengan beberapa kesukaan dan permainan yang tiada pernah dilihat oleh mata dan tiada didengar oleh telinga.” (Raja Ali Haji, Muqaddimah fī al-Intiẓām, 2-3). Bahkan hati sekalipun tidak akan pernah mampu membayangkan tentang gambaran surga yang sedemikian baik dan indahnya. Pernyataan Raja Ali Haji ini didasarkan pada hadis Rasul Allah: “Dari Abi Hurayrah ra. berkata: Rasul Allah saw. bersabda: “Aku janjikan kepada hamba-Ku sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, bahkan tidak pernah terbetik dalam hati. Apabila kamu menginginkan maka bacalah: ‘Tiada seorang pun tahu cendera mata apa yang masih tersembunyi bagi mereka.’” (HR. al-Bukhāry, Muslīm, al-Tirmidhy, al-Nasā’i dan Ibn Mājah).

Mengingat kehidupan di surga itu sukar sekali untuk memahaminya, maka di akhir hadis di atas, Rasul Allah menyarakan agar membaca ayat: “Falāta‘lamu nafsun mā ikhfiya lahum min qurrati a‘yunin jazā’u bimākānū ya‘lamūn” (Tidak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, indah dipandang sebagai balasan bagi mereka atas apa yang mereka kerjakan. (Q.s. al-Sajadah [32]: 17). Artinya, karena surga termasuk “realitas tinggi” (higt reality) yang tidak seorangpun dapat memahami secara hakiki, maka al-Qur’an menggambarkan dengan cara “perumpamaan”.

Allah menjelasakan kehidupan di surga dengan mengawalinya kata “perumpaan”, sebagaimana firman-Nya: “Perumpamaan (penghuni) surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Tuhan mereka. (Q.s. Muḥammad [47]: 15).

Al-Qur’an memang memberikan gambaran yang sangat “meterial” (sangat visual) tentang kenikmatan surga yang berupa makanan dan minuman dari kebun-kebun dan sungai-sungai beserta pada bidadarinya. Akan tetapi, akhirnya Allah menegaskan bahwa riḍa Allah jauh lebih besar keindahnnya, wa riḍwān min Allāh akbar dari semua yang disebutkan sebelumnya. Firman Allah, “Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar, itu adalah keberuntungan yang besar.” (Q.s. al-Tawbah [9]: 72).

Meskipun demikian, dari ayat di atas tidak boleh dipahami dengan mengambi kesimpulan bahwa kehidupan eskatologis di surga atau di neraka itu bersifat non-fisik. Paham semacam ini adalah konsekwesi langusung dari paham filosuf bahwa tidak ada kebangkitan jasmani. Dengan kata lain, bagi filosuf yang ada adalah hanya kebangkitan rohani (spiritual), sehingga balasan surga dan neraka juga bersifat rohani (spiritual).

Betapun, Allah tentu tidak akan mengecewakan, dan bahkan tidak akan pernah mengingkari janji-Nya terhadap orang-orang abrar (senantiasa berbuakan kebajikan). Untuk itu, Allah menyediakan kehidupan surga, sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an secara “material”, termasuk “kāfūrā” sebagai minimuan yang menyegarkan dan membangkitkan vitalitias dalam melakukan hubungan seksual dengan bidadari-bidadari. Bukankah tujuan sebagai dari mereka terdorong melakukan amal-amal kebajikan lantaran ingin masuk surga yang demikian ini?

Akan lain hal bagi orang-orang tertentu yang beribadah tidak berhasrat pada kehidupan surga yang bersifat material dan visual tersebut. Bagi orang semacam ini ia tidak menginginkan kebun (jannah)nya. Namun, ia lebih mendambakan Sang Pemilik kebun (jannah)-Nya. Yang lebih dirindukannya adalah kehidupaan surgawi yang sejati dan hakiki, yaitu rida Allah yang lebih besar (wa riḍwān min Allāh akbar). Wa Allāh a’lam bi al-Ṣawāb.

 

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.

Mātawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

Alimuddin Hassan Palawa, (Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau).

Leave a Reply